Anda di halaman 1dari 34

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. Y
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Palapa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 11 April 2019, pukul 09.10 WIB
No.RM : 068176

II. ANAMNESIS (11 April 2019)


Keluhan utama : Nyeri dan bengkak dikelopak mata bagian atas sebelah kiri
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Padang Pariaman diantar oleh suami karena
kecelakaan lalu lintas akibat menghindari mobil yang melaju kencang sekitar
20 menit sebelum masuk rumah sakit. Kepala jatuh mengenai aspal dengan
posisi terjatuh posisi telungkup.
Pasien mengeluhkan nyeri dan bengkak pada kelopak mata bagian atas
sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan nyeri dan bengkak pada dahi sebelah
kanan.
Nyeri kepala (+), mual (+), muntah disangkal, riwayat pingsan (+) sekitar
5-10 menit lalu pasien sadar kembali, kejang sebelumnya disangkal.
Pasien juga mengeluhkan nyeri dan luka lecet di sekitar tangan dan bibir.
Pandangan kabur disangkal. Penurunan pendengaran disangkal.
Kelemahan angota gerak disangkal. Kesulitan bernapas disangkal. Keluar
perdarahan dari telinga dan mulut disangkal namun pasien mengatakan ada
keluar darah dari hidung namun saat ini tidak ada mengeluhkan perdarahan
dari hidung.

1
Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat kejang disangkal


 Riwayat alergi obat disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat suka minuman alkohol disangkal

Riwayat penyakit dalam keluarga

 Riwayat asma disangkal


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat stroke disangkal
 Riwayat keluarga sakit yang sama dengan pasien disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK (11 April 2019)


Keadaan umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS 15 = E4M6V 5
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 94x/menit
Frekuensi pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 370C
Keadaan spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, ekspresi tampak sakit sedang, warna rambut hitam
2. Mata
Edema palpebra (-/-), konjungtiva palpebral pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), diameter 3mm/3mm.
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), cavum nasi lapang,
tidak keluar cairan, epistaksis (-).

2
4. Mulut
Bibir kering (-), Sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah pucat (-), lidah kotor
(-), atrofi papil (-), pembesaran tonsil (-).
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus externus lapang,
tidak ada keluar cairan.
6. Leher
JVP R-2 cmH2O, struma (-), pembesaran KGB (-).
7. Thoraks
Paru
 Inspeksi: statis: simetris, tidak ada dada yang tertinggal. dinamis: kiri
sama dengan kanan, tidak ada dada yang tertinggal. Tidak
ada otot bantu pernapasan tambahan, retraksi dinding dada
(-)
 Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus normal pada kedua paru.
 Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS
VI dengan peranjakan 1 jari, batas paru-lambung ICS VII.
 Auskultasi: vesikuler (+) di kedua paru, Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung

 Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat.


 Palpasi: ictus cordis tidak teraba.
 Perkusi: batas atas ICS II, batas kanan ICS IV linea sternalis dextra,
batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi: HR 94 x/menit, reguler, tidak ada pulsus defisit, HR=PR,
murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : datar, venektasi (-), massa (-)
 Palpasi : soepel, hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-)
 Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-).
 Auskultasi : peristaltik (+) normal 3 kali/menit

9. Genitalia: tidak diperiksa

3
10. Ekstremitas: palmar eritem (-/-), edema pretibial (-/-), akral hangat (+/+),
CRT < 2 detik (+/+)
Primary Survey :
A : Clear
B : Patent, RR : 20x/menit
C : nadi : 94x/menit, reguler TD : 130/80 mmhg
D : GCS 15, E4M6V5, defisit neurologis tidak ada
E : - Hematoma er palpebra superior
- Hematoma er frontalis dextra
- Vulnus ekskoriasi er frontalis sinistra, diameter 2cmx2cm
- Vulnus ekskoriasi er nasolabialis, diameter 3cmx1cm
- Multiple vulnus ekoriasi er manus
- ROM baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium (11 April 2019)
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 15,5 g/dl 13 – 17 g/dl
Eritrosit 5,2 jt/mm3 4,5-5,5 jt/mm3
Leukosit 10.470 /mm3 5000-10.000 /mm3
Hematokrit 46 % 40-48%
Trombosit 254.000 150.000-450.000
GDS 146 <200 mg/dl

Rontgen Schedel posisi AP/Lateral (11 April 2019)

4
Tulang tengkorak tampak intact,
densitas baik.

Kesan: Normal

V. DIAGNOSIS
CKR GCS 15 + Hematoma er palpebra superior sinistra + Hematoma er
frontalis + multiple vulnus ekskoriasi

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Epidural Hematoma
2. Fraktur Basis Kranii
VII. TATALAKSANA
Non farmakologis
 Tirah Baring Semifoler
 Total Bedrest
 Edukasi
 O2 2-4L/m nasal kanul
 Wound toilet
Farmakologis
 IVFD NaCl 0, 9% 28 gtt/menit
 Ceftriaxone 2x1 gr (iv), skin test
 Vitamin K 3x1 (iv)
 Transamin 3x1 (iv)
 Vitamin C 3x1 (iv)
 Paracetamol 3x500mg PO

5
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
1. Head CT Scan

IX. PROGNOSIS
Quo Ad vitam: dubia ad bonam
Quo Ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latar Belakang


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya
diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian.
Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik
maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang
peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera
kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh
dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan
yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan
akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal
dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin
memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala
berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk
menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala
menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
(Wahjoepramono, 2005).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia
kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari
jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih
dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala
tersebut (Depkes, 2012).
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera
kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun

7
dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua
pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh
lainnya (Smeltzer, 2002).
2.2. Cedera Kepala
2.2.1. Definisi

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau


deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil, 2006). Cedera kepala sebagai penyakit neurologi yang serius
diantara penyakit neurologi yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (60%
kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera
kepala). Faktor kontribusi terjadinya kecelakaan seringkali adalah konsumsi
alkohol (Ginsberg, 2005).
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan
otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pebengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan TIK (Smetlzer & Bare, 2006).
2.2.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian
disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma
berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian

8
akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda
berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013
hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9
persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.
Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor
yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah
(Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala
akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian
dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak
jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di
negaranegara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya
cedera kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan
di negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).
Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar 200 per
100.000 orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah suatu
angka yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan
Harrison, 2010). Data yang diperoleh dari Center of Disease Control and
Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala di Amerika
Serikat adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan
Menon, 2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah
sekitar 235 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006).
Insidensi cedera kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000
orang setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004,
terdapat sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di
Negara China Timur (Wu, dkk, 2008).
Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian orang dewasa yang
berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia 1 sampai 15 tahun

9
(Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak merupakan cedera kepala
derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan cedera kepala ringan
memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan baik pula.
Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera kepala
ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan
intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan
yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki
disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan Glasgow Outcome Scale
(GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera
kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).
Pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih parah,
prognosisnya jauh lebih buruk. Sekitar 30% dari pasien yang diterima di rumah
sakit dengan Glasgow Coma Scale (GCS) <13 akhirnya akan meninggal.
Mortalitas pasien-pasien dengan GCS ≤ 8 setelah dilakukan resusitasi adalah
sekitar 50%. Pasien-pasien yang diterima di rumah sakit dengan GCS ≤ 12, sekitar
8% pasien tersebut akan meninggal dalam 6 jam pertama, dan 2% akan meninggal
dalam 1 jam pertama. Manifestasi jangka panjang pasien-pasien dengan cedera
kepala berat jauh lebih buruk disbanding dengan pasien dengan cedera kepala
ringan. Hanya sekitar 20% pasien dengan cedera kepala berat dapat pulih dengan
baik diukur dengan GOS (Moppett, 2007).

2.2.3 Etiologi

Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial
dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering
dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari

10
kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20
sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan
sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu : 1. Trauma Primer,
terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi). 2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf
(melalui akson) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistemik (Sibuea, 2009).

2.2.4. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival


meliputi nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan
keadaan sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain
menunjukkan, 30-60 % pasien cedera kepala dengan Intracranial Pressure (ICP)
tidak terkontrol meninggal dan berbeda dengan penelitian besar lainnya dijumpai
hasil outcome yang lebih baik dengan cacat sedang (Moulton, 2005). Meski masih
dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan penilaian klinis
terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan salah satu faktor terhadap faktor
lain dalam peranannya terhadap prognosis pasien cedera kepala juga masih
diperdebatkan. Hal ini yang masih menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis
tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya variabel dalam keberhasilan
menentukan keputusan pengobatan. Namun, tidak bisa tidak, faktor-faktor
tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penanganan
pasien (Bahloul, 2010; Kan, 2009).

1.Faktor Usia

Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002).
Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan
kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial menurun
sesuai dengan peningkatan usia (Amacher, 1987). Hal ini karena pada usia tua

11
berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein
pada usia tua (Narayan, 2000).

2.Hipotensi

Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi
hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera
sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan
hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan
(Bowers, 1980).

Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30%


dengan hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera
kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik;
sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular
di medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa
hipotensi sistemik (Moulton, 2005).

Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera


iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan
mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor
utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan
satusatunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya
satu episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan
morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).

Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospektifnya menemukan bahwa


hipotensi intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan

12
kematian tiga kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi
dengan peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90%
pasien cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat iskemik
(Stieffel, 2005).

3.Hipoksia

Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat


dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51%
mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat
hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari
penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia.

Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena
pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan
efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan
didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).

Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus


menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian
edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan
oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis
ion.

4.Skor Glasgow Coma Scale

Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada
tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk
menilai beratnya cedera pada cedera kepala. Glasgow Coma Scale seharusnya
telah diperiksa pada penderita saat awal cedera terutama sebelum mendapat obat-
obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut,
2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh

13
yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan
faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang
rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan
Cunningham, 1984).

Menurut Sastrodiningrat (2009) yang mengutip pendapat Jennet dkk,


melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 11 atau lebih,
dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau moderately
disabled dan hanya 12% yang meninggal atau mendapat severe disability.
Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS menurun. Diantara
penderita-penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah
cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara
penderita-penderita dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan
meninggal.

Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif


terhadap outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2009) yang bersumber
dari hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan
penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran selama
30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas
kehidupan seharihari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas.
Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan
fungsi batang otak yang baik, diameter pupil dan reaksi cahaya.

Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak


langsung terhadap adanya herniasi dan cedera batang otak. Secara umum, dilatasi
dan fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran
dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera batang otak yang
irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami
dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf
ketiga intrakranial atau disertai cedera batang otak (Chessnut, 2000). Penelitian
klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan
dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan

14
reaksi pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada
tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008).

Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola


respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor,
semuanya memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews,
1989; Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang
dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak
teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya
disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada
batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu
tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18%
yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor
pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai
penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan
berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.

Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat


penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang
otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%)
penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu Subdural
Hematoma (SDH) mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk, melaporkan
hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai
penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan
refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk
(Sastrodiningrat, 2009). Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah
dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam
mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah
diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering
dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Pascual, 2008; Moulton,
2005; Volmerr, 1991).

5.Gambaran Awal CT Scan Kepala

15
Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut
yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan GCS
<14 (Mills, 2004). Lobato (1983), mengelompokkan hasil CT scan berdasarkan
bentuk anatomi menjadi delapan kelompok. Pengelompokan ini memperlihatkan
hasil prediksi yang lebih kuat tabel 2.4

Temuan CT scan Unfacourable Outcome (%)

No Lesions 32

Extracerebral Hematoma 15

Extracerebral Hematoma and Swelling Bilateral Swelling 100

Bilateral Swelling 12

Single Brain Contusion 22

Multiple Unilateral Contusion 84

Multiple Bilateral Contusion 54

Diffuse Axonal Injury 86

Tabel 2.4. Klasifikasi lesi CT scan dan outcome (Lobato, 1983).

Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan


dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak
atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma
subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan
adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH
adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis
(Sastrodiningrat, 2009).

6.Patah Tulang Kepala

16
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT Scan
kepala (Ibanez, 2016).

Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang


kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impak yang besar
pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis
patahan (Willmore, 2007).

7.Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit

Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan


tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan
iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang
menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling
banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008). Penelitian yang dilakukan
oleh Boto (2010) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat, 20%
meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang mengalami
kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan
54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama.

8.Faal hemostasis

Faal hemostasis merupakan pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin


Time), tes aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes TT (Thrombin
Time). Ada beberapa sistem yang berperanan dalam sistem hemostasis yaitu
system vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah. Koagulasi adalah proses
komplek pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai dengan terdapatnya
kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel. Trombosit kemudian

17
membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut hemostasis
primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam
plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang
memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007). Dalam penelitian Baroto
(2007) disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses patologis yang
menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati
secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak
langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala karena pelepasan
faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan
koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran darah sistemik
mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang akan
didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah penurunan
jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan
masa tromboplastin parsial teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta
penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan PT, APTT, dan TT merupakan
akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan otak yang mengalami trauma
yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah. Stein
menyebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala
meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan
korelasinya dengan pemanjangan PT.

2.2.5. Klasifikasi1,2,3,6

Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera


kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,


klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:

1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan


bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.

18
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka
tembak.

Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:

1. Fraktur Kranium

Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan


menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii.

Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu


fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu
fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak (Sjamsuhidajat, 2010).

2. Perdarahan Epidural

Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya


vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari
perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
bila dibandingkan dengan perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).

4. Contusio dan perdarahan intraserebral

Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri
sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa

19
jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).

5. Commotio cerebri

Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung
kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
pucat (Sjamsuhidajat, 2010).

6. Fraktur basis cranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia
pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:

1) Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

2) Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

3) Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas


foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika (Ngoerah, 1991).

Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara


klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis

20
dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala
dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.

Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett


pada 1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai
GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.

Test Skor

Eye Opening (E)

Spontaneous 4

Open to voice 3

Open to pain 2

None 1

Best Motor Response (M)

Follow commands 6

Localizing to painful stimuli 5

Flexion-withdraw to painful stimuli 4

Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3

Extensor / Decerebrate posturing to painful stimuli 2

21
None 1

Best Verbal Response

Oriented conversation 5

Confused / disoriented conversation 4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sound 2

None 1

Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale (Teasdale, 1974)

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS
1415 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association
of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:

Cedera Kepala Ringan

Kehilangan kesadaran < 20 menit

Amnesia post traumatic < 24 jam

GCS 13 -15

Cedera Kepala Sedang

Kehilangan kesadaran > 20 menit dan < 36 jam

Amnesia post traumatic > 24 jam dan < 7 hari

GCS 9-12

Cedera Kepala Berat

Kehilangan kesadaran > 36 jam

22
Amnesia post traumatic > 7 hari

GCS 3-8

Tabel 2.2. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (Brain Injury Association


of Michigan (2005)

Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan


menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan
Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif
tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek
yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal
respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS


yaitu:

1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.

2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT
scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah
sakit setidaknya 48 jam.

3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9 (George, 2009).

2.2.6. Patogenesis5
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di
daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi
terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi

23
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak
berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini
menimbulkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan
hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse
Axonal Injury (Iskandar, 2002).

2.2.7. Penegakan Diagnosis6


1.Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat
membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang
telinga di atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani
telinga), periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung),
rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah
pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah,
gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri,
letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah
perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial,
terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
2.Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala
sebagai berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom
pada mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah
konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita

24
yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari
telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien
mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya
tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis,
atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal
pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural,
yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang,
atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk
melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom
epidural dan hematom subdural (Pierce & Neil, 2014).
4.Diagnosis Cedera Kepala
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk
mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus
ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan
sistem organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke
rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam,
mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi
sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat, 2010).
2.2.9. Penatalaksanaan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah
sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat
kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan

25
dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau
menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana
spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada
laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi
lanjut pada meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk
penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).

2.1.10. Komplikasi6

Komplikasi akibat cedera kepala:

1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi
saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian).
Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.

2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan


telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan
tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan
bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.

26
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.

4. Hematom subdural kronik.

5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat
cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).

Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan


herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya
untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan (Wong,
D.L. et al., 2009). Pada cedera kepala terjadi perdarahan kecil-kecil pada
permukaan otak yang tersebar melalui substansi otak daerah tersebut dan bila
areacontusio besar akan menimbulkan efek massa yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Long, 1996).

Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan aliran darah ke otak


menurun dan terjadi henti aliran darah ke otak/ iskemik. Bila terjadi iskemik
komplet dan lebih dari 3 sampai 5 menit, otak akan menderita kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki. Pada iskemik serebral, pusat vasomotor terstimulasi dan
tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan aliran darah yang disertai
dengan lambatnya denyutan nadi dan pernafasan yang tidak teratur. Dampak
terhadap medula oblongata yang merupakan pusat pengatur pernafasan terjadi
gangguan pola nafas (Brunner & Suddart, 2002).

27
BAB III
DISKUSI KASUS

Teori Kasus

Definisi - Pasien datang ke IGD RSUD


Padang Pariaman diantar oleh
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera suami karena kecelakaan lalu
mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang lintas akibat menghindari
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur mobil yang melaju kencang
tulang tengkorak, robekan selaput otak dan sekitar 20 menit sebelum
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta masuk rumah sakit. Kepala
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, jatuh mengenai aspal dengan
2012). posisi terjatuh posisi
telungkup.
- Pasien mengeluhkan nyeri
dan bengkak pada kelopak
mata bagian atas sebelah kiri.
Pasien juga mengeluhkan
nyeri dan bengkak pada dahi
sebelah kanan.

Epidemiologi Pada pasien ini dijumpai pasien jatuh


Insidensi cedera kepala di seluruh dunia dari motor akibat menghindari mobil
cenderung untuk terus meningkat. Kejadian ini yang melaju kencang
berhubungan dengan meningkatnya
penggunaan kendaraan bermotor yang terlihat
jelas pada negara-negara yang berpendapatan
rendah dan menengah (Roozenbeek, Maas, dan
Menon, 2013).
Etiologi Pada pasien ini ditemukan
disebabkan oleh faktor primer yaitu
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua akibat trauma kepala secara langsung
faktor, yaitu : 1. Trauma Primer, terjadi akibat akibat kepala bergerak mengenai
trauma pada kepala secara langsung maupun benda yang diam/ deselerasi
tidak langsung (akselerasi dan deselerasi). 2.
Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf
(melalui akson) yang meluas, hipertensi
intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistemik (Sibuea, 2009).

28
Faktor resiko Pada pasien ini tidak mempunyai
faktor resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi penanganan
pasien :

1.Usia >>60tahun beriko terjadi lesi fokal


karena atropi otak dan mudah bridging vein
pada usia tua

2.Hipotensi berhubungan dengan outcome


pasien cedera kepala

3.Hipoksia

4.GCS menjadi tolak ukur klinis menilai


beratnya cedera kepala

Klasifikasi Pada pasien ini secara mekanisme


digolongkan cedera kepala tumpul
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support karena disebabkan oleh kecelakaan
(ATLS) tahun 2004, klasifikasi berdasarkan kendaraan bermotor, secara
mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi: morfologi dicurigai perdarahan
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan epidural karena lucid interval<24jam
oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dan fraktur basis kranii karena pasien
ataupun terkena pukulan benda tumpul. mengatakan ada riwayat epistaksis,
secara berat ringannya cedera kepa
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan digolongkan cedera kepala ringan
oleh luka tusukan, atau luka tembak. karena GCS 15 dan tidak ditemukan
defisit neurologis
Berdasarkan morfologi :

1.Fraktur Kranium

2.Perdarahan Epidural

3.Perdarahan Subdural

4.Contusio dan Perdarahan Intraserebri

5.Commosio cerebri

6.Fraktur Basis Kranii

Penilaian derajat keparahan dinilai dengan


GCS yaitu skala kuantitatif tingkat kesadaran

29
seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi.

1.CKR dengan GCS >13, tidak ada kelainan


otak dengan head CT SCAN, lama perawatan
<48jam

2.CKS dengan GCS >8 <13, ditemukan


kelainan otak, lama perawatan minimal 48 jam

3.CKB bila dalam waktu >48 jam setelah


trauma GCS kurang sama dengan 8

Patogenesis Pada pasien ini ditemukan akibat


kepala bergerak mengenai benda
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung yang diam/ deselerasi
peristiwa coup dan contrecoup. Lesi coup
merupakan lesi yang diakibatkan adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah
disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi
di daerah yang letaknya berlawanan dengan
lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi
akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak dan otak
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).

Penegakan Diagnosis Pasien mengeluhkan ada perdarahan


dari hidung namun saat pemeriksaan
1.Manifestasi Klinis Cedera Kepala fisik dihidung cavum nasal lapang
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera dan dijumpai vulnus ekskoriasi di
kepala yang dapat membantu mendiagnosis nasolabialis yang berkemungkinan
adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis perdarahan dari hidung bersumber
dibelakang telinga di atas os mastoid), dari vulnus ekskoriasi nasolabialis.
hemotipanum (perdarahan di daerah membran Pasien juga mengeluhkan terdapat
timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata nyeri kepala dan mual yang
warna hitam tanpa trauma langsung), merupakan salah satu manifestasi
rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari klinis dari cedera kepala ringan.
hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar
dari telinga).

30
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang
cedera kepala ringan adalah pasien tertidur
atau kesadaran yang menurun selama beberapa
saat kemudian sembuh, sakit kepala yang
menetap atau berkepanjangan, mual dan atau
muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang
menurun, perubahan kepribadian diri, letargik.
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang
cedera kepala berat adalah perubahan ukuran
pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut
jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan) apabila meningkatnya tekanan
intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).

2.Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala Pada pemeriksaan fisik pasien


ditemukan hematom diregio palpebra
Komponen utama pemeriksaan neurologis superior sinistra dan frontalis, vulnes
pada pasien cedera kepala sebagai berikut: ekskoriasi diregio frontalis dan
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan nasolabialis
memar.

2. Tanda fraktur basis cranii: hematom


periorbital bilateral, hematom

pada mastoid (tanda Battle), hematom


subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva
tanpa adanya batas posterior, yang
menunjukkan darah dari orbita yang mengalir
ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari
hidung atau telinga (cairan jernih tidak
berwarna, positif mengandung glukosa),
perdarahan dari telinga.

3. Tingkat kesadaran (GCS)

4. Pemeriksaan neurologis
menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial
(Ginsberg, 2007).

31
3. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien ini dilakukan rontgen
schedel dan tidak dilakukan
1. Radiografi kranium: untuk pemeriksaan head ct scan karena
mencari adanya fraktur, jika pasien fasilitas kurang memadai
mengalami gangguan kesadaran sementara
atau persisten setelah cedera, adanya tanda
fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada
basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada
regio temporoparietal pada pasien yang tidak
sadar menunjukkan kemungkinan hematom
ekstradural, yang disebabkan oleh robekan
arteri meningea media (Ginsberg, 2007).

1. CT scan kranial: segera dilakukan jika


terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika
terdapat fraktur kranium yang disertai
kebingungan, kejang, atau tanda neurologis
fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat
digunakan untuk melihat letak lesi, dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek
seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014).

4.Diagnosis Cedera Kepala Pada saat pasien awal masuk RS


pasien dalam keadaan sadar dan
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan tidak ditemukan defisit neurologis
anamnesis yang rinci untuk mengetahui sehingga pasien digolongkan cidera
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme kepala ringan
cedera kepala, gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis informasi penting
yang harus ditanyakan adalah mekanismenya.
Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan
sistem organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS
awal saat penderita datang ke rumah sakit
sangat penting untuk menilai derajat
kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan
neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu
dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi
motorik, fungsi sensorik, dan reflek

32
(Sjamsuhidayat, 2010).

Penatalaksanaan Pada pasien ini awalnya diobservasi


dilakukan pembersihan luka dan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala pemasangan nasal kanul. Pasien
harusnya dirawat di rumah sakit untuk dianjurkan rawat inap karena pasien
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat mengatakan ada riwayat rhinorea
penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium yang merupakan salah satu gejala
dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala fraktur basis kranii di fossa anterior,
ringan dapat ditangani hanya dengan observasi hematoma berukuran
neurologis dan membersihkan atau menjahit 4cmx3cmx2cm, dan riwayat
luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera penurunan kesadaran sebelum masuk
kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf rumah sakit yang dicurigai adanya
sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan. epidural hematoma.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi Non farmakologis
menjadi dua kategori:
• Tirah Baring Semifoler
1. Bedah
• Total Bedrest
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera
pada hematom yang mendesak ruang. • Edukasi

b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen • O2 2-4L/m nasal kanul


fraktur kranium yang menekan pada laserasi
kulit kepala. Jika ada, maka hal ini • Wound toilet
membutuhkan terapi bedah segera dengan Farmakologis
debridement luka dan menaikkan fragmen
tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada • IVFD NaCl 0, 9% 28 gtt/menit
meningen dan otak.
• Ceftriaxone 2x1 gr (iv), skin test
2. Medikamentosa
• Vitamin K 3x1 (iv)
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika
• Transamin 3x1 (iv)
terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Hal
ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum • Vitamin C 3x1 (iv)
evakuasi hematom intrakranial pada pasien

33
dengan penurunan kesadaran. • Paracetamol 3x500mg PO

b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis


cranii.

c. Antikonvulsan untuk kejang.

d. Sedatif dan obat-obat narkotik


dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg,
2007).

34

Anda mungkin juga menyukai