Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

“APENDISITIS”

Dosen Pembimbing : Dr.Susi Milwati

Oleh : Ainun Mulia Intan Nurcahya


NIM: 1401100064
Kelompok 3B kelas 3B

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN MALANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2016-2017
1.1 Pengertian
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-
laki maupun perumpuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30
tahun. (Mansjoer,A: 2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling
umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah
kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah
abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain
:
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental
setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di
tutupi pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan
diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan,
namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan
jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

1.2 Gejala dan Tanda


Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari
nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah.
Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan
demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-
kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin
progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan
nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu
menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut
sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai
cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya
disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada
apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah
pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior
anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare
tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar
di belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada
pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat
berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau
ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda
rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila
apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala
apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan,
menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada
apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi
klinis apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah,
mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku
dari bagian bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan,
spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang
menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi
abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
1.4 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga
appendisitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah
leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP
ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi
jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga
appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan
ini dilakukan terutama pada anak-anak.

1.5 Penatalaksanaan Medis


Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1.Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering
tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat.
Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila
diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik
jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena
merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan
hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi
tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi
kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas
yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita
ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar
operasi dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan
toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah
terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya.
Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini
baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi
akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung
bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan
pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya
pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan
menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak
ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk
diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

1.6 PENGKAJIAN
I. PRE OPERATIF
(1) Data subjektif
Pasien mengatakan nyeri pada perut bagian kanan bawah, pasien mengatakan nyeri
seperti ditusuk – tusuk, skala nyeri 5 dari 10 skala nyeri yang diberikan, pasien atau
keluarga mengatakan takut dan khawatir, pasien dan keluarga mengatakan belum mengerti
tentang penyakit pasien, pasien menanyakan tentang perawatan setelah operasi.

(2) Data objektif


Pasien tampak meringis, pasien tampak memegang perutnya saat bergerak, pasien
dan keluarga tampak cemas dan gelisah, pasien dan keluarga tampak bertanya – tanya
tentang keadaan pasien, ekspresi wajah tampak mengerutkan alis, pasien tampak tegang,
terdapat nyeri tekan pada perut kwadran kanan bawah, terdapat peningkatan ( leukosit,
neutrofil, produk mukus, dan secret) dan terdapat penurunan peristaltik usus.

II. PERIOPERATIF
(1) Data subjektif
Pasien mengeluh cemas dengan keadaannya, pasien bertanya – tanya tentang prosedur
pembedahan yang dilakukan.
(2) Data objektif
Pasien tampak diberikan anestesi SAB dengan tehnik spinal/block anastesi, dengan
menyuntikan obat analgesic local dalam ruang sub-aracnoid di daerah antara vertebra
L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5, kesadaran CM, ekstremitas dingin terjadi penurunan
tekanan darah dibawah normal. Terdapat peningkatan ( leukosit, neutrofil, produk
mukus, dan secret) dan terdapat penurunan peristaltik usus.

III. POST OPERATIF


1) Data subjektif
Pasien mengeluh badannya lemas, pasien mengeluh merasakan sakit pada perut kanan
bawah bekas operasi appendectomy.
2) Data objektif
Pasien tampak berbaring di tempat tidur, pasien masih dalam pengaruh anestesi (4 – 6
jam post operasi), pasien belum mampu mobilisasi secara bertahap.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Preoperasi
(1) Nyeri akut berhubungan dengan reaksi peradangan pada appendik.
(2) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, penyebab dan
perawatan.
(3) Resiko komplikasi sepsis berhubungan dengan sisi masuknya micro organisme
skunder
b) Intra operasi
(1) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan efek anestesi (vasodilatasi)
(2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan efek anestesi (melemahkan otot –
otot diafragma)
(3) Resiko injuri berhubungan dengan proses pembedahan (penggunaan alat cauther)
c) Post operasi
(1) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan akibat efek anastesi post
appendektomy.
(2) Nyeri akut berhubungan dengan post operasi appendectomy
(3) Risiko infeksi berhubungan dengan pengetahuan yang tidak cukup untuk
menghindari pemajanan pathogen.

C. RENCANA KEPERAWATAN
a. PRE OPERASI
(1) Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada appendik.
(a) Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol
(b) Kriteria hasil : Pasien rileks, mampu tidur atau istirahat dengan baik, nadi 80 – 84
x/menit, pasien tidak mengeluh nyeri dan tidak meringis, skala nyeri
ringan ( 1 – 3) dari 10 skala nyeri.
(c) Tindakan keperawatan
 Observasi nyeri dengan tehnik PQRST ( Provoking Quality Region Saverity dan
Timing )
Rasional : Perubahan karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya perubahan pada
appendik misal terjadi abses atau peritonitis, dengan demikian dapat segera
dilakukan evaluasi medik dan intervensi yang tepat
 Pertahankan tirah baring dengan posisi semi fowler dengan lutut fleksi
Rasional : Posisi semi fowler dengan lutut fleksi mengurang kontraksi otot – otot
abdominal sehingga mengurangi tekanan pada abdomen yang nantinya dapat
mengurangi sensasi nyeri.
 Ajarkan dan anjurkan penggunaan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional : Tehnik distraksi mampu mengurangi fokus terhadap nyeri dan mengalihkan
fokus terhadap hal – hal lain diluar sensasi nyeri sehingga mengurangi
sensasi nyeri yang dirasakan, tehnik relaksasi membantu mengurangi
kontraksi otot –otot sehingga menjadi lebih rileks dan akan mengurangi
sensasi nyeri yang dirasakan.

 Delegatif dalam memberikan analgetik sesuai indikasi


Rasional : agen analgetik mampu mengurangi sensitifitas dari saraf – saraf penerima
rangsangan dan beberapa analgetika juga dapat mengurangi efektifitas
pengantaran rangsang dari neurotransmiter, sehingga rangsangan nyeri yang
diterima oleh corteks cerebri sebagai penerima rangsangan lebih lemah dan
sensasi nyeri yang dirasakan juga lebih ringan.
(2) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, penyebab dan
perawatan.
(a) Tujuan : Ansietas terkontrol
(b) Kriteria hasil : Pasien menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam
mengatasi ansietasnya, pasien tidak cemas dan menunjukkan perasaan rileks.
(c) Tindakan keperawatan
 Observasi tingkat ansietas, catat respon verbal dan non verbal
Rasional : Tingkat ansietas akan mempengaruhi penerimaan dan kooperatifitas terhadap
tindakan yang diberikan sehingga perlu diketahui karena pada tingkat
ansietas tertentu berbeda tehnik penanganannya.
 Berikan informasi tentang penyakit pasien
Rasional : Mengetahui apa yang terjadi dan penyelesaiannya akan membantu
mengurangi ansietas.
 Berikan kesempatan bertanya pada pasien
Rasional : Pertanyaan – pertanyaan dari pasien dapat menjadi tolak ukur tingkat
pemahaman pasien terhadap penjelasan yang telah diberikan.
 Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional : Orang terdekat lebih dipercaya pasien dan dapat memotivasi pasien untuk
dapat mengikuti perawatan dan akan meningkatkan kooperatifitas pasien.
3) Risiko sepsis berhubungan dengan sisi masuknya microorganisme skunder.
(a) Tujuan : Komplikasi sepsis tidak terjadi.
(b) Kriteria hasil : Tanda – tanda infeksi tidak ada, tidak ada manifestasi peritonitis.
(c) Tindakan keperawatan
 Observasi tanda – tanda vital tiap 6 jam
Rasional : Tanda tanda vital terutama peningkatan suhu dapat menjadi indikator
terjadinya perforasi atau infeksi yang lebih luas.
 Informasikan kepada dokter segera dan siapkan pembedahan sesuai program bila
manifestasi perforasi terjadi
Rasional : Pembedahan segera diperlukan untuk appendik ruptur, isi usus keluar ke
dalam rongga peritoneal bila appendik ruptur dapat mencetuskan peritonitis.
 Pertahankan puasa, delegatif pemberian therapi cairan parenteral sesuai dengan
program pra pembedahan
Rasional : Penghentian masukan makanan dan cairan per oral sebelum pembedahan
mengurangi risiko muntah dan aspirasi bila telah dilakukan anastesi.

b. INTRA OPERASI
(1) Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan efek anestesi (vasokontriksi).
(a) Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung
(b) Kriteria hasil : Tekanan darah dalam batas normal, tidak terjadi hipotensi.
(c) Rencana tindakan :
 Pantau atau catat kecenderungan frekuensi jantung dan tekanan darah khususnya
terjadinya hipotensi.
Rasional : Hipotensi dapat terjadi akibat kekurangan cairan dan vasokontriksi pembuluh
darah.
 Catat suhu kulit atau warna dan kualitas atau kesamaan nadi perifer.
Rasional : kulit hangat, merah muda dan nadi kuat indikator curah jantung adekuat.
 Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan oksigenisasi maksimal, menurunkan kerja jantung.
 Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit dan obat sesuai indikasi.
Rasional : kebutuhan pasien terpenuhi tergantung tipe pembedahan.
(2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan efek anestesi (relaksasi otot – otot
diafragma).
(a) Tujuan : Pola nafas efektif
(b) Kriteria hasil : pola nafas normal (18 – 20 x/menit)/efektif, tidak terjadi sianosis
atau tanda – tanda hipoksia
(c) Rencana tindakan :
 Pertahankan jalan udara pasien
Rasional : Mencegah obstruksi jalan nafas
 Catat frekuensi dan kedalaman pernafasan pasien
Rasional : Memastikan efektifitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat
segera dilakukan.
 Pantau TTV secara terus menerus
Rasional : Meningkatnya pernafasan, takikardi, bradhikardi, menunjukkan
kemungkinan hipoksia
 Posisikan pasien pada posisi yang sesuai dengan jenis pembedahan dan anestesi
Rasional : Posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru dan
menurunkan tekanan pada diafragma
 Observasi fungsi otot terutama otot pernafasan
Rasional : Obat anestesi dalam proses pembedahan dapat menimbulkan relaksasi pada
otot pernafasan.
(3) Risiko injuri berhubungan dengan proses pembedahan (penggunaan alat cauther).
(a) Tujuan : Cedera tidak terjadi
(b) Kriteria hasil : Meningkatkan keamanan dan menggunakan sumber – sumber secara
tepat
(c) Rencana tindakan :
 Antisipasi gerakan jalur dan mendukung posisi pasien yang tepat
Rasional : Mencegah tegangan atau dislokalisasi
 Pastikan keamanan elektrikal dan alat – alat yang dipergunakan selama prosedur
operasi
Rasional : pemeriksaan alat – alat elektrik secara periodik penting dilakukan untuk
keamanan pasien dan tindakan operasi
 Lindungi sekitar kulit dan anatomi yang sesuai menggunakan handuk basah, spon
dan penghentian pendarahan
Rasional : mencegah kerusakan integritas kulit dan beri batasan perlukaan anatomi
pada area operasi
 Berikan petunjuk yang sederhana dan singkat pada pasien yang sadar
Rasional : membantu pasien dalam memahami prosedur yang dilakukan sehingga
mengurangi resiko cedera

c. POST OPERASI
(1) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan akibat efek anastesi post
appendektomy.
(a) Tujuan : Pasien dapat beraktifitas secara mandiri
(b) Kriteria hasil : Pasien dapat beraktifitas dan memenuhi ADL secara mandiri,
menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dengan toleransi aktifitas.
(c) Tindakan keperawatan
 Observasi tingkat kemampuan pasien dalam beraktifitas
Rasional : Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam beraktifitas menjadi suatu
pertimbangan dalam membantu memenuhi kebutuhan pasien.
 Anjurkan pasien melakukan aktifitas secara mandiri
Rasional :meningkatkan kemampuan pasien dalam beraktifitas secara mandiri sampai
tingkat normal dan menumbuhkan rasa semangat untuk beraktifitas.
 Dekatkan alat – alat dan keperluan pasien sehingga mudah dicapai
Rasional : penempatan alat – alat yang mudah dijangkau membantu melatih pasien
untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan mengurangi resiko
cedera.
 Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya seminimal mungkin
Rasional :dengan bantuan yang minimal pasien akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya secara mandiri dan melatih pasien untuk bergerak.
(2) Nyeri akut berhubungan dengan post operasi appendectomy
(a) Tujuan : Nyeri berkurang
(b) Kriteria hasil : Melaporkan nyeri terkontrol , tampak rileks dan mampu istirahat
dengan tepat
(c) Tindakan keperawatan
 Dorong pasien untuk melaporkan nyeri
Rasional : Mencoba untuk mentoleransi nyeri dari pada memint
 Catat petunjuk non-verbal mislanya gelisah, menolak untuk bergerak , berhati – hati
dengan abdomen.
Rasional : Bahasa tubuh / non-verbal dapat secara psikologis dan fisiologik dapat
digunakan sebagi petunjuk verbal untuk mengidentifikasi nyeri.
 Kaji skala nyeri, catat lokasi, karakteristik ( sakal 0-10 ) selidiki dan laporkan
perubahan nyeri yang tepat
Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat ,kemajuan penyembuhan.

(3) Risiko infeksi berhubungan dengan pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari
pemajanan pathogen.
(a) Tujuan : Tidak ada tanda dan gejala infeksi
(b) Kriteria hasil : Pasien bebas dari tanda dan gejaala infeksi, menunjukkan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
(c) Tindakan keperawatan :
 Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien.
Rasional : Dengan mencuci tangan dapat meminimalisasi penyebaran sekunder
kuman infeksi.
 Berikan perawatan pada kulit daerah post operasi
Rasional : Dengan dilakukannya perawatan luka prinsip steril dapat mencegah
terjadinya risiko atau pajanan dari bakteri pathogen.
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Rasional : Hangat, kemerahan adalah tanda dini gejala infeksi. Maka pasien dan
keluarga haruslah berhati – hati dalam melakukan perawatan luka di rumah
agar tidak terjadi risiko infeksi pada luka post operasi.
Referensi

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai