PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan
oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma
hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut
tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan
tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula
(wikipedia.com)
Pernikahan merupakan penyatuan individu yang berbeda karakter menjadi satu
lingkup keluarga, yang saling menyatukan pendapat untuk mencapai suatu tujuan hidup.
1. UU 1973 pasal 11 ayat 2 bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara
asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang
perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama
tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam
pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya
dinyatakan ”Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.”
2
Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat dipahahami bahwa undang-
undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-
syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh negara. Jadi apakah suatu pernikahan dilarang atau tidak, atau apakah para
calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam.
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang
antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin”.
4. pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.
5. pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
3
kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan
janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221) Larangan
perkawinan dalam surat Al Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun
wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak
beragama Islam.
4
4. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan disebut Pawiwahan. Wiwaha
atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat
penting. Dalam catur asrama, wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama.
Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha
mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut
bersifat sakral yang hukumnya wajib. Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama
Hindu adalah: Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan
hukum Hindu. Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta/rohaniwan atau
pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.Suatu
perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama
Hindu.Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
Dengan demikian, jelas bahwa semua agama pada dasarnya tidak menginginkan adanya
perkawinan beda agama. Agama memandang bahwa perkawinan bukan semata-mata
persatuan cinta dan tubuh melainkan persatuan manusia dengan Sang Pencipta. Oleh
karenanya, relasi manusia dengan Sang Pencipta akan melahirkan sebuah generasi yang
memerlukan landasan bukan hanya dari segi hukum negara, namun juga hukum agama.
5
2.4 Dampak Dari Pernikahan Beda Agama
Dari sebuah pernikahan beda agama pasti terdapat dampak – dampak yang
ditimbulkan dari hal tersebut. Dampak tersebut dapat berupa hal yang positf maupun
negatif.
Dampak Positif :
1. Memperluas Wawasan
Dengan menikahi pasangan yang berbeda iman, seseorang bisa memperluas
wawasannya. Ia tidak lagi terkurung dalam lingkungan imannya sendiri, tetapi bisa
belajar banyak hal tentang iman lain.
Wawasan yang luas ini bisa bermanfaat dalam pergaulan, misalnya dalam
mengetahui istilah keyakinan lain yang sebelumnya terasa asing.
2. Mengurangi Prasangka
Karena adanya cinta, seseorang bisa melihat keyakinan/iman pasangannya
dengan cara yang lebih positif. Ini bisa mengurangi stereotipe tentang iman
tertentu. Misalnya, gara-gara ormas tertentu, Islam jadi identik dengan kekerasan.
Seorang non-muslim yang menikah dengan muslim mendapatkan gambaran yang
lebih jelas tentang Islam, sehingga stereotipe kekerasan itu hilang.
3. Meningkatkan Toleransi
Pernikahan beda iman melibatkan aktivitas religius dan ritual-ritual yang
berbeda, mencakup tata cara dan jadwal ibadah. Jika seseorang bisa bertoleransi
ketika pasangannya yang beda iman beribadah, maka ia cenderung lebih mudah
untuk bertoleransi pada umat yang seiman dengan pasangannya. Ini sangat
menguntungkan untuk kehidupan bermasyarakat karena mempermudah seseorang
dalam membaur dengan orang yang berbeda keyakinan.
Dampak Negatif
1. Restu Orangtua
Kadang-kadang, rasa cinta pria dan wanita belum tentu cukup untuk
melangkah ke pernikahan. Hubungan beda keyakinan seringkali tidak mendapat
restu orangtua dan menimbulkan frustrasi berkepanjangan. Tak jarang, pasangan
beda iman tersebut memilih jalan pintas seperti kawin lari atau kumpul kebo.
6
2. Kurang Bahagia dan Kemungkinan Perceraian
Naomi Schaefer Riley menemukan bahwa pasangan beda iman memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi untuk tidak bahagia daripada pasangan yang
seiman. Ada juga kecenderungan untuk mengalami kemunduran dalam
pertumbuhan rohani dan tradisi ortodoks. Pernikahan beda iman bisa menjadi lebih
buruk lagi ketika seseorang atau kedua pasangan sangat religius.
Kurang bahagia ini tidak jarang berujung pada perceraian.
5. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial juga memberikan dampak bagi sebuah pernikahan atau
pun hubungan. Banyak opini orang yang memberikan paradigma buruk tentang
pernikahan beda agama dan tidak sedikit juga beropini bahwa pernikahan beda
agama itu baik.
Berdasarkan faktor – faktor yang memberi dampak baik positif maupun negatif dalam
pernikahan beda agama. Semua faktor tersebut bergantung kepada kedua individu yang
melaksanakan pernikahan tersebut. Pernikahan pasti memberikan dampak bagi lingkungan
maupun psikologis bagi yang melaksanakannnya.
7
2.5 Pernikahan Beda Agama Terhadap Pendidikan Anak
Pernikahan beda agama bukan hanya semata menyatukan perasaan, kedua pribadi
atau pun Hubungan dengan Sang Pencipta. Akan tetapi, pernikahan yang berbeda agama
pasti akan mempengaruhi pihak lain khususnya terhadap pendidikan anak.
Perkawinan beda agama mempunyai implikasi terhadap keberagamaan keluarga.
Implikasi tersebut bisa positif maupun sebaliknya negatif. Semuanya tergantung
darimana cara pandangnya. Secara umum, dari ketiga interaksi keberagamaan pasangan
beda agama memunculkan efek keberagamaan kurang lebih sebagai berikut:
A. Pada pasangan yang tidak terlalu kuat dalam beragama atau beragama
sekedar formalitas atau agama KTP mempunyai dampak terhadap persepsi
anak tentang agama mirip sebagaimana orang tua memahami agama. Secara
generatif anak mengikuti keberagamaan orang tua. Agama sekedar pakaian
atau formalitas.
B. Pada pasangan di mana salah satu pasangan lebih kuat dalam beragama atau
lebih aktif dalam mempengaruhi anak untuk masuk dalam agamanya. Dalam
kondisi ini anak cenderung mengikuti agama orang tua yang dominan.
Biasanya dalam keluarga semacam ini, pihak orang tua yang aktif akan
berusaha keras untuk mengenalkan agamanya kepada anak; sementara pihak
orang tua yang kurang aktif cenderung membiarkan, atau mengalah, daripada
ribut/ramai/konflik rumah tangga.
C. Pada pasangan yang sama–sama kuat dalam beragama atau potensi aktif
dalam mengajak agama anak sesuai dengan agamanya mempunyai dua
kemungkinan, yaitu orang tua membuat kesepakatan, atau orang tua tidak
membuat kesepakatan. Bagi pasangan yang membuat kesepakatan tertentu,
maka komunikasi keluarga dalam hal agama akan lebih terarah sesuai dengan
kesepakatan itu. Baik itu kesepakatan tentang agama anak untuk mengikuti
agama salah satu orang tua; atau di bagi: sebagian ke agama ayah, sebagian
ke agama ibu; atau agama anak dibebaskan.
8
Perkawinan beda agama juga menghadapi kendala terbatasnya komunikasi diantara
orang tua, dan antara orang tua dengan anak, serta kurangnya kedekatan akibat terikat
perjanjian. Hal ini berakibat mudah hadirnya pihak ketiga dari keluarga dekat masing-masing
pihak (ayah dan ibu) yang turut campur tangan dalam memberikan pendidikan agama kepada
anak.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setiap keluarga menginginkan keharmonisan, Keharmonisan tidak hanya
tercipta dari keluarga yang memiliki prinsip agama yang sama. Akan tetapi keluarga
yang berbeda agama pun dapat lebih harmonis. Keharmonisan tersebut dapat tercipta
dengan adanya relasi dan komunikasi dari kedua individu yang saling memahami,
menghargai, mawas diri, menghasihi, mencintai, dan adanya sikap saling percaya.
Saling mengenal satu sama lain dan memperdalam keagamaan juga merupakan
faktor yang penting dalam menunjang suatu kehamonisan dalam sebuah keluarga.
Sebab, semakin kita berbaur, semakin kita bersyukur atas anugerah Tuhan yang
beraneka ragam
10
hanya berpengaruh terhadap kedua pasanagan melainkan dapat mempengaruhi
terhadap keluarga dan anak – anaknya.
3.2 Saran
Perbedaan agama bukan menjadi masalah untuk menjalin suatu relasi
hubungan , kita sebagai makhluk yang makhluk sosial hendaknya mensyukuri
perbedaan tersebut karena dengan ada nya perbedaan tersebut kita dapat saling
bertoleransi. Untuk pasangan yang berbeda agama jangan merasa bahwa perbedaan
tersebut menjadi penghalang untuk bersatu namun hendaknya kita harus memadukan
perbedaan tersebut sehingga dapat menjalin suatu hubungan yang harmonis.
11
Daftar Pustaka
1. http://rinielza.blogspot.com/2013/11/paper-dampak-perkawinan-beda-agama-
bagi.html
2. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rj
a&uact=8&ved=0CEEQFjAE&url=http%3A%2F%2Frinielza.blogspot.com%2F2
013%2F11%2Fpaper-dampak-perkawinan-beda-agama-
bagi.html&ei=F_moVKmgMZKgugT8rIDIBA&usg=AFQjCNFE5pmX_22i1xl4
WXyWAtaqOPignA
3. http://murtadhoui.wordpress.com/pendidikan-agama-pada-anak-pasangan-orang-
tua-beda-agama/
4. https://www.google.com/webhp?source=search_app&gws_rd=ssl#q=dampak+per
nikahan+beda+agama+terhadap+pendidikan+anak
5. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/05/nbfbc1-pengamat-ada-
dampak-dari-pernikahan-beda-agama
6. http://uin-suka.ac.id/index.php/page/berita/detail/772/keluarga-beda-agama-alami-
kesulitan-internalisasi-nilai-nilai-agama-pada-anak
7. https://www.google.com/webhp?source=search_app&gws_rd=ssl
12