Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

BEDAH ANAK

SEORANG ANAK LAKI - LAKI 1 TAHUN DENGAN INVAGINASI

Oleh :

Zalafi Kartika Azka

G99161110

Pembimbing :

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2016
1
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. N

Tanggal Lahir : 22 September 2015

Usia : 1 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Klaten, Jawa Tengah

No RM : 013565xx

Tanggal Masuk RS: 17 Oktober 2016

Tanggal Periksa : 20 Oktober 2016

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Muntah berulang kali

2. Riwayat Penyakit Sekarang

1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri perut. Oleh
orangtuanya dibawa ke dukun anak dan dipijat bagian perutnya. Tetapi
keluhan tidak berkurang, pasien muntah – muntah lebih dari 10x, muntah
berwarna kuning dan berisi makanan yang sebelumnya dikonsumsi,
demam (-), kejang (-), perut kembung (+). Pasien rewel dan tidak bisa
tidur. BAB berwarna kuning, lendir (+), darah (-). BAK berwarna gelap (-
), BAK darah (-). Pasien tidak mau makan, hanya minum air dan tetap
mengkonsumsi ASI namun setelah minum beberapa saat kemudian
dimuntahkan lagi. Pasien sering menekuk kakinya seperti menahan sakit
2
kemudian tertidur sebentar lalu terbangun lagi dan kembali rewel. Pasien
kemudian dibawa orangtuanya berobat ke Bidan dan diberi obat – obatan,
karena keluhan tidak berkurang, pasien dibawa ke RSIA Aisyiah Klaten
dan diperiksa oleh dokter spesialis anak dan dilakukan pemeriksaan USG.
Karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Penyakit Serupa : Disangkal

Riwayat Demam Tinggi : (+) 4 bulan yang lalu saat berusia 8 bulan
pasien menderita campak

Riwayat Rawat Inap di RS : Disangkal

Riwayat Trauma : Disangkal

Riwayat Operasi : Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Penyakit Serupa : Disangkal

Riwayat Kelainan Bawaan : Disangkal

5. Riwayat Kelahiran

Proses kelahiran : Pervaginam

BB lahir : 2,9 kg

Usia Kelahiran : Cukup Bulan

Mekoneum : (+)

6. Riwayat Gizi

Riwayat ASI : (+) ASI eksklusif sampai 5 Bulan

Riwayat MPASI : (+) MPASI sejak usia 5 bulan

Riwayat Imunisasi : (+) Hepatitis B, Polio, BCG, DPT,Campak

3
C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, Compos Mentis, Rewel, BB


8 Kg, TB 72 cm. Kesan gizi baik

2. Vital Sign N : 122x/menit

RR : 36x/menit

t : 36,5oC

SiO2 : 99%

3. Kepala : Bentuk mesocephal, ubun - ubun tidak cekung

4. Mata : Mata cowong (-/-), reflek cahaya (+/+), sklera


ikterik (-/-)

5. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)

6. Hidung : Bentuk simetris, sekret (-/-), darah (-/-)

7. Mulut : Mukosa basah (+), gusi berdarah (-), lidah kotor (-)

8. Leher : Pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-)

9. Thorak : Normochest, retraksi dinding dada (-)

10. Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising


(-)

11. Pulmo

Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-/-)

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)


4
12. Abdomen

Inspeksi : Distended (-), Darm countour (-)

Auskultasi : Bising usus (+)

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), massa (-), defense muscular


(-), Dance sign (-), sausage sign (-),

13. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK warna gelap (-)

14. Gastrointestinal : Muntah (+) 1 jam sekali berwarna kuning dan


mengandung makanan yang telah dikonsumsi, BAB
(+) sebelum dibawa ke RSDM, konsistensi lebih
encer, lendir (+), darah (-)

15. Ektremitas :

Akral dingin Oedem CRT: <2 detik

- - - -

- - - -

D. ASSESMENT I

Kolik abdomen et causa Suspek Invaginasi

E. PLANNING I

1. Infus D5 ½ ns 500cc/24 jam

2. Injeksi metamizol 80 mg i.v

2. Cek darah lengkap

3. USG Abdomen

4. Colon in loop

5
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (18/10/2016)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

DARAH RUTIN

Hemoglobin 10,6 g/dl 10,5 – 12,9


Hematokrit 34 % 33 – 41
Leukosit 10,6 ribu/ul 5,5 – 17,0
Trombosit 424 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4,46 ribu/ul 4.10 – 5.30
INDEX ERITROSIT
MCV 75,5 u/m 80,0 – 96,0
MCH 23,8 Pg 28,0 – 33,0
MCHC 31,5 g/dl 33,0 – 36,0
RDW 13,9 % 11,6 – 14,6
HITUNG JENIS
Eosinofl 0,20 % 0,00 – 4,00
Basofil 0,60 % 0,00 – 1,00
Netrofil 54,20 % 29,00 – 72,00
Limfosit 39,70 % 60,00 – 66,00
Monosit 5,30 % 0,00 – 6,00
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 110 mg/dl 60 – 100
ELEKTROLIT
Natrium Darah 132 Mmol/L 132 – 145
Kalium Darah 4,2 mmol/L 3,1 – 5,1
Klorida Darah 104 mmol/L 98 – 106

6
Calcium ion 1.12 mmol/L 1.17 – 1.29

2. USG Abdomen

7
Tampak hepar dan lien yang besar dan bentuknya normal disertai dengan
parenchym yang homogen dan ekhogenitas yang normal, terutama tak terlihat
SOL atau lesi –lesi pathologis lainnya intrahepatik, selain itu perihepatik tak
terlihat tanda – tanda fatty liver atau ascites. Intra- dan extrahepatic bile ducts
tidak tampak melebar, demikian juga vesica fellea tampak normal dan
menunjukkan dinding yang tipis, dan selain itu intavesical tak tampak lithiasis. V.

Portae dan V. Linealis tak tampak kelainan, selain itu pankreas tidak
menunjukkan abnormalitas, terutama tak terlihat tanda – tanda pankreatitis /
eksudat, selain itu tak tampak tanda – tanda pyloric hypertrophy / stenosis,
demikian juga gastroduodenal fluid flow / passage tampak normal, akan tetapi di
abdomen kuadran kanan bawah, terdapat konglomerasi struktur intestinal
yang berlapis lapis (target sign/ crescent-indoughnut sign) yang mencurigakan
invaginasi / intussception di daerah colon ascendent, dan daerah ileocaecal, selain
itu paragastral region serta mesenterial dan retroperitoneal tak terlihat adanya
limfadenopati.

Adrenal bilateral tanpa kelainan, terutama tak terlihat tanda – tanda


adenoma / SOL. Ginjal bilateral menunjukkan struktur anatomis, cortex, medulla
dan sinus yang baik disertai dengan sistem pelviocalices yang normal dan tidak
melebar, terutama tak terlihat urolithiasis atau tanda – tanda bendungan pada
sistem drainase kedua ginjal.

Di daerah appendix tak terlihat adanya infiltrat / fluid collection atau abses
periapendical / periocoecal, demikian juga tak terasa nyeri tekan daerah mc
burney.

Di pelvis minor vesica urinaria dan organ – organ pelvis minor lainnya
tampak normal

Kesan: invaginasi / intussception di daerah colon ascenden dan ileocaecal


(kuadran kanan bawah)

8
3. Colon in loop

Plain foto :

Tampak groundglass opacity di kuadran kanan atas cavum abdomen disertai


peningkatan bayangan gas usus di sisi kiri abdomen. Bayangan hepar dan lien tak
tampak membesar.Contour ginjal kanan dan kiri tak tampak jelas.Tak tampak
bayangan radioopaue di sepanjang traktus urinarius. Psoas shadow kanan kiri
simetris.Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tak tampak kelainan.

9
Kontras study:

Kontras watersoluble yang diincerkan 1 : 1 sebanyak 150cc dimasukkan melalui


kateter ke dalam anus. Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari rectum,
sigmoid, colon descendent, flexura lienalis, colon tranversum, flexura
hepatika.Tampak coiled spring pada flexura hepatica hingga 1/3 proksimal colon
ascendens.Tidak tampak release colon yang mengalami invaginasi

Kesimpulan:

- Invaginasi colocolica pada fleksura hepatica sampai colon ascendens

- Colon in loop tidak berhasil merelease colon yang invaginasi

G. ASSESMENT II

Invaginasi / Intussepsi

H. PLANNING II

1. Release invaginasi

2. Medikasi luka operasi

3. Injeksi cefotaxime 400mg/ 12 jam

4. Injeksi metamizol 80mg / 8 jam

5. Diet Cair

10
TINJAUAN PUSTAKA

1. Usus Halus
Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum, yejunum dan ileum. Panjang
duodenum 26 cm, sedangkan yejunum + ileum : 6 m Dimana 2/5 bagian adalah
yejunum (Snel, 89). Sedangkan menurut schrock 1988 panjang usus halus
manusia dewasa adalah 5-6 m. Batas antara duodenum dan yejunum adalah
ligamentum treits.
Yejunum dan ileum dapat dibedakan dari :

1. Lekukan –lekukan yejunum terletak pada bagian atas rongga atas


peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum ; ileum terletak pada
bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih merah daripada
ileum Dinding jejunum terasa lebih tebal karena lipatan mukosa yang lebih
permanen yaitu plica circularis, lebih besar, lebih banyak dan pada
yejunum lebih berdekatan ; sedangkan pada bagian atas ileum lebar, dan
pada bagian bawah lipatan ini tidak ada.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas dan
kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan kanan
aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya menmbentuk satu atau dua
aarkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang berjalan ke
dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh darah yang pendek,
yang beraal dari 3 atau 4 atau malahan lebih arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan dan
lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung
mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak
ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa ileum
bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.

11
Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi adalah :
» Perbedaan eksterna

1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedang kan colon asenden
dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus besar
yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang berjalan ke
bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus.
Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam tiga
pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appandices epiploideae.
6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar sakular.

» · Perbedaan interna

1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang dinamakan


plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar tidak
mempunyai.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer) ditemukan pada mukosa usus
halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.

2. Usus Besar

A. Anatomi

Anatomi Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix


vermiformiis, colon , rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama
intestinum crassum dan beralih menjadi colon ascendens (Moore, 2002). Panjang
12
dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa iliaca
kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale. Appendix
Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan berhubungan dengan
caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal (Moore, 2002). Colon ascendens
panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai ke
permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada flexura
coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum. Pendarahan colon ascendens
dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra,
cabang arteri mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak
cabang mesenterika superior, mengalirkan balik darah dari colon ascendens
(Moore, 2002).

Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan
paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut
membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. Pendarahan colon
transversum terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria
mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra
dan arteri colica sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi
melalui vena mesenterica superior (Moore, 2002). Colon descendens panjangnya
kurang lebih 25 cm. Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli
sinistra ke fossa iliaca sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum
(Moore, 2002). Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum (Moore, 1992).
Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum
adalah bagian akhir intestinum crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum
beralih menjadi canalis analis (Moore, 2002).

B. Fisiologi

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan (Guyton, 2008), kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang

13
masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-
250mL (Ganong, 2008).

3. Definisi

Invaginasi adalah suatu keadaan gawat darurat akut dibidang ilmu bedah
dimana suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga
dapat menimbulkan gejala obstruksi dan pada fase lanjut apabila tidak segera
dilakukan reposisi dapat menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada
perforasi dan peritonitis.

4. Insidensi

Insiden 70% terjadi pada usia < 1 tahun tersering usia 6-7 bulan, anak laki-
laki lebih sering dibandingkan anak perempuan (De Jong, 2005).
Angka kejadian intususepsi (invaginasi) dewasa sangat jarang , menurut angka
yang pernah dilaporkan adalah 0,08% dari semua kasus pembedahan lewat
abdomen dan 3% dari kejadian obstruksi usus , angka lain melaporkan 1% dari
semua kasus obstruksi usus, 5% dari semua kasus invaginasi (anak-anak dan
dewasa), sedangkan angka-angka yang menggambarkan angka kejadian
berdasarkan jenis kelamin dan umur belum pernah dilaporkan, sedangkan segmen
usus yang telibat yang pernah dilaporkan Anderson 281 pasien terjadi pada usus
halus ( Jejunum, Ileum ) 7 pasien ileocolica, 12 pasien cecocolica dan 36
colocolica dari 336 kasus yang ia laporkan . Desai pada 667 pasien
menggambarkan 53% pada duodenum,jejunum atau ileum, 14% lead pointnya
pada ileoseccal, 16% kolon dan 5% termasuk appendik veriformis.

14
5. Etiologi

1. Idiophatic
90 – 95 % invaginasi pada anak dibawah umur satu tahun tidak dijumpai
penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infatile idiphatic
intussusceptions”.

Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum


terminal berupa hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai
akibat infeksi virus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point) terjadinya
invaginasi.

2. Kausal
Pada penderita invaginasi yang lebih besar (lebih dua tahun) adanya
kelainan usus sebagai penyebab invaginasi seperti : inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma, duplikasi usus.

Pada anak-anak 95% penyebabnya tidak diketahui, hanya 5% yang


mempunyai kelainan pada ususnya sebagai penyebabnya. Misalnya diiverticulum
Meckeli, Polyp, Hemangioma. Sedangkan invaginasi pada dewasa terutama
adanya tumor yang menyebabkannya. Perbandingan kejadian antara pria dan
wanita adalah : 3 : 2, pada orang tua sangat jarang dijumpai.

Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul


setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus,
disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang
luas dan hipoksia lokal, yang dikenal dengan istilah post operative intussuseption.

Faktor – faktor yang dihubungkan dengan terjadinya invaginasi Penyakit


ini sering terjadi pada umur 3 – 12 bulan, di mana pada saat itu terjadi perubahan
diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan ini dicurigai
sebagai penyebab terjadi invaginasi. Invaginasi kadang – kadang terjadi setelah /

15
selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan peristaltik usus.
Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata kuman rota virus adalah
agen penyebabnya, pengamatan 30 kasus invaginasi bayi ditemukan virus ini
dalam fesesnya sebanyak 37 %. Pada beberapa penelitian terakhir ini didapati
peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita invaginasi.

6. Patofisiologi

Suatu segmen usus berikut mesenterium atau mesokolon masuk ke lumen


usus bagian distal oleh suatu sebab. Proses selanjutnya adalah proses obstruksi
usus strangulasi berupa rasa sakit dan perdarahan peranal. Sakit mula-mula hilang
timbul kemudian menetap dan sering disertai rangsangan muntah. Darah yang
keluar peranal merupakan darah segar yang bercampur lendir.Proses obstruksi
usus sebenarnya sudah terjadi sejak invaginasi, tetapi penampilan klinik obstruksi
memerlukan waktu, umumnya setelah 10-12 jam sampai menjelang 24 jam (Stead
et al, 2003).

7. Jenis – jenis Invaginasi

Jenis invaginasi dapat berupa:


A) Invaginasi ileo-colica : Ileum prolaps melalui valvula ileosekalis
ke kolon
B) Invaginasi ileo-ileal : Usus halus ke usus halus
C) Invaginasi ileocaecal : Valvula ileosekalis mengalami invaginasi
prolaps ke sekum dan menarik ileum di
belakangnya
D) Invaginasi colocolica : Colon ke colon

Daerah yang secara anatomis paling mudah mengalami invaginasi adalah


ileo caecal, dimana ileum yang lebih kecil dapat dengan mudah ke dalam caecum
yang longgar.

16
8. Diagnosis

Penemuan klinis tergantung dari lamanya invaginasi terjadi. Umumnya


bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Mungkin beberapa hari sebelumnya
menderita radang saluran nafas atau diare. Bayi tiba-tiba menangis seperti
menahan sakit untuk beberapa menit kemudian diam, main-main atau tidur
kembali. Sering disertai muntah berupa minuman/makanan yang masuk.

Gejala klinis dari invaginasi adalah TRIAS gejala yang terdiri dari:

1) Nyeri perut yang bersifat kolik,

2) Muntah, dan

3) Berak lendir darah (red currant jelly = selai kismis merah).

Sekum yang teraba kosong disebut dengan “dance’s sign”. Pada colok
dubur (rectal toucher) dapat ditemukan sebagai berikut: 1) Tonus sfingter ani
17
melemah, 2) Mungkin invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio/pseudo
portio (portio like appearance), dan 3) Bila jari di tarik, maka akan keluar darah
bercampur lendir (Currant jelly stool’s).

9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi,


dimana akan terlihat gambaran “cupping” dan “coilspring” Untuk tujuan terapi,
barium enema dikerjakan dengan tekanan hidrostatik untuk mendorong usus yang
masuk ke arah proksimal, teknik ini dapat dikerjakan bila belum ada tanda-tanda
obstruksi usus yang jelas, seperti muntah - muntah hebat, perut distensi, dan
dehidrasi berat.

Pemeriksaan USG (ultra sonografi) akan terlihat gambaran seperti ginjal


(pseudo kidney appearance) atau seperti kue donat (doughnut’s sign) (Brunicardi
et al, 2010).

10. Diagnosis Banding

a. Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika


dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
b. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
c. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya
obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
d. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
e. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang
kali dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit
perianal, sedangkan pada invaginasi didapati adanya celah.

f. Abdominal Hernias
g. Appendicitia
h. Cyclic Vomiting Syndrome

18
11. Tatalaksana

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak


mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik :
1) Reduksi dengan barium enema
2) Reduksi dengan operasi

Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita :


dipuasakan, resusitasi cairan, dekompressi dengan pemasangan pipa lambung.
Bila sudah dijumpai tanda gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan
laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit maka saat ini antibiotika
berspektrum luas dapat diberikan.

1) Reduksi Dengan Barium Enema

Telah disebutkan bahwa barium enema berfungsi dalam diagnostik dan


terapi. Barium enema dapat diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti :

 Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun
pada foto abdomen
 Dijumpai tanda – tanda peritonitis
 Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam
 Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.
 Usia penderita diatas 2 tahun

Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak
menangis atau gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat
membantu.

Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi


dengan plester, melalui kateter bubur barium dialirkan dari kontainer yang terletak
3 kaki di atas meja penderita dan aliran bubur barium dideteksi dengan alat
floroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat diidentifikasi dan dibuat foto.

19
Meniskus sering dijumpai pada kolon transversum dan bagian proksimal kolon
descendens.

Bila kolom bubur barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang
berlanjut, tetapi bila kolom bubur barium berhenti dapat diulangi 2 – 3 kali
dengan jarak waktu 3 – 5 menit. Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium
dipertahankan selama 10 – 15 menit tetapi tidak dijumpai kemajuan. Antara
percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur barium dievakuasi terlebih
dahulu.

Reduksi barium enema dinyatakan berhasil apabila :


- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai
massa feses dan udara.
- Pada floroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan
sebagian usus halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum.
- Hilangnya massa tumor di abdomen.
- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur
serta norit test positif.

Penderita perlu dirawat inap selama 2 – 3 hari karena sering dijumpai


kekambuhan selama 36 jam pertama.

Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu
sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis
pelaksanaannya,

2) Reduksi Dengan Tindakan Operasi

1. Memperbaiki keadaan umum


Perbaikan keadaan umum dikerjakan sebelum melakukan tindakan
pembedahan. Pasien baru boleh dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi
jaringan telah baik. Pasang sonde lambung (NGT) untuk tujuan dekompresi dan
mencegah aspirasi. Rehidrasi cairan elektrolit dan atasi asidosis bila ada. Berikan

20
antibiotika profilaksis dan obat sedativa, muscle relaxan, dan atau analgetika bila
diperlukan.

2. Tindakan untuk mereposisi usus


Tindakan selama operaasi tergantung kepada penemuan keadaan usus,
reposisi manual dengan cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga
bergantung pada keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk
tindakan ini dilakukan secara transversal (melintang), pada anak – anak dibawah
umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal supraumbilikal oleh karena letaknya
relatif lebih tinggi.

Ada juga yang menganjurkan insisi transversal infraumbilikal dengan


alasan lebih mudah untuk eksplorasi malrotasi usus, mereduksi invaginasi dan
tindakan apendektomi bila dibutuhkan.

Tidak ada batasan yang tegas kapan kita harus berhenti mencoba
reposisi manual itu.

Reseksi usus dilakukan apabila : pada kasus yang tidak berhasil


direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atauditemukan
kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan
anastomosis ”end to end”, apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin
maka dilakukan “exteriorisasi” atau enterostomi.

12. Perawatan Pasca Operasi

Pada kasus tanpa reseksi Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi


pada saluran cerna selama 1 – 2 hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah
oedem dari intestine menghilang, pasase dan peristaltik akan segera terdengar.
Kembalinya fungsi intestine ditandai dengan menghilangnya cairan kehijauan dari
nasogastric tube. Abdomen menjadi lunak, tidak distensi. Dapat juga didapati
peningkatan suhu tubuh pasca operasi yang akan turun secara perlahan.

21
Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan reduksi. Pada
kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.

13. Prognosis

Angka kekambuhan mencapai 5% bila dilakukan reduksi hidrostatik dan


2% bila dilakukan pembedahan (De Jong, 2005).

22
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB.
2010. Intussusception in Schwartz Principles of Surgery. 9th ed. the McGraw-Hill
Companies, Chapter 39.

De Jong, W, Sjamsuhidajat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Bab 35:h 627-629.

Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
Hlm. 928.

Moore, KL. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hlm. 109-111.

Stead, LG., Stead, SM., Kaufman, MS., Sotsky-Kent, T. 2003. Pediatric Surgery
in First Aid for the Surgery Clerkship. the McGraw-Hill Companies, p336-337.

23

Anda mungkin juga menyukai