Anda di halaman 1dari 5

2.

4 SKALA NYERI

Pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program penghilangan nyeri pasca
bedah. Derajat nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara, misalnya tingkah laku pasien, skala
verbal dasar (VRS, verbal rating scales), skala visual analog (VAS).

Secara sederhana nyeri pasca bedah pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada
yang bersangkutan dan biasanya dikatagorikan sebagai : tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild,
slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe), sangat nyeri (very severe, intorable)

2.5 Tatalaksana Nyeri

Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral, blok saraf
perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal. Pemilihan teknik analgesia
secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup
utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

Tabel 2.5-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri

Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan


berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang direkomendasikan oleh WHO dan
WFSA. Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah, dapat
digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder. Tiga
langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid
lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga, disarankan
untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik
maupun nyeri akut, yaitu :

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3


2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

2.5.1.1 Analgesia Multimodal

Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya
peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dimana
analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan pada ketiga proses
perjalanan nyeri, yakni:

• Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS


• Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
• Peningkatan proses modulasi dengan opioid

Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan penggunaan


parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan
tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska pembedahan ditingkat
sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain harus diberikan secepatnya (early analgesia),
juga harus disertai dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian
nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).

2.5.1.2 Analgesia Preemptif

Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum terjadi, terutama ditujukan pada
pasien sebelum dilakukan tindakan operasi (pre-operasi). Pemberian analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri
selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa
keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh
rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan sangat menurun
dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa memakai cara analgesia preemptif.
Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak, maupun dikombinasikan dengan opioid
atau AINS lainnya, dilakukan 20 – 30 menit sebelum tindakan operasi.

2.5.1.3 OPIOID

Opioid ialah semua zat baik sintetik atau n atural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam anesthesia
untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang-
kakdang digunakan untuk anesthesia narkotika total pada pembedahan jantung. Opium ialah getah
canu. Opiate ialah obat yang dibuat dari opium. Narkotik ialah istilah tidak spresifik untuk semua
obat yang dapat menyebabkan tidur.

Mekanisme kerja opioid sebernarnya tersebar luas di seluruh jaringan system saraf pusat,
tetap lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di system limbic, thalamus, hipotalamus, korpus
striatum, system aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia geltinosa dan dijmpai
ula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen ( metenkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.

Reseptor opioid diindefitikasikan menjadi 5 goolongan :


– Reseptor µ (mu) : µ-1 analgesia supraspinal, sedasi µ-2, analgesia spinal, depresi napas,
eforia, ketergantungan fisik, kekakuan otot

– Reseptor  (delta) : analgesia spinal, epileptogen


– Reseptor  (kappa) : -1 nalagesia spinal, -2 tidak diketahui, -3 analgesia supraspinal
– Reseptor  (sigma) : disforia, halusinasi, stimulais jantung
– Reseptor  (epsilon) : respon hormonal

2.5.1.3.1 Morfin
Paling mudah larut dalam air, kerja analgetiknya cukup panjang. Terdapat 2 fungsi
morfin yaitu depresi (analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar) dan
stimulasi (miosis mual, muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi, sekresi hormon ADH).
Dosis besar morfin dapat merangsang vagus & bradikardi, menyebabkan hipotensi
ortostatik, melepaskan histamin menyebabkan konstriksi bronkus, pada sal cerna
menyebabkan kejang otot usus sehingga konstipasi, pada kejang sfingter oddi
menyebabkan kolik empedu, pada kejang sfingter buli-buli menyebabkan retensi urin.
Penggunaan morfin dapat melalui s ubkutan, IM, IV, epidural, intratekal. Pada
premedikasi sering dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin (largaktil). Pada
pemeliharaan anestesi umum sebagai tambahan analgesia. Namun untuk obat utama
anestesi harus ditambahkan bensodiazepin atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatil
dosis rendah.
Dosis anjuran untuk menghilangakan nyeri sedang : 0,1–0,2 mg/kgBB subkutan &
I.m dapat diulang tiap 4 jam, untuk nyeri hebat : 1-2 mg iv diulang sesuai keperluan.
Mengurangi nyeri paska bedah atau nyeri persalinan 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2mg
intratekal. Dapat diulang 6-12 jam

2.5.1.3.2 Petidin
Efek klinik dan efek samping hampir sama dengan morfin. Perbedaan dengan morfin
adalah lebih larut dalam lemak, metabolisme oleh hepar lebih cepat & menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat & asam normeperidinat, bersifat atropin meyebabkan
kekeringan mulut, kekaburan pandangan & takikardi, efek terhadap sfingter oddi lebih
ringan, efektif menghilangkan gemetaran paska bedah yang tak ada hubungannya dengan
hipotermi dengan dosis 20-25 iv pada dewasa,lama kerja petidin lebih pendek. Dosis im 1-
2 mg/kg BB dapat diulang 3-4 jam, dosis iv 0,2-0,5 mg/BB. Subkutan tidak dianjurkan
karena bersifat iritasi. Dapat untuk analgesia spinal, dosis 1-2 mg/BB.

2.5.1.3.3 Fentanil
Kekuatan 100x morfin, lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan petidin, menembus
sawar jaringan dengan mudah, efek depresi napas lebih lama dibanding efek analgesinya.
Dosis 1-3 g/kgBB nalgesinya berlangsung menit tidak digunakan untuk paska bedah.
Dosis besar 50-150 g/kgBB  induksi anestesi & pemeliharaan dengan kombinasi
bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung. ES: kekakuan otot
punggung cegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar mencegah: peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron & kortisol

2.5.1.3.4 Sufentanil
Sama dengan fentanil , efek pulih lebih cepat dari fentanyl, kekuatan analgesi 5-10x
fentanyl. Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB

2.5.1.3.5 Alfentanil
Kekuatan analgesi 1/5 – 1/3 fentanil, insiden mual muntah sangat besar, mula kerja cepat.
Dosis analgesi : 10-20 g/kgBB

2.5.1.3.6 Tramadol
Analgetik sentral. diberi : oral, I.m, I.v, dengan dosis 50-100mg dan dapat diulang setiap
4-6 jam , dosis maksimal 400 mg/hari

Anda mungkin juga menyukai