Anda di halaman 1dari 20

A.

Demam Berdarah Dangue


a. Definisi DBD
Demam berdarah dangue adalah penyakit infeksi akut yang sering
muncul dengan gejala sakit kepala, sakit pada tulang, sendi, dan otot,
serta ruam merah pada kulit. Demam berdarah dengue (DBD) di
tandai dengan empat manifestasi klinik yang utama, yaitu demam
tinggi, perdarahan, pembengkakan hati, dan beberapa kasus yang
parah terjadi kegagalan sirkulasi darah. Penyakit DBD
adalahpenyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui perantara vector nyamuk Aedes agepypti dan
aedesalbapictus yang ditandai dengan sakit ulu hati, disertai dengan
demam mendadak 2-7 hari tampa penyebab yang jelas, lesu/lelah,
gelisah, nyeri pada ulu hati, disertai dengan pendarahan pada kulit
berupa bintik-bintik (ptechlae), lebam (echymosis) atau ruam
(pupura). Kadang-kadang terjadi mimisan, muntah darah, kesadaran
menurun atau renjatan (shock).
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
dalam genus flavivarus grup famili Togavvirde. Virus ini
mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nanometer yang terdiri dari
4 serotip, yakni dengue (DEN) 1, DEN 2, DEN 3 serta DEN 4. Virus
yang ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
dan aedes albopictus pada suhu 30’C memerlukan waktu 8-10 hari
untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrintik dari lambung sampai
kelenjar ludah nyamuk. Sebelum demam muncul pada penderita,
virus ini sudah terlebih dahlu berada dalam darah 1-2 hari.
Selenjutnya penderita berada dalam kondisi virema selama 4-7 hari.
c. Penularan
Virus dengue (arbovirus)ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk aedes aigypti betina. Dapat pula melalui gigitan nyamuk
aedes albopictus, namun didaerah perkotan nyamuk tersebut bukan
sebagai vektor utama. Sekali terinfeksi dengan arbovirus, maka
seumur hidup nyamuk akan tetap terinfeksi dan dapat terus
menularkan virus tersebut kepada manusia. Nyamuk betina yang
terinfeksi juga dapat menurunkan virus ke generasi berikutnya
dengan cara transmisi transovarial. Akan tetapi hal tersebut jarang
terjadi dan tidak berpengaruh signigfikan pada penularan manusia.
Host dari virus yang paling utama adalah manusia, walaupun ada
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa juga ditemukan pada
monyet. Virus dengue bersirkulasi dalam tubuh manusia selama 2-7
hari atau selama demam terjadi. Dalam waktu 4-7 hari, virus dengue
ditubuh penderita dalam keadaan viremia pada manusia itulah
penularan terjadi. Apabila penderita digigit oleh nyamuk penular,
maka virus dengue juga akan terhisap dalam tubuh nyamuk. Virus
tersebut kemudian berada dalam lambung nyamuk dan akan
memperbanyak diri selanjutnya akan berpindah ke kelenjar ludah
nyamuk. Proses tersebut memakan waktu 8-10 hari sebelum virus
dengue dapat ditularkan kembali kemanusia melalui gigitan nyamuk
terinfeksi. Lama waktu yang dibutuhkan selama inkubasi ekstrinsik
tergantung pada kondisi lingkungan, terutama faktor suhu udara.
d. Patofisiologi
Patofisiologi utama DBD adalah kebocoran plasma yang disebabkan
dalam ruang ekstravasekuler. Jika tidak ditangani dengan benar
sering terjadi komplikasi lebih parah sampai kematian. Ada dua
perubahan patofisiologi utama yang terjadi pada DBD. Pertama
adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
meningkatkan hilangnya plasma dari kompertemen vascular. Situasi
ini mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan
tanda-tanda lain dari syok. Perubahan kedua adalah gangguan yang
mencakup perubahan dalam hemostatis vascular, trombositopenia
dan koagulopati. Kerusakan trombosit terjadi dalam kualitatif dan
kuantitatif, jumlah trombosit dalam fase akut DBD dapat habis. Oleh
karena itu, meskipun jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm3,
waktu perdarahan masih dapat memanjang.
e. Gejala dan tanda-tandaDBD
Gejala awal dari demam berdarah dengue mirip dengan demam
dengue biasa. Demam dengue seperti flu yang mempengaruhi bayi,
anak-anak dan orang dewasa, tetapi jarang menyebabkan kematian.
Pada demam berdarah dengue, setelah beberapa pasien akan menjadi
mudah marah, gelisah, dan berkeringat
Demam dengue harus dicurigai bila demam tinggi (400 C/1040 F)
disertai oleh dua gejala berikut : sakit kepala parah, nyeri di
belakang mata, otot dan nyeri sendi, mual/mutah, kelenjar bengkak
atau adanya ruam. Biasanya berlangsung selama 2-7 hari, setelah
masa inkubasi 4-10 hari akibat gigitan dari nyamuk yang terinfeksi.
f. Klasifikasi derajat demam berdarah dengue
DBD diklasifikasikan menjadi 4 derajat, dimana derajat III dan IV
dianggap sebagai DSS. Adanya trombositopenia, disertai
hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II dari demam dengue
biasa.
- Derajat I (Ringan)
Demam disertai dengan gejala non-spesifik, satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif dan mudah
memar.
- Derajat II (Sedang)
Bila perdarahan spontan selain manifestsi pasien derajat I,
biasany disertai dengan manifestsi perdarahan kulit epistaksis,
perdarahan gusi, hametemesis atau melena.

- Derajat III (Berat)


Apabila terjadi kegagaan peredaran darah perifer
dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta
penyempitan tekanan nadi atau hipoteni, kulit dingin, lebab, dan
gelisah.
- Derajat IV (Berat sekali)
Bila tejadi syok berat dengan tekanan darah tidak teratur, dan
nadi tidak dapat terdeteksi.
g. Kriteria diagnosis
Diagnosis penyakit DBD apabila ditemukan kriteria penderita
sebagai berikut:
a. Demam
Demam terjadi secara mendadak dan berlangsung selama 2-7
hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah.
Demam dapat disertai dengan gejala-gejala klinik yang tidak
spesifik seperti anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang, dan
sendi, nyeri kepala, serta lemah.
b. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi karena hari kedua dari demam dan
umunya terjadi pada kulit dan dapat berupa hasil uji torniquet
yang positif. Perdarahan mudah terjadi pada tempat fungsi vena,
ptekia dan pupura. Selain itu dapat juga dapat dijumpai epistaks
dan perdarahan pada gusi, hermatemesis, serta melena.
c. Hepatemologi
Pada permulaan demam biasanya hati sudah teraba, meskipun
pada anak yang kurang gizi juga dapat teraba. Bila terjadi dari
hepatomegali dan hati teraba kenyal kemungkinan akan terjadi
renjatan pada penderita.
d. Renjatan (syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ketiga sejak penderita
sakit, dimulai dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit
lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan dan kaki serta
sainosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam
maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk. Nadi menjadi
lambat dan cepat, kecil, bahkan sering tidak teraba. Tekanan
darah sistolik akan menurun sampai dibawah angka 80 mmHg.
h. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis DBD juga dapat ditetapkan bedasarkan hasil
pemerikasaan laboratorium, yaitu:
1. Trombositopeni
Jumlah trombosit dalam tubuh mengalami penurunan yang
drastis hingga mencapai 100.000 sel/mm3 atau dapat lebih
rendah lagi.
2. Haemoconcetration
Adanya rembesan plasma karena peningkatan permeabiltas
vaskular, dimanifestasikan dengan hal berikut :
 Peningkatan hemotokrit sama atau lebih besar dari 20%
diatas rata-rata usia, jenis kelamin, dan populasi
 Penurunan hematokrit setelah tindakan penggatian volume
sama dengan atau lebih besar dari 20% data dasar
 Tanda-tanda rembesan plasma seperti efusi pleural, asites,
dan hipoproteinemia.
B. Prevalensi
Catatan di Pemkot Surakarta tahun 2012 terdapat 30 kasus DBD
dengan 1 penderita meninggal. Tahun 2013 terdapat 261 kasus DBD
dengan 7 penderita meninggal. Tahun 2014 tedapat 256 kasus DBD
dengan 4 penderita meninggal.
Angka kematian/Cae fatality (CFR) DBD wilayah jawa tengah
sebesar 1, 52% lebih tinggi dibanding tahun 2011 (0,93%), tetapi lebih
tinggi dibading dengan target nasional (<1%). Angka kesakitan tertinggi
dikabupaten Blora sebesr 88,77/100.000 penduduk terendah di
kabupaten Wonogiri sebesar 1,37/100.000 penduduk. Angka kematian
tertinggi adalah di kabupaten Wonogiri sebesar 23,08% dan kematian di
10 kabupaten/ kota dengan kematian lebih dari 1%.
DBD di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu
penyakit endemik dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) pada musim musim tertentu yaitu pada musim penghujan. Sejak
Januari 2004 total kasus DBD diseluruh provinsi Indonesia sudah
mencapai 26.015 dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR :
1,53%). Kasustertinggiterdapat di provinsi Jawa timur(11.534 orang).
Sedangkan CFR (case fatality rate) tertinggi terdapat di provinsi Nusa
tenggara Timur (3,96%) (Depkes RI, 2004).
Data WHO pada tahun 2011 menyatakan bahwa dari 2,5 milyar
penduduk dunia yang di survey, 40% beresiko terjangkit DBD serta
diperkirakan 0,0004% manusia meninggal dunia. Ancaman penyakit
ditunjukan dengan semakin meluasnya wilayah beriklim subtropik.
(WHO, 2011).
C. Faktor Risiko Penyakit
Faktor risiko adalah faktor yang mempengaruhi penyebaran
penyakit DBD, bukan sebagai penyebab. Dalam beberapa penelitian
ditemukan faktor- faktor yang berhubungan secara bermakana dengan
kejadian DBD. Faktor risiko penyakit DBD antara lain :
1. Pengetahuan, sikap, dan prilaku masyarakat tentang DBD
2. Kepadatan penduduk dan mobilitas penduduk tinggi
3. Kepadatan vektor penularan (aedes aegypti) dan jentiknya
4. Upaya pemberantasan dan pencegahan DBD
5. Iklim (curah hujan, kelembapan udara, kecepatan angin, suhu)
6. Ketersedian sarana air bersih dan sistem sanitasi
D. Kelompok Risiko Penyakit
Penyakit DBD dapat menyerang semua golongan umur, namun
pada perkembanganya penyakit ini lebih besar menyerang anak balita
hingga usia sekolah. Aktivitas masing-masing kelompok umur
mengakibatkan peluang terinfeksi dengue melalui gigitan nyamuk aedes
aigepty juga beberbeda. Tingkat risiko terjangkit penyakit demam
berdarah akan meningkat pada seseorang yang antibody terhadap virus
dengue akibat infeksi pertama.
E. Dampak penyakit
Dampak dari virus dengue dapat menyebabkan gangguan pada
pembuluh darah kapiler serta mengganggu system pembekuan darah.
Hal inilah yang akan mengakibatkan perdarahan bahkan kematian pada
penderita DBD.
F. Problem Solving
1. Pemberantasan vektor
Pemberantasan vektor penularan (Aedes aegypti) merupakan
cara utama untuk, menanggulangi penyakit DBD. Hal ini di
sebabkan karena belum tersedianya vaksin maupun obat-obat untuk
membasmi virusnya. Pemberantasan nyamuk dapat dilakuakan
terhadap nyamuk dewasa maupun jentiknya.
Pemberantasan terhadap sarang nyamuk dewasa dilakuakan dengan
cara penyemprotan/pengasapan dengan insektisida (fogging). Hal
tersebut dilakukan berdasarkan kebiasaan nyamuk yang hinggap
pada benda-benda tergantung, karena itu penyemprotan tidak
dilakukan pada dinding rumah. Inteksida yang digunakan adalah
golongan organofosfat (malathion dan feitrothion), pyretroid (lamba
sihalotrin dan permetrin), serta karbamat. Fogging dilakukan dalam
2 siklus dengan interval 1minggu untuk membatasi penularan virus
dengue. Penyemprotan dengan insektisida ini dalam waktu singkat
dapat membatasi penularan.
Pemberantasan terhadap jentik aedes aegypti dikenal dengan
istlah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan dengan
cara :
a. Kimia
Memberantas jentik dengan menguunakan insektisida
(lavarsia) yang lebih dikenal dengan nama abtisasi. Lavarsia
yang digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang
digunakan adalah granule (butiran halus seperti pasir) dan dosis
yang digunkan sebanyak 1 ppm atau 10 gram (1 sendok makan)
tiap 100 liter air. Temephos mempunyai efek resida selama 3
bulan. Oleh karena itu pemakian temephos harus rutin
dilakukaan secara periodik.
b. Biologi
Secara biologis, pemberantasan jentik dilakukan dengan
cara memeliara ikan pemakan jentik pada tempat-tempat yang
menjadi penempungan air seperti kolam dan vas bunga. Ikan
yang sebiknya digunakan anatara lain ikan kepala timah,ikan
gupi, ikan tempalo, ikan cupang.
c. Fisik
Cara ini lebih dikenal dengan 3M (Meguras, Mengubur,
Menutup). Pengurasan dilakukan pada tempat-tempat
penampungan air seperti bak mandi, bak air, tempayan, Toilet,
vas bunga, dll. Hal ini harus dilakukan sekurang-kurangnya
seminggu sekali. Penutupan tempat penampungan air (TPA)
juga turut dilakukan dengan cara meutup rapat TPA agar
nyamuk tidap dapat masuk untuk berkembangbiak. Lubang
bambu bekas ditebang juga perlu ditutup dengan tanah atau
adonan semen. Mengubur barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat berkabangbiak nyamuk seperti ban bekas,
kaleng, dan botol bekas.
2. Pengamatan terhadap penyakit DBD
Selain dilakukan pemberantasan vektor penular, diperlukan
juga pengamatan terhadap penyakit DBD. Laporan mengenai
penderiata sangat diperlukan agar kejadian DBD dapat juga segera
ditindak lanjuti dengan penyelidikan epidemiologi dan
penaggulangan seperlunya untuk membatasi penyebarab penyakit.
Tujuan pegamatan penyakit DBD adalah untuk :
- Memantau situwasi penyakit DBD sehingga kejadian
wabah/KLB dapat segera diketahui.
- Menekan stratifikasi endemitas penyakit DBD
- Menentukan musim penularan
- Mengetahui perkembangan situasi (tren) penyakit, sehingga
program pemeberantasan penyakit DBD dapat dijalankan secara
efektif dan efesien.
G. Hasil penelitian
1. Jurnal I
- Judul penelitian : Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap
penularan demam berdarah di kota mataram.
- Metode Penelitian : Penelitian dilakukan secara cross sectional.
Pegumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara,
dan pengisian kuisioner serta pengukuran variabel.
- Sampel : Semua kepala keluarga (KK) di 4 kelurahan didaerah
KLB. Selanjutnya besar sampel masing-masing kelurahan
ditentukan secara puposif kemudian diambil 10 kepala keluarga
(KK) dan diambil dengan teknik sampling secara acak simpati
sehingga keseluruhan besar sampel adalah 200 orang kepala
keluarga.
- Pembahasan dan Hasil penelitian :
1. Kepadatan penduduk
Dalam penelitian ini menunjukan bahwa kepadatan
penduduk tidak berperan dalam terjadinya kejadian luar
biasa penyakit DBD di kota Mataram (chi-square, p > 0,05).

2. Mobilitas penduduk
Mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya
KLB penyakit DBD di kota mataram (chi-square, p > 0,05).
Hal ini dapat diterangkan bahwa penduduk di daerah yang
mengalami KLB sama dengan mobilitas di daerah tidak
mengalami KLB penyakit DBD.
3. Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan tidak berperan dalam terjadinya KLB
penyakit DBD di kota Mataram (chi-square, p >0,05). Hal
ini disebabkan karena kenyataan dilapangan menunjukan
kondisi sanitasi lingkungan yang tidak jauh berbeda antara
daerah KLB penyakit DBD tinggi dan di daerah dengan KLB
penyakit DBD rendah.
4. Keberadaan kontainer
Terdapat hubungan bermakna antara keberadaan kontainer
dengan KLB penyakit DBD di kota Mataram (chi-square p <
0,05) dengan resiko relatif (RR) = 2,96. Disamping itu, letak
macam bahan, warna, bentuk, volume dan penutup kontainer
sangat mempengaruhi nyamuk aedes betina untuk
menentukan pilihan tempat bertelurnaya.
5. Kepadatan vector
Data kepadatan vector nyamuk aedes yang diukur dengan
parameter angka bebas jentik (ABJ) yang diperoleh dari
dinas kesehatan kota Mataram, menunjukan bahwa pada 4
kelurahan dengan KLB penyakit DBD didapatkan ABJ
dengan kepadatan tinggi (>85%). Sedangkan pada daerah
control didapatkan 12 kelurahan mempunyai kepadatan AJB
dengan kepadatan tinggi dan sisanya 4 kelurahan
mempunyai AJB dengan kepadatan rendah (<85%). Dengan
demikian dalam penelitian ini, kepadatan vector nyamuk
tidak berperan pada kejadian KLB penyakit DBD.
6. Tingkat pengetahuan DBD
Tidak Nampak adanya peran tingkat pengetahuan
masyarakat tentang penyakit DBD terhadap KLB penyakit
DBD di kota mataram (chi-square p > 0,05).
7. Sikap
Sikap masyarakat terhadap penyakit DBD yaitu semakin
masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati
terhadap penularan penyakit DBD penyakit DBD akan
semakin bertambah (chi-square p < 0,05) dengan RR = 2,24.
8. Tindakan pembersihan sarang nyamuk
Hasil penelitian menunjukan bahwa tindakan 3M berperan
positif terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD
di kota mataram (chi-square p < 0,05) dengan RR = 2,65.
Demikian pula tindakan abatisasi berperan mengurangi
resiko penularan penyakit DBD dikota Mataram (chi-square
p < 0,05) dengan RR = 2,51.
9. Pengasapan (fongging)
Tidak nampak peran tindakana pengasapan (fongging)
terhadap terjadinya KLB penyakit DBD di Mataram (chi-
square p > 0,05). Tidak nampaknya peran tindakan
pengasapan ini dikareankan kuranganya tindakan fongging
di daerah penelitian.
10. Penyuluhan DBD
penyuluhan penyakit DBD yang bermakna terhadap KLB
penyakit DBD di kota mataram (chi-square p > 0,05). Hal ini
disebabkan karena baik dareah KLB penyakit DBD maupun
bukan daerah KLB penyakit DBD sama-sama kurang
mendapatkan penyuluhan dari dinas kesehatan setempat.

2. Jurnal II
- Judul penelitian : Hubungan faktor lingkungan dan perilaku
dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah
kelurahan perumnas Way Halim kota Bandar Lampung
- Jenis dan rancangan penelitian : Rancangan penelitaian
menggunakan observasinal analitik. Metode yang digunakan
adalah pendekatan case control.
- Sampel : Warga perumnas Way Halim kota Bandar Lampung
yang diambil dengan teknik sampling secara acak sehingga
keseluruhan besar sempel adalah 38 orang.
- Hasil penelitian :
a. Hubungan keberadaan breeding place di dalam dan di luar
rumah dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30 responden
(100%) kelompok kasus dari 30 responden (78,98).
Hubungan keberadaan reasting place (tempat peristirahatan
nyamuk) didalam dan di luar rumah dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue.
Dari hasil penelitian 38 responden (100%) kelompok
kasus dan 26 responden (68,4%) kelompok control semua
memiliki reasting pleace potensial perkembangbikan
nyamuk aedes aegypty.
b. Hubungan keberadaan jentik nyamuk aedes aegpty pada
tempat penampungan air dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue.
Dari hasil observasi diperoleh kelompok kasus yang
terdapat jentik aedes aegpty sebanyak 9 responden (23,7%),
dan yang tidak ada sebanyak 29 responden (76,3%).
Sedangkan pada kelompok control yang ada jentik aedes
aegpty sebanyak 2 responden (5,26%) dan yang tidak ada
sebanyak 36 responden (94,7%).
c. Hubungan praktik 3M (menguras, menutup, mengubur)
dengan kejadian Demam Berdarah Dengue.
Dari hasil observasi praktik mengubur barang bekas
diperoleh data bahwa hasil penelitian menunjukan bahwa
pada kelompok kasus melakukan praktik mengubur barang
bekas sebanyak 8 responden (21,05%), dan yang tidak Baik
sebanyak 30 responden (78,94%). Sedangkan pada
kelompok control yang melakukan praktek mengubur barang
bekas sebanyak 16 responden (42,1%) dan yang tidak
melakukan sebanyak 22 responden (57,9%).
d. Hubungan kebiasaan mengantung pakaian dengan kejadian
Demam Beradarah Dengue
Dari hasil observasi menunjukan bahwa pada
kelompok kasus yang praktik kebiasaan mengantung
pakaian sebanyak 33 responden (86,8%) dan yang baik atau
tidak ada sebanyak 5 responden (13,2%). Sedangkan pada
kelompok control yang praktik kebiasaan mengatung
pakaian sebanyak 19 responden (50,0%), dan yang sudah
baik / tidak ada sebanyak 19 responden (50,0%). Hasil uji
chi-square yang dilakukan untuk mengetahui Hubungan
kebiasaan mengantung pakaian dengan kejadian Demam
Beradarah Dengue di peroleh p velue 0,000 yang berati <
0,05. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan kebiasaan
mengatung pakaian dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue.
e. Hubungan pemasangan kawat kasa pada ventilasi dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue
Dari hasil observasi menunjukkan bahwa pada
kelompok kasus yang tidak memasang kawat kasa
fentilasi sebanyak 11 responden (28,9%) dan yang sudah
memasang sebanyak 27 responden (71,1%). Sedangkan
pada kelompok kontrol yang belum memasang kawat kasa
fentilasi sebanyak 3 responden (7,9%) dan yang sudah
memasang sebanyak 35 responden (92,1%). Uji Chi-square
yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) diperoleh p value sebesar 0,038
yang berarti < 0,05. nilai OR = 4,753 (CI 95% OR: 1,206-
18,738.
f. Hubungan penggunaan abate dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue
Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 38 responden
kasus yang tidak menggunakan abate sebanyak 28
responden (73,7%) yang menggunakan 10 responden
(26,3%) sedangkan sebanyak responden kontrol yang tidak
menggunakan abate sebanyak 23 responden (60,5%) yang
menggunakan 15 responden (39,5%) .Dari hasil observasi
diperoleh p value sebesar 0,328 yang berarti > 0,05 nilai
OR = 1,826 (CI 95% OR: 0,691-4,826).
g. Hubungan penggunaan obat nyamuk pada siang dan sore
hari dengan kejadian Demam Berdarah Dengue
Dari hasil observasi menunjukkan bahwa pada
kelompok kasus yang tidak menggunakan obat nyamuk
pada siang dan sore hari sebanyak 15 responden (39,5%)
dan yang memakai sebanyak 23 responden (60,5%).
Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak
menggunakan obat nyamuk pada siang dan sore hari
sebanyak 31 responden (81,6%) dan yang memakai
sebanyak 7 responden (18,4%).

- Pembahasan
a. Hubungan keberadaan breeding place di dalam dan di luar
rumah dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD).
kelompok control semua memliki breeding place
potensial perkembangan nyamuk aedes aegpty seperti bak
mandi, kolam ikan, gentong, dan vas bunga. Berdasarkan
perhitungan hasil uji statistik shi-square tentang hubungan
keberadaan breeding place di dalam dan luar rumah dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue dengan p velue 0,009.
Perhitungan keberadaan breeding place dengan cara
observasi kerumah responden baik yang kelompok kasus
maupun kelompok kontrol.
Berdasarkan perhitungan hasil uji statistic chi-square
hubungan keberadaan reasting place (tempat peristirahatan
nyamuk) didalam dan di luar rumah dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue dengan p velue 0,001. Hal ini menunjukan
hubungan anatara keberadaan reasting place potensial di
dalam dan di luar rumah dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue.
b. Hubungan keberadaan jentik nyamuk aedes aegpty pada
tempat penampungan air dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue.
Keberadaan jentik nyamuk di TPA rumah responden
baik kasus dan control merupakan salah satufaktor resiko
terjadinya Demam Berdarah Dengue,
c. Hubungan praktik 3M (menguras, menutup, mengubur)
dengan kejadian Demam Berdarah Dengue.
Pemberantasan sarang nyamuk adalah kegiatan untuk
memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk aedes
aegpty penular penyakit demam berdarah dengue di tempat-
temapt perkembangbikannya. Kegiatan ini merupakan
penyakit DBD yang dilaksanakan langsung oleh masyarakat
sesuai kondisi dan budaya setempat.
d. Hubungan kebiasaan mengantung pakaian dengan kejadian
Demam Beradarah Dengue
Hasil uji Chi-square yang dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara praktik kebiasaan
menggantung pakaian dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) diperoleh probability value sebesar 0,000
yang berarti < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara praktik Kebiasaan Menggantung Pakaian
dengan kejadian Demam Berdarah Dengue.
e. Hubungan pemasangan kawat kasa pada ventilasi dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue
Ada hubungan antara Pemasangan kawat kasa pada
fentilasi dengan kejadian Demam Berdarah Dengue
Rumah dengan kondisi ventilasi tidak terpasang kasa
nyamuk/strimin, akan memudahkan nyamuk untuk masuk
ke dalam rumah untuk menggigit manusia dan untuk
beristirahat.
f. Hubungan penggunaan abate dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue
Dari hasil observasi diperoleh p value sebesar 0,328
yang berarti > 0,05 nilai OR = 1,826 (CI 95% OR: 0,691-
4,826). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara penggunaan abate dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD)

3. Jurnal III
- Judul penelitian : Analisis faktor risiko perilaku masyarakat
terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di kelurahan
Helvetia tengah, Medan tahun 2005.
- Jenis dan rancangan penelitian : Penelitian bersifat survai
dengan metode cross sectional.
- Sampel : 20 % lingkungan dari 20 kelurahan yaitu sebesar 4
kelurahan. Dan masing masing kelurahan diambil 25 orang.
Sampel dari masing-masing kelurahan ini ditentukan
berdasarkan data dari puskesmas untuk menentukan sampel
yang pernah menderita BDB.
- Pembahasan dan Hasil penelitian :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 65 KK yang
berpengetahuan kurang baik pernah menderita DBD sebesar 31
KK (79,4%) dan tidak pernah menderita DBD 33 KK (55,7%).
Sedangkan dari 35 KK yang berpengetahuan baik menderita
DBD sebesar 8 KK (20,51%) dan yang tidak pernah menderita
DBD sebesar 27 KK (44,26%). Ada hubungan tingkat
pengetahuan responden/masyarakat dengan kejadian DBD di
kelurahan Helvetia Tengah, Medan. Berdasarkan perhitungan
Odds Ratio (OR) risiko kejadian DBD pada responden yang
pengetahuannya kurang baik dengan PR = 2,087.
Berdasarkan penelitian, responden yang terbesar adalah
yang bersikap baik yaitu 56 kk (56,0%) dan yang terkecil adalah
yang bersikap kurang baik yaitu 44 kk (44,0%). Ada hubungan
sikap responden dengan kejadian DBD yang ditandai dengan
besarnya sikap yang kurang baik pernah menderita DBD yaitu
56,0 % dan sikap yang baik pernah menderita DBD lebih kecil
yaitu 44,0 %. Berdasarkan OR risiko kejadian DBD pada
responden yang sikapnya kurang baik lebih besar 2,738 kali
dibandingkan dengan responden yang sikapnya baik dengan
PR= 1,829.
Berdasarkan penelitian bahwa 56 kk yang tindakannya
kurang baik pernah menderita DBD lebih besar yaitu 30 kk
(76,92 %) dan yang tidak pernah menderita BDB yaitu 26 kk
(42,62%) sedangkan dari 44 kk yang tidakkannya lebih baik
tidak pernah menderita DBD lebih besar yaitu 36 kk (57,38 %)
dan yang pernah menderita DBD terkecil yaitu 9 kk (23,08 %).
Ada hubungan antara tindakan responden dengan kejadian DBD
di mana tindakan yang kurang baik pernah menderita DBD lebih
besar yaitu 76,92 % dan terkecil yaitu 23,08%. Berdasarkan
perhitungan OR risiko kejadian DBD pada responden yang
tindakannya kurang baik lebih besar 4,487 kali dibandingkan
dengan responden yang tindakkannya baik dengan PR= 2,619.

a. Jurnal IV
- Judul penelitian : Studi Kohort Kejadian Penyakit DBD di
Wilayah Kecamatan Sawahan Kota Surabaya Tahun 2010
- Jenis dan rancangan penelitian : Penelitian ini adalah penelitian
analitik observasional dengan rancangan Kohort.
- Sampel : 1.092 rumah dan 4.549 orang responden dari tiga
kelurahan di kecamatan Sawahan.
- Hasil penelitian dan pemabahasan :
Dari tiga faktor risiko terhadap kejadian penyakit DBD di
wilayah kecamatan Sawahan kota Surabaya yaitu: kepadatan
hunian secara statistik tidak ada hubungan dengan kejadian
penyakit DBD (p=0,269 dengan RR=1,242), keberadaan TPA
dengan status MI yang tinggi secara statistik tidak ada hubungan
dengan kejadian penyakit DBD (p=1,000 dengan RR=1,028),
perilaku penduduk melksanakan 3M (p= 1,000 dengan RR=
1,003), membuka jendela pagi hingga sore hari (p=1,000 dengan
RR=1,003),tidr dipagi hari (p=0,163 dengan RR=2,041), tidur
disore hari (p=1,000 dengan RR= 0,814) dan membuka jendela
(p=1,000 dengan RR= 1,042) menunjukkan tidak ada
hbungannnya dengan kejadian penyakit DBD.
Dari hasil penelitian menunjukkan, dari 1092 rumah
terdapat 502 (46%) rumah dengan kategori padat dengan
penghuni 4549 jiwa dan 590 rumah (54%) tidak padatdengan
penghuni 2620 jiwa. Dari penelitian terdapat paparan kejadian
penyakit DBD sebanyak 21 orang (0,46%). Dari subyek
keberadaan tempat penampungan air menunjukkan tidak ada
hubungannya dengan kejadian penyakit DBD, dengan nilai RR=
1,028 karena hamper semua barang bekas milik warga
dikumpulkan dan dikelola kemudian dijual. Dari perilaku
penduduk melaksanakan kegiatan 3M, dari 4549 orang terdapat
15 orang (0,3%)yang tidak melaksamakan kegiatan 3M dengan
RR= 1,003. Dari perilaku tidur dipagi hari, menunjukkan tidak
ada hubungan dengan kejadian DBD dengan RR=2,041. Serta
dari hasil penelitian yang berpusat pada perilaku membuka
jendela menunjukkan sebanyak 96,0% yang biasa membuka
jendela dipagi hari hingga sore hari. Hal ini menunjukkan tidak
ada hubungan dengan kejadian DBD dengan RR= 1,042%.

H. Daftar pustaka
https://ayups87.wordpress.com/2013/05/17/empat-virus-penyebab-db/
http://repository.maranatha.edu/8848/3/1010116_Chapter1.pdf
Pertanyaan :

1. Mengapa virus dengue dapat menyebabkan kematian?


Jawab: Karena apabila pasien tidak segera diberikan penanganan lanjut
maka akan mengalami perdarahan yang hebat serta nilai kadar trombosit
menurun dan menyebabkan darah sukar membeku.

2. Apa yang dimaksud dengan viremia?


Jawab: viremia adalah masuknya virus ke dalam darah.

3. Apa dampak yang akan terjadi pada janin apabila ibu hamil mengalami
DBD?
Jawab:Apabila ibu hamil pada trimester pertama mengalami DBD dan tidak
menerima penanganan lebih lanjut, dapat menyebabkan abortus pada janin
karena pada DBD tingkat lanjut akan terjadi penurunan trombosit.

4. Apakah makanan dapat menularkan virus dengue?


Jawab: Makanan tidak dapat menularkan virus dengue karena virus dengue
hanya dapat berinteraksi langsung dengan darah.

5. Mengapa di Wonogiri mempunyai prevalensi yang tinggi untuk kematian


pasien DBD?
Jawab: kurangnya pengetahuan dan sikap mengenai Demam berdarah
dengue dan kelembapan udara di daerah wonogiri yang cukup lembab
sehingga perkembangbiakan nyamuk aedes aegpty tinggi di daerah
wonogiri.

Anda mungkin juga menyukai