Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kasus kanker di

Indonesia terjadi sebanyak lebih kurang 330.000 orang dengan kasus terbesar

adalah kanker serviks atau kanker leher rahim. Sementara itu, data dari WHO

nformation Centre on HPV and Cervical Cancer menyatakan bahwa 2 dari

10.000 wanita di Indonesia menderita kanker serviks dandiperkirakan 26

wanita meninggal setiap harinya karena kanker serviks. (rikerdas 2013).

Kanker leher rahim (serviks) merupakan jenis kanker yang paling banyak

pengidapnya. Tiap tahun ada 500 ribu kasus baru kanker serviks di dunia

hampir semua (99%) di sebabkan oleh infeksi human papilloma virus (HPV).

Infeksi human paplioma virus sangat muda terjadi. Di perkirakan tiga per

empat dari jumlah orang yang pernah melakukan hubungan seks, laki –laki

maupun perempuan, mengalaminya (Romauli, 2009.p.152).

Menurut data dari World Health Organization (WH ), setiap 2 menit ada

satu penduduk dunia meninggal karena kanker serviks di negara berkembang.

Kanker serviks banyak di jumpai di negara–negara sedang berkembang seperti

Indonesia, India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Di negara–

negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia kanker serviks masuk

urutan pertama. (World Heald Organization in Collaboration with institut

Catala d’Oncologia (ICO) 2010).


2

Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2010, di ketahui

terdapat 493,243 jiwa per tahun penederita kanker serviks baru di dunia dengan

angka kematian sebanyak 273.505 jiwa per tahun. Hampir 90% kejadian

kanker serviks terjadi di negara berkembang. Angka kejadian kanker serviks

tertinggi di temukan di Afrika yaitu dengan lebih dari 45 per 100,000 orang

pertahun, di susul Asia Tenggara 30-44,9 per 100.000 perempuan setiap

tahunnya (World Heald Organization in Collaboration with institut Catala

d’Oncologia, 201).

Indonesia merupakan negara ke dua di dunia setelah china yang memiliki

pengidap kanker leher rahim terbanyak. Kanker di uterus atau rahim

sebenarnya adalah kanker pada badan rahim, yang sebenarnya mempunyai

perbedaan jaringan dengan leher rahim. Penyakit ini lebih sering menyerang

wanita usia lanjut, terutama wanita yang telah mengalami menopause dan

masa aktif dalam kegiatan seksual hendaknya secara rutin melakukan

pemeriksaan papsmear (Ghofar, 2009.p.100).

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker leher

rahim muncul seperti musuh dalam selimut, sulit sekali di deteksi pada stadium

dini karena penyakit ini baru di ketahui setelah stadium lanjut. Di Indonesia

setiap tahun lebih dari 15.000 kasus terjadi atau setiap hari 40 wanita di

diagnosa kanker serviks dan sekitar 20 meninggal karena penyakit tersebut

(Deherba, 2012).
3

Menurut (Center for disease control and prevention 2004) menyatakan

bahwa sekitar 46,7% remaja kelas IX dan XII mengaku pernah melakukan

hubungan seksual walaupun hanya satu kali. Hal ini di karenakan remaja, tidak

memiliki pengetahuan yang ade kuat tentang kesehatan reproduksi dan seksual,

juga akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi sehingga

remaja perempuan menjadi lebih rentan teradap infeksi menuar seksual

(Yulifah 2009).

Prevalensi wanita terhadap kanker serviks menjadi besar karena

kecendrungan wanita menikah pada usia yang lebih muda dan keterbatasan

kemampuan ekonomi yang membuat akses informasi dan pelayanan reproduksi

menjadi terbatas (Jurnal Keperawatan dan Kebidanan, Volume 4, No 1, juni

2008).

Faktor resiko terjadinya kanker leher rahim yang terjadi pada wanita

meliputi usia pernikahan yang terlalu dini (kurang dari 18 tahun) atau memulai

aktifitas seksusal pada usia muda, wanita yang merokok, kebersihan genetalia

yang buruk, wanita yang melahirkan lebih dari 3 kali, wanita dengan aktivitas

seksual yang tinggi dan sering berganti - ganti pasangan (Yatim, 2008)
4

Infeksi Menular Seksual (IMS) menyerang 3 juta remaja yang aktif

secara seksual setiap tahunnya. Peningkatan infeksi tersebut menjadikan

remaja lebih beresiko untuk terkena kanker serviks. Data Yayasan Kanker

Indonesia (YKI) menyebutkan setiap satu jam perempuan di Indonesia

meninggal akibat kanker serviks ini dan setiap harinya di temukan 41 kasus

baru dengan 20 kematian sekaligus. Jumlah tersebut di pastikan akan terus

mengalami peningkatan apabila tidak segera di tangani (Rajidi, 2007).

Insiden kanker serviks menurut DEPKES, 100 per 100.000 penduduk

pertahun, sedangkan dari data laboraterium Patologi Anatomi seluruh

Indonesia, frekuensi kanker serviks paling tinggi di antara kanker yang ada di

Indonesia, penyebarannya terlihat bahwa 92,4% terakumulasi di jawa dan bali.

(Depkses,2010).

Studi yang dilakukan oleh Wijaya (2000) membuktikan bahwa wanita

yang berhubungan seksual pada usia kurang dari 20 tahun mempunyai risiko

terkena kanker serviks dua kali lipat dibandingkan dengan yang berhubungan

seks setelah usia 20 tahun. Selain itu, terjadinya kanker serviks juga dipicu oleh

kebersihan daerah kewanitaan yang kurang. Kebersihan genital yang buruk

memiliki risiko terkena kanker serviks 38,965 kali dibandingkan dengan

kebersihan genital yang baik (Has, 2009).


5

Personal hygiene yang tidak baik dan penggunaan pembalut tidak

berkualitas dengan kandungan bahan pemutih (dioksin) dapat menghambat

sirkulasi udara pada daerah kewanitaan. Dioksin dapat menguap apabila

bereaksi dengan darah menstruasi, sehingga hal ini juga dicurigai merupakan

faktor risiko kanker serviks (Kartikawat 2012).

Organ kewanitaan akan menjadi lembab dan merangsang tumbuhnya

berbagai bakteri patogen yang dapat menyebabkan kanker serviks apabila

menggunakan pantyliner terus menerus (Wijaya,2010).

Pap Smear di beberapa negara maju telah berhasil menekan jumlah kasus

kanker serviks, baik dari jumlah maupun stadiumnya. Akan tetapi, bagi

Negara - negara yang tergolong miskin dan berkembang termasuk Indonesia,

kebijakan program skrining kanker serviks kiranya masih sangat tersangkut

dengan banyak kendala.

Menurut Prawoto (2000) dan Ramli (2000) kendala yang terganjal di

antaranya adalah masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Pap

Smear, kurangnya sumber daya manusia sebagai perilaku skrining dan faktor

ekonomi.

Ibu yang mempunyai faktor resiko kanker serviks seperti umur, paritas

dan mempunyai pengetahuan yang kurang baik tentang kanker serviks. Umur

rata - rata perempuan yang terserang kanker serviks 50-an tahun. Namun

pernah di laporkan kasus kanker serviks berumur 20 tahun. Sekitar 1%

penderita kanker serviks terdiagnosis pada waktu perempuan sedang

hamil/baru saja selesai dari proses persalinan. (Yatim,2008.p.45).


6

Hampir 50% penderita kanker serviks ternyata tidak melakukan Pap

Smear dalam 10 tahun belakangan. Disamping itu juga alasan para wanita

untuk tidak melakukan pemeriksaan Pap Smear adalah psikologis yaitu takut,

gelisah, kwatir atau cemas dalam pemeriksaan pap smear (Evennet,2003.p.47)

Tingginya kasus kanker serviks di negara berkembang di sebabkan

terbatasnya akses screening dan pengobatan. Masih banyak wanita di negara

berkembang, termasuk Indonesia kurang mendapat informasi dan pelayanan

terhadap penyakit kanker serviks. Hal ini karena tinggkat ekonomi rendah dan

tingkat pengetahuan wanita yang kurang tentang pemeriksaan IVA

(Meutia,2008).

Penelitian yang telah di lakukan di Semarang di dapatkan bahwa

banyaknya kasus kanker serviks di sebabkan pengetahuan yang kurang tentang

kanker serviks danrendahnya kesadaran masyarakat dalam deteksi dini

(Indrayana, 2007 dalam Candraningsih, 2010).

Pengetahuan merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku

seseorang melakukan pemeriksaan IVA. Suatu penelitian di dapatkan tingkat

pengetahuan wanita usia subur masih rendah, yaitu tingkat pengetahuan cukup

dan kurang (43,6% dan 17,9%) sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan

tinggi hanya 38,5% (Candraningsih, 2010). Faktor yang paling dominan

berhubungan dengan pemeriksaan IVA adalah pengetahuan dengan p=0.001

dan p<0.05 ( Lestari,2012,Lesse,2012 dan Yudia, 2011).


7

Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon

tergantung pada karakteristik atau faktor - faktor lain dari orang yang

bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang,

namun respon tiap orang berbeda ( Notoatmodjo, 2007).

Perilaku deteksi dini kanker seviks sendiri merupakan suatu bentuk repon

pemeriksaan yang berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrening) dan

adanya pelacak perubahan sel ke arah ke ganasan secara dini sehingga kelainan

pra kanker dapat di terdeteksi secara dini. Deteksi dini kanker serviks di

lakukan dengan pemeriksaan pap - smear. Bagi wanita berusia lebih dari 25

tahun yang telah menikah atau sudah melakukan senggama, di anjurkan untuk

pap-smear sekali setahun secara teratur (Dalimartha, 2004).

Faktor perilaku seperti melakukan hubungan seksual pertama pada usia

dini (kurang dari16 tahun), berganti-ganti pasangan seksual yang menyebabkan

infeksi herpes genetalis atau infeksi klamidia menahun, pemakaian DES

(dietilstilbestrol) untuk mencegah keguguran, gangguan sistem kekebalan

tubuh, pemakaian pil KB jangka lama, merokok, dan kelompok ekonomi lemah

juga telah diketahui sebagai faktor risiko kanker serviks (Kartikawati, 2013).

Penelitian yang telah dilakukan Indrawati (2012), juga menyimpulkan

hasil personal hygiene yang kurang baik, memiliki risiko terkena kanker

serviks 19,386 kali dibandingkan dengan wanita yang memiliki personal

hygiene yang baik. Menurut Bustan (2007).


8

Wanita dengan personal hygiene yang buruk berisiko lebih besar untuk

terkena kanker serviks dari pada wanita dengan personal hygiene yang baik.

Personal hygiene yang buruk meliputi penggunaan pembalut dengan dioksin,

penggunaan kloset umum yang kurang saniter, dan penggunaan antiseptik pada

serviks (Wijaya,2010).

Menurut umur yang paling banyak adalah golongan umur 44 - 55 tahun

(58,3%). Seluruh penderita berstatus kawin (100 %). Kebanyakan penderita

kanker seriviks dengan status pendidikan SMP - SMA (57,2 %). Menurut

paritas yang paling sering adalah 3 - 5 tahun anak (56,1%). Keluhan utama

yang paling banyak di alami penderita adalah pendarahan pervagina (77,9%).

Sedangkan stadium terbanyak adalah IIIb (39,5 %) (Diah Lestari Nasution dkk,

2018).

Penelitian mengenai kanker serviks pada siswi putri khususnya pada

siswi sekolah menengah atas (SMA) di kota kendari belum pernah di lakukan

sebelumnya. Masa SMA adalah masa di mana anak perempuan sudah

mengalami menstruasi, dan sudah mulai mengenal tentang hubungan seksual

dan di lain pihak mereka juga sudah mulai mengalami masa puber dengan

permasalahan psikologis seperti, depresi, rasa takut, problem di rumah, atau

problem ke uangan yang terjadi pada mereka. Selain itu di usia SMA juga biasa

terjadi rasa ingin tau yang lebih tinggi tentang seks sehingga akan rentan

berhubungan seksual sesame lawan jenis/ teman sebayanya, sehingga rentan

terjadi resiko kanker servis pada anak SMA.


9

SMA Negeri 4 Kendari adalah salah satu sekolah unggulan di kota

kendari dan merupakan sekolah yang bertaraf internasional. Berbagai kegiatan

ekstrakulikuler di sekolah ini yang mengindikasikan para siswanya mempunyai

kegiatan yang sangat banyak. Anak – anak di perkotaan juga biasa memiliki

teman pergaulan yang luas, dan bisa membawa pengaruh buruk bagi anak jika

salah dalam memilih teman dekat dan bisa mengakibatkan anak tersebut

terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan beresiko besar terkena kanker

serviks.

Berdasarkan data hasil pendahuluan yang di dapatkan, di SMA N 4

Kendari pada tanggal 5 Maret 2019. Jumlah keseluruhan Siswa–Siswi SMA N

4 Kendari sebanyak 1.706 siswa–siswi untuk jumlah siswanya sebanyak 778

siswa dan untuk jumlah siswinya 929 siswi.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik melakikan penelitian tentang

“Pengaruh pemberian edukasi tentang deteksi dini kanker serviks terhadap

pengetahuan pada siswi SMA Negeri 4 kota Kendari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, peneliti ingin

melakukan penelitian dan rumusan masalah

1. Apakah ada pengaruh pengetahuan tentang deteksi dini kanker serviks pada

siswi di SMA N 4 Kendari 2019 ?

2. Apakah ada pengaruh dari sikap siswi tentang deteksi dini kanker serviks

pada siswi di SMA N 4 Kendari ?


10

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap siswi terhdap “ pengaruh

pemberian edukasi tentang deteksi dini kanker serviks pada siswi SMA

Negeri 4 Di Kota Kendari”

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswi SMA N 4 Kendari tentang

deteksi dini kanker serviks sebelum dan sesudah di berikan edukasi

b. Untuk mengetahui sikap siswi siswi SMA N 4 Kendari tentang deteksi

dini sebelum dan sesudah di berikan edukasi.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Menjadi tambahan pengetahuan bagi keilmuan keperawatan dan

kesehatan.

b. Manfaat Praktis

Menjadi dasar bagi institusi kesehatan dalam membahas

pendidikan keperawatan bagi siswi SMA dalam deteksi dini kanker

serviks.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kanker Serviks

Kanker serviks adalah proses keganasan atau biasa di sebut juga

tumbuhnya tumor ganas pada leher rahim/serviks (bagian terendah dari

rahim yang menempel pada puncak vagina) sehingga jaringan di

sekitarnya tidak dapat melaksanakan fungsi sebagai mestinya

(Sukaca,2009 ; Nugroho dan Utama,2014)

Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh pada serviks yang

merupakan pintu masuk ke arah rahim (uterus) yang terletak antara rahim

dan liang senggama (vagina). Kanker ini biasa terjadi pada wanita yang

telah berumur di atas 30 tahun, tetapi bukti statistik menunjukan bahwa

kanker serviks juga dapat terjadi pada wanita yang berumur antara 22

tahun sampai 55 tahun (Diananda, 2009).

Menurut para ahli kanker, kanker serviks adalah salah satu jenis kanker

yang paling dapat di cegah dan paling dapat di sembuhkan dari semua

kasus kanker. Sebagaimana kanker umumnya kanker serviks akan

menimbulkan masalah–masalah beberapa kesakitan (morbiditas),

penderita dan akibat serius dari penyakit ini adalah kematian. (Diananda,

2009).

Kanker serviks biasa menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari

kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10%
12

sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lender pada saluran servikal

yang menuju ke dalam rahim (Nugroho dan Utama,2014).

B. Penyebab dan Perjalanan Kanker Serviks

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa penyebab kanker leher

rahim akibat infeksi virus Human Papilloma Virus (HPV), yang biasa

menyerang wanita usia reproduksi. Semua wanita yang terinfeksi HVP

belum tentu akan berkembang menjadi kanker leher rahim karena infeksi

dapat di sembuhkan dalam waktu 8 sampai 24 bulan. Tidak semua HVP

dapat menyebabkan kanker leher rahim. Ada dua tipe HVP, HVP resiko

tinggi dan HVP resiko rendah. Yang menjadi penyebab utama kanker leher

rahim jika terinfeksi berlanjud HVP resiko tinggi, dengan tipe 16, 18, 31,

35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 68.

Proses terjadinya kanker leher rahim sangat erat dan berhubungan

dengang proses metaplasia, yaitu proses pergantian epitel kolumar menjadi

epitel skuasoma dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah.

Masuknya mutagen atau bahan–bahan yang dapat mengubah sifat sel

secara genetik pada saat fase aktif metaflasia menjadi sel yang berpotensi

ganas. Perubahan ini biasanya terjadi di daerah transformasi.

Sel yang mengalami mutasi di sebut sel displastik dan kelainan

epitelnya di sebut displasia (Neoplasia Intraepitel Serviks/NIS), di awali

dengan displasia ringan, sedang, berat, karsinoma in-situ, dan kemudian

berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi displasia di kenal juga


13

sebagai Lesi pangreas. Perbedaan derajat displasia di dasarkan atas tebal

epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan.

Karakteristik dari perjalanan kanker leher rahim adalah sebagai berikut :

a. Inveksi HVP : Bisa terjadi pada perempuan usia produktif, infeksi HVP

dapat berlanjut dan berkembang menjadi displasia atau sembuh.

b. Displasia ringan : bersifat sementara dan hilang sendiri, jika infeksi

berlanjut dapat menjadi displasia berat.

c. Displasia ringan dan berat : keadaan yang berpotensi menjadi kanker

leher rahim, kondisi yang jarang di temukan di bandingkan displasia

ringan.

d. Kaker Invasif : perempuan dengan displasia berat beresiko tinggi untuk

menjadi kanker invasif yang biasanya membutuhkan waktu bertahun –

tahun.

Tingkatan atau staging pada kanker serviks di tentukan berdasarkan pada

tempat kanker di temukan.

Berikut ini adalah tahapan dari kanker serviks invasif menurut National

Cancer Insituse tahun 2008.

a. Stadium I, di mana tumor telah menyerang leher rahim (serviks) di

bawah lapisan atas sel. Sel – sel hanya di temukan di serviks.

b. Stadium II, tumor telah meluas ke bagian atas vagina. Pada tahap ini

mungkin telah melebihi kanker rahim ke dalam jaringan di dekatnya

sampai ke dinding panggul (lapisan dari bagian tubuh antara panggul).


14

Tumor tidak menyerang sepertiga bagian bawah vagina atau dinding

panggul.

c. Stadium III, tumor meluas ke bagian bawah vagina, bahkan mungkin

telah menyerbu dindin panggul. Jika tumor mengalami aliran urin,

maka salah satu atau kedua ginjal tidak dapat bekerja dengan baik.

d. Stadium IV, tumor menyerang hingga kandung kemih atau rektum,

kanker telah ke bagian lain dari tubuh.

e. Kanker kambuh (berulang), kanker telah di rawat namun kembali

setelah beberapa waktu dan tidak dapat di deteksi. Kanker dapat muncul

kembali di leher rahim atau pada bagian tubuh lainnya

C. Faktor Resiko

Adapun faktor – faktor resiko dari kanker serviks adalah sebagai berikut :

a) Perilaku Seksual

Perilaku seksual seperti berganti–ganti mitra seksual dan usia

pertama kali saat melakukan hubungan seksusal sangat berhubungan

dengan kejadian kanker serviks skuamosa. Resiko meningkat menjadi

lebih dari 10 kali, bila saat berhubungan seks pertama kali di bawah

umur 15 tahun dan memiliki partner seksual yang banyak (6 atau lebih).

Resiko akan lebih meningkat jika berhubungan seks dengan pria yang

beresiko tinggi mengidap kondiloma akuminatium. Pria yang beresiko

tinggi adalah pria yang melakukan hubungan seksual dengan partner

seks yang banyak.


15

b) Merokok

Rokok mengandung tembakau, di dalam tembkau tersebut terdapat

kandungan bahan–bahan karsinogen baik yang di hisap maupun yang di

kunyah. Asap rokok menghasilkan polycycli aromatic heterocycli

amine yang mutagen dan sangat karsinogen, sedangkan jika di kunyah

menghasilkan netrosamine. Bahan yang berasal dari tembakau yang di

hisap terdapat padah getah serviks wanita perokok dan dapat mejadi

kokakrsinogen inveksi virus.

c) Metode kontrasepsi

Mengunakan kontrasepsi oral (pil KB) untuk waktu yang lama (5

tahun atau lebih sedikit) sedikit meningkat resiko terjadinya kanker

serviks pada perempuan dengan inveksi HVP. Tetapi ketika

penggunaan kontrasepsi oral di hentikan, dengan cepat resiko tersebut

dapat di turunkan dengan cepat. Pil kontrasepsi oral kombinasi

mempunyai hubungan terhadap kejadian kanker serviks, kemungkinan

karena esterogen yang terdapat dalam pil tersebut membuat ektropin

pada serviks menjadi lebih luas dan akibatnya terbentuk area yang lebih

luas tempat metaplasia menjadi lebih rentan terhadap HPV.

d) Kontrasepsi barir

Pengunaan metode barir (kondom) akan menurunkan resiko kanker

serviks. Hal ini di sebabkan karena adanya perlindungan serviks dari

kontak langsung bahan karsinogen dari cairan semen. Beberapan


16

kontasepsi lain dapat mengaktifkan virus yang di tularkan melalui

seksual.

e) Imunosupresi

HIV (Human Immunodeficiensy virus) merupakan virus penyebab

AIDS yang menyebabkan sistem imun tubuh menurun dan membuat

perempuan beresiko tinggi terinfeksi HPV. Peneliti percaya bahwa

sistem imun penting untuk merusak, memperlambat pertumbuhan dan

penyebaran sel kanker. Pada wanita dengan HIV, pankreas serviks

mungkin akan berkembang menginvasi dengan cepat untuk menjadi

kanker dari pada normalnya. Penggunaan obat imunosupersan/penekan

kekebalan tubuh atau paska transpalasi organ merupakan faktor resiko

juga.

f) Umur

HPV di transmisikan melalui hubungan seksual. Oleh karena itu,

umur yang rentan terkena infeksi HPV adalah umur reproduksi, yaitu

umur kurang dari 50 tahun. Wanita yang berusia <50 tahun lebih

beresiko terinfeksi HPV 1,38 kali lebih tinggi di bandingkan dengan

wanita ≥ 50 tahun. Resiko kanker leher rahim meningkat antara umur

20-30 tahun dan menurun pada umur > 50 tahun. Hal tersebut

mendorong program deteksi dini untuk menganjurkan wanita usia 20

sampai 50 tahun yang telah berhubungan seks untuk melakukan

pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim.


17

g) Status Pernikahan

Status pernikahan terkaid dengan hubungan seksual. Di indonesia,

karena menanyakan jumlah pasangan seks atau pernah berhubungan

seks masih di anggap tabu dan tidak etis, maka yang di tanyakan adalah

status pernikahan, yaitu menikah, tidak menikah (belum

menikah/pernah menikah ). Salah satu faktor protektif terinfeksi HPV

adalah tidak melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu wanita yang

pernah melukan hubungan seks memiliki resiko yang lebih tinggi di

bandingkan yang tidak melakukan hubungan seks. Akan tetapi (Li etal

2010) menemukan bahwa wanita yang tidak menikah (termasuk belum

menikah, cerai, dan janda) lebih rentan terinfeksi HPV 1,7 kali di

bandingkan wanita menikah.

h) Status Sosio–Ekonomi (tingkat pendidikan)

Status sosio–ekonomi seseorang biasa di ukur dari tingkat

pendapatan atau tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi

tingkat pendapatan atau tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula

kemampuan dan ke sadaran untuk melakukan pemeriksaan deteksi dini

kanker rahim. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang di lakukan

Mozambik, yaitu wanita yang berpendidikan rendah memiliki resiko

lebih 18 kali lebih tinggi terhadap kanker leher rahim di bandingkan

dengan yang berpendidikan tinggi. Akan tetapi penelitian di cina

menyatakan bahwa wanita yang berpendidikan tinggi dan

berpendapatan lebih tinggi lebih rentan untuk terinfeksi HPV.


18

i) Jumlah pasangan seks

Infeksi HPV berkaitan erat dengan perilaku seksusal. Penelitian di

kosta rika menemukan peningkatan resiko terhdap infeksi HPV resiko

tinggi berbanding lurus dengan peningkatan jumlah partner seks.

Wanita yang memiliki pasangan seks ≥ 4 beresiko 2 hingga 3,5 kali

lebih tinggi terinfeksi HPV di bandingkan dengan yang memiliki satu

pasangan seks. Di Mozambik, wanita yang memiliki pasangan seks > 6

beresiko 6 kali lebih tinggi untuk kanker leher rahim di bandingkan

dengan yang memiliki pasangan seks hanya 1 sampai 5 orang.

j) Kontrasepsi Hormonal

Kontrasepsi oral atau lebih dikenal dengan pil KB merupakan salah

satu faktor yang masih di duka berkaitan dengan terjadinya kanker leher

rahim. Wanita yang di diagnosis positif HPV dan pernah menggunakan

korasepsi oral > 5 tahun memiliki resiko 3 kali lebih tinggi di

bandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral.

Selain itu, wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal lebih

mudah untuk terpajan HPV di bandingkan dengan yang menggunakan

kontrasepsi barriel (penghalang) atau yang tidak pernah berhubungan

seks. Hal tersebut di mungkinkan karena penggunaan kontrasepsi

hormonal dapat mempengaruhi perubahan lendir serviks dan perubahan

respon imun sehingga meningkatkan kerentanan serviks terhadap

infeksi HPV.
19

k) Umur pertama kali berhubungan seksual

Usia perkawinan muda atau melakukan hubungan seks pada usia

dini, yang sebelum usia 20 tahun di anggap sebgai faktor terpenting dan

tertinggi. Umur pertama kali melakukan hubungan seks terkait erat

dengan infeksi HPV yang menjadi penyebab utama lesi prankanker

leher rahim karena epitel serviks yang belum matang sehingga

meningkatkan kerentanan terhadap agen kanker dan penyekit menular

seksual lainnya. Hal tersebut di benarkan oleh hasil penelitian di

Mozambik, wanita yang melakukan hubungan seks pertema kali pada

usia ≤ 15 tahun beresiko 5 kali lebih tinggi terhadap kanker leher rahim

di bandingkan dengan yang melakukannya pada usai ≥ 20 tahun. Akan

tetapi, penelitian lain menyatakan bahwa usia pertama kali berhubungan

seksual tidak secara independen berasosiasi dengan infeksi HPV,

melainkan dapat di jadikan sebagai prediktor dari jumlah pasangan seks

selama hidup. Umur pertama kali berhubungan seks dapat di gunakan

pula sebagai prediktor jumlah pasangan seks dari seorang wanita.

Semakin muda seorang wanita melakukan hubungan seks pertamanya,

maka semakin banyak pula pasangan seks yang ia miliki.

l) Infeksi pada alat kelamin

Chlamydia trachomatis (CT) dan Herpes Simplex Virus tipe 2

(HSV – 2) berasional dengan peningkatan risiko kanker leher rahim

pada wanita yang di diagnosis HPV positif. Kedua virus tersebut di

duga menginduksi terjadinya inflamasi pasa serviks yang dapat memicu


20

kerusakan genotoksik melalui reaksi oksidasi metabolit. Selain itu

Trichomonas vaginitis dapat meningkatkan terjadinya lesi pranker leher

rahim hingga 1,74 kali pada wanita yang pernah terinfeksi bakteri

tersebut.

m) Paratis

Paratis adalah jumlah persalinan yang di alami oleh seorang

perempuan, baik bayi dalam keadaan hidup maupun mati. Penelitian di

Mali menemukan bahwa paritas berhubungan kuat dengan resiko

kanker leher rahim, di mana wanita yang memiliki > 10 anak resikonya

5 kali lebih tinggi di bandingkan yang memiliki 1-5 anak. Penelitian

lain di Mozambik menyimpulkan bahwa wanita yang mempunyai ≥ 5

anak beresiko 4 kali lebih tinggi untuk kanker leher rahim di

bandingkan dengan wanita yang hanya memiliki 1 anak atau tidak

pernah melahirkan

n) Umur pertama kali melahirkan

Wanita yang pernah melahirkan beresiko 1,95 kali lebih tinggi di

bandingkan dengan wanita yang tidak pernah melahirkan untuk

terinfeksi HPV. Umur saat pertama kali melahirkan pun ternyata

mempengaruhi kejadian infeksi HPV. Wanita yang melahirkan pertama

kali pada usia ≤ 24 tahun memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk

terinfeksi HPV di bandingkan dengan wanita yang melahirkan pertam

kali pada usia ≥ 30 tahun. Begitu pula untuk kejadian lesi prankanker,
21

wanita yang melahirkan pertama kali pada usia ≤ 24 tahun memiliki

resiko yang lebih tinggi.

o) Penapisan (Skrining) Kanker Leher Rahim

Kanker leher rahim dapat di cegah dengan meminimalkan faktor

resiko dan melakukan deteksi dini. Deteksi dini dengan penapsiran

(skrining) dapat di lakukan dengan beberapa metode. Metode skrining

kanker leher rahim di antaranya adalah sebagai berikut.

p) Pap Smear

Pap smear atau Papnicolau smear, jiga di kenal dengan Pap Test

merupakan suatu metode di mana di lakukan pengambilan sel dari

mulut rahim kemudian di periksa di bawah mikroskop. Pada

pemeriksaan biasanya dapat di tentukan apakah sel yang ada di leher

rahim masih normal, berubah menuju kanker, atau telah berubah

menjadi sel kanker. Selain itu infeksi dan inflamasi leher rahim juga

dapat di tentukan dari pemeriksaan ini. Tingkat spesifitas Pap smear

adalah 98%, akan tetapi sensitivitasnya hanya 50%.

q) Klopskopi

Kelainan pada pemeriksaan Pap smear dapat di lanjutkan dengan

pemeriksaan kolostopi. Pemeriksaan kolostopi bertujuan untuk

membuktikan adanya kelainan sel serviks (leher rahim). Pemeriksaan

kolostopu adalah pemeriksaan dengsn menggunakan alat kolposkop

(alat untuk melihat adanya kelainan epitel dan kelainan pembulu darah).

Alat tersebut di lengkapi dengan pembesaran 5 hingga 50 kali sehingga


22

sel epitel dan pembuluh darah dapat terlihat dengan jelas, di lakukan

dengan atau tanpa penambahan asam asetat untuk mengidentifikasi area

yang abnormal. Jika terdapat kelianan epitel atau pembuluh darah pada

pemeriksaan kolposkopi, maka harus di buktikan dengan pemeriksaan

patologi, yaitu dengan melakukan biopsi atau pengambilan sedikit

sayatan jaringan menggunakan alat loop tenaga listrik. Hasil

pemerikaan patologi merupakan diagnosis pasti kelinan.

r) Infeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)

Metode IVA ini merupakan salah satu metode baru di deteksi dini

kanker leher rahim. Metode ini di anggap lebih mudah, murah dengan

harapan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pemeriksaan

IVA di lakukan dengan cara mengamamati dengan menggunakan

spekulum, melihat 3%-5%. Jika terdapat lesi pranker maka akan

menampilkan warna bercak putih yang di sebut aceotowhite epitelium.

Untuk program skrining kanker leher rahim yang lebih baik, ACCP

(Aliancer For Cervical Cancer Prevention) menyarankan nergara-

negara dengan sumber daya terbatas malaksanakan pemeriksaan IVA di

ikuti dengan krioterapi (terapi beku). Walaupun sensitivitas IVA lebih

rendah di bandingkan tes DNA, HPV,IVA di tambah krioterapi akan

meningkatkan cakupan skrining yang berdampak pada hasil program

pencegahan kanker leher rahim yang lebih baik di bandingkan tidak

melakukan apapun atau hanya terbatas pada Pap smear dan tes DNA

HPV.
23

s) Program penapsiran kanker leher rahim di indonesia

Di indonesia yang masih termasuk ke dalam negara berkembang,

pemeriksaan Pap smear dan kloposkopi belum mampu menjangkau

seluruh lapisan masyarakat karena biaya yang mahal. Oleh karena itu

pemerintahan melalui kementrian kesehatan melaksanakan program

penapisan kanker leher rahim dengan pendekatan kunjungan tunggal

(Single Visit Approach/SVA) di puskesmas yang merupakan pelayanan

kesehatan primer di indonesia Pendekatan SVA ini untuk pencegahan

kanker leher rahim melalui pemeriksaan IVA di lanjutkan dengan

pengobatan krioterapi, pelaksanaan penapsiran dengan cara melihat dan

mengobati klien dapat di lakukan pada saat kunjungan yang sama.

Apabila hasil pemeriksaan IVA di nyatakan positif, maka klien akan di

tawarkan pilihan pengobatan dengan krioterapi atau rurjukan ke

pelayanan lain pada hari yang sama saat dia menjalani penapsiran itu.

Kriotrerapi merupakan proses pembekuan leher rahim, baik

menggunakan CO2 terkompensasi atau NO2 sebagai pendingin.

Pengobatan berupa penerapan pendinginan terus–menerus selama 3

menit untuk membekukan, di ikuti pencairan selama 5 menit, kemudian

3 menit pembekuan kembali.

t) Kontrasepsi

Program keluarga berencana (KB) telah lama di selanggarakan

oleh pemerintahan untuk mengatur pertumbuhan penduduk. Salah satu

kegiatannya adalah dengan meningkatkan pelayanan kontrasepsi untuk


24

menurunkan angka kelahiran. Kontrasepsi merupakan upaya untuk

mencegah kehamilan dengan cara mencegah fertilisasi atau

implementasi sel telur yang sudah di buahi. Jenis kontrasepsi terbagi

menajdi dua, yaitu kontrasepsi hormonal (dengan menggunakan

hormon) dan kontrasepsi non-hormonal (tanpa menggunakan hormon).

u) Kontrasepsi hormonal

Kontrasepsi hormonal adalah metode pencegahan kehamilan yang

menggunakan hormon esterogen, progesteron, kombinasi keduanya

dengan progestin untuk mencegah terjadinya ovulasi. Cara kerja

kontrasepsi hormonal ini adalah dengan menekan ovulasi, mencegah

implantasi, membuat lendir serviks mengental sehingga sulit di lalui

oleh sperma, mengganggu bergerakan tuba sehingga transportasi ovum

dengan sendirinya akan terganggu juga, serta menjadikan selaput lendir

rahim tipis dan atrofi.

Macam–macam kontrasepsi hormonal, yaitu :

a. Kontrasepsi oral (pil), baik yang mengandung progesteron atau,

esterogen saja maupun kombinasi (esterogen–progesteron)

b. Kontrasepsi suntik, ada yang kombinasi maupun mengandung

progestin saja.

c. Kontrasepsi implant
25

d. AKDR dengan progestin

Masing–masing jenis kontrasepsi hormonal tersebut memilik

kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun secara

umum dapat di rincikan sebagai berikut :

a. Kelebihan kontrasepsi hormonal

- Tingkat efektivitas yang tinggi

- Risiko terhadap kesehatan kecil

- Resiko terhdap kesehatan kecil

- Tidak berpengaruh pada hubungan suami istri

- Mudah di hentikan setiap saat (hanya pada pil)

- Kesuburan segera kembali setelah penggunaan di hentikan/di

cabut

- Dapat di gunakan untuk pencegahan kehamilan jangka

panjang

- Efek saming sedikit

- Tidak berpengaruh terhdap ASI (pada suntik progestin, pil

progestin, implant, AKDR dengan progestin)

- Dapat di gunakan sebagai kontrasepsi darurat (hanya pil

kombinasi)

- Mencegah kehamilan ektropik dan kanker endrometrium

(pil/suntik)

- Pelindung jangka panjang sampai 5 tahun untuk penggunaan

implan dan 1 tahun untuk penggunaan AKDR progestin


26

- Memiliki efek sismetik yang sangat kecil (AKDR)

b. Kekurangan kontrasepsi hormonal

- Tidak melindungi diri dari infeksi menular seksual maupun

HIV/AIDS

- Mual, pusing, dan nyeri payudara ringan pada masa awal

penggunaan (pada pil dan suntik)

- Mahal (pil/suntik kombinasi dan AKDR progestin)

- Tidak dapat di hentikan sewaktu–waktu sesuai keinginan

pengguna (suntik, implan, dan AKDR)

- Berpengaruh terhdap berat badan, dapat berupa penambahan

atau pengurangan berat badan

- Terjadi perubahan pada pola haid, seperti tidak teratur,

perdarahan berdak, atau perdarahan sel sampai 10 hari (pada

suntikan kombinasi maupun progestin, dan implan)

- Kemungkinan terlambatnya pemulihan kesuburan setelah

pemakaian di hentikan

- Tingkat efektivitas menurut dia jika di gunakan bersama

dengan obat turbokulosi atau epilepsi (pada suntikan implan)

- Risiko terjadi kehamilan ektropik lebih tinggi pada

penggunaan implan dan AKDR progestin

- Di perlukan tenaga terlatih untuk pemasangan dan

pencabutan AKDR maupun impian.


27

v) Kontrasepsi non hormonal

Kontrasepsi non hormonal merupakan metode kontrasepsi yang

tidak menggunakan hormon untuk mencegah kehamilan. Yang

termasuk kontrasepsi non hormonal adalah kondom, alat kontrasepsi

dalam rahim (AKDR), spermisid/tisu KB, tuberkomi, dan vasektom.

Beberapa kelebihan dari kontrasepsi non-hormonal adalah

efektivatasnya tinggi tidak mempengaruhi hubungan seksual, metode

jangka panjang (untuk AKDR, tubektomi, dan vasektomi), mencegah

penularan IMS (hanya kondom), tidak ada interaksi dengan obat–obat,

tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI, dan tidak ada perubahan

dalam fungsi seksual. Selain itu, kontrasepsi non hormonal juga

memiliki kekurangan, yaitu kurang efektif apa bila tidak di gunakan

dengan benar (kondom dam spermisid), tidak mencegah IMS, termasuk

HIV/AIDS (kecuali kondom), efek samping berkaitan dengan

menstruasi, pada turbektomi dan vasektomi sifatnya permanen/ tidak

dapat di pulihkan kembali kecuali dengan oprasi rekanalisasi. Beberapa

penelitian telah melakukan penelitian terkait penggunaan kontrasepsi

non hormonal dengan resiko kanker leher rahim. Penelitian (Parazzini

et al 1989) menemukan bahwa penggunaan kondom dan diafragma

memiliki efek proteksi terhadap resiko kanker leher rahim dan

penurunan resiko tersebut meningkat seiring lama penggunaanya.

Menurut (Hildesheim et al 1989) menyatakan menyatakan bahwa

penggunaan spersmisida dapat menurunkan resiko kenker leher rahim


28

setelah di gunakan 5 tahun atau lebih. Penggunaan AKDR/IUD copper

tidak menyebabkan kanker leher rahim dan tidak menganggu sistem

hormon tubuh.

D. Perilaku Deteksi Dini Kanker Serviks

Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar orgabisme (orang), namun dalam memberikan respon

tergantung pada karakteristik atau faktor–faktor lain dari orang yang

bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa

orang, namun reson tiap orang berbeda (Notoatmodjo, 2007).

Perilaku deteksi dini kanker seviks sendiri merupakan suatu bentuk

repon pemeriksaan yang berguna sebagai pemeriksaan penyaring

(skrening) dan adanya pelacak perubahan sel ke arah ke ganasan secara

dini sehingga kelainan pra kanker dapat di terdeteksi secara dini. Deteksi

dini kanker serviks di lakukan dengan pemeriksaan pap-smear. Bagi

wanita berusia lebih dari 25 tahun yang telah menikah atau sudah

melakukan senggama, di anjurkan untuk pap-smear sekali setahun secara

teratur. (Dalimartha, 2004).

Bentuk perlaku deteksi dini kanker serviks seseorang dilihat dari

bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat di bedakan menjadi

dua : perilaku tertutup (Convert Behaviour) dan perilaku terbuka (Overt

Behaviur). Pada perilaku deteksi dini kanker serviks respons terhadap

stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik

(practice), yang dengan mudah dapat di amati atau di lihat dengan orang
29

lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktik

(practice) misalnya seorang ibu memeriksa keadaan serviksnya dalam

bentuk perilaku deteksi dini kanker serviks. Respondens seseorang

tertutup (cover behaviourt). Repon atau reaksi terhadap stimulus ini masih

terbatas pada perhatian, persepsi, sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus tersebut, dan belum dapat di amati secara jelas oleh

orang lain misalnya, ibu rumah tangga tau pentingnya deteksi dini kanker

serviks (Notoatmojo, 2007 dalam Nungky Marcellia Utami, 2013).

Metode deteksi dini kanker serviks menurut (Smart 2010) deteksi dini

kanker serviks dapat di lakukan dengan berbagai metode di antaranya

adalah :

(1) IVA test, IVA dalah singkatan dari inspeksi visual dengan asam

asetat.

(2) Pap smear yaitu dokter menggunakan pengerik atau sikat untuk

mengambil sampel sel – sel serviks

(3) Thin Prep, metode ini lebih akurat di bandingkan Pap Smear,

metode ini memeriksa serviks atau leher rahim dan

(4) Kolposkopin, metode ini dilakukan jika metode sebelumnya

menunjukkan adanya infeksi atau kejanggalan.

Frekuensi pemeriksaan deteksi dini kanker serviks menurut tim kanker,

(2011).
30

Frekuensi pemeriksaan deteksi dini kenker yaitu : di mulai 3 tahun

sejak pertama kali berhubungan intim, tetapi tidak lebih dari 21 tahun di

lakukan dengan papsmear, pada wanita berusia di atas 30 tahun dengan

hasil tes papsmear, selama 3 tahun berurutan normal, dapat melakukan

setiap 3 tahun bersamaan dengan tes HVP DNA dan wanita usia 70 tahun

lebih yang memiliki 3 atau lebih hasil tes papsmear nomal dapat memilih

untuk tidak di lakukan skrining.

Menurut Smart, (2010) factor perilaku yang menjadi penyabab

terjadinya kanker serviks adalah gaya hidup yang tidak sehat,

mengonsumsi makanan berlemak yang di lewatkan secara berlebihan juga

mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan.

E. Konsep pencegahan Kanker serviks

Telah diuraikan di depan bagaimana tingginya risiko kematian

pengidap kanker rahim, terutama jika sampai mereka terlambat

mendeteksinya. Pengobatannya pun tidak bisa berlangsung dalam waktu

singkat dan memakan biaya materi serta nonmateri yang besar. Berikut

beberapa hal yang bisa dilakukan agar dapat hidup sehat dan bebas dari

ancaman bahaya kanker.

a. Berhubungan seksual pada waktunya

Organ kelamin wanita mengalami perkembangan terus-menerus

sejak anak-anak hingga remaja akhir. Para ahli kandungan menyatakan

usia aman bagi wanita untuk berhubungan seksual adalah mulai usia 20

tahun. Sebelum usia tersebut, alat kelamin dan mental wanita mungkin
31

belum matang. Bagi wanita, berhubungan seksual pada usia dini dapat

mengakibatkan iritasi dan infeksi akibat ketidaksiapan fisik dan mental

serta minimnya pengetahuan seksual.

b. Tidak berganti-ganti pasangan seksual

Risiko munculnya infeksi dan penularan virus HPV semakin besar

seiring meningkatnya frekuensi seseorang melakukan hubungan

seksual, apalagi bila berganti-ganti pasangan. Kebanyakan orang hanya

menghubungkan risiko hubungan seksual dengan AIDS. Sementara

penggunaan kondom untuk mencegah AIDS tidak cukup kuat bagi

pencegahan virus HPV. HPV dapat menular melalui oral seks. Oleh

karenanya, menjaga frekuensi hubungan seksual dan memantapkan diri

berkomitmen pada satu pasangan hidup resmi adalah tindakan yang

lebih aman.

c. Melakukan vaksinasi HPV

Sekarang ini telah ditemukan banyak sekali jenis vaksin anti HPV.

Vaksinasi ini bisa dilakukan sejak seorang wanita berusia 9 tahun, dan

belum terlambat dilakukan bagi wanita berusia 55 tahun.

d. Melakukan pemeriksaan rutin

Pahamilah bahwa sel kanker adalah sel berbahaya yang

berkembang dengan sangat lambat namun pasti. Ia membutuhkan waktu

15-20 tahun untuk menunjukkan gejala gangguan yang terasa. Pada saat

gangguan itu terasa, sesungguhnya kita sudah sedikit terlambat.

Banyak pilihan pemeriksaan yang bias dijalani. Pap Smear adalah


32

metode yang saat ini paling popular dan dianggap cukup populer dan

cukup akurat dalam mendeteksi kelainan sel pada mulut rahim. Selain.

itu, juga ada metode Koloskopy. Dan yang relative murah adalah IVA

(Inspeksi Vagina dengan Asam Asetat). IVA dapat dilakukan oleh

bidan dan petugas medis Puskesmas.

e. Kurangi kebiasaan merokok

Tembakau mengandung nikotin dan zat karsinogenik lainnya.

Kemudian asap rokok menghasilkan senyawa berbahaya, yaitu

Polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines yang sangat

berbahaya bagi sel-sel normal. Pecahan dari senyawa ini dapat

mengganggu susunan senyawa DNA dan mengubah informasi serta

prosedur pembelahan sel hingga tak terkontrol. Wanita perokok

memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk mengidap kanker rahim dari

pada wanita bukan perokok.

f. Tidak mencucin vagina terlalu sering

Uji penelitian menunjukkan bahwa produk pembersih vagina yang

mengandung antiseptik dan deodoran berisiko menimbulkan iritasi

pada permukaan jaringan lunak vagina.

g. Mengatur pola makan

Mengatur pola makan sangat penting dalam upaya menghindari

kanker. Tidak hanya pada kasus kanker rahim, tetapi semua jenis

kanker bisa dipengaruhi oleh pola makan yang tidak sehat. Makanan
33

berlemak tinggi, daging yang dipanggang dengan api, serta daging asap

dan goring berpotensi menyisakan zat karsinogenik serta radikal.

h. Menggunakan Alat Kontrasepsi

Nah ini wajib di lakukan agar memberikan efek pencegahan yang

efektif karena dapat menghindari dari infeksi virus HPV. Kontak

langsung saat berhubungan akan menambah risiko terkena infeksi virus

HPV yang merupakan penyebab utama kanker serviks yang

harus diwaspadai.

i. Cara Mencegah Kanker Serviks Dengan Pendekatan Agama

Cara mencegah kanker serviks dengan pendekatan agama sangat

penting dilakukan, mengapa ? kita sama - sama mengetahui

bahwa gonta ganti pasangan adalah salah satu penyebab yang

mematikan kanker serviks. Nah, dengan kesetiaan pada pasangan dan

taat agama tidak pindah-pindah pasangan sangat penting untuk

menghindari kanker serviks. Agama harus di jadikan tameng untuk

memberantas penularan virus HPV, karena kanker serviks merupakan

jenis kanker yang paling banyak membunuh di seluruh dunia, termasuk

di Indonesia. Siapa saja dapat terkena jenis kanker ini.(Nurcahyo 2010,

75-79).

F. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan,


34

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang

berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media

elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat

dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membantu keyakinan tertentu

sehingga seseorang berprilaku sesuai keyakinan tersebut (Kismoyo cit

Afriyanti, 2011).

Seseorang dengan sumber informasi yang banyak dan beragam akan

menjadikan orang tersebut memiliki pengetahuan yang luas (Soekanto,

2002)

1. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan yaitu: (Notoatmodjo, 2012).

a. Tahu (know).

Tahu di artikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata

kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
35

antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan

menyatakan. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan

kalori dan protein pada anak balita.

b. Memahami (comprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap objek yang di pelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa

harus makan-makanan yang bergizi.

c. Aplikasi (aplication).

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan meteri

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode dan prinsip dalam konteks atau situasi

yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistika dalam

perhitungan - perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-

prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam

pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

d. Analisis (analysis).

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan meteri atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu


36

struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

memisahkan dan mengelompokkan.

e. Sintesis (synthesis).

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya

dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan dan dapat

menyesuiakan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah

ada.

f. Evaluasi (evaluation).

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

penilaian itu berdasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,

atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalya dapat

membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kurang

gizi, dapat menanggapi terjadinya diare di suatu tempat dan dapat

menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu mau ikut KB.

G. Pengertian Sikap
37

Sikap adalah kecenderungan individu untuk bertingkah laku

berdasarkan pengetahuan, perasaan dan kemauannya. Menurut Walgito

(2004), sikap mengandung tiga komponen:

a. Kognitif (konseptual)

Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,

keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek

sikap. Komponen perkembangan kognitif mempengaruhi semua

aktifitas pembelajaran.

b. Afektif (emosional)

Komponen afektif yaitu yang berhubungan dengan rasa senang atau

tidak senang terhadap objek sikap. Komponen ini perlu mendapat

penekanan secara khusus karena sikap afektif ini merupakan sumber

motif yang terdapat di dalam diri individu. Sikap belajar yang positif

dapat di samakan dengan minat, sedangkan minat akan memperlancar

jalannya pelajaran siswa yang malas, tidak mau belajar yang di

sebabkan oleh tidak adanya minat. Jadi sikap siswa dapat dipengaruhi

oleh motifasi sehingga ia dapat menentukan sikap belajar. Kemudian di

yakini bahwa objek yang menarik minat siswa misalnya terhadap proses

pemmbelajaran di kelas akan menjadi dasar motifasi siswa sehingga

akan menentukan sikap siswa untuk belajar.


38

c. Konatif (perilaku)

Komponen konatif yaitu komponen yang berkaitan dengan

kecenderungan untuk berperilaku terhadapobjek sikap. Komponen ini

menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar Kecilnya

kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap

objek sikap.

H. Konsep Remaja

Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata

latin adolescene (kata bendanya adolescenta yang berartiremaja) yang

berarti tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 2001). Pedoman umum remaja

di Indonesiamenggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah

(Soetjningsih, 2004).

Adolescence artinya berangsur-angsur menuju kematangan secara

fisik, akal, kejiwaan dan sosial sertaemosional. Hal ini mengisyaratkan

kepada hakikat umum, yaitu bahwa pertumbuhan tidak berpindah darisatu

fase ke fase lainya secara tiba-tiba, tetapi pertumbuhan itu berlangsung

setahap demi setahap (Al-Mighwar, 2006).

Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

remaja, yang sering kali remajadihadapkan pada situasi yang

membingungkan, disatu pihak dia harus bertingkah laku seperti orang

dewasa dan di sisi lain dia belum bisa dikatakan dewasa. (Purwanto,

1999).
39

Perubahan masa pubertas pada remaja putri adalah terjadi menarche

(menstruasi pertama kali). Hal inimenunjukkan bahwa organ reproduksi

mulai matang. Apabila seks pranikah terjadi pada remaja putri dampak

yang paling membahayakan yaitu kehamilan.dan efek negatif dari

kehamilan adalah abortus.


40

I. Kerangka teori

Kanker Serviks

Penyebab infeksi Human Papiloma Pencegahan


Virus ( HPV )

Primer

Faktor yang menyebabkan perempuan Penyuluhan dan


terpapar HPV : pendidikan kepada siswi
mengenai faktor
1. Hubungan seks pada usia muda penyebab terjadinya
2. Multipartner seks kanker serviks
3. Jumlah paritas
4. Pemakaian alat kontrasepsi
5. Riwayat perokok

Sekunder

Deteksi dini terhadap


kanker dan pemeriksaan
gejala klinis pada stadium
awal
Perilaku WUS dalam deteksi dini kanker
serviks dengan metode IVA

Tertier

Faktor yang mempengaruhi perilaku Mempertahankan orang


PUS dalam deteksi dini kanker serviks yang positif menderita
dengan metode IVA : kanker

1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tingkat pendidikan
4. Umur

Gambar. 1
41

J. Kerangka konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Pengaruh : Edukasi Kanker


1. pengetahuan Serviks Di SMA N 4
Kendari
2. Sikap

Keterangan :

: Variabel Bebas

: Variabel Terikat

Gambar. 2
42

K. Hipotesis

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan siswi tentang Deteksi dini kanke

serviks di SMA N 4 Kendari

Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan sisiwi tentang deteksi dini

kanker serviks di SMAN 4 Kendari

Ha : Ada hubungan antara sikap siswi tentang deteksi dini kanker

serviks di SMA N 4 Kendari

Ho : Tidak ada hubungan antara sikap deteksi dini kanker serviks di

SMA N 4 Kendari
43

BAB III

METODE PENELITIAN

a. Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian quisener experimen dengan

rancangan pre-test post - test kontrol design. Penelitian ini menggunakan

kelompok pembanding (kontrol)

Tabel : Desain Penelitian

Pretest Perilaku Postest

01 X 02

Keterangan :

01 : Pre test pada kelompok intervensi sebelum di lakukan pretest

X : Merupakan perilaku / intervensi yang di berikan

02 : Post Test pada kelompok intervensi sesudah di lakukan pretest

Penelitian ini di awali dengan pre-test terlebih dahulu, kemudian

pemberian tindakan berupa pemberian dengan leaflet dan audio visual.

Setelah tindakan perlakuan, kemudian di berikan post-test. Post-test di

laksanakan setelah melakukan post-test.

b. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini rencananya akan di lakukan pada Bulan Mei

bertempat di SMA N 4 Kendari.


44

c. Populasi random sampling

Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling

atau secara acak sederhana yaitu bahwa setiap anggota populasi

mempunyai kesempatan yang sama untuk di seleksi menjadi sample,

pengambilan sample dalam penelitian ini dengan cara mengundi anggota

populasi (Notoatmojo, 2010).

Dengan menggunakan rumus di atas maka perhitungan sampel adalah :

𝑁
n=
(1 + 𝑁. e2 )

929
n=
(1+929.0,12 )

n = 90,28 di bulatkan menjadi 90 siswi

Di mana :

n = jumlah sample

N = jumlah populasi

E = batas toleransi eror

Populasi target adalah siswi SMA yang berusia sekitar 16-18 tahun.
45

d. Metode pengumpulan data

a. Data primer

Data primer adalah data yang di peroleh dari sumber nya langsung.

Pengumpulan data di lakukan peneliti terhadap sampel penelitian dengan

cara melakukan pengisian kuesioner oleh responden secara langsung.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data jumlah siswi kelas X – XII di SMA N 4

Kendari berjumlah 929 siswi.

c. Pengolahan, analisis, dan penyajian data

Semua data yang di cacat dalam status penelitian, di kumpulkan dan

kemudian di olah dengan program SPSS versi 16 langkah. Awal di mulai

dengan editing, coding, entry data, processing, cleaning.

a. Editing

Merupakan kegitan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

alat ukur penelitian yang kita gunakan. Adapun yang di lakukan pada

tahap editing adalah mengecek.

b. Coding

Merupakan kegiatan merubah data dalam bentuk huruf menjadi angka

data dalam bentuk angka/bilangan.

c. Entry

Pada tahap ini semua data yang telah di edit/sunting dan di coding

atau semua data yang sudah lengkap di masukan kedalam aplikasi

computer. Walaupun mengunakan komputer peenelitian harus paham betul


46

dengan penelitiannya karena progrsm tersebut tidak memahami subtansi

yang di teliti, sehingga bias saja hasilnya di peroleh, tetapi tidak sesuai

dengan subtansi yang ada. Misalnya hasil analisi data yang di dapatkan

dengan bantuan perangkat lunak computer. Ada hunungan antara jenis

kelamin.

d. Processing

Langkah berikutnya adalah memproses data tersebut agar data yang

sudah di entrydianalisis, agar dapat memperoleh jawaban terhadap

pertanyaan penelitian, dan membuktikan apakah hipotesis yang sudah

dirumuskan terbukti benar atau ditolak dari hasil analisis tersebut. Aplikasi

komputer yang paling sering digunakan adalah program SPSS

dibandingkan dengan aplikasi statistik lainnya. Langkah-langkah tersebut

dapat dibaca pada manual dalam modul atau buku ajar yang tersedia dari

berbagai sumber.

e. Cleaning

Data atau pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali

data yang sudah dientri apakah sudah betul atau ada kesalahan pada saat

memasukan data/entry data. Misalnya untuk variable Pendidikan hanya

ada 3 (tiga) kategori yaitu 1 = Pendidikan Dasar (SD-SLTP), 2 =

Pendidikan Menengah (SLTA), 3 = Pendidikan Tinggi (D1-

D4, S1-S3), tetapi setelah dicek ada kategori 4 (empat). Berikut akan

diuraikan cara melakukan cleaning data.


47

e. Definisi Oprasional dan Kriteria Objektif

Perilaku siswi yang dapat memberikan respon terhadap keadaan

sekitar berdasarkan hasil penglihatan peneliti terhadap pengaruh

pemberian edukasi deteksi dini kanker serviks terhadap pengetahuan di

SMA 4 Kendari

yakni :

a. Pengetahuan

Pemahaman siswi terhadap pengaruh pemberian edukasi tentang

deteksi dini kanker serviks pengetahuan siswi di SMA N 4 Kendari Untuk

pengetahuan aspek pengukuran menggunakan skala guttman terdiri dari 14

pertanyaan, dimana untuk setiap pertanyaan terdiri satu jawaban yang

benar. Jika responden menjawab benar maka di beri skor 1 “benar”

sedangkan jika responden menjawab salah di ber skor 0 “salah” (Riduwan,

2010). Jumlah nilai tertinggi yang dicapai oleh responden adalah 14

dengan kriteria objekif penelitian sebagai berikut :

Kriteria objektif :

1) Pengetahuan Baik : Apabila jumlah skor 8 - 14

2) Pengetahuan Kurang: Apabila jumlah skor 0 - 7

b. Sikap

Sikap siswi berupa reaksi perasaan menyetujui atau tidak menyetujui

tetang pengaruh pemberian edukasi tentang deteksi dini kanker serviks

terhadap sikap siswi di SMA N 4 Kendari Untuk sikap menggunakan skala

Guttman melalui 8 pertanyaan. Apabila responden menjawab setuju (a) di


48

beri nilai 1, dan apabila tidak setuju (b) diberi nilai 0 (Riduwan, 2010).

Jumlah nilai tertinggi yang dicapai oleh responden adalah 8 dengan kriteria

objekif penelitian sebagai berikut : Kriteria objektif

1) Sikap Baik : Apabila jumlah skor 5 - 8

2) Sikap Kurang : Apabila jumlah skor 0 - 4

c. Edukasi

Pemahaman siswi terhadap pengaruh edukasi tentang deteksi dini

kanker serviks di SMA N 4 Kendari untuk pemberian edukasi/ pencegahan

yang akan di lakukan oleh peneliti.

d. Deteksi Dini

Pemahaman siswi terhadap pengaruh pemberian edukasi tentang

deteksi dini kanker serviks, terhadap deteksi dini di mana siswi akan di

ajarkan cara mendeteksi dini kanker serviks sebelum terkena kanker

serviks.

e. Kanker Serviks

Kanker serviks adalah proses keganasan atau biasa di sebut juga

tumbuhnya tumor ganas pada leher rahim/serviks (bagian terendah dari

rahim yang menempel pada puncak vagina) sehingga jaringan di

sekitarnya tidak dapat melaksanakan fungsi sebagai mestinya.


49

f. Analisis Data

Untuk melakukan pengujian hipotesis, analisis data di lakukan adalah :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik masing–masing

variabel yang di teliti. Variabel yang di analisis secara univariat dalam

penelitian ini adalah meemberikan kuisener sebelum dan sesudah di

lakukan penyuluhan pada dua kelompok. Data di sajikan dalam bentuk

tabel kuisener (Hastono,2007 dalam sulastri, D.2015).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat di lakukan terhadap dua variabel independen dan

dependen yang di duga memiliki korelasi. Uji statistik yang di

gunakan yaitu uji paired T-test untuk membandingkan dua kelompok

yang berpasangan dengan tingkat kemaknaan <0.05 apabila data tidak

berdistribusi normal menggunakan uji Wilcoxon selanjutnya uji

Independent T-test untuk membandingkan dua kelompok yang

berbeda dengan tingkat kemaknaan <0.05, jika data tidak berdistribusi

normal biasa menggunakan metode statistik non parametric yaitu uji

Mon Whiney ( Nursalam,2008.)


50

g. Alur Penelitian

Permohonan izin pengambilan

data awal

Penyusunan proposal

Ujian Proposal

Ujian Layak Etik

Melakukan observasi dari wawancara pada


calon responden

Insklusi Sample Ekslusi

Pengambilan Kuesioner

Melakukan Pengisian Kuesioner

Analisis Data

Laporan Hasil Penelitian

Gambar 3
51

h. Etika Penelitian

Penelitian yang akan di lakukan menekankan masalah etik yang meliputi :

a. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed consent tersebut di berikan sebelum di lakukan penelitian.

Tujuannya adalah agar subjek dapat mengerti maksud dan tujuan

penelitian. Jika subjek bersedia, maka responden harus menandatangani

lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia smaka peneliti harus

menghormati hak responden.

b. Confidenialty (Kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik

informasi maupun masalah - masalah lainnya yang berhubungan dengan

responden. Hanya kelompok data tertentu yang akan di laporkan pada hasil

penelitian.

c. Anonymity (Tanpa Nama)

Peneliti tidak meberikan nama responden pada lembar yang akan di

ukur, hanya menuliskan kode pada lembar pengumpula data. Untuk

menjaga kerahasiaan informasi dari responden. Peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data. Tetapi

dengan memberikan`kode pada masing - masing lembar yang di lakukan

oleh peneliti sebelum lembar pengumpulan data di berikan kepada

responden.
52

LAMPIRAN
53

KUISIONER PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI


TENTANG DETEKSI DINI KANKER SERFIKS TERHADAP
PENGETAHUAN SISWI DI SMA N 4 KENDARI

Nama : Tanggal :

Kelas : Umur :

Pekerjaan :

Petunjuk Pengisian :

Pililah jawaban yang paling tepat dari pertanyaan di bawah dengan memberi
tanda (√) di jawaban yang menurut anda benar Ya atau Tidak

No. Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah Anda Pernah Mendengar


Istilah Kanker Serviks ?
2. Apakah Anda mengetahui bahwa
kanker serviks itu berbahaya ?

3.Apakah Anda Mengetahui Bahwa


Kanker Serviks Bisa di Deteksi Dini
Dengan Cara Pap Smear ?
4. Apakah Deteksi Dini Kanker
Serviks Itu Penting ?
5. Apakah Kanker Serviks Dapat Di
Sembuhkan Atau Tidak ?
6. Apakah Kanker Serviks Adalah
Penyakit Turunan Dari Ibu Ke Anak
Perempuaan ?
7. Apakah Berhubungan Di Bawah
Umur 17 Tahun Lebih Beresiko
Terkena Kanker Serviks Lebih
Besar ?
8. Apakah Dengan Menghindari
Faktor – Faktor Resiko Kanker
Serviks Merupakan Tindakan
Yang Tepat Dalam Pencegahan
Kanker Serviks ?
54

9. Apakah Tindakan Vaksinasi


Merupakan hal Yang Wajib
Dilakukan Dalam Pencegahan
Kanker Serviks ?
10 Menurut anda apakah sikap
anda dalam mencegah kanker
serviks dengan cara pap smear
itu sudah benar ?

Anda mungkin juga menyukai