STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Y
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Palapa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 11 April 2019, pukul 09.10 WIB
No.RM : 068176
1
Riwayat penyakit dahulu
2
4. Mulut
Bibir kering (-), Sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah pucat (-), lidah kotor
(-), atrofi papil (-), pembesaran tonsil (-).
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus externus lapang,
tidak ada keluar cairan.
6. Leher
JVP R-2 cmH2O, struma (-), pembesaran KGB (-).
7. Thoraks
Paru
Inspeksi: statis: simetris, tidak ada dada yang tertinggal. dinamis: kiri
sama dengan kanan, tidak ada dada yang tertinggal. Tidak
ada otot bantu pernapasan tambahan, retraksi dinding dada
(-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus normal pada kedua paru.
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS
VI dengan peranjakan 1 jari, batas paru-lambung ICS VII.
Auskultasi: vesikuler (+) di kedua paru, Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung
3
10. Ekstremitas: palmar eritem (-/-), edema pretibial (-/-), akral hangat (+/+),
CRT < 2 detik (+/+)
Primary Survey :
A : Clear
B : Patent, RR : 20x/menit
C : nadi : 94x/menit, reguler TD : 130/80 mmhg
D : GCS 15, E4M6V5, defisit neurologis tidak ada
E : - Hematoma er palpebra superior
- Hematoma er frontalis dextra
- Vulnus ekskoriasi er frontalis sinistra, diameter 2cmx2cm
- Vulnus ekskoriasi er nasolabialis, diameter 3cmx1cm
- Multiple vulnus ekoriasi er manus
- ROM baik
4
Tulang tengkorak tampak intact,
densitas baik.
Kesan: Normal
V. DIAGNOSIS
CKR GCS 15 + Hematoma er palpebra superior sinistra + Hematoma er
frontalis + multiple vulnus ekskoriasi
5
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
1. Head CT Scan
IX. PROGNOSIS
Quo Ad vitam: dubia ad bonam
Quo Ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua
pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh
lainnya (Smeltzer, 2002).
2.2. Cedera Kepala
2.2.1. Definisi
8
akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda
berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013
hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9
persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.
Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor
yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah
(Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala
akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian
dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak
jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di
negaranegara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya
cedera kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan
di negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).
Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar 200 per
100.000 orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah suatu
angka yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan
Harrison, 2010). Data yang diperoleh dari Center of Disease Control and
Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala di Amerika
Serikat adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan
Menon, 2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah
sekitar 235 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006).
Insidensi cedera kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000
orang setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004,
terdapat sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di
Negara China Timur (Wu, dkk, 2008).
Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian orang dewasa yang
berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia 1 sampai 15 tahun
9
(Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak merupakan cedera kepala
derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan cedera kepala ringan
memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan baik pula.
Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera kepala
ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan
intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan
yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki
disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan Glasgow Outcome Scale
(GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera
kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).
Pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih parah,
prognosisnya jauh lebih buruk. Sekitar 30% dari pasien yang diterima di rumah
sakit dengan Glasgow Coma Scale (GCS) <13 akhirnya akan meninggal.
Mortalitas pasien-pasien dengan GCS ≤ 8 setelah dilakukan resusitasi adalah
sekitar 50%. Pasien-pasien yang diterima di rumah sakit dengan GCS ≤ 12, sekitar
8% pasien tersebut akan meninggal dalam 6 jam pertama, dan 2% akan meninggal
dalam 1 jam pertama. Manifestasi jangka panjang pasien-pasien dengan cedera
kepala berat jauh lebih buruk disbanding dengan pasien dengan cedera kepala
ringan. Hanya sekitar 20% pasien dengan cedera kepala berat dapat pulih dengan
baik diukur dengan GOS (Moppett, 2007).
2.2.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial
dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering
dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari
10
kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20
sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan
sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu : 1. Trauma Primer,
terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi). 2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf
(melalui akson) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistemik (Sibuea, 2009).
1.Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002).
Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan
kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial menurun
sesuai dengan peningkatan usia (Amacher, 1987). Hal ini karena pada usia tua
11
berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein
pada usia tua (Narayan, 2000).
2.Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi
hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera
sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan
hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan
(Bowers, 1980).
12
kematian tiga kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi
dengan peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90%
pasien cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat iskemik
(Stieffel, 2005).
3.Hipoksia
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena
pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan
efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan
didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada
tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk
menilai beratnya cedera pada cedera kepala. Glasgow Coma Scale seharusnya
telah diperiksa pada penderita saat awal cedera terutama sebelum mendapat obat-
obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut,
2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh
13
yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan
faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang
rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan
Cunningham, 1984).
14
reaksi pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada
tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008).
15
Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut
yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan GCS
<14 (Mills, 2004). Lobato (1983), mengelompokkan hasil CT scan berdasarkan
bentuk anatomi menjadi delapan kelompok. Pengelompokan ini memperlihatkan
hasil prediksi yang lebih kuat tabel 2.4
No Lesions 32
Extracerebral Hematoma 15
Bilateral Swelling 12
16
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT Scan
kepala (Ibanez, 2016).
8.Faal hemostasis
17
membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut hemostasis
primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam
plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang
memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007). Dalam penelitian Baroto
(2007) disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses patologis yang
menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati
secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak
langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala karena pelepasan
faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan
koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran darah sistemik
mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang akan
didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah penurunan
jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan
masa tromboplastin parsial teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta
penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan PT, APTT, dan TT merupakan
akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan otak yang mengalami trauma
yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah. Stein
menyebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala
meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan
korelasinya dengan pemanjangan PT.
2.2.5. Klasifikasi1,2,3,6
18
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka
tembak.
1. Fraktur Kranium
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Perdarahan Subdural
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri
sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa
19
jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung
kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia
pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
20
dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala
dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Test Skor
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Follow commands 6
21
None 1
Oriented conversation 5
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS
1415 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association
of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
GCS 13 -15
GCS 9-12
22
Amnesia post traumatic > 7 hari
GCS 3-8
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT
scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah
sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9 (George, 2009).
2.2.6. Patogenesis5
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di
daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi
terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
23
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak
berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini
menimbulkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan
hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse
Axonal Injury (Iskandar, 2002).
24
yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari
telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien
mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya
tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis,
atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal
pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural,
yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang,
atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk
melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom
epidural dan hematom subdural (Pierce & Neil, 2014).
4.Diagnosis Cedera Kepala
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk
mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus
ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan
sistem organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke
rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam,
mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi
sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat, 2010).
2.2.9. Penatalaksanaan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah
sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat
kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan
25
dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau
menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana
spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada
laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi
lanjut pada meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk
penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).
2.1.10. Komplikasi6
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi
saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian).
Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.
26
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat
cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).
27
BAB III
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
28
Faktor resiko Pada pasien ini tidak mempunyai
faktor resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi penanganan
pasien :
3.Hipoksia
1.Fraktur Kranium
2.Perdarahan Epidural
3.Perdarahan Subdural
5.Commosio cerebri
29
seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi.
30
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang
cedera kepala ringan adalah pasien tertidur
atau kesadaran yang menurun selama beberapa
saat kemudian sembuh, sakit kepala yang
menetap atau berkepanjangan, mual dan atau
muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang
menurun, perubahan kepribadian diri, letargik.
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang
cedera kepala berat adalah perubahan ukuran
pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut
jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan) apabila meningkatnya tekanan
intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
4. Pemeriksaan neurologis
menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial
(Ginsberg, 2007).
31
3. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien ini dilakukan rontgen
schedel dan tidak dilakukan
1. Radiografi kranium: untuk pemeriksaan head ct scan karena
mencari adanya fraktur, jika pasien fasilitas kurang memadai
mengalami gangguan kesadaran sementara
atau persisten setelah cedera, adanya tanda
fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada
basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada
regio temporoparietal pada pasien yang tidak
sadar menunjukkan kemungkinan hematom
ekstradural, yang disebabkan oleh robekan
arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
32
(Sjamsuhidayat, 2010).
33
dengan penurunan kesadaran. • Paracetamol 3x500mg PO
34