Anda di halaman 1dari 10

ANTIBIOTIK NEFROTOKSIK : PENGGUNAAN PADA

GANGGUAN FUNGSI GINJAL *


Shofa Chasani

Devisi ginjal hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr Kariadi Semarang

ABSTRAK

Obat merupakan zat kimia yang bisa meracuni tubuh manusia bila pemberiannya tidak
sesuai dosis yang diperlukan. Obat-obat yang menyebabkan gangguan ginjal cukup
banyak termasuk antibiotika yang sebenarnya sangat berguna bagi manusia , apalagi bila
penggunaannya tidak sesuai dengan dosis yang diperlukan.. Beberapa antibiotika yang
sering menyebabkan gangguan ginjal anatara lain golongan aminoglikosida, golongan
beta laktam, vancomisin,sulfonamide. kotrimoksazol,azyclovir, amphotericin B, rifampisin
dll.

Obat antibiotik sebagian diekskresikan lewat ginjal bila ginjal mengalami gangguan fungsi
maka pemberian obat tentunya harus disesuaikan. Untuk ini kita perlu mengetahui
perubahan farmakokinetiknya dan farmakodinamiknya. Pengaturan penggunaan obat
memer lukan dos is yang s es uai dengan kema mpuan fungs i ginjal, karenanya perlu
ditentukan pengaturan loading dose, maintenance dose serta perubahan mentenance dose
bila bersihan obat berubah.

Obat-obat antibiotik dapat menginduksi kerusakan ginjal melalui berbagai cara antara lain
berkurangnya natrium dan air , perubahan pada aliran darah kerusakan ginjal dan karena
,

obstruksi terhadap ginjal, serta perubahan umur lanjut.

Pada penderita gagal ginjal terminal yang telah menjalani terapi pengganti ( dialysis ) maka
perlu perubahan dosis dikarenakan adanya kehilangan obat dari darah, hal ini akan
mempengaruhi efektifitas obat tersebut. Perubahan fisiologis tubuh pada penderita gagal
ginjal terminal dapat pula mempengaruhi respon obat.

Mengingat penggunaan antibiotika nefrotoksis kadang masih diperlukan pada gangguan


fingsi ginjal maka perlu pengaturan yang seksama serta evaluasi yang terus menerus.
* dibacakan dalam JNHC 2008
PENDAHULUAN

Penggunaan antibiotik sangat banyak, terkadang kita melupakan kemungkinan efek samping
terhadap ginjal, karenanya kita perlu memperhatikan penggunaan antibiotika serasional
mungkin .

Insiden drugs induce nephropathy mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan


penggunaan jumlah obat dan kemudahan memperoleh obat antiotika maupun obat lain
yang banyak menyebabkan kerusakan ginjal. Drug induce ARF sebesar 20% di India,
dimana aminoglikosida terhitung 40-50% dari total kasus ' 1)

Beberapa obat antibiotika yang sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal antara lain
golongan aminoglikosida, betalaktam dan vancomisin, golongan sulfanamid, golongan
acyclovir, golongan rifampisin, golongan amphoterisin B, serta golongan tetrasiklin dll.
Berdasarkan aktifitas antibiotika terhadap kuman gram positif dan gram negative , maka
aktifitas antibiotika terhadap gram negative relative lebih bersifat nefrotoksis. (2).

Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan antibiotika antara lain
dengan cara penurunan ekskresi natrium dan air, perubahan aliran darah( iskemi), obstruksi
pada saluran air kemih serta karena perubahan umur seseorang menjadi tua. (3

Berdasarkan adanya gangguan fungsi ginjal maka dosis pemakaian antibitika perlu
penyesuaian bahkan kalau perlu tidak memakai antibiotic tersebut.

MACAM MACAM ANTIBIOTIKA NEFROTOKSIS

1. Golongan Aminoglikosida.
Aminoglikosida merupakan antibiotika yang penggunaannya sangat luas terutama untuk
pengobatan infeksi gram negative, namun demikian penggunaannya dibatasi karena sifat
nefroktoksisitasnya {4) . Kegagalan fungsi ginjal akibat pemakaian - aminoglikosida terjadi
bila kenaikan kadar kreatinin plasma hingga > = 45 umol/L selama atau setelah terapi,
angka kejadiannya 10 -37 % setara dengan dosis dan lamanya pemakaian , bahkan ada
yang mengatakan sampai 50% dalam waktu 14 hari atau lebih pemakaian (3) Walaupun .

sifat nefrotoksisitasnya reversible, tetapi terapi dialysis kadang diperlukan karena beratnya
kegagalan ginjal akut

Mekanisme terjadinya nefrotoksis


Aminoglikosida masuk kedalam ginjal mencapai maksimal dikortek ginjal dan sel tubulus,
melalui proses endositosis dan sequestration , aminoglikosida berikatan dengan lisosom
membentuk myeloid body / lisosom sekunderdan fosfolipidosis.

Kemudian membrane lisosom pecah dan melepaskan asam hidrolases dan


mengakibatkan kematian sel. (14')
Mekanisme lain dapat diketahui lewat permukaan sel, G protein bergabung dengan
Ca+ + ( polyvalent cation)-sensing receptor (Ca R) dimana reseptor ini berada di nefron
distalis serta lumen tubulus proksimalis, dan dikatakan bahwa CaR ini terlibat dalam proses
kerusakan sel. (4)
Faktor risiko toksisitas aminoglikosida antara lain adanya depletion ion natrium dan
kalium, iskemia ginjal, karena usia lanjut,penggunaan diuretika penyakit hati dan obat
lain yang nefrotoksis.
Menurut urutan toksisitasnya golongan aminoglikosida dari yang paling toksis adalah
Neomisin > gentamisin > tobramisin>netilmisin > amikasin >streptomisin). 2)
Pencegahan dan pengelolaan toksistas aminoglikosida bisa dengan bebarapa alternative
yaitu :
1. menggunakan obat dengan dosis tunggal sehari untuk waktu yang pendek pada terapi
empiris.
2. deteksi toksisitas subklinik dengan mengetahui gangguan keseimbangan elektrolit
dan asam basa.
3. monitoring serum kreatinin setiap hari kalau perlu dengan memberikan dosis obat
berdasarkan GFR, khususnya pada orang tua, serta monitoring serum kalium dan natrium
tiap hari.
4. apabila serum kreatinin > 1,5 mg/d1, obat dihentikan dan dipikirkan alternatif terapi.
5. rnonitoring produksi air kemih dan mulai pemberian cairan yang adekuat serta terapi
elektolit khususnya pada kalium dan NaClserta Calsium dan magnesium

2. GOLONGAN SULFONAMID.
Penggunaan obat golongan sulfonamid meningkat dengan adanya AIDS, bila
dikombinasikan dengan beberapa obat dapat digunakan untuk pengobatan malaria (
sulfadoksin dan pyrimethamine ) .
Hampir semua obat golongan sulfonamid diekskresikan melalui ginjal, baik dalam bentuk
asetil maupun bentuk bebas. Masa paruh obat tergantung dari fungsi ginjal, karenanya
harus diperhatikan bila fungsi ginjal terganggu. (5)

Spektrum nefrotoksisitasnya meliputi: nefritis interstitial akut,arteritis nekrotikan,


gangguan ginjal akut akibat anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi G-6-PD dan
Gangguan ginjal akut akibat kristaluria pada pemakaian lama golongan sulfa ini.

Pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan


a. mempertahankan hidrasi yang adekuat (3 liter /hari) atau mempertahankan jumlah
uri tetap 1500 cc/hari (5)
b. alkalinisasi urin dengan sodium bikarbonat 6-12 gram/hari sampai pH urin> 7,5.
c. Pemeriksaan mikroskopis urin 2-3 kali seminggu untuk mendeteksi hematuria.
d. US G pada s emua hema turia.
e. Mengurangi dosis sulfa.
f. Pemasangan ureteral stent atau dialisis bila perlu kalau tindakan bedah tak
memungkinkan.
Golongan sulfa yang banyak menyebabkan gangguan ginjal antara lain sulfadiazine dan
kotrimoksazol (2). Walaupun demikian penggunaan obat golongan sulfa lain tetap harus
hati-hati.

3. AMPHOTERICIN B ( Am B)
Merupakan obat anti jamur yang efektif tetapi efek nefrotoksis sangat banyak, karenanya
perlu perhatian khusus. ' 6 ) Beberapa makalah melaporkan bahwa frekuensi gangguan
ginjal akut mencapai 49% dan 65% (6) Menurut Wingard dkk Lebih 50% pasien secara
.

s i gn if ik a n k ad ar s e ru m kr ea t i ni n m e ni ng k at da r i s e be l um ny a , d an 1 5% d ar in 5- a
membutuhkan dialisis (7)
Am-B bersifat hidrofilik sehingga mudah bercampur dengan membran sel epithel dan
meningkatkan permiabelitas. Hal ini akan merusak sel endotel yang mengakibatkan
vasokonstriksi arteriole afferen dan efferen glomerulus dan menyebabkan penurunan GFR
dan berakibat terjadi oliguria'" Toksisitas terhadap tubulus tergantung dari efek toksis
langsung dan iskemik yang berkelanjutan.
Untuk mencegah terjadinya nefrotoksis dengan :
a. mencampur dengan intralipid, hal ini akan membuat efek seperti French mayonnaise
yang dapat menurunkan efek nefrotoksisitasnya.
b. Dopamin agonist (2)
c. Suplementasi garam, infus cairan garam fisiologis.
d.Mengatur kecepatan infus.
e. Dosis titrasi

4.RIFAMPISIN
Merupakan obat anti tuberkulosis yang mempunyai efek nefrotoksis dibandingan dengan
anti tuberlosis lainnya. Insiden nefrotoksis bervariasi antara 1,8% sampai 16 % dari semua
kasus gangguan ginjal akut (GGA) .Kebanyakan GGA karena rifampsisn akibat obat yang
menginduce anemi hemolitik.
Lamanya terapi berperan penting, dilaporkan sesudah 2 bulan pengobatan , meskipun
reaksi awal dapat ditemukan dalam 13 hari (2) Pada kebanyakan kasus dengan terapi
.

suportif akan membaik dalam 3 minggu.

5.ACYCLOVIR
Merupakan obat anti virus , bila diberikan lebih 500 mg/m2 intravena akan menyebabkan
nefrotoksis. Kelarutan yang rendah menyebabkan presipitasi intratubuler dengan gejala
obstruksi uropati dan hematuri.Pada pemeriksaan urin akan tampak adanya kristal
berbentuk jarum. Tampak adanya inflammasi pada daerah obstruksi di tubulus.
Faktor risiko terjadinya nefrotoksis meliputi pengurangan volume cairan, adanya gejala
insuffisiensi ginjal, dan infus bolus yang cepat.
Biasanya penanganan yang tepat dapat memulihkan mendekati fungsi ginjal yang normal
dalam waktu 10 14 hari, walaupun kadang2 perlu dialisis.

6.GOLONGAN PENICILLIN , SEFALOSPORIN DAN BETALAKTAM LAINNYA.


Walaupun umumnya tidak nefrotoksis tetapi nefropati dapat terjadi pada pemberian
meticillin, penicillin G dan ampisilin. Kelainannya berupa nefritis interstitialis, diperkirakan
terjadi berdasarkan mekanisme reaksi immun yang tergantung dari dosis dan lamanya
pemberian, khus us nya pada meticillin dan penicillin G. S edangkan ampisilin
menimbulkan nefropati yang ada hubungannya dengan kadar obat yang tinggi dalam
serum . Walaupun nefropati penicillin lebih didasari reaksi imun , tidak dapat disingkirkan
kemungkinan efek nefrotoksik langsung oleh penicillin yang diberikan dalam dosis yang
sangat tinggi dan untuk masa yang lama.

Diantara ketiga golongan penicillin ini , meticillin yang tersering menyebabkan nefritis
interstitialis, bahkan telah dikemukakan bahwa frekuensi kejadian efek samping lebih
tinggi dari yang disangka selama ini (9)
S efalos porin merupakan zat yang nefrotoks is , mes kipun jauh l ebih kurang dari

aminoglikosida dan polimiksin. Nefrotoksis terutama pada sefalodrin dosis 4

gr/hari,sefalosporin lain dengan dosis terapi jauh kurang toksis dibandingkan dengan
sefalodrin, kombinasi dengan gentamisindan tobramisisn mempermudah nefrotoksis"' 14) .
Pada dasarnya nefrotoksisitas sefalosporin dikarenakan adanya dosis yang berlebihan dan
bila dikombinasikan dengan aminoglikosida dan meticillin (11) Mekanisme nefrotoksis
melalui reaksi iskemia dan endotoksemia serta renal cortex mitochondria injury• (10,11).
Betalaktam lain umumnya mempunyai efek nefrotoksis yang hampir sama dengan
golongan penisillin dan sefalosporin

7. VANCOMISIN
Merupakan antibiotika yang dihasilkan oleh streptomises orientalis,yang tidak dapat
diserap oleh saluran cerna, karenanya hanya diberikan intravena untuk mendapatkan efek
sistemik. Obat ini sangat toksis, obat ini hanya dipakai kalau obat yang lain alergi (12).
Uremia yang fatal bila pemberiannya dosis besar, terapi yang lama, atau diberikan pada
gangguan ginjal, karena itu perlu monitoring yang sangat ketat. Pemakain sekarang
biasanya sudah dengan bentuk lain yaitu dalam bentuk kombinasi dengan D-mannitol dan
makrogol 400 ( PEG 400) , dimana efek nefrotoksinya jauh berkurang.
Mekanisme kerusakan ginjal akibat vancomisin melalui kerusakan glomerulus yaitu
delatasi Bowman,s space dan hipertrofi glomerulus. Sedangkan di tubulus dapat berupa
delatasi tubulus renalis, nekrosis atau dergenerasi epitel tubulus dan adanya silinder hialin
dalam tubulus. (13)

PEMBERIAN ANTIBIOTIK NEFROTOKSIS PADA GANGGUAN FUNGSI


GINJAL.

Beberapa hal yang penting dalam pemberian obat antibiotik pada gangguan fungsi ginjal
yaitu dengan cara rnengatur dosis yang diperlukan, untuk ini perlu pengetahuan tentang :

1 .PERUBAHAN REGIMEN OBAT-OBATAN


Regimen obat adalah pengaturan pemberian obat dengan tujuan agar tercapai suatu efek
terapi dengan efek samping minimal.
Regimen obat meliputi dosis obat , frekuensi dan rute pemeberian serta formulasi yang
digunakan." Pengobatan awal bisanya diberikan sesuai dengan rekomendasi yang sudah
diakui, dimulai dengan dosis terendah kemudian dimonitor efek terapinya. Jika efek yang
diinginkan belum tercapai maka dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai
mendapatkan efek tersebut atau sampai mencapai dosis maksimal yang disarankan. Jika
terdapat gangguan fungsi ginjal dimana terjadi perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamiknya maka perlu disesuaikan dosisnya.

2. LOADING DOSE
Waktu paruh suatu obat menentukan kecepatan akumulasinya didalam tubuh pada
pemberian berulang. Karenanya pada pemberian obat secara berulang konsentrasi rata -
ratanya dalam plasma meningkat secara lebih perlahan pada setiap pemberian obat.
Kondisi stabil (steady state) dapat tercapai bila jumlah obat yang tereliminir dalam interval
dosis sebanding dengan jumlah dosis yang diberikan. Untuk mencapai keadaan ini
biasanya diperlukan waktu 4 kali waktu paruh obat.
Bila ingin kondisi stabil dapat tercapai lebih cepat maka dapat diberikan dengan loading
dose (D1). Dl ekuivalen dengan kadar puncak obat pada steady state ,dan sebanding
dengan konsentrasi puncak obat dalam plasma(Cs max) dan volume distribusi obat (V)
Dl = Cs max X V
Dari formula ini loading dose yang diperlukan dapat dihitung, walaupun konsentrasi
plasma dalam prakteknya jarang diukur. Metode ini digunakan secara implisit pada dosis
yang direkomendasikan tiap obat. Dalam kebanyakan kasus Dl tidak dipengaruhi oleh
insuffisiensi ginjal , namun terkadang V berkurang (misal digoksin)Dlsebaiknya dikurangi
pada pasien dengan insuffisiensi ginjal berat.

3. DOSIS PEMELIHARAAN ( MEINTENANCE DOSE)


Untuk mempertahankan dosis normal pada penderita dengan gagal ginjal setelah
pemberian loading dose dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut : dosis pada gagal
ginjal = dosis normal X Df dimana

Df = t 1/2 normal / t1/2 gagal ginjal


t1/2 = eliminasi waktu paruh obat.
Sebenarnya ada hubungan yang sederhana antara D1 dengan dosis pemeliharaan (Dm) ,
karena setengah dari dosis awal hilang dalam satu waktu paruh .

Hal ini bisa dipakai pada obat yang mempunyai waktu paruh yang panjang (misal
digoksin) . Tetapi pada obat yang mernpunyai waktu paruh yang singkat ( <24 jam)
kalkulasi ini kurang dapat diterima. Pada kasus ini dapat dipakai rumus sebagia berikut :
Dm = total body load X 0,7/t 1/2 ( t1/2 = waktu paruh).
Loading dose biasanya tidak diberikan pada penggunaan obat-obat dengan waktu paruh
pendek, tetapi konsep yang sama dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi yang
ingin dicapai.
Jika kliren suatu obat berkurang maka obat akan terakumulasi dan dibutuhkan waktu lebih
lama untuk mencapai kadar steady state jika loading dose tidak diberikan fraksi karena
waktu paruh yang memanjang. Karena itu pada penderita dengan gagal ginjal diperlukan
perubahan Dnri dan juga diperlukan kesabaran untuk mencapai steady state.
Kliren total suatu obat dan konsentrasi steady state nya sangat berhubungan , hal ini bisa
dilihat dari persamaan berikut:
Konsentrasi plasma steady state = fraksi dosis yang diabsorpsi X dosis/
Kliren total X interval dosis.

(15)
Dosis interval = normal Ccr/ patien't Ccr X normal interval.

Maka bila terjadi perubahan kliren, konsentrasi plasma dapat dijaga dengan mengubah
dosis atau interval pemberian .
Jika obat dikeluarkan sempurna atau hampir sempurna lewat ginjal , maka dosis
obar harus dirubah sesuai kliren ginjal, dengan hitungan sebagai berikut : % eliminasi
dosis interval = % eliminasi lewat non ginjal + % eliminasi lewat ginjal. Karena prosentase
yang dieliminasi melalui ginjal sesuai dengan kliren kreatinin maka dapat dihitung:
% eliminasi dosis interval = % eliminasi lewat non ginjal + ( konstanta +kliren kreatinin).
Prosentase lewat jalur non ginjal biasanya bisa dilihat di data yang tersedia.
Misal : gentamisin yang diekskresi lewat ginjal sebesar 98%.
% eleminasi per hari = 2% + ( 0,3 X kliren kreatinin)

Melihat beberapa antibiOtica masih banyak dipakai walaupun nefrotoksis maka beberapa
hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat pada gagal ginjal yaitu:
1. gagal ginjal menyebabkan akumulasi obat-obatan yang diekskresikan lewat ginjal atau
metabolit aktif yang diekskresikan.
2. perlu menggunakan prinsip yang sederhana dengan cara menghitung perubahan dosis
obat pada gagal ginjal.
3. pada beberapa kasus respon terhadap obat berubah pada gagal ginjal , hal ini mustahil
untuk bisa diramalkan perubahan dosis yang sesuai.
4. kita harus hati-hati bila memakai obat yang menginduksi terjadinya gagal ginjal.

Dibawah ini contoh penyesuaian dosis pemberian obat antibiotika pada penderita dengan
gangguan ginjal. Penyesuaian tergantung kliren kreatinin penderita yang sebelumnya harus
ditentukan lebih dahulu.

Dosis aminoglikosida permulaan pada ginjal normal : (16)

Umur dosis awal (gentamisin dosis awal amikasin


Netilmisin,tobramisin )

10-29 th 6 mg/kgBB/hari 24 mg/kgBB/hari


30-60 th 5 mg/kgBB/hari 20 mg/kgBB/hari
> 60 th 4 mg/kgBB/hari 16 mg/kgBB/hari

Dosis awal aminoglikosida pada gangguan fungsi ginjal: dose adjustment

Kliren kreatinin (ml/mnt) dosis awal (% dosis rekomendasi

> 66 100 %
54-66 85 %
42-54 70 %
30-42 55 %
21-30 40 %
<21 seek specialist advice

Dosis awal aminoglikosid dan dosis interval pada gangguan ginjal


( interval adjustment methode)

Kliren kreatinin mlimnt dosis awal dan dosis interval

> 60 5 mg/kgBB/ tiap 24 jam


40-60 5 mg/kgBB/ tiap 36 jam
30-40 5 mg/kgBB/ tiap 48 jam
<30 5mg/kg/BB sekali kemudian
Seek specialist advice
Contoh dosis antibiotika pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal serta penderita dengan dialisis :

Antibiotik kliren kratinin dosis utk dialisis


>50 mVm 10-50mVm <10mVm CAPD CCVHD
Atau HD danCAVHD

Aciclovir tiap8 jam 12-24 jam 50%/24jam 3,5 mg/kg/hari


Amikasin 50-100% 30%/48jam 30%/48jam /24 15-20mg/L 30%/48jam
jam s/d 50%/24jam dialisat/hr

Ampisilin tiap 6jam 6-12jam 12-24 jam 6-12jam 6-12 jam

C ef ot aks im t iap6 - 8jam 8- 12jam 24 jam 8-12jam 8-12 jam

Siprofloksasin tiap 12jam 12-24jam 24 jam


250mg/8jam 12jam
Rifampisin normal normal 50-100%
normal normal
dilarang dilarang
Tetrasiklin tiap 8-12jam dilarang dilarang
Vancomisin 12-24 jam 24-96jam tiap4-10hari 24-96jam

KESIMPULAN
Pada dasarnya antibiotika nefrotoksis masih bisa diberikan pada penderita gangguan fungsi
ginjal bila diperlukan . Namun demikian kita perlu pengetahuan tentang farmakokinetik dan
farmakodinamik dari obat antibiotika tersebut. Assesment penderita dengan gangguan
fungsi ginjal perlu diperhatikan dengan benar, terutama dalam pemberian dosis awal dan
interval dosis yang diperlukan berdasarkan nilai kliren kreatinin penderita.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Jha V, Chugh KS. Drug Induced renal desease. J Assoc Physicians India 1995; 43:
407- 15.
2. Singh NP, Ganguli A, Prakash A. Drug induced .Kidney Diseases. JAPI 2003;51:
970- 977.
3. Luft FC. ClinicaI significance of Renal changes engendered by aminoglycosides in
man. J Antimicrob Chemother. 1984;13 (suppl A) : 23-30.
4. Ward DT, Mc Larnon SJ, Riccardi D A. Aminoglycosides Increase Intracellular
Calcium Levels and ERK Activity in Proximal Tubular Cells Expressing the Extracellular
CalciumSensing Receptor. J Am Soc Nephro1.2002;13: 1481-1489.
5. Mariana Y, Setiabudy R. Sulfonamid, kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran
Kemih. Farmako logi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI . 1995.
6. Deray G. Amphotericin B Nephrotoxicity. Journ of Antimicrobial Chemotherapy .
2002 ;49 Suppl S1: 37-41.
7. Wingard JR, Kubilis P, Yee G, White M, Waishe L. et al. Clinical significance
of nephrotoxicity in patient treated with Amphotericin B for suspected or proven
aspergillosis. Clinical Infectious Diseases :1999;26: 1402-1407.
8.Moreau P,Milpied N, Fayette N, Ramee JF, and Harousseau JL. Reduced renal toxicity
and improved clinical tolerance of Amphotericin Bmixed with intralipid compared with
conventional Amphotericin B in Neutropenic patients. Jornal of Antimicrobial
Chemotherapy. 1992; 30: 535-41.
9. Istiantoro Y H, dan Gan V H S. Penisilin, sefalosporin dan antibiotik Betalaktam lainnya.
Farmakologi dan Terapi . Bagian farmakologi FKUI. Edisi 4. 1995.
10. Tune B M and Hsu C-Y. The Renal mitochondria Toxicity of Betalactam
Antibiotics: in Vitro Effects of Cephaloglycin and Imipenem. Journ of the Am Soc of
Nephrology. 1990;1: 615-821.
11. Luft F C. Visscher D W. Nierste D M et al . Ceftazidime Nephrotoxicity in
Rat. Antimicrobial Agents and Chemoteraphy. 1984: 513-514
12. Setiabudy R. antimikroba lain. Farmakologi dan Terapi. Bag. Farmakologi FK UI.
Edisi 4 2005: 675-685.
13. Hodoshima N, Nakano Y, Izumi M , Mitomi N et al . Protective Effect of
Inactive Ingredients against nephrotoxicity of vancomycin Hydrochloride in Rat. Drug
Metab. Pharmacokin. 2004; 19: 68-75.
14. Aronson,J,K. Drugs and Renal Insufficiency, Medicine International,Far East
Edith. The Medicine Publishing Company Ltd. 2003 : 87-96.
15. Olyaei,AJ, de Matos, A,M, and Bennett W,M, Principles of Drug Dosing
and Prescribing in Renal Failure, in Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd
Edith,Chapter 96, Mosby.2003 .
16. Therapeutic Guidelines: Antibiotic Version 12, Copy right 2003. Published
and distributed by Therapeutic Guidelines Limited Ground Floor, Victoria 3051
Australia.

Anda mungkin juga menyukai