Anda di halaman 1dari 9

7 ALASAN MENJAUHI MLM

Oleh: Imtihan asy-Syafi'i *

"Jangan bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah memahami agama." ('Umar bin
Khaththab ra.)

Ahmad didatangi Rudi, kawan lamanya. Rudi menawarkan beberapa buah produk dengan
segudang manfaat, namun tidak dijual bebas. Kata Rudi, jika Ahmad berminat, ia disarankan
untuk mendaftar menjadi member sebuah perusahaan MLM yang diikutinya. Dengan begitu,
Ahmad bisa mendapatkan produk-produk eksklusif itu dengan diskon khusus plus. Plus-nya
adalah Ahmad berkesempatan mensponsori/ merekrut kawan-kawannya untuk turut
bergabung, dan atas usahanya itu ia akan mendapatkan bonus. Bonus akan semakin besar jika
mereka yang telah direkrut Ahmad berhasil merekrut lagi, begitu dan seterusnya. Bonusnya
pun bermacam-macam. Mulai dari uang berjumlah jutaan rupiah, sepeda motor, rumah
mewah, kapal pesiar, dan bahkan pembiayaan pelaksanaan ibadah haji. Mungkin ada di
antara pembaca yang pernah diprospek—begitu orang-orang MLM menyebutnya—seperti
tergambar dalam ilustrasi di atas.
Multi Level Marketing (MLM) atau ada juga yang menyebut dengan Network Marketing
telah dikenal di Indonesia sejak lebih dari 15 tahun yang lalu. Banyak perusahaan MLM
mengklaim sistem dan produk mereka telah mendapatkan sertifikat halal dari pihak
berwenang. Benarkah demikian?

Prinsip-prinsip Muamalah Islam


Prinsip-prinsip Muamalah berbeda dengan prinsip-prinsip akidah ataupun ibadah. Dr.
Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah al-Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy
menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:
1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa
nash berikut:
a. Firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian
dengan cara yang batil; kecuali dengan cara perdagangan atas dasar kerelaan
di antara kalian." (QS. An-Nisa`: 29)
"Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan
janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat
memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)
b. Firman Allah,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah:
275)
c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar
(mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam
as-Sunanul Kubra, 5/338)
2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalat adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis
muamalat pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih
yang melarangnya, atau model/jenis muamalat itu bertentangan dengan prinsip
muamalat Islam. Dasarnya adalah firman Allah,
"Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas
nama Allah.'." (QS. Yunus: 59)
3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya tetap,
konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal
akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah
sampai kapan pun. Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam—khususnya dalam
muamalah—bersifat murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan
adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tsubut.
4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan
disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalat adalah menjaga
dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalat kembali kepada
hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah
(dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akad—seperti jual beli, sewa menyewa,
dlsb.—disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan
kesulitan dari mereka.
Bertolak dari sini, banyak hukum muamalat yang berjalan seiring dengan maslahat
yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau
maslahatnya hilang, maka hukum muamalat itu pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam
menyatakan, "Setiap aktivitas yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas
itu hukumnya batal."
Dengan bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz. Asy-Syathibiy
berkata, "Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang
mu'tabar (diakui) menurut syariat."

Yang Diharamkan dalam Muamalat


Dalam Majmu' Fatawa 28/385, Ibnu Tamiyah mengisyaratkan bahwa pengharaman semua
muamalat di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah lantaran di dalam muamalat itu ada kezhaliman,
riba, perjudian, dan ketidakjelasan (gharar).
Secara lebih terperinci Dr. Rafiq Yunus al-Mishriy menginventarisir perkara-perkara yang
diharamkan dalam muamalat Islam, di antaranya:
1. Riba. Riba adalah tambahan yang diberikan karena pertambahan waktu. Misalnya,
seseorang meminjam uang senilai 100 gram emas selama satu tahun; disepakati dia
harus mengembalikannya pada waktunya dengan uang senilai 110 gram emas. Ini
jenis riba yang hari ini banyak dipraktikkan oleh perbankan konvensional-kapitalis.
2. Perjudian. Perjudian adalah upaya saling merugikan, hal mana pihak-pihak yang
terlibat tidak mengetahui siapa yang akan mendapatkan harta mereka. Di dalam
perjudian ada berbagai mudharat, yaitu: membiasakan orang untuk malas, membuat
kecanduan, mendorong bobroknya rumah tangga, dan sejatinya perjudian bukanlah
aktivitas ekonomi.
3. Gharar/jahalah. Gharar (spekulasi) didefinisikan oleh para fuqaha kemungkinan,
keraguan, ketidakjelasan, dan ketidakpastian; apakah akan mendapatkan suatu hasil
ataukah tidak. Para fuqaha memerinci gharar menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Gharar fil wujud, yakni spekulasi keberadaan, seperti menjual sesuatu anak
kambing, padahal induk kambing belum lagi bunting.
b. Gharar fil hushul, yakni spekulasi hasil, seperti menjual sesuatu yang sedang
dalam perjalanan, belum sampai ke tangan penjual.
c. Gharar fil miqdar, yakni spekulasi kadar, seperti menjual ikan yang terjaring
dengan sekali jaring sebelum dilakukannya penjaringan.
d. Gharar fil jinsi, yakni spekulasi jenis, seperti menjual barang yang tidak jelas
jenisnya.
e. Gharar fish shifah, spekulasi sifat, seperti menjual barang yang spesifikasinya
tidak jelas.
f. Gharar fiz zaman, spekulasi waktu, seperti menjual barang yang masa
penyerahannya tidak jelas.
g. Gharar fil makan, spekulasi tempat, seperti menjual barang yang tempat
penyerahannya tidak jelas.
h. Gharar fit ta'yin, spekulasi penentuan barang, seperti menjual salah satu baju
dari dua baju, tanpa dijelaskan mana yang hendak dijual.
Terkait dengan gharar ini, para fuqaha menyatakan, gharar yang diharamkan adalah
gharar yang terang dan banyak—seperti menjual ikan di dalam kolam, sedangkan
gharar yang sedikit—seperti menjual jeruk tanpa dikupas terlebih dahulu—
dimaafkan.
Perlu dicatat bahwa mudharat gharar berada di bawah mudharat riba, spt dinyatakan
oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 29/25.
4. Ihtikar. Yakni membeli barang dengan tujuan menimbunnya untuk dijual ketika
harganya tinggi. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang menimbun, dia telah
berbuat salah." (HR. Muslim, 11/43)
5. Ghubn. Yakni menaikkan harga barang melebihi harga umum (mark up). Ghubn ada
dua: ghubn fahisy (jelas/besar) dan ghubn yasir (kecil). Meskipun para ulama berbeda
pendapat mengenai kadar maksimal ghubn yasir, naum mereka sepakat bahwa mark
up lebih dari 33% termasuk ghubn fahisy. Ghubn fahisy hukumnya haram bagi
penjual, karena adanya unsur penipuan, sedangkan bagi pembeli, menurut sebagian
fuqaha dia tidak berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya, lantaran dia
tidak menanyakan terlebih dahulu kepada orang-orang yang lebih tahu/
berpengalaman. Sedangkan menurut sebagian yang lain, dia berhak mengembalikan
barang yang telah dibelinya.
6. Najasy. Yakni menaikkan harga barang supaya calon pembeli tertarik lantaran
menduga barang yang mahal adalah barang yang baik/berkualitas. Najasy haram,
tetapi jual belinya tetap sah, menurut para fuqaha. Pelaku najasy berdosa, sedangkan
pembeli keliru karena tidak berhati-hati dan bertanya kepada berbagai pihak yang
mengetahui harga dan kualitas barang.
7. Israf. Israf yakni melampaui batas/ berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta
melebihi batas kebutuhan. Setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi sikap israf
dan membuang-buang harta. Allah berfirman,
"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan!" (QS.
8. Zhulm. Zhulm atau berbuat zhalim dilarang Islam dalam seluruh aspek kehidupan;
termasuk dalam muamalat. Selain ayat-ayat yang telah disebutkan di depan,
Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh mendatangkan mudharat untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain." (HR. Ibnu Majah).
9. Ghashab. Ghashab adalah mengambil hak orang lain secara terang-terangan, berbeda
dengan pencurian yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hukum ghashab haram,
meskipun harta yang diambil tidak mencapai nishab pencurian.

Menimbang MLM
Seratus perusahaan MLM seratus pula model praktiknya, sehingga hukumnya pun tidak boleh
disamakan begitu saja. Masing-masing mesti dikaji kasus per-kasus. Yang pasti, hukum asal
segala bentuk muamalat adalah boleh.
Siapa pun yang hendak terjun ke dunia kerja—apa pun itu, termasuk MLM—berkewajiban
untuk mengilmui dunia yang hendak diterjuninya sebelum dia menceburkan diri ke
dalamnya, jika ingin mendapatkan keridhaan Allah dan hidupnya diberkahi. Ahlussunnah
sepakat, al-'ilmu qablal qawli wal 'amal (ilmunya dulu, baru bicara atau bekerja). Biasanya,
jika sudah terlanjur mencebur, seseorang akan cenderung mencari-cari pembenaran atas apa
yang dilakukannya, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah.
Dari beberapa praktik MLM yang menjamur, penulis belum mendapati MLM yang selamat
dari berbagai perkara yang diharamkan di dalam muamalat. Di antara perkara-perkara yang
diharamkan dan selalu ada dalam salah satu MLM—setidaknya sampai makalah ini ditulis—
adalah:
1. Keluar dari Tujuan Utama Jual Beli
Tujuan utama dari membeli suatu produk/barang adalah memiliki produk/barang
tersebut karena suatu kebutuhan. Saat seseorang bergabung dalam sebuah MLM,
mungkin tujuan semulanya adalah mendapatkan harga murah (diskon khusus
member). Namun seiring dengan bergulirnya waktu, ia akan didorong untuk mencari
member baru dan mengokohkan jaringan—baik piramida, binary, maupun yang
lain—ditambah dengan membeli produk sampai batas tertentu (tutup poin) untuk
mendapatkan bonus. Pay to play. Jika tidak menutup poin, maka keseluruhan atau
sebagian bonus akan hilang.
Membeli produk demi bonus hukumnya sama dengan hukum menerima bonus. Para
fuqaha` punya kaidah, lilwasaail hukmul maqaashid (hukum sebuah sarana sama
dengan hukum tujuannya) dan al-umuuru bimaqaashidiha (hukum semua perkara
tergantung kepada maksudnya). Jika hukum menerima bonus jenis ini—tidak semua
jenis bonus hukumnya mubah—haram, maka hukum membeli dengan tujuan
mendapatkan bonus jenis ini pun haram.
2. Bonus yang riba
Dalam fatwa no. 22935 tertanggal 14/3/1425 H. Lajnah Daimah lil Buhuts al-'Ilmiyah
wal Ifta` yang diketuai oleh Syaikh `Abdul`Aziz Al al-Syaikh dan beranggotakan
Syaikh Shalih al-Fawzan, Syaikh `Abdullah al-Ghudayan, Syaikh `Abdullah al-
Mutlaq, Syaikh `Abdullah al-Rakban, dan Syaikh Ahmad al-Mubaraki menyatakan
bahwa belanja yang dilakukan oleh member dengan tujuan mendapatkan bonus uang
dan yang lainnya termasuk riba. Dua jenis riba, fadhal dan nasi`ah ada pada transaksi
tersebut. Yang demikian itu karena umumnya member berbelanja dengan tujuan
menutup poin supaya mendapatkan bonus yang jumlahnya lebih besar daripada uang
yang dikeluarkannya. Mengeluarkan uang yang sedikit untuk mendapatkan uang yang
lebih banyak adalah riba fadhal. Mengeluarkan uang sekarang untuk mendapatkan
uang di kemudian hari adalah riba nasi`ah.
3. Bonus yang gharar
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. yang berisi larangan
jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan/spekulasi). Dalam praktiknya, bonus
yang dijanjikan kepada member dengan syarat tutup poin belumlah pasti alias
spekulatif atau mengandung gharar.
Besarnya bonus yang akan diterima oleh member dikaitkan dengan besarnya belanja
downline-downline yang ada di bawahnya. Padahal besarnya belanja para downline
tidaklah pasti. Bahkan belanja-tidaknya mereka pun tidak pasti. Mau menutup poin,
jangan-jangan para downline tidak belanja banyak. Tidak menutup poin, jangan-
jangan para downline belanja banyak.
4. Dua macam transaksi dalam satu transaksi
Ketika seseorang mendaftar menjadi member sebuah MLM dengan membayar
sejumlah uang, dia mendapatkan produk/barang atau tidak mendapatkannya. Baik
mendapatkan maupun tidak, dua-duanya mempraktikkan dua transaksi dalam satu
transaksi.
Bagi yang mendapatkan barang, mungkin barang yang didapatnya itu diperoleh atas
pembayaran yang dilakukannya. Itu satu transaksi. Transaksi kedua yang
dilakukannya adalah dia mendaftar untuk menjadi pencari member.
Bagi yang tidak mendapatkan barang, selain dia mendaftar untuk menjadi pencari
member, dia telah bertransaksi riba: membayar sejumlah uang untuk mendapatkan
uang (bonus) yang lebih besar.
Mengenai dua macam transaksi dalam satu transaksi—bahkan jika keduanya sama-
sama boleh—dilarang oleh Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, al-Bazzar, dan al-Haytsamiy.
5. Akad di atas akad
Setelah bersepakat mengenai adanya dua transaksi dalam satu transaksi, para ahli fiqh
kontemporer berbeda pendapat: termasuk jenis akad apakah pencarian downline oleh
member. Sebagian berpendapat, itu termasuk akad wakalah bil ujr. Dalam hal ini
member menjadi agen MLM untuk menjual barang dan mencari member sehingga dia
mendapatkan bonus. Sebagian berpendapat, itu termasuk akad samsarah; hal mana
member menjadi broker atau makelar yang menghubungkan antara perusahaan MLM
dengan member baru. Sebagian yang lain berpendapat, pencarian downline ini
termasuk akad ju'alah; hal mana member mendapatkan bonus (yang masih belum
jelas) apabila berhasil merekrut downline.
Sampai di situ tidak bermasalah. Masalahnya adalah bonus yang didapat oleh member
bukan merupakan cerminan member terikat dengan salah satu dari akad yang
diperdebatkan itu. Nyatanya, member terikat dengan salah satu dari akad itu secara
bertingkat. Wakalah bil ujr 'ala wakalah bil ujr 'ala wakalah bil ujr dan seterusnya,
atau samsarah 'ala samsarah 'ala samsarah dan seterusnya, atau ju'alah 'ala ju'alah
'ala ju'alah dan seterusnya. Bonus yang diterima oleh member adalah persentase yang
dikaitkan dengan belanja para downline yang berada tepat di bawahnya, ditambah
dengan persentase yang dikaitkan dengan belanja para downlie di bawah para
downline yang berada tepat di bawahnya dan seterusnya.
Bonus dari downlinenya downline dan seterusnya inilah yang dipertanyakan. Dalam
konsep Islam, pindahnya kepemilikan harus jelas transaksi yang mendasarinya. Jika
tidak, ini termasuk mengambil harta orang lain (dalam hal ini perusahaan) secara
batil. Batil dalam pengertian tidak berdasarkan aturan Islam.
6. Kebohongan Terselubung
Seringkali perusahaan MLM mengklaim, harga produk mereka lebih murah daripada
harga produk sejenis yang dipasarkan secara konvensional karena dengan MLM
mereka dapat memangkas bea iklan dan distribusi. Mereka sering mengatakan MLM
tidak perlu beriklan. Juga, selisih antara biaya produksi dan harga jual produk non-
MLM jauh lebih tinggi daripada selisih antara biaya produksi dan harga jual produk
MLM.
Nyatanya, beberapa MLM beriklan di media massa. Selain itu, jika dinalar dan
dihitung secara cermat, selisih antara biaya produksi dan harga jual produk MLM
harus tinggi. Jika tidak, perusahaan tidak akan dapat memberikan bonus jutaan rupiah,
mobil mewah, rumah elit, kapal pesiar, dan lain-lain kepada member.
Penulis pernah menghitung. Ternyata selisih antara biaya produksi dan harga jual
(harus) lebih dari 100 persen. Produk yang memakan biaya produksi Rp. 25.000 harus
dijual dengan harga di atas Rp. 50.000. Jika tidak, bonus-bonus yang dijanjikan hanya
akan menjadi isapan jempol belaka.
Masih banyak lagi kebohongan-kebohongan terselubung yang seringkali dilakukan
oleh member ketika memprospek calon member. Misalnya, bonus besar dengan
modal kecil, mereka yang gagal adalah yang tidak bekerja keras, dan lain sebagainya.
7. Sejarah MLM
Adalah Charles K. Ponzi yang lahir di Itali pada tahun 1882. Dia bermigrasi ke
Canada pada tahun 1903. Dia ditangkap karena melakukan pemalsuan dan dipenjara
di sana. Sepuluh hari lepas dari penjara, kembali dia ditangkap karena melakukan
penyelundupan orang ke Amerika dan kemudian ditahan penjara Atlanta.
Pada tahun 1920 Ponzi dan perusahaan jasanya “Kupon Pos” di Boston menjadi
perbincangan di Pantai Timur Amerika karena berhasil meraup 9,5 juta dollar dari
10.000 investor dalam waktu singkat. Ponzi menjual surat perjanjian yang berbunyi:
“Dapatkan 55 sen untuk setiap sen, hanya dalam waktu 45 hari.”.
Ponzi kemudian disidangkan dengan tuduhan melakukan penipuan finansial dengan
metode “Buble Burst” (secara harfiyah berarti ledakan gelembung), dan kemudian
dikenal dengan “Skema Ponzi” atau "Skema Piramida" yang menjadi cikal bakal
sistem MLM.
Wallahu a'lam.
triplecgroups@gmail.com

Bagaimana rezeki berkah?


Bagaimana Allah membuka pintu rezeki lagi.

 Alumni Ma'had 'Aly Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Email:


imtihan.syafii@gmail.com

Cek: biznas

Anda mungkin juga menyukai