Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

INOVASI PENDIDIKAN INDUSTRI 4.0


Disusun untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah

Inovasi Program Pendidikan

DOSEN PEMBIMBING :

Ulfatur Rahmah.,M.Pd

DISUSUN OLEH:
Tri Dewi Kusumawati (D03216036)
Misbahus Surur (D93216055)
Nadya Ayu Pratiwi (D93216081)
Yuta Muti’ah (D93216098)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
disusun guna memenuhi tugas Inovasi Program Pendidikan dengan judul Inovasi
Pendidikan Industri 4.0.

Disampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu dan
mengarahkan agar penyusunan makalah ini baik dan tepat, serta rekan – rekan yang
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas makalah ini.

Surabaya, 15 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I....................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
A. Latar Belakang.............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN...................................................................................................... 6
A. Analisis Karakteristik Peserta Didik Industri 4.0Error! Bookmark not defined.
B. Rancangan Inovasi dan Perubahan Manajemen Kelas 4.0Error! Bookmark not
defined.
C. Rancangan Inovasi dan Perubahan Metode Pembelajaran 4.0Error! Bookmark
not defined.
D. Rancangan Inovasi Pembelajaran dan Perubahan ManajemenError! Bookmark
not defined.
BAB III .................................................................................................................... 2
PENUTUP ............................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ................................................................................................... 2
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 2

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dunia pada saat ini telah memasuki era revolusi industri 4.0.,
bentuk kehidupan manusia telah berbasis informasi. Karena itu dalam menyiapkan
lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing secara global serta menguasai
perkembangan teknologi merupakan hal yang sangat penting untuk semua orang dan
bagi masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu, literasi digital perlu dikembangkan
dalam dunia pendidikan untuk membangun karakter bangsa yang lebih baik dan lebih
siap menghadapi era pendidikan abad 21.
Dukungan dan peran pendidikan diharapkan dapat meningkatkan daya saing
bangsa di tengah persaingan global pesatnya perkembangan teknologi informasi.
Ketidakpahaman manusia pada dunia digital membuat berbagai penyalahgunaan
media digital terjadi di level personal, sosial, dan nasional. Adanya faktor tersebut
berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran, yang menjadi salah satu
tantangan bagi para pelaku pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, peserta didik
pun dituntut harus memiliki karakter yang kuat agar dapat menghadapi tantangan
abad 21 tersebut.1
Era revolusi industri merupakan masa yang penuh persaingan. Dengan
demikian, generasi muda sebagai generasi penerus harus disiapkan melalui proses
yang tepat. Pendidikan di sekolah melalui pembelajaran merupakan proses yang
strategis dalam menyokong pembentukan karakter bagi peserta didik. 2

B. Rumusan Masalah
1. Apa karakteristik peserta didik industri 4.0 ?
2. Bagaimana rancangan inovasi dan perubahan manajemen kelas 4.0 ?
3. Bagaimana rancangan inovasi dan perubahan metode pembelajaran 4.0 ?

1
Uswatun, Membangun Karakter Siswa Melalui Literasi Digital, 99.
2
Widha Peran Pendidik dalam Revolusi Industri, 2.

4
4. Bagaimana rancangan inovasi pembelajaran dan perubahan manajemen?

C. Tujuan
1. Menjelaskan karakteristik peserta didik industri 4.0.
2. Menjelaskan rancangan inovasi dan perubahan manajemen kelas 4.0.
3. Menjelaskan rancangan inovasi dan perubahan metode pembelajaran 4.0.
4. Menjelaskan rancangan inovasi pembelajaran dan perubahan Manajemen.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Analisis Karakteristik Peserta Didik Industri 4.0


Karakter dapat dikatakan sebagai nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia
berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika.
Strategi pembelajaran di kelas harus memberikan kontribusi dalam pembentukan
karakter yang kreatif bagi generasi penerus yang handal di masa depan. Generasi yang
diharapkan adalah yang unggul, inovatif, dan memberikan penguatan pada ekonomi
kreatif. Hal yang menunjang ialah berpikir kritis, kreativitas, komunikasi,
keterampilan tingkat tinggi. 3 Adapun karakter yang dimiliki adalah sebagai beriku:
1. Kreatif
Kreatif merupakan kemampuan melakukan sesuatu ataupun berpikir untuk
menghasilkan cara atau hasil yang baru dari sesuatu yang telah ada. Upaya kreatif
seseorang dapat ditunjang oleh perubahan tingkah laku individu maupun
interaksi dengan lingkunagnnya. Bertindak kreatif dari seseorang dapat
menghasilkan kreatifitas yang merupakan kemampuan untuk menghasilkan atau
menciptakan kombinasi atau situasi dan kondisi yang baru. Ciri khas adanya
sikap kreatif yang dimiliki peserta didik antara lain: 4
a. Rasa ingin tahu yang luas dan mendalam
b. Sering mengajukan pertanyaan yang relevan
c. Memberikan gagasan atau usul terhadap suatu masalah
d. Bebas dalam menyatakan pendapat
e. Memiliki rasa keindahan yang dalam
f. Menonjol dalam salah satu bidang estetika
g. Mampu melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang,
h. Mempunyai rasa humor yang tinggi

3
Rusdiana, Konsep Inovasi Pendidikan (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), 2
4
Nurdyansah & Eni Fariyarni Fahyuni, Inovasi Model Pembelajaran (Sidoarjo: Nizamia Learning Center,
2013), 4

6
i. Mempunyai daya imajinasi
j. Orisinil dalam ungkapan, gagasan, dan pemecahan masalah
2. Mampu berkontribusi aktif
Pengembangan pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang
secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Tidak lagi
dituntut mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru,
tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan
kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya. Sambil diajak berkontribusi
untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.
3. Mampu melakukan Kolaborasi
Siswa bisa berkolaborasi dengan orang lain . Berkolaborasi dengan orang-
orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya.
Berkolaborasi dengan teman-temannya di kelas untuk menggali informasi.
Mampu menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana
mengambil peran dan meyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.
4. Komitmen dan Bertanggung Jawab
Guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa
terhubung dengan dunia nyata supaya siswa dapat menemukan nilai, makna, dan
keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya, dapat mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Mampu Bersosialisasi
Siswa terlibat dalam lingkungan sosialnya untuk belajar mempersiapkan diri
menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Misal kegiatan pengabdian
masyarakat, siswa mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam
lingkungan sosial. Terlibat program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup.
Kegiatan mengunjungi panti asuhan untuk melatih kepekaan sosial dan empati.5

B. Rancangan Inovasi dan Perubahan Manajemen Kelas 4.0

5
Rusdiana, Konsep Inovasi Pendidikan, 5

7
Pengelolaan kelas bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi terkait dengan
berbagai faktor. Permasalahan anak didik adalah faktor utama yang terkait langsung
dalam hal ini. Karena pengelolaan kelas yang dilakukan guru tidak lain adalah untuk
meningkatkan kegairahan belajar anak didik baik secara berkelompok maupun secara
individual.
Keharmonisan hubungan guru dengan anak didik, tingginya kerjasama
diantara anak didik tersimpul dalam bentuk interaksi. Lahirnya interaksi yang optimal
tentu saja bergantung dari pendekatan yang guru lakukan dalam rangka pengelolaan
kelas. Terkait dengan perubahan manajemen kelas pada era revolusi industri 4.0 ini,
manajemen kelas dapat di kelola dengan berbagai pendekatan. Berbagai pendekatan
tersebut adalah seperti dalam uraian berikut:
a. Pendekatan kekuasaan
Pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah
laku anak didik. Peranan guru disini adalah menciptakan dan mempertahankan
situasi disiplin dalam kelas. Kedisiplinan adalah kekuatan yang menuntut kepada
anak didik untuk menaatinya. Didalamnya ada kekuasaan dalam norma yang
mengikat untuk ditaaati anggota kelas. Melalui kekuasaan dalam bentuk norma
itulah guru mendekatinya.
b. Pendekatan ancaman
Dari pendekatan ancaman atau intimidasi ini, pengelolaan kelas adalah juga
sebagai suatu proses untuk mengontol tingkah laku anak didik. Tetapi dalam
mengontrol tingkah laku anak didik dilakukan dengan cara memberikan ancaman,
misalnya melarang, ejekan, sindiran, dan memaksa
c. Pendekatan kebebasan
Pengelolaan diartikan secara suatu proses untuk membantu anak didik agar
merasa bebas untuk mengerjakan sesuatu kapan saja dan dimana saja. Peranan
guru adalah mengusahakan semaksimal mungkin kebebasan anak didik
d. Pendekatan resep
Pendekatan resep (cook book) ini dilakukan dengan memberi satu daftar yang
dapat menggambakan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh

8
guru dalam mereaksi semua masalah atau situasi yang terjadi di kelas. Dalam
daftar itu digambarkan tahap demi tahap apa yang harus dikerjakan oleh guru.
Peranan guru hanyalah mengikuti petunjuk seperti yang tertulis dalam resep.
e. Pendekatan pengajaran
Pendekatan ini didasarkan atas suatu anggapan bahwa dalam suatu
perencanaan dan pelaksanaan akan mencegah munculnya masalah itu bila tidak
bisa dicegah. Pendekatan ini menganjurkan tingkah laku guru dalam mengajarkan
untuk mencegah dan menghentikan tingkah laku anak didik yang kurang baik.
f. Pendekatan perubahan tingkah laku
Sesuia dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan sebagi suatu proses
untuk mengubah tingah laku anak didik. Peranan guru adalah mengembangkan
tingkah laku anak didik yang baik, dan mencegah tingkah laku yang kurang baik.
Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behavior modification
approach) ini berolak dari sudut pandang psikologi Bihavioral yang
mengemukakan asumsi sebagai berikut:
1) Semua tingkah laku yang baik dan yang kurang baik merupakan hasil proses
belajar. Asumsi ini mengharuskan wali/guru kelas berusaha menyusun
program kelas dan suasana yang dapat merangsang terwujudnya proses belajar
yang memungkinkan siswa mewujudkan tingkah laku yang baik menurut
ukuran norma yang berlaku dilingkungan sekitarnya.
2) Didalam proses belajar terdapat proses psikologi yang fundamental berupa
penguatan positif (positive reinforcement), hukuman, penghapusan
(extinction), dan penguatan negatif (negative reinforcement). Asumsi ini
mengharuskan seseorang wali/guru kelas melakukan usaha-usaha mengulang-
ulangi program atau kegiatan yang dinilai baik (perangsang) bagi
terbentuknya tingkah laku tertentu, terutama dikalangan siswa.

g. Pendekatan suasana emosi dan hubungan sosial


Pendekatan pengelolaan kelas berdasarkan suasana perasaan dan suasana
sosial didalam kelas sebagai sekelompok individu cenderunng pada pandangan

9
psikologi klinis dan konseling (penyuluhan). Menurut pendekatan ini pengelolaan
kelas merupakan suatu proses menciptakan iklim atau suasana emosional dan
hubungan sosial yang positif dalam kelas. Suasana emosional dan hubungan
sosial yang positif, artinya ada hubungan yang baik yang positif antara guru
dengan anak didik, atau antara anak didik dengan anak didik. Disini guru adalah
kunci terhadap pembentukan hubungan pribadi itu, peranannya adalah
menciptakan hubungan pribadi yang sehat.
h. Pendekatan proses kelompok
Pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan
kelas sebagai suatu sistem sosial, dimana proses kelompok merupakan yang
paling utama. Peranan guru adalah mengusahakan agar perkembangan dan
pelaksanaan proses kelompok itu efektif. Proses kelompok adalah usaha guru
mengelompokkan anak didik kedalam beberapa kelompok dengan berbagai
pertimbangan individual sehingga tercipta kelas yang bergairah dalam belajar.
i. Pendekatan elektis dan pluralistik
Pendekatan elektis (electic approach) ini menekankan pada potensialitas,
kreativitas, dan inisiativ wali/guru kelas dalam memilih berbagai pendekatan
tersebut berdasarkan situasi yang dihadapinya. Penggunaan pendekatan itu dalam
suatu situasi mungkin dipergunakan salah satu dalam situasi lain mungkin harus
mengombinasikan dan atau ketiga pendekatan tersebut. Pendekatan elektis
disebut juga pendekatan pluralistik, yaitu pengelolaan kelas yang berusaha
menggunakan berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat
menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi yang memungkinkan proses
belajar mengajar berjalan efektif dan efisien. Guru memilih dan menggabungkan
secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan selama maksud
dan penggunaannya untuk pengelolaan kelas disini adalah suatu set (rumpun)
kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang
memberi kemungkinan proses belajar mengajar berjalan secara efektif dan
efisien.
Kelas harus dirancang dan dikelola dengan seksama agar memberi hasil yang

10
maksimal. Pendekatan atas pengelolaan kelas sangat tergantung pada kemampuan,
pengetahuan, sikap guru terhadap proses pembelajaran dan hubungan siswa yang
mereka ciptakan.6
C. Rancangan Inovasi dan Perubahan Metode Pembelajaran 4.0

Revolusi digital dan era disrupsi teknologi adalah istilah lain dari industri 4.0.
Disebut revolusi digital karena terjadinya proliferasi komputer dan otomatisasi
pencatatan di semua bidang. Industri 4.0 dikatakan era disrupsi teknologi karena
otomatisasi dan konektivitas di sebuah bidang akan membuat pergerakan dunia
industri dan persaingan kerja menjadi tidak linear. Salah satu karakteristik unik dari
industri 4.0 adalah pengaplikasian kecerdasan buatan atau artificial intelligence.7
Salah satu bentuk pengaplikasian tersebut adalah penggunaan robot untuk
menggantikan tenaga manusia sehingga lebih murah, efektif, dan efisien. Kemajuan
teknologi memungkinkan terjadinya otomatisasi hampir di semua bidang. Teknologi
dan pendekatan baru yang menggabungkan dunia fisik, digital, dan biologi secara
fundamental akan mengubah pola hidup dan interaksi manusia.8
Kurang lebih 40 tahun dari yang diramalkan oleh Alfin Tofler dalam bukunya
The Third Wave yaitu tantangan dunia menghadapi gelombang ketiga peradapan
manusia, dunia memasuki Era Industri 4.0. Istilah ini dideklarasikan di Jerman pada
diskusi tentang "Industri 4.0", istilah yang diciptakan di Hannover Fair pada tahun
2011 untuk menggambarkan bagaimana melakukan revolusi terhadap organisasi pada
mata rantai global. Dengan didirakannya "pabrik pintar", revolusi industri keempat
menciptakan sebuah dunia gabungan sistem fisik dan virtual. Dunia ini
memungkinkan perusahaan secara global bekerja sama satu sama lain dengan cara
yang fleksibel dan memungkinkan suatu kustomisasi produk secara mutlak dan
penciptaan model-model operasi baru.

6
Syaiful Bahri Jamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 179-184.
7
Tjandrawinata, R.R. (2016). Industri 4.0: Revolusi industri abad ini dan pengaruhnya pada bidang kesehatan
dan bioteknologi. Jurnal Medicinus, Vol 29, Nomor 1, Edisi April
t
Tjandrawinata, R.R. (2016).

11
Di bidang pendidikan, fenomena ini adalah tantangan yang dapat dibilang
tidak hanya berfokus pada yang diajarkan, tetapi juga cara pengajarannya yang mana
pendidikan tersebut sendiri didasarkan pada kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
yang ada di masa depan. Sudah menjadi konsumsi umum bahwa pendidikan sekarang
dipandang sebagai proses seumur hidup bukan hanya sebagai batu loncatan ke arah
dunia professional. Pendidikan 4.0 ini dianggap sebagai peluang bagi sekolah yang
siap menumbuhkan kesiapan peserta didiknya memasuki babak baru dunia
pendidikan yang berubah begitu cepat. Guru dituntut tidak hanya harus mampu
mengubah cara berpikir anak didiknya menghadapi segala rintangan yang mereka
alami, tetapi juga punya peran heroik yang tidak mudah digantikan; betapa
pentingnya peran guru bagi masa depan anak-anak didiknya. Peran guru lebih
kompleks daripada era sebelumnya. Kompleksitas itu ditunjukkan, misalnya,
bagaimana seorang guru mesti merespon beragam kebutuhan anak didik yang
berubah, perkembangan teknologi yang demikian cepat merambah dan mengisi
dunia, atau tuntutan meraih keunggulan dari masyarakat, serta perubahan konstruksi
sosial di dalam masyarakat dan globalisasi.9
Kualitas anak didik di masa depan sangat ditentukan oleh peran guru di
sekolah masa kini. Dipandang perlu memahami bagaimana dunia berubah
bertransformasi untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Disamping itu juga perlu
dipahami transformasi yang juga berlangsung pada dunia pendidikan, kita mengenal
istilah Pendidikan 1.0, Pendidikan 2.0, Pendidikan 3.0, dan terakhir Pendidikan 4.0
sebagai jawaban atas perkembangan kemasyarakatan akibat perkembangan zaman.
Pandangan tentang bagaimana manusia belajar, juga perlu diadaptasikan. Istilah
pedagogy, mesagogy, andragogy, dan heutagogy menjadi dasar yang patut dipahami
oleh guru. Masing-masing pandangan pembelajaran tersebut diperlukan dalam upaya
memperlakukan peserta didik dalam mencerna pengetahuan/kompetensi yang
disesuaikan dengan lingkungan tersedia.

9
Setyowati & M. Arifana. 2004. Studi Keefektifan Pengembangan Pendidikan Masa Depan. Jurnal
Pendidikan Dasar Volume 5 No 2 September 2004 http://dikdas.jurnal. unesa.ac.id

12
1. Revolusi Pendidikan
Dari zaman kuno ke abad pertengahan, pendidikan diberikan atas dasar
pribadi-kepribadi, sehingga terbatas dalam skala kuantitas dan sifatnya yang
informal. Pendidikan di jaman kuno dan abad pertengahan terdiri dari pendidikan
pribadi yang terbatas pada beberapa siswa, keterampilan untuk otot, tingkat melek
huruf yang rendah dan metode pendidikan informal. Kemudian, secara bertahap
berkembang menjadi sekolah formal di abad-abad kemudian.
Pendidikan kuno yang menekankan pada pendidikan informal terkenal di
beberapa negara India, Cina, Israel, Roma dan Yunani. Mereka menekankan pada
pada pengajaran kelas elit dan mendidik anak laki-laki dari kalangan kerajaan dan
bangsawan. Dengan meningkatnya kesadaran dan pentingnya pendidikan,
pendidikan anak perempuan menjadi diperhatikan. Selanjutnya konsep
pendidikan formal muncul dalam konsep pendidikan di gereja dan dikembangkan
pemimpin-pemimpin gereja. Pada abad pertengahan, pendidikan berubah dengan
dominasi agama di Eropa Barat dan India, bersama dengan fokus pada penelitian
ilmiah di Roma. Beberapa imam dari gereja-gereja ditunjuk untuk memberikan
pendidikan berkualitas dan periode ini mulai muncul sarjana dengan berbagai
keahlian. Sistem formal pendidikan tinggi, mulai berkembang di negara-negara
seperti Jepang, Cina, India, Inggris, Korea dan Perancis yang ditandai dengan
dibangunnya universitas dan perguruan tinggi.
Pendidikan 1.0 berangsur-angsur berubah dari tingkat pendidikan dasar ke
awal pendidikan tinggi, yaitu dihasilkannya pendirian beberapa universitas.
Namun pada era ini, tidak ada sistem kurikulum, assessment atau penilaian, dan
pengakuan resmi. Selain itu juga, proses pendidikan sangat lemah dalam hal
diversifikasi keilmuan.
Pendidikan 1.0 bertipe esensialis, pendidikan behavioris yang didasarkan
pada 3 R; Receiving (menerima) dengan mendengarkan penjelasan guru;
Responding (merespon) dengan mencatat, mengkaji teks, dan mengerjakan
lembar kerja; dan Regurgitating (memuntahkan) dengan memberikan asesmen
yang sama. Pembelajar dipandang sebagai wadah dari pengetahuan, dan sebagai

13
wadah mereka tidak memiliki sifat yang unik. Semua pembelajar dipandang
sama, satu standar/ ukuran untuk semua jenis pendidikan.
Pendidikan 1.0 dapat dipandang sebagai Web 1.0 dimana hanya ada satu cara
menyebarkan pengetahuan dari guru ke siswa. Pendidikan 1.0 adalah seperti
generasi pertama dari Web, sebagian besar proses satu arah. Para siswa pergi ke
sekolah untuk mendapatkan pendidikan dari para guru, yang memberi mereka
informasi dalam bentuk rutinitas, termasuk penggunaan catatan kelas, selebaran,
buku pelajaran, dan video. Siswa sebagian besar dipandang sebagai konsumen
dari sumber informasi yang disampaikan kepada mereka, dan meskipun mereka
terlibat dalam kegiatan berdasarkan sumber daya tersebut, kegiatan sebagian
besar dilakukan secara terpisah atau dalam kelompok lokal yang terisolasi. Jarang
hasil dari kegiatan berkontribusi kembali ke sumber informasi yang dikonsumsi
dan dilaksanakan oleh siswa.10
Penemuan mesin cetak pada pertengahan abad ke-15 benar-benar mengubah
sektor pendidikan dan membantu meningkatkan tingkat melek huruf karena
memungkinkan penyebaran gagasan secara cepat melalui buku. Kemajuan sosial
ekonomi dalam periode ini menyebabkan Pendidikan 2.0, yang memerlukan
waktu beberapa ribu tahun untuk berubah dari Pendidikan tradisional 1.0. Dengan
penemuan mesin cetak, penyebaran pengetahuan tidak lagi tergantung pada
individu perorangan tetapi dapat dilakukan kepada masyarakat melalui buku
cetak. Teknologi percetakan memiliki efek mendalam pada tingkat melek huruf
di Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Asia pada abad ke-15 dan 16.
Masa ini menjadi saksi pergeseran dari naskah ke pencetakan, yang
selanjutnya didukung oleh revolusi ilmiah, renaissance dan reformasi, yang
mengarah ke pengembangan masyarakat di mana rasa ingin tahu, ide-ide baru,
dan inovasi didorong. Penyebaran lembaga pendidikan sebagai pusat diskusi,
sains, dan eksperimentasi semakin membantu dalam inovasi sosial, filosofis, dan
ilmiah. Pendidikan vokasi mendapatkan popularitas di India, Jepang, Eropa, dan

10
Keats, D., & Schmidt, J. (2007). The genesis and emergence of Education 3.0 in higher education and its
potential for Africa. First Monday, 12(3). doi:10.5210/fm.v12i3.162

14
Korea Selatan melalui magang dan biara. Era baru bagi Sarjana mengembangkan
pembelajaran praktis untuk mempersiapkan siswa dalam mengelola urusan sosial,
ekonomi, dan politik secara efisien daripada fokus pada aspek agama Yunani dan
klasik Latin.
Pendidikan 2.0 mengambil karakteristik dari orientasi pengajaran yang
andragogis, lebih konstruktivis di mana prinsip pengalaman belajar yang aktif,
pengalaman, otentik, relevan, dan jaringan sosial dibangun ke dalam kelas atau
struktur kursus. Andragogi telah dijelaskan untuk mengajar pembelajaran orang
dewasa, tetapi prinsip-prinsip dasar dapat diekstraksi dari andragogy dan
diterapkan pada pengajaran sebagian besar kelompok umur.
Model andragogical adalah proses yang berkaitan dengan penyediaan
prosedur dan sumber daya untuk membantu pembelajar memperoleh informasi
dan keterampilan. Dalam model ini, guru (fasilitator, agen perubahan, konsultan)
menyiapkan serangkaian prosedur untuk melibatkan peserta didik dalam suatu
proses yang mencakup (a) membangun iklim yang kondusif untuk belajar, (b)
membuat mekanisme untuk perencanaan bersama, (c) mendiagnosis kebutuhan
pembelajaran, (d) merumuskan tujuan program (konten) yang akan memenuhi
kebutuhan ini, (e) merancang pola pengalaman belajar , (T) melakukan
pengalaman belajar ini dengan teknik dan bahan yang sesuai, dan (g)
mengevaluasi hasil pembelajaran dan mendiagnosis ulang kebutuhan belajar.11
Pendidikan 2.0 mengambil karakteristik dari orientasi pengajaran yang
andragogis, lebih konstruktivis di mana prinsip pengalaman belajar yang aktif,
pengalaman, otentik, relevan, dan jaringan sosial dibangun ke dalam kelas atau
struktur kursus. Andragogi seperti yang telah dijelaskan untuk mengajar
pembelajaran orang dewasa, tetapi prinsip-prinsip dasar dapat diekstrak dari
andragogy dan diterapkan pada pengajaran sebagian besar kelompok umur.

11
Holmes, G., & Abington-Cooper, M. (2000). Pedagogy vs. andragogy: A false dichotomy? Journal of
technoloo Studies, 26(2). Retrieved from http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JOTS/ Summer-Fall-
2000/holmes.html

15
Munculnya internet dan IT mengubah mode pengiriman, menyediakan
platform teknologi untuk belajar. Transisi dari Pendidikan 2.0 ke Pendidikan 3.0
berlangsung dalam beberapa dekade dan dalam periode tersebut dapat disaksikan
peningkatan orang yang melek pendidikan secara signifikan karena meningkatnya
aksesibilitas ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi mengalami evolusi selama
berabad-abad sebagai tanggapan terhadap tantangan eksternal. Saat ini, di
Pendidikan 3.0 terjadi peningkatan yang besar dalam permintaan global untuk
pendidikan, peran seorang guru telah berubah dari seorang instruktur menjadi
fasilitator, dan teknologi telah menjadi hadir untuk pengiriman konten di berbagai
program pembelajaran online dan jarak jauh. Awalnya investasi negara yang
besar untuk membangun infrasuktur, sekarang pendanaan bergerak ke arah
investasi dan sumbangan swasta. Transisi perubahan dari Pendidikan 3.0 ke
Pendidikan 4.0 berlangsung sangat cepat, hal ini ditunjang perkembangan
teknologi IT, smartphone, social media, dan internet
Pendidikan 4.0 menempatkan pembelajar di pusat ekosistem dan
memberdayakan untuk membangun jalan individu terhadap outcome yang
diinginkan. Perguruan tinggi terus berkembang sebagai tanggapan terhadap
kekuatan internal dan eksternal. Evolusi saat ini terjadi dengan kecepatan yang
dipercepat oleh faktor perubahan, perubahan diukur dalam beberapa tahun dan
bukan berabad-abad. Dalam Pendidikan 4.0, pembelajaran terhubung langsung
dengan peserta didik, berfokus pada peserta didik, didemonstrasikan oleh
pembelajar dan dipimpin oleh pembelajar. Dalam hal ini pembelajar yang
bertanggung jawab untuk mendefinisikan berbagai dimensi dan jalur
pendidikannya, apa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa ketika bergerak
naik tangga belajar. Pelajar masa depan lebih sadar dan proaktif karena tingkat
paparan dan panduan yang tinggi tersedia di berbagai platform. Pendidikan 4.0
memiliki personalisasi dalam proses pembelajaran, dimana pembelajar memiliki
fleksibilitas lengkap untuk menjadi arsitek pada jalur pembelajarannya sendiri
dan memiliki kebebasan untuk mencita-citakan, mendekati dan mencapai tujuan
pribadi dengan pilihan.

16
Pendidikan 4.0 lebih dari pendekatan heutagogical, connectivist untuk
mengajar dan belajar. Para guru, peserta didik, jaringan, koneksi, media, sumber
daya, dan alat menciptakan suatu entitas unik yang memiliki potensi untuk
memenuhi kebutuhan individu pendidik, pendidik, dan bahkan kemasyarakatan.
Pendidikan 4.0 mengakui bahwa setiap pendidik dan perjalanan siswa adalah
unik, personal, dan ditentukan sendiri.
Dalam pendekatan heutagogical untuk mengajar dan belajar, peserta didik
sangat otonom dan ditentukan sendiri dan penekanan ditempatkan pada
pengembangan kapasitas dan kapabilitas pembelajar. Minat yang diperbarui pada
heutagogy sebagian disebabkan oleh keberadaan internet berkecepatan tinggi di
mana-mana, dan kemampuan yang disediakan oleh teknologi. Dengan desain
yang berpusat pada pembelajar, internet jaringan tinggi menawarkan lingkungan
yang mendukung pendekatan heutagogical, yang paling penting dengan
mendukung pengembangan konten yang dihasilkan oleh pelajar dan diri
pembelajar.
Prinsip pembelajaran yang mengarah ke Pendidikan 4.0 memiliki ciri-ciri:
a. Menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari dan kembangkan. Serta dengan
tujuan pembelajaran yang mereka desain sendiri untuk pembelajaran yang
didasarkan pada berbagai hasil belajar yang diinginkan.
b. Menggunakan preferensi belajar dan teknologi untuk memutuskan bagaimana
mereka akan belajar.
c. Membentuk komunitas belajar mereka sendiri, karena banyaknya aplikasi
jarring social yang ada saat ini, Dengan menggunakan alat jejaring sosial yang
disarankan dan atau disiapkan oleh pendidik. Aplikasi jaringan social yang
mungkin saat ini, termasuk: Facebook®, Twitter, Edmodo, Instagram, situs
blog, YouTube®, dan jejaring sosial lainnya.
d. Memanfaatkan keahlian pendidik dan anggota lain dari komunitas belajar,
untuk memperkenalkan sumber daya yang berhubungan dengan konten dan
jaringan online lainnya untuk digunakan pembelajar mendemokan dan
menghasilkan artefak pembelajaran.

17
e. Mendemonstrasikan pembelajaran mereka melalui metode dan sarana yang
menunjang yang memungkinkan dengan cara terbaik. Ini bisa termasuk
penggunaan perangkat seluler mereka ke blog, membuat esai foto screencasts,
membuat video atau podcast, menggambar, menyanyi, menari, dll.
f. Mengambil inisiatif untuk mencari umpan balik dari para pendidik dan rekan-
rekan mereka dan menjadi pilihan mereka apakah ingin diberi umpan balik
itu atau tidak.12
2. Desain Inovasi Metode Pembelajaran 4.0
Mengantisipasi perkembangan dunia pendidikan, yang secara langsung
merupakan respon terhadap tuntutan masyarakat akan perkembangan zaman,
maka model pembelajaran yang mengkombinasikan empat tahapan gogi perlu
dihadirkan. Bagian ini mendeskripsi konsep pembelajaran kontinyu yang
memadukan empat tahapan gogi; pedagogy, mesagogy, andragogy, dan
heutagogy.

Gambar Gambar 1. Model Pembelajaran Kontinyu13


Teacher contributiom

Close support Moderate support Consulting Synergy

Leaner contribution

Receiving Accepting internallizing Synthesizing


Pedagogy Mesagogy Andragogy Heutagogy

12
Gerstain, Jacky.2014. Moving from Education 1.0 Trough Education 2.0 Towards Education 3.0.
Educational Technology Faculty Publications and Presentation. Department of Educational Technology
13
Laton, Dave; Reynold, Joe; David, Ted; Stringer, Dave. From Pedagogy to Heutagogy A
TeachingandLearningContinuum.https://www.accs.cc/default/assets/File/DPE_CTE/CurriculumDevelopment/
Teaching%20Tips%2C%20Tools%2C%20and%20Techniques/Miscellaneous%20Information/Continuum_m
anuscript_formatted.doc

18
Kedewasaan dapat dimiliki disetiap atau semua domain pembelajaran, baik
kognitif, afektif, atau psikomotor. Gambar tersebut juga menggambarkan
berbagai peran guru, serta apa yang dialami oleh siswa. Guru dapat menanggapi
dengan tepat terhadap tahap perkembangan siswa, sehingga dapat memfasilitasi
perpindahan siswa dari ketergantungan ke independensi, dari pasif ke
pembelajaran aktif. Tingkat pergerakan dan perkembangan melalui tahapan
kontinyu bervariasi dari pelajar ke pelajar dan dari situasi ke situasi. Model
kontinyu ini bersifat kontekstual terhadap kelompok-kelompok. Perkembangan
pembelajar ditunjukkan oleh garis diagonal yang memotong model dari kiri ke
kanan. Garis ini menelusuri ke atas ke arah sisi kanan model, yang mewakili
ujung terminal. Catatan, areal di bawah garis mewakili peran siswa menjadi
semakin besar seiring kenaikan garis pada model. Sebaliknya, ketika tingkat
kematangan dan tanggung jawab siswa meningkat, peran aktif guru menurun.

Model ini memperkenalkan tahapan pengembangan antara pedagogi dan


andragogi, yang disebut sebagai mesagogi. Meso dalam bahasa Yunani mengacu
pada antara atau pertengahan; pembelajar mesagogis berada di luar pembelajaran
pedagogis yang sangat bergantung pada guru dan mulai terpokus ke andragogis,
dimana pembelajar mulai termotivasi oleh kebutuhan dan keinginan mereka
sendiri untuk belajar. Pembelajaran kontinyu menggambarkan pematangan
kognitif, afektif, dan (atau) psikomotor peserta didik, tanpa memandang usia, dan
peran yang diasumsikan guru dalam proses itu.

Uraian sebelumnya menyoroti pembelajar dan guru, dan juga memberikan


wawasan mengenai tahapan-tahapan gogis. Selanjutnya “Apa itu tahapan yang
gogis?” Apakah itu menggambarkan lingkungan, interaksi pembelajaran-
mengajar, kurikulum, atau apakah itu melibatkan semua elemen ini? Dalam
konteks ini, tahap gogis mencakup proses dan lingkungan, secara unik
menggabungkan guru, peserta didik, dan konten yang bergantung pada
kematangan pelajar. Definisi singkat di bawah ini memperkuat definisi adalah
proses mempengaruhi tingkat awal peserta didik untuk memperoleh pengetahuan

19
dasar, keterampilan, dan (atau) sikap; itu berfungsi sebagai dasar dari
pembelajaran lebih lanjut yang dapat terjadi. Dalam lingkungan pedagogis,
penekanan pada guru, sementara siswa dipandang sebagai pasif dan tergantung.

 Mesagogy adalah proses mempengaruhi tingkat menengah peserta didik


untuk meningkatkan perolehan pengetahuan, keterampilan, dan (atau) sikap
mereka; itu berfungsi sebagai link yang memungkinkan antara pedagogi dan
andragogy. Guru dalam lingkungan mesagogis melibatkan pembelajar dalam
proses menjadi aktif dan mandiri.
 Andragogy adalah proses memengaruhi pembelajar untuk memperoleh
tingkat pembelajaran yang lebih tinggi yang digunakan dalam aplikasi yang
berpusat pada kehidupan. Dalam lingkungan yang andragogis, peran guru jelas
bergeser ke arah fasilitasi atau pendampingan, dan pelajar sering kali memimpin
dalam memperoleh informasi.
 Heutagogy adalah proses pembelajar yang secara pribadi memperoleh tingkat
pembelajaran yang maju melalui penemuan diri dan kreativitas. Seorang pelajar
dalam lingkungan heutagogy memiliki tanggung jawab untuk arah dan penerapan
informasi, sementara guru (jika ada) menganggap peran sebagai mitra penuh
dalam pembelajaran.

D. Rancangan Inovasi Pembelajaran dan Perubahan Manajemen


1. Rancangan Inovasi Pembelajaran
Berdasar pokok-pokok pikiran yang menyangkut konsep inovasi, maka
pengembangan disain model sistem perencanaan pembelajaran sepantasnya pula
dipandang sebagai suatu upaya inovatif. Hal tersebut berkaitan dengan dengan
profesionalisasi tenaga kependidikan yang tentunya berorientasikan pada
peningkatan kualitas, khususnya bagi para guru.
Sebagai suatu inovasi tentu substansinya mesti teridentifikasi dengan jelas
sehingga langkah-langkah awal yang praktis dapat ditentukan dengan pasti. Ini
amat penting dalam suatu perubahan. David B. Gleicher memasukkan hal

20
tersebut sebagai unsur dari formula bagai pengambil putusan apakah upaya
perubahan tersebut dapat dilakukan dengan kemungkinan akan mencapai
keberhasilan.
Dalam sistem perencanaan pendidikan yang lengkap maka berkenaan dengan
perancangan pokok materi (subject matter) menurut William P. McClure harus
teridentifikasi tujuh pokok materi sebegai berikut:
a. Tujuan dan sasaran-sasaran, ini berkenaan dengan apa yang diinginkan
sebagai keluaran dari proses pendidikan, yang menjadi sangat fundamental
dari seluruh pokok materi.

b. Program dan layanan, berkenaan dengan bagaimana menyusun pola-pola


kegiatan belajar dan pelayanan pendukungnya.

c. Sumber daya manusia, berkenaan dengan bagaimana membantu dan


memperbaiki unjuk kerja, interaksi, spesialisai, perilaku, kompetensi,
pertumbuhan dan kepuasan.

d. Sumber daya fisik, berkenaan dengan bagaimana memanfaatkan fasilitas


atau merencanakan pola pendistribusian, bagaimana mening- katkan
perolehan, dan nalai guna apa dalam prosesnya dikaitkan dengan sumber
yang lainnya.

e. Keuangan, berkenaan dengan bagaimana membiayai pembelanjaan dan


merancang sumber pendapatan yang dalam ukuran besar mencakup
bagimana memanfaatkan sumber daya manusia dan fisik dari sistem
sekolah.

f. Struktur kepemerintahan, berkenaan dengan bagaimana mengorga-nisasi


dan mengaturan pelaksanaan dan pegendaliaan berbagai program dan
aktivitas pendidikan.

g. Konteks sosial, berkenaan dengan unsur-unsur sumber apa saja yang mesti
dipertimbangkan dalam sistem pendidikan yang pada kenya-taanya
hanyalah sistem sosial kecil yang mencakup berbagai unsur sistem sosial

21
kemasyarakatan.

Sungguh cakupan pengidentifikasian materi pokok perencanaan pendidikan


tersebut amat menyeluruh. Dalam kepentingan ini keberadaan model disain
sistem perencanaan pembelajaran yang khusus menjadi dirasakan perlu.
Tentunya berdasarkan pemikiran sebagaimana terpaparkan di atas, model yang
dicari tidak saja terfokus pada perencanaannya saat sekarang, tapi sekaligus
dalam persepektif pengembangan yang kontinyu atau dalam dimensi
longitudinal.

Suatu model umum sistem perencanaan telah dibuat oleh Pusat Pengem-
bangan Administrasi Pendidikan di Wosington DC yang dikenal dengan model
"SPECS" ( School Planning and Evaluation Communication System). Model
SPECS yang dikemukakan oleh Saylor dan W. Alexander itu kiranya dapat
dipertimbangkan sebagai model dasar untuk dikembangkan. Alternatifnya
antara lain bisa menghubungkan model tersebut dengan materi- materi pokok
perencanaan yang disarankan William P. McClure di atas. Dalam hal ini
komponen sistem dari model tersebut kiranya dapat diisi oleh dua materi urutan
pertama. Dengan kata lain dapat dilakukan modifikasi model tersebut sesuai
maksud tersebut di atas.

Pertimbangan materi perencanaan dan keterkaitannya dengan unsur


komponen perencanaan disain dapat disoroti berdasar pandangan yang
diarahkan pada kepentingan guru untuk menyelenggarakan tugas
profesionalnya. Maka dari itu keempat keterkaiatan antara masing-masing
materi perencanaan dengan unsur komponen sistem perencanaan program
pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Karakter dan sasaran


Karakteristik peserta didik penting untuk dijadikan pijakan dalam
menentukan sasaran pembelajaran mengingat pada gilirannya sifat-sifat
individu berpengaruh dalam mempersepsi perilaku dan perbedaan individual.
Dalam kaitan ini Gibson dkk, berdasar dari masing-masing riset yang

22
dilakukan R. D. Norman, J. Bossum dan A. H. Maslow, dan K. T. Omivake
menarik kesimpulan bahwa: (1) dengan mengenal diri kita sendiri, kita lebih
mudah melihat orang lain secara teliti; (2) ciri khas diri sendiri mempengaruhi
ciri khas yang dikenali dalam diri orang lain; dan (3) orang yang menerima
dirinya sendiri lebih mungkin untuk melihat segi-segi yang baik dari orang
lain.
Sasaran (objective) ialah pernyataan yang bisa diukur dan dicapai.
Sebagai suatu hasil adalah esensial bagi rencana pembelajaran dan karenanya
mempersiapkan seperangkat sasaran menjadi penting (crucial) dalam proses
pengembangan disain manajemennya. Sehubungan dengan itu oleh William
Ewald dikenalkan tiga jenis sasaran, yakni: (1) Sasaran-sasaran yang
ditetapkan (established objectives), yang dirancang untuk menjaga layanan-
layanan utama; (2) Sasaran-sasaran pilihan (alternative objectives) yang
dirancang untuk memperbaiki fasilitasnya; dan (3) Sasaran- sasaran
kemungkinan (possible objectives), yang mencakup kombinasi keragaman
peristiwa yang tidak sekarang ada dan tidak mungkin pada suatu waktu
dikemudian hari.

b. Kompetensi dan isi

Demikian halnya dengan isi program pembelajaran (instructional


content) tersebut kiranya perlu ditujukan guna terpenuhinya kemampuan
atau kompetensi yang diperlukan. Sebab dengan itu program telah sekaligus
berorientasi pada tuntutan persyaratan ketenagaan sesuai tugas guru yang
bersangkutan. Kompetensi dasar seorang guru lebih mengangkut pula
kemampuan untuk mengelola sumber-sumber pendidikan sehingga
menjelma sebagai suatu prakondisi berlangsungnya belajar. Hal yang
pertama oleh Stoner dijelaskan pada dua kepentingan, individu dan
organisasi. Dalam hal tersebut ia mengajukan saran-saran sebagai berikut:

1) Kembangkan kesediaan untuk menerima perubahan pembelajaran.

2) Menggalakkan gagasan baru.

23
3) Izinkan lebih banyak interaksi.

4) Mentoleransi kesalahan.

5) Tetapkan sasaran yang jelas dan kebebasan untuk mencapainya.

6) Berikan penghargaan.

Sejalan dengan itu pula guna efektifitasnya anjuran Stan Kossen (1983)
berkenaan dengan kepentingan perubahan, dalam hal ini belajar adalah
behavioral change, patut dipertimbangkan. Ia menganjurkan hal-hal sebagai
berikut:

1) perubahan harus bermanfaat

2) pimpinan harus empatik

3) perubahan harus dipahami oleh yang terkena

4) bawahan harusnya turut serta di mana mungkin

5) manfaat-manfaatnya harus ditekankan

6) Penetapan waktu harus dipertimbangkan

7) Perubahan harus diperkenalkan berangsur-angsur bila mungkin.

Sejalan dengan itu di antaranya rancangan-rancangan isi program


(curriculum designs) yang dikemukakan oleh Saylor dan Alexnder ialah
rancangan yang terpusat pada kompetensi spesifik (Designs Focused On
Specific Competencies). Dijelaskannya bahwa suatu rancangan berdasarkan
kompetensi khusus ditandai ajaran-ajaran (learnings) spesifik, sekuensial,
dan demontratif dari tugas-tugas, kegiatan-kegiatan, atau keterampilan-
keterampilan yang merupakan tindakan-tindakan untuk dipelajari dan
ditampilkan oleh peserta didik. Dengan demikian makin tertuju pada
analisis pekerjaan mengenai pengkhususan dari keterampilan-keterampilan
dasar pada pekerjaan dan perkembangan kegiatan latihan khusus untuk
keterampilan-keterampilan dalam suatu tatanan sekuensial. Dalam kaitan

24
ini apa yang ditegaskan Haskew dan Tumlin (1965) dikutifnya sebagai
berikut:

"Content which is dominantly orriented toward perfor-mance ... may be


derived from modern analysis of the dynamics of job-evolution and worker-
progression.

But, the prime criteria proposed for selection are (a) the performance ability
essential to success, as judged by the employer and by the employee himself,
and (b) the knowledge, understanding, and ability necessery to the worker's
continued progress and adequacy in a dynamic occopational world ...".
c. Kesanggupan belajar dan strategi pembelajaran
Strategi atau metodologi pembelajaran yang dalam hal ini
dimaksudkan sebagai model-model mengajar perlu ditetapkan dengan
pertimbangan kecenderungan kesanggupan belajar peserta didik program
yang bersangkutan. Belajar merupakan salah satu proses fundamental yang
mendasari perilaku. Perubahan perilaku yang menjadi ciri belajar mungkin
adaptif dan memajukan efektivitas dan mungkin juga tidak adaptif dan
inefektif. Ini berarti proses terjadinya beberapa perubahan dalam perilaku
harus disimpulkan dalam perubahan perilaku.
Sehubungan dengan itu dalam perancangan pembelajaran antara lain
oleh Saylor dan Alexander dikemukakan bahwa sekolah (pendidikan) yang
maju sangat memperhatikan keterlibatan peserta didik. Dalam pada itu setiap
individu cenderung memiliki gaya belajarnya (learning styles) sendiri yang
mungkin cocok bagi dirinya dan belum tentu bagi individu lain. Karenanya
perlakuan 'membelajarkan' sekelompok individu perlu memperhatikan selain
faktor sasaran dan isi program juga memperhatikan kecenderungan faktor
kesanggupan belajar dari kelompok peserta didik. Saylor dan Alexander
menjadikan gaya-gaya belajar individu sebagai salah satu dasar untuk
memilih metode.
Dengan demikian perubahan perilaku yang diharapkan dari peserta
didik didekati dengan suatu stategi yang tepat. Maksudnya bagaimana

25
sebaiknya upaya pembelajaran ditempuh guna mencapai sasaran yang
diinginkan.
Demikian pula berkenaan dengan metode yang oleh Djawad Dahlan
pada suntingannya diperkenalkan empat rumpun model mengajar yang
meliputi:
1) Model-model pemrosesan informasi (The Informational Models): yang
memfokuskan perhatian kepada aktivitas yang membina keterampilan dan
isi pengajaran yang disampaikan kepada peserta didik.
2) Model-model pribadi (Personal Models): yang mengutamakan hubung-
an antar pribadi, pertumbuhan peserta didik yang dihasilkan dengan
aktivitas mengajar.

3) Model-model interaksi (Interactive Models): yang lebih


menitikberatkan perhatiannya kepada energi kelompok dan proses
interaksi yang terjadi dalam kelompok.

4) Model-model perilaku (Behavioral Models): Yang mengutamakan peru-


bahan perilaku yang spesifik.

5) Model-model pemrosesan informasi (The Informational Models): Yang


memfokuskan perhatian kepada aktivitas yang membina keterampilan
dan isi pengajaran yang disampaikan kepada peserta didik.

6) Model-model pribadi (Personal Models): Yang mengutamakan hubung-


an antar pribadi, pertumbuhan peserta didik yang dihasilkan dengan
aktivitas mengajar.

7) Model-model interaksi (Interactive Models): Yang lebih


menitikberatkan perhatiannya kepada energi kelompok dan proses
interaksi yang terjadi dalam kelompok.

8) Model-model perilaku ((Behavioral Models) yang mengutamakan


perubahan yang spesifik.

Tentu saja dari masing-masing rumpun mengajar tersebut memiliki baik

26
keunggulan maupun kelemahan. Dikemukakan oleh Djawad Dahlan
menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada satu model mengajar pun yang
paling cocok untuk semua situasi dan sebaliknya tidak ada satu situasi
mengajar pun yang paling cocok dihampiri oleh semua model mengajar.
Maka dari itu dalam penerapannya patut pula mempertimbangkan berbagai
faktor terkait. Satu yang tak kalah penting ialah faktor kesanggupan peserta
didik.14

2. Disain Manajemen Pembelajaran

Konsep dasar manajemen dapat diterapkan dalam konteks suatu sistem


pembelajaran dengan beberapa sudut pandang. Kaufman memandangnya secara
integral bahwa keseluruhan proses pendidikan itu merupakan suatu proses
manajemen. Karenanya keseluruhan langkah pengembangan desain sistem
pembelajaran pada dasarnya merupakan bagian daripada manajemen
pendidikan. Sedangkan Gagne dan Briggs berpendapat bahwa manajemen
merupakan cara mengoperasikan desain sistem pembelajaran di dalam
penyelenggaraan PBM.

Sekalipun penerapannya konsep manajemen sistem pembelajaran berbeda,


namun tujuan serta prinsip dasarnya pada hakikatnya sama yaitu bertalian
dengan operasi PBM yang terarah pada pencapaian tujuan sebagaimana
diharapkan. Yang jelas pada setiap teori, metode atau model terkandung
keampuhan, kelemahan dan keterbatasannya. Maka dari itu pilihan terhadap
model strategi pendekatan manajemen sistem pembelajaran patut
mempertimbangkan berbagai hal terkait.

Ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan strategi dan
metode pembelajaran (Makmun, 1986), yaitu (1) bertalian dengan tujuan dan

14
Aceng Muhtaram Mirfani, Pengembangan Aalternatif Disain Rancangan Sistem dan Manajemen
Pembelajaran (Bandung: FIP UPI, 2013), 2-7.

27
materi program kuliah, (2) bertalian dengan kemungkinan tersedianya daya
dukung fasilitas PBM, (3) bertalian dengan kenyataan bervariasinya
karakteristik peserta didik, dan (4) berkenaan dengan kebijakan manajerial dan
kepemimpinan institusional yang berlaku.

Demikian halnya kenyataan variasi karakteristik peserta didik sebagai


sesuatu yang faktual dan universal. Karena itu tersedianya alternatif strategi
manajemen pembelajaran merupakan tuntutan logis jika memang dikehendaki
terselenggaranya suatu PBM yang efektif. Gage dan Berliner menyatakan:
Moreover, it is necessary to specify the characteristics of the student - his age,
intelligence, motivational characteristics and background of previous learning
and achievement in the subject matter of the teaching ... For some methods yield
better results for students with some characteristics, while other methods
produce better achievement in students with other characteristics.

Kelemahan pelaksanaan pembelajaran bisa terjadi pada segi strategi,


konten, dan atau instrumen pembelajaran yang mungkin belum cocok dengan
karakteristik baik dengan program studi yang bersangkutan maupun diri para
mahasiswanya sendiri.

Manajemen pembelajaran yang selama ini berjalan pada kenyataanya masih


menggunakan model konvensional, yaitu pembelajaran klasikal dengan konten
dan instrumen yang umum. Dengan hanya penggunaan model tersebut
nampaknya tidak semua kebutuhan belajar (minat, perhatian, gaya) mahasiswa
dapat terpenuhi. Akibatnya optimalisasi hasil belajar sulit ditingkatkan.

Sehubungan dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut guna upaya


perbaikan mutu pembelajaran kiranya patut ditemukan suatu desain manajemen
pembelajaran yang lebih adaptif dan fisibel. Dengan pengindahan metode
tersebut model pembelajaran, konten dan instrumen lebih spesifik kiranya dapat
dipadukan sehingga merupakan suatu desain manajemen pembelajaran
alternatif yang dapat memberi nilai tambah dalam upaya perbaikan mutu
pembelajaran.

28
Dengan demikian persoalannya bagaimana desain manajemen
pembelajaran mengindahkan metode terbaik agar para peserta didik lebih
memiliki konsepsi yang tepat mengenai pembelajaran dimaksud dan lebih
terpenuhi aspek-aspek kebutuhan memepelajarinya.

Permasalahan umum tersebut dapat dirinci ke dalam pokok-pokok sebagai


berikut:

a. Bagaimana desain manajemen pembelajaran terumuskan meliputi konten,


strategi, dan instrumen?

b. Bagaimana learning needs dan learning style peserta didik dapat terlayani
dalam upaya optimalisasi hasil belajarnya?

Mempertimbangkan berbagai pikiran tersebut di atas maka secara umum


desain manajemen pembelajaran dapat diilustrasikan sebagaimana bagan
berikut,

KONSEP ME-
TODOLOGIS

VISI & MISI

29
a. Rancangan Pembelajaran
Dalam hal ini dilakukan dengan memadukan pilihan konsep metode terpilih
dengan visi dan misi pelajaran terkait. Misalnya konsep-konsep metode yang
dipilih meliputi: (1) konsep kekuatan pikiran dan emosi, (2) penataan
lingkungan belajar, dan (3) penggunaan gaya belajar. Ketiga konsep terpilih
tersebut dipadukan ke dalam visi dan misi mata ajaran sebagaimana telah
dirumuskan, biasanya termuat dalam Silabus dan SAP mata kuliah tersebut.
b. Implementasi Pembelajaran
Dalam model manajemen pemebelajaran ini implementasi dititkberatkan pada
tiga aspek, yaitu: konten, strategi, dan instrumen. Ketiga aspek tersebut
merupakan hasil pemaduan konsep metode terpilih dengan Visi dan Misi mata
kuliah. Dengan demikian baik pengajar maupun peserta didik melakukan
kegiatan yang mengacu pada sinerji ketiga aspek tersebut. Atas dasar operasi itu
prestasi belajar mahasiswa diharapkan sesuai tujuan program.
c. Pengendalian Pembelajaran
Bagian hal penting dalam fungsi manajemen adalah pengendalian, termasuk
dalam manajemen pembelajaran. Pengendalian lebih ditujukan pada
pemeliharaan konsistensi implementasi konten, strategi, dan instrumen
pembelajaran dengan pemaduan konsep metodologis dengan Visi dan Misi mata
ajaran tersebut dan juga dengan implikasinya terhadap presatasi mahasiswanya.15

15
Aceng Muhtaram Mirfani, Pengembangan Aalternatif Disain Rancangan Sistem dan Manajemen
Pembelajaran, 7-11.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
1
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

2
Uswatun. “Membangun Karakter Siswa melalui Literasi Digital dalam Menghadapi
Pendidikan Abad 21.” Jurnal Pendidikan, Vol. 2 No. 1 (2019).

Widha. “Peran Pendidik dalam Menyongsong Revolusi Industri 4.0.”.” Jurnal


Pendidikan, Juli (2018).

Noval. “Peran Pendidik dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Melalui


Pembelajaran.” Jurnal Pendidikan, Juli (2018).

Anda mungkin juga menyukai