Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN ALIRAN QADARIYAH

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun
Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[1]

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Mananusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[2]

2. SEJARAH MUNCULNYA QADARIYAH

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi
yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan
Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[3]

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh


Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah
Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-
Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M [4]

Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan
pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan
Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).
Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham
ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah
belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur
Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang
baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur
Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj,
Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.

Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang
pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa
pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena
faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi
mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik
atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini
manusia merdeka dalam tingkah lakunya.

Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut
nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga
merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara
lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan


kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia
mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar atau kadar Tuhan.

Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act. Mereka,
kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits)
untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia
sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan
disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah
Ta’ala.Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum
Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat
Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya :“Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi :
29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada
orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan
Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani
Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat
tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan
lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[5]

3.CIRI-CIRI PENGANUT ALIRAN QADARIYAH

Di antara cirri-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut.

1. Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan
dan nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur
tangan Allah SWT.

2. Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi
iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.

3. Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal
kebajikan

4.AJARAN-AJARAN QADARIYAH

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa


manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan
baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa
atas segala perbuatannya[6]

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh
hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan
balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu
didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas,
orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[7]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang seratus kilogram.Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan
untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah
banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu

Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),
kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah
sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11) [8]

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.

2. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka


bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai
pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap
bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.

3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka
menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.

5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.

6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada
penyerupaan (tasybih).

7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'),
selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.

5.REFLEKSI ALIRAN QADARIYAH DAN ALIRAN JABARIYAH (Sebuah Perbandingan Tentang


Musibah)

Dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam khususnya dalam hal aliran-aliran


yang ada di dalamnya, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah selalu dikaitkan, karena aliran
keduanya ini sangatlah berbeda pandangan, di satu sisi Aliran Qadariyah beranggapan bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah artinya segala tingkah laku manusia tidak
ada campur tangan Allah SWT sama sekali, di lain pihak Aliran Jabariyah berbeda pandangan
dan bertolak belakang yaitu aliran Jabariyah beranggapan bahwa segala tingkah laku manusia
semuanya ditentukan oleh Allah, manusia sangat tidak berdaya.

Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai


kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah
akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan
Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai
berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.

Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham


tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham
rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas
dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran
dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum
Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang
berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.

Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham
Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan
perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak
peranan manusia pada kecelakaan itu.

Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham
Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang
sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat
investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan)
manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.

Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk
yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi
manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan
posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang
Jabariyah.

Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak
dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu
korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.

Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya
tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan
tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan
yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang
menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit
kawasan yang dilanda musibah

6.KEKELIRUAN QADARIYAH TERHADAP TAKDIR ALLAH

Iman kepada taqdir merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap
muslim. Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah
merealisasikan tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk Rabb-nya. Sebab, beriman
kepada qadar termasuk mendapatkan petunjuk.

Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah
petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya."
[Muhammad: 17]Dia juga berfirman, "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang
kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]
‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang tertimpa
musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun
pasrah dan ridha.” ( Zaadul Masiir VIII/283, Ibnul Jauzi)

Kemudian orang yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua makhluk berada dalam
kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semua mahluk tidak memiliki suatu
kekuasaan pun, termasuk terhadap dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan
maupun kemudharatan. Karena itu kita harus yakin bahwa segala urusan itu berada di tangan
Allah. Karena Dialah yang memberi kepada siapa yang dikehendaki dan mencegah dari siapa
yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ditanya oleh
Malaikat Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya
pada taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan Allah Ta'ala. (Arbain An-Nawawi hadits ke 2,
Imam Nawawi) Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.

Imam Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61, menyebutkan bahwa keyakinan
terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat. Orang-orang yang dicintai Rasulullah ini
berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan buruk pada hakekatnya berasal dari Allah SWT.

Dari keterangan inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa pada dasarnya manusia
hanyalah punya kemampuan berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya ada di
tangan Allah SWT. Sebab tidak ada satu kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.

7.BANTAHAN TERHADAP KAUM QADARIYAH

Meski ayat dan hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun masih ada
sekelompok orang yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan dengan taqdir buruk.
Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi taqdir buruk kepada hamba-Nya.
Sebab jika itu dilakukan, berarti Allah telah berbuat dhalim. Dan ini tidak mungkin dilakukan
Allah. Kalau ada seseorang tertimpa musibah berarti itu karena kesalahannya semata, bukan
taqdir Allah.

Pendapat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran Islam. Kelompok yang
berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang muncul pada akhir masa sahabat.
Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani, Gilan al-Damisqi dan Yunus al-Ashwa
yang mengingkari terhadap penyandaran baik dan buruk terhadap qadar. Mereka juga
berpendapat bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof
Yunani . Menurut kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk
kemaslahatan manusia. Bisa saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan
berbuat begitu. Sebab kalau Dia mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi seseorang dan
menghukum orang tersebut, maka berarti hilanglah keadilan-Nya. Intinya, menurut kaum
Qadariyyah, Allah hanya membuat yang baik dan tidak yang buruk. Mereka berpendapat
bahwa Allah tidak menciptakan kecuali yang baik, karena Allah berkewajiban memelihara
kepentingan hamba-Nya.

Pendapat sesat ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala yang terjadi di
jagad raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Dan karena
yang diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak ada alasan untuk mengatakan Allah berlaku
aniaya. Karena tidak ada milik atau hak orang lain yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai
paham Qadariyyah ini Rasulullah bersabda,

ُ‫ن األ َّم ُِة َه ِذُِه َمجوسُ ْالقَ َد ِريَّة‬


ُْ ِ‫لَ َم ِرضوا إ‬ ُْ ‫لَ َماتوا َو ِإ‬
ُ َ‫ن ت َعودوه ُْم ف‬ ُ َ‫ت َ ْش َهدوه ُْم ف‬

"Al-Qadariyyah adalah Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan dijenguk. Jika
mereka mati jangan disaksikan" (HR. Sunan Abu Daud, Sunan Baihaqi)

Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha. disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan

"Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"

Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena taqdir Allah
terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua macam
yaitu baik dan buruk.

Dalam kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar, katanya:
"Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang kelompok Qadariyyah
adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati".

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok Qadariyyah itu
sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap orang atau
kelompok yang memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci, tidak mungkin
kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki
keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan Allah.
Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti kehendak dan
keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.

8. SEJARAH SINGKAT PERPECAHAN DALAM ISLAM

Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karna aliran
tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh bid’ah
yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
1. Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang Yahudi yang
mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-konconya. Ide kotornya pertama
kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini memadukan antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.

2. Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan pemikiran bid'ah
seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia
mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses.
Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat
penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang
masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.

3. Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar


seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam masalah ta'wil, ta'thil
(mengingkari sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja [2] Para salaf pun menentang
pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar
bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan
ciri yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid'ah.
Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada
bid'ahnya. Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat
pada tahun 105H.

4. Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia mengembangkan
pendapat pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah
[3] dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum
muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya
untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-
pendapat Al-Ja'd ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin
banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman
mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-
Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat
'Idul Adha : "Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian,
sementara aku akan menyembelih Al-Ja'd bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak
mengajak Nabi Musa berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam
menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.

5. Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian
marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid'ah dan kesesatan
generasi pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid'ah
Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin
Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi
dengan bid'ah ta'thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah [4],
bid'ah Kalam [5], tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw (yang
maha tinggi) bagi Allah, menolak ru'yah

[6]. Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128H

6. Dalam waktu yang bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid.
Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.

Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-
terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah ini terpecah belah menjadi beberapa
golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah

7. dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam bin Al-
Hakam, Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar ajaran Musyabbihah
dan pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi'ah.

8. Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah, Al-Asy'ariyah dan


Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-ahli filsafat. dengan demikian, pintu
perpecahan terbuka luas bagi setiap orang sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga
tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini.

Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum muslimin. Bahkan terus
bertambah dengan muculnya bid'ah-bid'ah dan penyimpangan-penyimpangan baru di samping
perpecahan yang sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab
dengan bid'ah kesesatan.

Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid'ah ini sudah sirna dan sudah menjadi
koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak tahu!
Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu
masih tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak,
semakin berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta
golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi dan
Ahli Filsafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani menampakkan
taring, mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada sebelumnya.
Karena pada hari ini mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahun, wawasan dan
pemikiran. Disamping minimnya pemaham kaum muslimin tentang agama mereka dan
kejahilan mereka tentang aqidah yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan Dia
adalah sebaik-baik pelindung

9. PERSEPSI KELIRU TENTANG PERPECAHAN DALAM ISLAM

Aliran Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan
cukup luas di kalangan masyarakat, sebelum akhirnya pemimpinnya, Ma’bad dan beberapa
tokohnya, berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh penguasa Damsyiq pada tahun 80 H/699
M, karena menyebarkan ajaran sesat. Sejak terbunuhnya pentolan Qadariyah tersebut, aliran
Qadariyah mulai pudar, sehingga akhirnya sirna dimakan zaman dan kini tinggal sebuah nama
yang tertulis di dalam buku. Namun, sebagai pahamnya masih dianut oleh sebagian orang.

Banyak sekali faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat.
Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut sarat dengan ibrah (pelajaran). Tentunya
kami tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu secara terperinci, akan tetapi ada
beberapa point yang dapat kita jadikan pelajaran. Sembari meluruskan beberapa persepsi keliru
sebagian orang sekitar masalah tersebut dewasa in.

Pertama Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i'tiqad dan
pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh kaum
muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah
dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin.
Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama
yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu
Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu.
Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum
yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan.
Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah
ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan
bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat
makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari
mereka.

Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali muncul yang
menyelisihi asas Islam dan Sunnah.

Adapun kelompok sempalan yang pertama kali muncul yang memisahkan diri dari imam kaum
muslimin adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah
Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal bakal
Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa Saba'iyah ini terpecah
menjadi dua kelompok utama : Khawarij dan Syi'ah.
Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar
pemikirannya setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi'ah meuncul pada peristiwa fitnah atas
diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu. Fitnah diprakarsai oleh Abdullah
bin Saba' lewat ide, keyakinan dan gerakannya. Dari situlah muncrat aqidah sesat, yaitu aqidah
Syi'ah dan Khawarij.

Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya
supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam benih
untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik
seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat
sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk
mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan
blok kiri. Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap
kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak
permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif,
ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber
yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak
ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati
satu sama lain saling bermusuhan.

Kedua ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita
temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara mereka
hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau
salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitment terhadap imam.
Itulah yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat-pun yang memisahkan diri
dari jama'ah. Tidak ada satupun diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau
mengada-ada perkara baru dalam agama. Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam
agama yang mesti diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang
memecah dari jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan
sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh
sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah dusta dan kebohongan
besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat. Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut
sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus
Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda'
dituduh sebagai sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan
itu, mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal! Jelas itu
semua merupakan kebatilan murni!
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu
terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun
ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,
barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar
Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman
Radhiyallahu 'anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para
sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira
para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan
pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah
pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan
menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang
menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan
Allah pasti terjadi
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Bagi aliran Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga
kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Qodariyah tersebut
di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Penganut Aliran Qodariyah)
mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud
untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan
beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan
berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kami memberi saran sebagai berikut:

1. Organisasi NU ini harus bisa membentengi dirinya sendiri agar tidak lagi dimanfaatkan
oleh orang-orang yang memiliki nafsu politik

.2. Mengembalikan NU ke dalam ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum dalam


Qonun Asasi pendirian organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah, organisasi
sosial keagamaan.
BAB IV

DAFTAR PUSAKA

Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin:


Antasari Press, 2008)

Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1986), cet ke-5
KATA PENGNTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Sehingga terselesainya tugas
makalah Aqidah Akhlak mengenai Aliran Qodariyah. Melalui makalah ini kami ingin menjelaskan
mengenai Aliran Qodariyah pada generasi islam. Tugas makalah ini membantu untuk lebih jauh
mengetahui tentang bagaimana Aliran Qodariyah pada generasi Islam. “ Tak ada gading yang
tak retak ” itulah kata pepatah, demikian pula dengan tugas makalah ini tentu masih
mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan, karena itu kepada para pembaca khususnya
guru mata pelajaran ini dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
bertambahnya wawasan kami di bidang ini.
Diucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu, hingga selasai
tugas makalah ini. Semoga yugas ini benar-benar bermanfaat.

Astambul,17 Agustus 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 1
DAFTAR ISI...................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN………………………….…………………………………………………......3
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………..…....3
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………………..….4
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………..……………………...4
BAB II ISI……………………………………………………………………………………………….….…5
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………………..…..14
3.1 Kesimpula……………………………………………………………………………………….…..14
3.2 Saran…………………………………………………………………………………………………..14
BAB IV DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….……………….15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aliran-aliran (Firqoh) muncul setelah Rasulullah SAW wafat, pada zaman Nabi
Muhammad SAW umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk di bidang
aqidah. Kalau ada hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan di antara para
sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada nabi. Maka penjelasan beliau itulah
yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Namun setelah Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran (firqoh) ilmu
kalam, terutama pada masa pemerintahan Kholifah Usman bin affan. Syi’ah merupakan firqoh
pertama yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh lainnya, salah satunya adalah firqoh
Qadariyah.
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam
tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah
ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at,
sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat
yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu
Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata
dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai
teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah
digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam
Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini,
seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka
dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat
bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan
Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah ini penulis
hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Qadariyah. Mencakup di dalamnya
adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum. .
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami perlu merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Awal kemunculan aliran Qadariyah?
2. Siapa tokoh-tokoh Aliran Qadariyah?
3. Bagaimana ajaran-ajaran aliran Qadariyah ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penyususan makalah ini memiliki tujuan
sebagai berikut :
- Dapat mengetahui firqoh-firqoh ilmu kalam dalam Islam
- Dapat menjadi referensi dalam mempelajari firqoh-firqoh dalam Islam pada umumnya serta
aliran qadariyah pada umumnya.
TUGAS MAKALAH ALIRAN QODARIAH

DISUSUN OLEH :

MASLIAH

MUHAMMAD KHALILURRAHMAN

MUHAMMAD RIZKI HASAN

SITI ZORPIAH

XI ALAM

KEMENTIAN AGAMA
MA NEGERI 4 MARTAPURA
TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Anda mungkin juga menyukai