Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian Sebelumnya


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukakan oleh A. A. Amiruddin

(2009) pada benda uji balok beton bertulang dengan perkuatan lentur metode

retrofit menggunakan CFRP grid dan Polimer Cement Mortar (PCM) didapat

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Peningkatan kekuatan kapasitas momen ultimit balok dengan perkuatan

CFRP grid terhadap balok normal adalah

 1 lapis CFRP tebal 8 mm spasi 75 mm dan tebal PCM 19 mm (Type

2) sebesar 264.62 %

 1 lapis CFRP tebal 4 mm spasi 50 mm dan tebal PCM 14 mm (Type

3) sebesar 235.74 %

 2 lapis CFRP tebal 7 mm spasi 100 mm dan tebal PCM 24 mm (Type

4) sebesar 273.65 %

 2 lapis CFRP tebal 3 mm spasi 75 mm dan tebal PCM 16 mm (Type

5) sebesar 187 %

Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas beban

yang di pengaruhi oleh luas penampang serta spasi CFRP dan tebal PCM.

Ketika baja tulangan meleleh dan beton mengalami penurunan kekuatan,

gaya tarik yang terjadi akibat pertambahan beban akan ditahan

sepenuhnya oleh CFRP grid.

2. Pola retak yang terjadi pada benda uji adalah pola retak lentur, pola retak

geser,pola retak lentur dan geser . Pada balok yang mengalami retak,

5
6

penambahan CFRP mampu menghambat perambatan retakan menuju

balok tekan balok. Hal ini menunjukkan bahwa CFRP memiliki

kemampuan untuk memperlambat keruntuhan/ kegagalan.

Oleh karena CFRP Grid kurang dikenal oleh masyarakat dan harganya yang
mahal maka digunakan alternatif lain yaitu dengan menggunakan wiremesh dan SCC.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukakan oleh Hery Dualembang
(2014) pada benda uji balok beton bertulang dengan perkuatan lentur metode
retrofit menggunakan wiremesh dan Self Compacting Concrete (SCC) didapat
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Lapisan wiremesh dan SCC mampu meningkatkan kapasitas beban pada
balok WK sebesar 6.44 % dan untuk balok WB sebesar 40.06 % terhadap
balok normal.
2. Pola retak pada balok kontrol seluruhnya mengalami retak lentur akan
tetapi pola retak yang terjadi pada balok yang telah diberi perkuatan
mengalami retak lentur dan geser. Hal ini terjadi akibat lapisan wiremesh
dan SCC menyebabkan meningkatnya kekuatan pada balok dalam
menahan gaya lentur yang diberikan, namun peningkatan kekuatan ini
menyebabkan tulangan geser tidak mampu menahan gaya geser yang
terjadi.
3. Model kegagalan yang terjadi pada balok seluruhnya mengalami leleh
pada tulangan lentur akan tetapi pada balok WK terjadi putus pada
wiremesh karena tidak mampu menahan beban yang diberikan pada balok.
Hal ini menunjukkan bahwa lapisan SCC memberikan lekatan yang cukup
pada wiremesh maupun pada balok eksisting. Sedangkan pada balok WB,
wiremesh masih dalam keadaan utuh. Hal ini menunjukkan bahwa
wiremesh mampu menahan beban yang diberikan pada balok hingga inti
beton rusak karena tekanan yang diberikan.
Oleh karena perkuatan lentur dengan menggunakan wiremesh dan SCC
di daerah lentur menghasilkan peningkatan yang cukup baik maka dilakukan
penelitian dengan variasi overlapping tulangan yang berbeda.
7

2.2 Sambungan Batang Tulangan


Sambungan batang tulangan ( splices ) di lapangan seringkali diperlukan
karena keterbatasan panjang tulangan yang tersedia, persyaratan pada sambungan
konstruksi, dan perubahan dari tulangan diameter besar ke tulangan diameter lebih
kecil. Umumnya tulangan baja difabrikasi dalam ukuran panjang 12 m, namun
karena panjang tulangan yang dibutuhkan melebihi ketersediaan panjang tulangan
di lapangan, maka diperlukan penyambungan tulangan untuk mentransfer
tegangan lekatan antara tulangan yang satu ke tulangan yang lainnya.
Untuk menghindari terjadinya kegagalan struktur, penyambungan batang
tulangan di daerah momen lentur maksimum balok sebaiknya tidak dilakukan.
Selain itu, penyambungan tulangan tidak terkumpul pada satu titik yang sama
karena akan memperlemah penampang beton atau membentuk garis lemah
struktur. Penyambungan tulangan pada satu titik yang sama akan mengakibatkan
penumpukan tulangan yang akhirnya akan menimbulkan kesulitan pada saat
pelaksanaan penuangan adukan beton kedalam cetakan balok.
Penyelesain sambungan tulangan dapat dilakukan dengan cara
pengelasan, penggunaan alat sambung mekanis, atau sambungan lewatan yaitu
membuat tulangan bertumpang tindih kemudian diikat dengan kawat baja.
2.2.1 Sambungan Tulangan Tarik
Panjang minimum sambungan lewatan untuk tulangan tarik diambil
berdasarkan syarat kelas yang sesuai tapi tidak kurang dari 300 mm. Syarat
masing-masing kelas sebagai berikut :
 sambungan kelas A dengan panjang sambungan lewatan 1.0 ld
 sambungan kelas B dengan panjang sambutan lewatan 1.3 ld
dimana ld adalah panjang penyaluran tarik.
2.2.2 Sambungan Tulangan Tekan
Pada dasarnya panjang minimum sambungan lewatan tekan dihitung
sebagai panjang penyaluran, tetapi tidak kurang dari 0.07 fy.db untuk fy = 400 MPa
atau ( 0.13 fy – 24 ).db untuk fy > 400 MPa atau 300 mm. Sedangkan untuk beton
dengan f’c kurang dari 20 MPa, panjang lewatan harus ditambah sepertiganya.
8

2.3 Material Retrofit


Retrofitting adalah kegiatan memperkuat atau memperbaiki struktur
bangunan yang sudah ada agar bisa dalam menghemat biaya perencanaan
konstruksi bangunan. Retrofitting ini bertujuan untuk mengahasilkan perkuatan
bangunan yang lebih kuat lagi dari sebelumnya.
Sebelum melakukan retrofitting, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan :
1. Melakukan peninjauan ke lapangan.
2. Melakukan pemeriksaan material dan mutu bahan yang digunakan.
3. Menganalisa penyebab kerusakan bangunan.
4. Menganalisa kekuatan bangunan apakah masih mampu menahan
beban atau tidak.
5. Setelah melakukan analisa, jika dianggap struktur masih bangunan
masih mampu menahan beban maka retrofitting tidak perlu
dilakukan. Dan sebaliknya, jika struktur bangunan dirasa tidak
mampu menahan beban maka, perbaikan struktur yang rusak harus
dilakukan.
6. Setelah retrofitting selesai dilaksanakan, bangunan tersebut harus
dianalisa kembali untuk memastikan bahwa struktur benar – benar
dalam kondisi yang aman.
Adapun metode retrofitting yang sering digunakan adalah :
1. Perpendekan bentang dengan cara menambahkan support kolom baru
atau balok lateral.
2. Pembesaran dimensi dengan cara menambah dimensi beton eksisting,
menggunakan material beton SCC (Self Compacting Concrete), atau
non – shrink grouting semen.
3. Menambahkan plat baja untuk menambah kekuatan pada bagian tarik
dari struktur bangunan.
4. Melakukan external prestressing
5. Menggunakan FRP (Fiber Reinforced Polymer).
9

2.3.1 Wiremesh
Wiremesh adalah jarring baja tulangan yang berbentuk persegi yang
dapat digunakan untuk penulangan beton terutama pada struktur pelat lantai beton
bertulang. Keuntungan menggunakan wiremesh adalah mempercepat proses
pembuatan bangunan dan konstruksi beton menjadi lebih akurat, bangunan jadi
lebih baik mutunya dengan yang biaya lebih hemat.

Gambar 2.1 Wiremesh


2.3.2 Self Compacting Concrete (SCC)
Self Compacting Concrete (SCC) adalah beton yang memiliki sifat plastis
dan dapat mengalir sendiri tanpa perlu dipadatkan dengan bantuan alat pemadat
mekanis / vibrator. Dalam pembuatannya, material yang digunakan harus
memenuhi kriteria-kriteria sebaga berikut :
1. Agregat kasar berdiameter maksimum 20 mm ( Ømaks 20 mm ).
2. Agregat halus memiliki modulus kehalusan antara 2.5 – 3.2.
3. Agregat gabungan harus dianalisis dengan teliti untuk memperoleh
gradasi yang baik dan kompak sesuai dengan persyaratan.
4. Persentase gabungan kerikil dan pasir 45% - 55%.
10

5. Penggunaan bahan tambah / zat adiktif untuk mereduksi air campuran


sehingga faktor air semen yang rendah tetap dapat dipertahankan untuk
mengurangi bleending dan segregasi.
6. Slump Flow campuran beton berkisar antara 60 – 75 mm.
7. Air yang digunakan harus memenuhi Spesifikasi Bahan Bangunan
Bagian A ( Bahan Bangunan Bukan Logam ) SK SNI S-04-1989-F.
Dengan menerapkan kriteria-kriteria seperti diatas, maka dapat diperoleh
komposisi campuran SCC yang memiliki keunggulan sebagai berikut :
1. Lebih homogen dan stabil.
2. Tidak memerlukan pemadatan manual.
3. Lebih kedap dan porositas lebih rendah.
4. Proses pengecoran lebih cepat.
5. Susut lebih rendah.
6. Dapat membungkus tulangan dengan baik.
7. Mengurangi polusi suara akibat vibrator.
Material penyusun beton SCC terdiri atas :
a. Semen Portland Komposit
Semen Portland adalah semen yang terbuat dari mineral kristral
halus dimana kalsium dan aluminium silikat sebagai penyusun utamanya.
Penambahan air pada semen ini akan menghasilkan pasta semen yang pada
saat mengeras akan keras seperti batu. Semen Portland memiliki berat
jenis yang berkisar antara 3.12 dan 3.16.
Menurut SNI 15-2049-2004, semen Portland ada 5 jenis, yakni :
1. Jenis I, yaitu semen Portland untuk penggunaan umum yang tidak
memerlukan persyaratan – persyaratan khusus seperti yang
disyaratkan pada jenis – jenis lain.
2. Jenis II, yaitu semen Portland yang dalam penggunaannya
memerlukan ketahanan terhadap sulfat atau kalor hidrasi sedang.
3. Jenis III, yaitu semen Portland yang dalam penggunaannya
memerlukan kekuatan tinggi pada tahap permulaan setelah
pengikatan terjadi.
11

4. Jenis IV, yaitu semen Portland yang dalam penggunaannya


memerlukan kalor hidrasi rendah.
5. Jenis V, yaitu semen Portland yang dalam penggunaannya
memerlukan ketahanan tinggi terhadap sulfat.
b. Agregat
Agregat merupakan komponen beton yang paling berperan dalam
menentukan kekuatan beton. Pada beton biasanya terdapat sekitar 60 % -
80 % volume agregat. Agregat harus bergradasi sedemikian rupa sehingga
seluruh massa beton dapat berfungsi sebagai benda yang utuh, homogen,
dan rapat, dimana agregat yang berukuran kecil berfungsi sebagai pengisi
celah yang ada diantara agregat berukuran besar.
Secara umum, agregat dapat dibedakan berdasarkan ukurannya,
yaitu agregat kasar dan agregat halus. Batasan antara agregat kasar dan
halus berbeda – beda antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu
yang lainnya. Meskipun demikian, diberikan batasan ukuran untuk agregat
kasar dan agregat halus yaitu 4.75 mm ( ASTM ) atau 4.80 mm ( British
standard ). Agregat kasar adalah agregat yang ukuran butirannya lebih
besar dari 4.75 mm dan agregat halus adalah agregat yang ukuran
butirannya lebih kecil dari 4.75 mm.
Untuk mendapatkan kualitas beton yang baik, diperlukan kualitas
agregat yang baik pula. Agregat yang baik dalam pembuatan beton harus
memenuhi persyaratan, yaitu :
1. Harus bersifat kekal, berbutir tajam dan kuat
2. Tidak mengandung lumpur lebih dari 5 % untuk agregat halus
dan 1% untuk agregat kasar
3. Tidak mengandung bahan – bahan organik dan zat alkali, dan
bahan lainnya yang dapat merusak campuran beton.

c. Air
Air diperlukan pada pembuatan beton agar terjadi reaksi kimiawi
dengan semen untuk membasahi agregat dan untuk melumas campuran
12

agar mudah dalam pengerjaannya. Pada umumnya, air minum dapat


dipakai untuk campuran beton. Air yang mengandung senyawa – senyawa
yang berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula, atau bahan – bahan
kimia lain, bila dipakai untuk campuran beton akan sangat menurunkan
kekuatannya dan dapat juga mengubah sifat – sifat semen. Selain itu, air
yang demikian dapat mengurangi afinitas antara agregat dengan pasta
semen dan mungkin pula mempengaruhi kemudahan pengerjaan. ( Nawy,
1998 ).
Karena karakter pasta semen merupakan hasil reaksi kimia antara
semen dengan air, maka bukan bukan perbandingan jumlah air terhadap
total material ( semen + agregat halus + agregat kasar ) yang menentukan,
melainkan hanya perbandingan antara air dan semen pada campuran yang
menentukan. Air yang berlebihan akan meyebabkan banyaknya gelembung
air setelah proses hidrasi selesai, sedangkan air yang terlalu sedikit akan
menyebabkan proses hidrasi tidak seluruhnya selesai. Sebagai akibatnya,
beton yang dihasilkan akan berkurang kekuatannya. ( Nawy, 1998 ).
d. Superplastisizer
Superplastisizer merupakan jenis bahan tambahan baru yang
disebut sebagai “ bahan tambahan kimia pengurang air “. Superplastisizer
terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Kondensasi sulfonat melamin formaldehid dengan kandungan klorida
sebesar 0,005 %.
2. Sulfonat nafthalin formaldehid dengan kandungan klorida yang dapat
diabaikan.
3. Modifikasi lignosulfonat tanpa kandungan klorida.
Pada dasarnya superplastisizer digunakan untuk menghasilkan
beton “ mengalir “ tanpa terjadinya pemisahan yang tidak diinginkan, dan
umumnya terjadi pada beton dengan jumlah air yang besar. Pada alternatif
lain, bahan ini digunakan untuk meningkatkan kekuatan beton, karena
memungkinkan pengurangan kadar air guna mempertahankan workabilitas
yang sama.
13

Karena sifat “mengalir” yang diberikan oleh superplasticizer pada


beton, maka bahan ini berguna untuk pencetakan beton di tempat-tempat
yang sulit seperti tempat yang terdapat penulangan yang padat.
Superplasticizer tidak akan menjadikan “encer” semua campuran beton
dengan sempurna, oleh karenanya campuran harus direncanakan untuk
disesuaikan. Pengaruh yang penting adalah jumlah dari butiran-butiran
halus (semen dan pasir yang ukuran partikelnya kurang dari 300 μm).
2.4 Kekuatan Beton
2.4.1 Kuat Tekan Beton
Karena sifat utama dari beton adalah sangat kuat jika menerima beban
tekan, maka mutu beton pada umumnya hanya ditinjau terhadap kuat tekan beton
tersebut. Sifat yang lainnya, misalnya kuat tarik dan modulus elastisitas beton
dapat dikorelasikan terhadap kuat tekan beton. Menurut peraturan beton di
Indonesia ( SNI 03-2847-2002 ), kuat tekan beton diberi notasi dengan fc’ , yaitu
kuat tekan silinder beton yang disyaratkan pada waktu berumur 28 hari.
Mutu beton dibedakan atas 3 macam menurut kuat tekannya, yaitu:
1. Mutu beton dengan fc’ kurang dari 10 MPa, digunakan untuk beton non
struktur misalnya kolom praktis dan balok praktis.
2. Mutu beton dengan fc’ antara 10 MPa sampai 20 MPa, digunakan untuk
beton struktur misalnya kolom, balok, pelat, maupun pondasi.
3. Mutu beton dengan fc’ lebih dari 20 MPa, digunakan untuk struktur beton
yang direncanakan tahan gempa.
Untuk pengujian kuat tekan beton, benda uji berupa silinder beton
(diameter 10 cm dengan tinggi 20 cm ataupun diameter 15 cm dengan tinggi 30
cm) ditekan dengan beban P sampai runtuh. Karena ada beban tekan P, maka
terjadi tegangan tekan pada beton ( σc ) sebesar beban P dibagi dengan luas
penampang beton ( A ), sehingga dirumuskan :
σc = P / A ( 2.1 )
dengan :
σc = tegangan tekan beton, MPa
P = besar beban tekan, N
14

A = luas penampang beton, mm2


Beban P tersebut juga mengakibatkan bentuk fisik silinder beton berubah
menjadi lebih pendek, sehingga timbul regangan tekan pada beton ( εc’ ) sebesar
perpendekan beton ( ΔL ) dibagi dengan tinggi awal silinder beton ( L0 ), ditulis
dengan rumus :
εc’ = ΔL / L0 ( 2.2 )
dengan :
εc’ = regangan tekan beton
ΔL = perpendekan beton, mm
L0 = tinggi awal silinder beton, mm
Hubungan antara tegangan dan regangan tekan beton digambarkan
seperti berikut

Gambar 2.2 Hubungan antara Tegangan dan Regangan Tekan


Beton
Pada Gambar 2.2 tampak perilaku tegangan regangan beton sebagai
berikut :
1. Pada saat beban tekan mencapai 0,3.fc’ ̴ 0,4.fc’, perilaku tegangan
regangan beton pada dasarnya masih linear. Retak – retak lekatan (
bond crack ) yang sebelum pembebanan sudah terbentuk, akan tetap
stabil dan tidak berubah selama tegangan tekan yang bekerja masih
dibawah 0,3.fc’ ( fc’ merupakan kekuatan batas tekan beton ).
15

2. Pada saat beban tekan melebihi 0,3.fc’ ̴ 0,4.fc’, retak – retak lekatan
mulai terbentuk. Pada saat ini mulai terjadi deviasi pada hubungan
tegangan – regangan dari kondisi linear.
3. Pada saat beban tekan mencapai 0,75.fc’ ̴ 0,90.fc’, retak – retak lekatan
tersebut merambat ke mortar sehingga terbentuk pola retak yang
kontinu. Pada kondisi ini hubungan tegangan – regangan beton semakin
menyimpang dari kondisi linear.
Gambar 2.1 juga menunjukkan bahwa pada saat beton akan runtuh ( kuat
tekan beton telah mencapai puncak fc’), maka tegangan beton turun ( menjadi
0,85. fc’ ) sedangkan regangan tekan tetap naik sampai mencapai batas retak (εcu’
sebesar 0,003 ). Kedua angka ini ( tegangan 0,85. fc’ dan regangan batas εcu’ =
0,003 ) sangat penting bagi perencanaan struktur beton bertulang. ( Asroni, 2010 )
2.4.2 Kuat Tarik Beton
Perilaku beton pada saat diberikan beban aksial tarik agak sedikit
berbeda dengan perilakunya pada saat diberikan beban tekan. Hubungan antara
tegangan dan regangan tarik beton umumnya bersifat linear sampai terjadinya
retak yang biasanya diikuti oleh keruntuhan beton, seperti gambar berikut.

Gambar 2.3 Hubungan antara Tegangan dan Regangan Tarik


Beton
Kuat tarik beton ( fct ) jauh lebih kecil daripada kuat tekannya, yaitu fct ≈
10%.fc’. Menurut pasal 13.4.2.2 SNI 03-2847-2002, hubungan antara kuat tarik
langsung fcr terhadap kuat tekan beton fc’ dinyatakan dengan rumus berikut :
fcr = 0,33.√𝑓𝑐′ ( 2.3 )
16

2.4.3 Modulus Elastisitas Beton


Dari hubungan tegangan – regangan tekan beton pada Gambar 2.1,
terlihat sudut α yaitu sudut antara garis lurus kurva yang ditarik dari kondisi
tegangan nol sampai tegangan tekan sebesar 0,45.fc’ dan regangan εc’. Modulus
elastisitas beton ( Ec ) merupakan tangens dari sudut α tersebut. Menurut pasal
10.5 SNI 03-2487-2002, modulus elastisitas beton Ec dapat ditentukan
berdasarkan berat beton normal Wc dan kuat tekan beton fc’, dengan rumus :
Ec = (Wc )1,5 0,043. √𝑓𝑐′ ( 2.4 )
dengan Wc = 1500 ̴ 2500 kg/m3
Untuk beton normal, nilai Ec boleh diambil berikut :
Ec = 4700. √𝑓𝑐′ ( 2.5 )
2.5 Kekuatan Baja Tulangan
2.5.1 Jenis Baja Tulangan
Menurut SNI 03-2847-2002, tulangan yang dapat digunakan pada elemen
beton bertulang dibatasi hanya pada baja tulangan dan kawat baja saja. Belum ada
peraturan yang mengatur penggunaan tulangan lain, selain dari baja tulangan atau
kawat baja tersebut.
Baja tulangan yang tersedia di pasaran ada 2 jenis, yaitu baja tulangan
polos ( BJTP ) dan baja tulangan ulir atau deform ( BJTD ). Tulangan polos
biasanya digunakan untuk tulangan geser/begel/sengkang, dan mempunyai
tegangan leleh ( fy ) minimal sebesar 240 MPa ( disebut BJTP-24 ) dengan ukuran
ø6, ø8, ø10, ø12, ø14, dan ø16 ( dengan ø adalah simbol yang menyatakan
diameter tulangan polos ). Tulangan ulir / deform digunakan untuk tulangan
longitudinal atau tulangan memanjang, dan mempunyai tegangan leleh ( fy )
minimal 300 MPa (disebut BJTD-30). Ukuran diameter nominal tulangan ulir di
pasaran dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 2.1 Tulangan Ulir dan Ukurannya


17

Jenis tulangan Diameter nominal Berat per meter


(mm) (kg)
D10 10 0,617
D13 13 1,042
D16 16 1,578
D19 19 2,226
D22 22 2,984
D25 25 3,853
D29 29 5,185
D32 32 6,313
D36 36 7,990
(Sumber : Balok dan Pelan Beton Bertulang, 2010)
Yang disebut dengan diameter nominal tulangan ulir adalah ukuran
diameter dari tulangan ulir tersebut yang disamakan dengan diameter
tulangan polos dengan syarat kedua tulangan (polos dan ulir) mempunyai
berat per satuan panjang yang sama.
2.5.2 Kuat Tarik Baja Tulangan
Meskipun baja tulangan juga mempunyai sifat tahan terhadap beban
tekan, tetapi karena harganya yang cukup mahal, maka baja tulangan ini hanya
diutamakan untuk menahan beban tarik pada struktur beton bertulang, sedangkan
beban tekan yang bekerja cukup ditahan oleh betonnya.

Gambar 2.4 Hubungan antara Tegangan dan Regangan Tarik Baja Tulangan
18

2.5.3 Modulus Elastisitas Baja Tulangan


Dari hubungan tegangan – regangan tarik baja tulangan pada Gambar
2.3, terlihat sudut α yaitu sudut antara garis lurus kurva yang ditarik dari kondisi
tegangan nol sampai tegangan leleh fy dan garis regangan εs. Modulus elastisitas
baja tulangan (Es) merupakan tangens dari sudut α tersebut. Menurut pasal 10.5.2
SNI 03-2847-2002, modulus elastisitas baja tulangan non pratekan Es dapat
diambil sebesar 200000 MPa. ( Asroni, 2010 )
2.6 Lentur pada Balok

P P

b
a a
L

(Bid. D)

(Bid. M)

Gambar 2.5 Bentuk Pembebanan Balok dalam Keadaan Lentur Murni


Beban – beban yang bekerja pada struktur, baik yang berupa beban
gravitasi ( berarah vertikal ) maupun beban – beban lain, seperti beban angin (
dapat berarah horizontal ), atau juga beban karena susut atau beban karena
perubahan temperatur, menyebabkan adanya lentur dan deformasi pada elemen
struktur. Lentur pada balok merupakan akibat dari adanya regangan yang timbul
karena adanya beban luar.
Apabila bebannya bertambah, maka pada balok terjadi deformasi dan
regangan tambahan yang mengakibatkan timbulnya ( bertambahnya ) retak lentur
19

di sepanjang bentang balok. Bila bebannya semakin bertambah, pada akhirnya


dapat terjadi keruntuhan elemen struktur, yaitu pada saat beban luarnya mencapai
kapasitas elemen. Taraf pembebanan demikian disebut keadaan limit dari
keruntuhan lentur.
2.7 Kuat Lentur Balok Beton Bertulang

Gambar 2.6 Distribusi Tegangan – Regangan Beton


Dalam mendesain kekuatan lentur diperlukan faktor reduksi terhadap
momen yang terjadi.
ØMu ≥ Mn ( 2.6 )
Syarat keseimbangan gaya-gaya dalam penampang balok
Ts + C = 0 ( 2.7 )
Dimana
C = 0.85 f ′c . a.b ( 2.8 )
Ts = As . fs ( 2.9 )
Sehingga akan menghasilkan Momen sebesar:
Mn = As . fy . jd ( 2.10 )
2.8 Lendutan pada Balok
Hubungan beban-defleksi balok beton bertulang pada dasarnya dapat
diidealisasikan menjadi bentuk trilinier sebelum terjadi rupture seperti pada
diagram gambar 2.6 (Edward G. Nawy, 1998):
20

I II III

Beban P (kN)

Gambar 2.7 Hubungan Beban – Defleksi pada Balok

a. Daerah I : Taraf praretak, dimana batang-batangnya strukturalnya


bebas retak. Segmen praretak dari kurva beban - defleksi berupa garis
lurus yang memperlihatkan perilaku elastis penuh.Tegangan tarik
maksimum pada balok lebih kecil dari kekuatan tariknya akibat lentur
atau lebih kecil dari modulus rupture ( fr) beton. Kekakuan lentur EI
balok dapat diestimasikan dengan menggunakan modulus Young Ec dari
beton, dan momen inersia penampang balok tak retak.
Ec = 0,043 wc1,5.√fc’ ( 2.11 )
Untuk beton normal
Ec = 4700√fc’ ( 2.12 )
Modulus elastisitas baja
Es = 2 x 105 N/mm2 (MPa) ( 2.13 )
Untuk estimasi akurat momen inersia ( I ) memerlukan peninjauan
kontribusi tulangan As . Ini dapat dilakukan dengan mengganti luas baja
dengan luas beton ekivalen (Es/Ec)As karena Es lebih besar dari Ec.
b. Daerah II : Taraf beban pascaretak, dimana batang-batang struktural
mengalami retak-retak terkontrol yang masih dapat diterima, baik
distribusinya maupun lebarnya. Balok pada tumpuan sederhana retak
akan terjadi semakin lebar pada daerah lapangan ,sedangkan pada
tumpuan hanya terjadi retak minor yang tidak lebar. Apabila sudah
terjadi retak lentur maka kontribusi kekuatan tarik beton sudah sudah
dapat dikatakan tidak ada lagi. Ini berarti pula kekakuan lentur
21

penampangnya telah berkurang sehingga kurva beban –defleksi didaerah


ini akan semakin landai dibanding pada taraf praretak. Momen Inersia
retak disebut Icr.
c. Daerah III : Taraf retak pasca-serviceability, dimana tegangan pada

tulangan tarik sudah mencapai tegangan lelehnya. Diagram beban

defleksi daerah III jauh lebih datar dibanding daerah sebelumnya. Ini

diakibatkan oleh hilangnya kekuatan penampang karena retak yang

cukup banyak dan lebar sepanjang bentang. Jika beban terus ditambah

,maka regangan εs pada tulangan sisi yang tertarik akan terus bertambah

melebihi regangan lelehnya εy tanpa adanya tegangan tambahan. Balok

yang tulangan tariknya telah leleh dikatakan telah runtuh secara

struktural. Balok ini akan terus mengalami defleksi tanpa adanya

penambahan beban dan retaknya semakin terbuka sehingga garis netral

terus mendekati tepi yang tertekan. Pada akhirnya terjadi keruntuhan

tekan skunder yang mengakibatkan kehancuran total pada beton daerah

momen maksimum dan segera diikuti dengan terjadinya rupture.

SK.SNI.03-2847-2002 merekomendasikan perhitungan lendutan dengan


menggunakan momen inersia efektif Ie,dengan syarat Icr< Ie< Ig, dimana:
1
𝐼𝑔 = 12 𝑏. ℎ3 ( 2.14 )
1
𝐼𝑐𝑟 = 𝑏. 𝑦 3 + 𝑛. 𝐴𝑠 (𝑑 − 𝑦)2 ( 2.15 )
3

Dengan :
𝐸
𝑛 = 𝐸𝑠 ( 2.16 )
𝑐

Garis Netral :
𝑛.𝐴𝑠 2𝑏.𝑑
𝑦= [√(1 + 𝑛.𝐴 ) − 1] ( 2.17 )
𝑏 𝑠

Momen Inersia Efektif :


22

𝑀 3 𝑀 3
𝐼𝑒 = ( 𝑀𝑐𝑟 ) 𝐼𝑔 + [1 − ( 𝑀𝑐𝑟 ) ] 𝐼𝑐𝑟 ( 2.18 )
𝑎 𝑎

Dengan :
𝑓𝑟 𝐼𝑔
𝑀𝑐𝑟 = ( 2.19 )
𝑦𝑡

𝑓𝑟 = 0.7√𝑓′𝑐 ( 2.20 )
dimana :
fr = Modulus retak beton
yt = Jarak dari garis netral penampang utuh (mengabaikan tulangan
baja) ke serat tepi tarik
Ie = Momen inersia efektif
Icr = Momen inersia penampang retak transformasi
Ig = Momen inersia penampang utuh terhadap sumbu berat
penampang seluruh batang tulangan diabaikan
Ma = Momen maksimum pada komponenstruktur saat lendutan
dihitung.
Mcr = Momen pada komponen struktur saat terjadi retak pertama.
Lendutan pada komponen struktur merupakan fungsi dari panjang
bentang, perletakan dan kondisi ujung bentang, jenis beban baik beban terpusat
maupun beban merata dan kekakuan lentur komponen. Untuk menentukan
lendutan maksimum dapat diselesaikan dengan persamaan:
a. Untuk beban merata q sepanjang bentang
5𝑞𝐿4
∆ = 384 𝐸𝐼 ( 2.21 )

b. Untuk 2 beban terpusat P masing-masing berjarak a dari


perletakan.
𝑃.𝑎
∆ = 24𝐸𝐼 (3𝑙 2 − 4𝑎2 ) ( 2.22 )

2.9 Retak pada Balok


Retak terjadi pada umumnya menunjukkan bahwa lebar celah retak
sebanding dengan besar tegangan yang terjadi pada batang tulangan baja tarik dan
beton pada ketebalan tertentu yang menyelimuti batang baja tersebut. Meskipun
23

retak tidak dapat dicegah namun ukurannya dapat dibatasi dengan cara menyebar
atau mendistribusi tulangan.
Apabila struktur dibebani dengan suatu beban yang menimbulkan
momen lentur masih lebih kecil dari momen retak maka tegangan yang timbul
masih lebih kecil dari momen retak maka tegangan yang timbul masih lebih kecil
dari modulus of rupture fr = 0.7 √f’c. Apabila beban ditambahkan sehingga
tegangan tarik mencapai fr, maka retak kecil akan terjadi. Apabila tegangan tarik
sudah lebih besar dari fr, maka penampang akan retak.
Ada tiga kasus yang dipertimbangkan dalam masalah retak yaitu :
a. Ketika tegangan tarik ft<fr, maka penampang dipertimbangkan untuk
tudak terjadi retak. Untuk kasus ini Ig = 1/12 b.h3
b. Ketika tegangan tarik ft = fr , maka retak mulai timbul. Momen yang
timbul disebut momen retak dan dihitung dengan persamaan:
𝐼𝑔
𝑀𝑐𝑟 = 𝑓𝑟 𝑐 , dimana c = h/2 ( 2.23 )

c. Apabila momen yang bekerja sudah lebih besar dari momen retak, maka
retak penampang sudah meluas. Untuk perhitungan digunakan momen
inersia retak (Icr), transformasi balok beton yang tertekan dan
transformasi dari tulangan n.AS.
Pada dasarnya ada tida jenis keretakan pada balok (Gilbert.1990):
a. Retak lentur ( flexural crack ), terjadi di daerah yang mempunyai harga
momen lentur lebih besar dari gaya geser kecil. Arah retak terjadi hampir
tegak lurus pada sumbu balok.
b. Retak geser ( shear crack ), yaitu keretakan miring yang terjadi pada
daerah garis netral penampang dimana gaya geser maksimum dan
tegangan aksial sangat kecil.
c. Retak geser-lentur ( flexural shear crack ), terjadi pada bagian balok
yang sebelumnya telah terjadi keretakan lentur. Retak geser-lentur
merupakan perambatan retak miring dari retak lentur yang sudah terjadi
sebelumnya.
24

2.10 Keruntuhan Lentur


Jenis keruntuhan yang dapat terjadi pada balok lentur bergantung pada
sifat – sifat penampang balok dan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Keruntuhan tekan ( brittle failure )
2. Keruntuhan seimbang ( balanced failure )
3. Keruntuhan tarik ( ductile failure )
Distribusi regangan pada penampang beton untuk ketiga jenis keruntuhan
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.8 Distribusi Regangan Ultimate pada Keruntuhan Lentur


1. Keruntuhan Tekan ( Brittle Failure )
Pada keadaan penampang beton dengan keruntuhan tekan, beton
hancur sebelum tulangan leleh. Hal ini berarti regangan tekan beton
sudah melampaui regangan batas 0,003 tetapi regangan tarik baja
tulangan belum mencapai leleh, atau εc’ = εcu’ tetapi εs < εy seperti
gambar 2.7 ( b ). Balok yang mengalami keruntuhan seperti ini terjadi
pada penampang dengan rasio tulangan ( ρ ) yang besar, dan disebut
over – reinforced.
Karena beton memiliki sifat yang kuat menahan beban tekan
tetapi getas, maka keruntuhan beton seperti ini disebut keruntuhan tekan
atau keruntuhan getas (brittle failure ). Pada balok yang mengalami
keruntuhan getas, pada saat beton mulai hancur baja tulangannya masih
kuat ( belum leleh ), sehingga lendutan pada balok relatif tetap ( tidak
bertambah ). Tetapi, jika diatas balok ditambah beban yang besar, maka
25

baja tulangan akan meleleh dan dapat terjadi keruntuhan secara


mendadak, tanpa ada tanda – tanda / peringatan tentang lendutan yang
membesar pada balok. Keadaan demikian ini sangat membahayakan
bagi kepentingan kelangsungan hidup manusia, sehingga sistem
perencanaan beton bertulang yang dapat mengakibatkan over –
reinforced tidak diperbolehkan.
2. Keruntuhan seimbang ( Balance Failure )
Pada penampang beton dengan keruntuhan seimbang, keadaan
beton hancur dan baja tulangan leleh terjadi bersamaan. Hal ini berarti
regangan tekan beton mencapai regangan batas 0,003 dan regangan baja
tulangan mencapai leleh pada saat yang sama, seperti gambar 2.7 ( c ).
Balok yang mengalami keruntuhan seperti ini terjadi pada penampang
beton dengan rasio tulangan seimbang ( balance ). Rasio tulangan
balance diberi notasi ρb.
Karena beton dan baja tulangan mengalami kerusakan pada saat
yang sama, maka kekuatan beton dan baja tulangan dapat dimanfaatkan
sepenuhnya, sehingga penggunaan material beton dan baja tersebut
menjadi hemat. Sistem perencanaan beton bertulang yang demikian ini
merupakan sistem perencanaan ideal, tetapi sulit dicapai karena
dipengaruhi beberapa faktor, misalnya ketidaktepatan mutu baja dengan
mutu baja yang rencana, ketidaktepatan mutu beton dalam pelaksanaan
pembuatan adukan dengan mutu beton rencana, maupun kekurang-
telitian pada perencanaan hitungan akibat adanya pembulatan –
pembulatan.
3. Keruntuhan Tarik ( Ductile Failure )
Pada keadaan penampang beton dengan keruntuhan tarik, baja
tulangan sudah leleh sebelum beton hancur. Hal ini berarti regangan
tarik baja tulangan sudah mencapai titik leleh tetapi regangan tekan
beton belum mencapai regangan batas 0,003 atau εs = εy tetapi εc’ < εcu’
seperti terlihat pada gambar 2.7 (d). Balok yang mengalami keruntuhan
26

seperti ini terjadi pada penampang dengan rasio tulangan (ρ) yang kecil,
dan disebut under – reinforced.
Karena kerusakan terjadi pada baja tulangan yang menahan
beban tarik terlebih dahulu dan baja tulangan bersifat liat, maka
keruntuhan beton seperti ini disebut keruntuhan tarik atau keruntuhan
liat ( ductile failure ). Pada balok yang mengalami keruntuhan tarik,
pada saat baja tulangan mulai leleh, betonnya masih kuat ( belum
hancur ), sehingga dapat terjadi lendutan pada balok. Jika di atas balok
ditambah lagi beban yang besar, maka lendutan balok semakin besar
dan akhirnya dapat terjadi keruntuhan. Keadaan demikian ini dapat “
menguntungkan “ bagi kepentingan kelangsungan hidup manusia,
karena ada “ peringatan “ tentang lendutan membesar sebelum runtuh,
sehingga sistem perencanaan beton bertulang yang under – reinforced
ini lebih aman dan diperbolehkan. ( Asroni, 2010 )
2.11 Daktilitas
Daktilitas adalah kemampuan struktur atau komponen struktur untuk
mengalami deformasi inelastis bolak-balik berulang setelah leleh pertama, sambil
mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mendukung
bebannya, sehingga struktur tetap berdiri walaupun sudah retak/rusak dan
diambang keruntuhan.
Faktor daktilitas struktur gedung μ adalah rasio antara simpangan
maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai
kondisi di ambang keruntuhan δm dan simpangan struktur gedung pada saat
terjadinya pelelehan pertama δy. Pada kondisi elastik penuh nilai μ = 1,0. Tingkat
daktilitas struktur dipengaruhi oleh pola retak atau sendi plastis, di mana sendi-
sendi plastis ini harus diusahakan terbentuk di ujung-ujung balok dan bukan di
kolom dan dinding yang memikulnya.
Menurut Paulay & Priestley (1992) daktilitas terbagi dalam :
1. Daktilitas regangan ( strain ductility ), adalah perbandingan regangan
maksimum dengan regangan leleh pada balok yang mengalami beban
aksial tarik atau tekan
27

𝜀𝑢
με = ( 2.24 )
𝜀𝑦

seperti gambar berikut.

εy
N N

L εy

Gambar 2.9 Daktalitas Regangan


2. Daktilitas kelengkungan ( curvature ductility ), adalah perbandingan
antara sudut kelengkungan (putaran sudut per unit panjang) maksimum
dengan sudut kelengkungan leleh dari suatu elemen struktur akibat gaya
lentur.
𝜑𝑢
μφ = ( 2.25 )
𝜑𝑦

Gambar 2.10 Daktalitas Kelengkungan


3. Daktilitas perpindahan ( displacement ductility ) adalah perbandingan

antara perpindahan struktur maksimum pada arah lateral terhadap

perpindahan struktur saat leleh.

𝛥𝑢
μΔ = ( 2.26 )
𝛥𝑦
28

Gambar 2.11 Daktalitas Perpindahan

Menurut SNI 03 – 1726 – 2002, daktilitas merupakan kemampuan suatu


struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara
berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa yang menyebabkan terjadinya
pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup,
sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam
kondisi diambang kehancuran. Daktilitas terbagi atas 2 kategori yaitu :
1. Daktail penuh adalah suatu tingkat daktilitas struktur gedung, dimana
strukturnya mampu mengalami simpangan pasca-elastik pada saat
mencapai kondisi diambang keruntuhan yang paling besar, yaitu
dengan mencapai nilai faktor daktalitas sebesar 5,3.
2. Daktail parsial adalah seluruh tingkat daktalitas struktur gedung
dengan nilai faktor daktalitas diantara struktur gedung yang elastik
penuh sebesar 1,0 dan untuk struktur gedung yang daktail penuh
sebesar 5,3.

Anda mungkin juga menyukai