Anda di halaman 1dari 9

KURVA LINGKUNGAN KUZNET: RELASI ANTARA PENDAPATAN

PENDUDUK TERHADAP POLUSI UDARA

Sri Listyarini (listyarini@mail.ut.ac.id)


Universitas Terbuka

Rudy C Tarumingkeng
Akhmad Fauzi
Parulian Hutagaol
Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

The improvement of human income will change their life style and increase their energy
demand. The main source of energy is fossil fuel, which emitting some pollutants in the air,
two of them are SO2 and NO2 gases. These kinds of pollutions are dangerous to biotic and
abiotic ecosystems, and caused the environmental degradation. The relationship between
income and environmental degradation can be represented as the Environmental Kuznets
Curve (EKC). This study finds that the environmental degradation in Jakarta Province as an
effect of SO2 and NO2 air pollutions and the citizen income follows the EKC, before the
turning point. This finding is almost equal to the earlier research in the national scope. The
suggestion to reduce the SO2 and NO2 gases emission is by combining the command and
control (CAC) policies with the economic instrument policies and involving all stakeholders in
the development of policies to improve their concerns and commitments.

Key words: ambient concentration of gas SO2 and NO2, command and control (CAC)
policies, environmental Kuznets curve (EKC), fossil fuel, regional product
domestic bruto.

Setiap manusia selalu ingin meningkatkan kesejahteraannya, dan salah satu bentuk
kesejahteraan adalah pendapatan. Menurut Stern (2004) tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup
dapat dinyatakan dengan kebutuhan energi, karena perbaikan kualitas hidup manusia selalu diikuti
dengan penambahan kebutuhan energi. Di DKI Jakarta sebagian besar kebutuhan energi diperoleh
melalui pembakaran Bahan Bakar Fosil (BBF). Selain menghasilkan energi, ternyata pembakaran
BBF juga mengemisikan berbagai pencemar ke udara, antara lain berupa gas SO2 dan NO2.
Adanya gas SO2 dan NO2 di udara tidak hanya berpengaruh negatif pada lingkungan biotik
seperti manusia dan hewan serta tumbuhan, tetapi juga pada lingkungan abiotik seperti tanah, air,
dan udara, bahkan bangunan (Baum, 2001; Burtraw, Krupnick, Mansur, Austin, & Farrell, 1997;
Duchesne, Ouimet, & Houle, 2002; Effendi, 2003; Fardiaz, 1992; Howells, 1995; Kennedy, 1992).
Polusi kedua gas ini akan mengganggu kesehatan manusia dan hewan, serta mengurangi
pembentukan biomasa tanaman. Ketika sampai ke tanah atau air, kedua polutan ini akan
mengganggu proses dekomposisi. Terhadap bangunan, gas SO2 dan NO2 di udara akan
meningkatkan kecepatan korosi (perkaratan), porositas, dan merusak cat.
Listyarini, Kurva Lingkungan Kuznet: Relasi antara Pendapatan Penduduk terhadap Polusi Udara

Studi yang dilakukan oleh Ostro (1994) dan Syahril, Resosudarmo, & Tomo, (2002)
mengenai kualitas udara di DKI Jakarta menunjukkan bahwa emisi gas SO2 dan NO2 pada tahun
1995 sampai dengan tahun 1998 terus meningkat. Penelitian Syahril juga memprediksi bahwa
peningkatan emisi gas-gas tersebut masih akan terus terjadi sampai tahun 2015. Selain itu penelitian
Susandi (2004 dan 2004a) juga memprediksi akan adanya peningkatan emisi gas SO2 dan NO2 di
Indonesia sampai dengan tahun 2060.
Dalam penelitian ini akan dianalisis apakah peningkatan polusi udara yang berupa gas SO2
dan NO2 di Propinsi DKI Jakarta dalam kaitannya dengan tingkat kesejahteraan penduduk memenuhi
prediksi Kuznet yang berupa Kurva Lingkungan Kuznet (Environmental Kuznets Curve atau EKC).
Data yang digunakan pada penelitian ini berupa pendapatan penduduk, dalam bentuk
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta konsentrasi ambien gas SO2 dan NO2. Sumber data
merupakan data sekunder yang diperoleh dari survai yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS)
serta pengamatan Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) selama 12 tahun, yaitu tahun 1993
sampai dengan tahun 2004. Karena terjadi krisis nasional pada tahun 1998, maka data tahun
tersebut tidak disertakan dalam analisis.

Tabel 1. Data Sekunder yang Digunakan Dalam Penelitian


Tahun Ambien SO2 Ambien NO2 PDRB
1993 0.007 0.007 51.106459
1994 0.008 0.025 55.505268
1995 0.004 0.022 60.648690
1996 0.005 0.052 66.164802
1997 0.007 0.041 69.479434
1998 0.008 0.035 57.380517
1999 0.004 0.037 57.215223
2000 0.003 0.029 59.694419
2001 0.007 0.022 61.865971
2002 0.006 0.014 64.259075
2003 0.007 0.021 66.744749
2004 0.006 0.024 70.842665
Keterangan Tabel:
Ambien SO2 : Konsentrasi rata-rata gas SO2 di udara (ppm), sumber data BMG
Ambien NO2 : Konsentrasi rata-rata gas NO2 di udara (ppm), sumber data BMG
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta (Triliun Rupiah), sumber data BPS

Metode analisis data yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Pembahasan
didasarkan pada Kurva Lingkungan Kuznet (Environmental Kuznets Curve atau EKC) yang secara
teoritis membahas hubungan antara peningkatan kesejahteraan terhadap kerusakan lingkungan dan
diakhiri dengan perbandingan kondisi di DKI Jakarta terhadap studi terdahulu yang telah dilakukan
pada skala nasional. Metode OLS digunakan untuk melihat fungsi hubungan antara pendapatan atau
PDRB (variabel independen) dengan konsentrasi ambien pencemar (variabel dependen). Ada 5
alternatif bentuk fungsi yang digunakan dalam penelitian untuk menggambarkan kemungkinan
hubungan antara variabel dependen (Y) terhadap variabel independen (X), yaitu (Sarwoko, 2005):
1. Linier (LIN) dengan model persamaan: Y = b0 + b1 × X
2. Logaritma (LOG) dengan model persamaan: Y = b0 + b1 × log X

47
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 46-54

3. Invers (INV) dengan model persamaan: Y = b0 + b1 × (1 / X )


4. Kuadrat (QUA) dengan model persamaan: Y = b0 + b1 × X + b2 × (X 2 )
5. Kubik (CUB) dengan model persamaan: Y = b0 + b1 × X + b2 × (X 2 ) + b3 × (X 3 )
Adanya hubungan antara tingkat kesejahteraan dengan kualitas udara dibuktikan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Bartz dan Kelly (2004); Stern (2004); Susandi (2004); serta Hung dan
Shaw (2005); yang mempelajari hubungan antara kesejahteraan dengan degradasi lingkungan dan
menyimpulkan bahwa kesejahteraan mempengaruhi degradasi lingkungan dengan pola seperti yang
diperlihatkan oleh EKC. Kurva ini menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang
diukur dengan pendapatan per kapita terhadap tingkat degradasi lingkungan dan akan menghasilkan
kurva dengan bentuk U terbalik (Inverted U Curve).

Gambar 1. Kurva Lingkungan Kuznet


Sumber: Diadopsi dari Susandi (2004), Hung dan Shaw (2005)

EKC memperlihatkan bahwa degradasi lingkungan akan meningkat dengan bertambahnya


pendapatan per kapita, namun setelah mencapai titik tertentu (titik balik) degradasi lingkungan akan
menurun meskipun pendapatan naik. Kondisi ini akan dicapai jika pendapatan penduduk telah
mencukupi, sehingga sebagian dari pendapatan tersebut digunakan untuk memperbaiki lingkungan.
Dari bentuk kurva yang dikemukakan oleh Kuznet terlihat bahwa hubungan antara tingkat
kesejahteraan terhadap degradasi lingkungan memenuhi persamaan pangkat dua (kuadrat), yaitu:

Y = b0 + b1 X + b2 X 2 ........................................................................ (1)

Tingkat kesejahteraan dapat direpresentasikan sebagai pendapatan per kapita ataupun


pendapatan seluruh penduduk, pada penelitian ini kesejateraan digambarkan sebagai pendapatan
seluruh penduduk (PDRB). Sedangkan degradasi lingkungan dapat direpresentasikan oleh berbagai
besaran yang menyatakan turunnya kualitas lingkungan, misalnya peningkatan konsentrasi polutan
di tanah, air, ataupun udara (Hung & Shaw, 2005). Contoh besaran yang dapat merepresentasikan
degradasi lingkungan adalah konsentrasi logam berat di tanah atau air, BOD (Biological Oxigent
Demand), atau konsentrasi debu di udara. Dalam penelitian ini peningkatan konsentrasi ambien gas
SO2 dan NO2 merupakan besaran yang dianggap dapat merepresentasikan menurunnya kualitas
lingkungan.

48
Listyarini, Kurva Lingkungan Kuznet: Relasi antara Pendapatan Penduduk terhadap Polusi Udara

Studi yang dilakukan Susandi (2004) menyatakan bahwa hubungan antara emisi gas SO2
dan NO2 per kapita dengan real Gross Domestic Product (GDP) per kapita penduduk Indonesia
dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

mt = β 0 + β1 y t + β 2 y t2 + ε t ....................................................................... (2)

dimana:
m = emisi per kapita
y = real GDP per kapita
t = waktu
ε = error (gangguan)
β0, β1, β2 = parameter regresi dari EKC, nilainya spesifik untuk tiap jenis polutan seperti
terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2 berikut menggambarkan nilai parameter regresi (β0, β1, dan β2) yang berbeda untuk
polutan SO2 dan NO2 dari hasil penelitian Susandi (2004a).

Tabel 2. Estimasi Hasil EKC pada Penelitian Susandi (2004)


Parameter SO2 NO2
β0 -148,41 -54,832
β1 201,26 73,524
β2 -9,4216 -1,4796

Analisis OLS dalam bentuk kurva estimasi terhadap variabel PDRB yang berpengaruh
terhadap konsentrasi gas SO2 dan NO2 di udara ambien dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak SPSS versi 11.5.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengolahan data dengan menggunakan OLS dapat dilihat pada Lampiran. Hasil
estimasi kurva OLS memperlihatkan bahwa persamaan regresi yang paling tepat digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara variabel independen (PDRB) terhadap variabel dependen
(konsentrasi ambien gas SO2 dan NO2 di udara), adalah persamaan kuadrat berikut:

(
Ambien SO 2 = 0.0799 − (0.0024 * PDRB ) + 2.0 E − 05 * PDRB 2 ) ……….. (3)

Ambien NO 2 = − 0.2947 + (0.0097 * PDRB ) − 7 *10 −5 * PDRB 2( ) ……….. (4)

Variabel PDRB yang menyatakan tingkat kesejahteraan masyarakat berpengaruh kepada


konsentrasi ambien gas SO2 dan gas NO2 di udara, seperti yang digambarkan dengan kurva
lingkungan Kuznet. Pada penelitian Susandi (2004) yang berskala nasional dikatakan bahwa PDB
per kapita akan mempengaruhi emisi gas SO2 dan NO2, sesuai dengan prediksi Kuznet, yaitu
mengikuti fungsi kuadrat. Pada penelitian ini penghasilan penduduk DKI Jakarta, yang dinyatakan
dengan PDRB juga memiliki fungsi kuadrat terhadap konsentrasi kedua polutan tersebut di udara
ambien, meskipun nilai-nilai parameter regresi yang dihasilkan berbeda.

49
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 46-54

Tabel 3. Perbandingan Hasil Penelitian Susandi terhadap Penelitian Ini


SO2 NO2
Parameter
Susandi Penelitian ini Susandi Penelitian ini
β0 -148,41 0,0799 -54,832 -0,2947
β1 201,26 - 0,0024 73,524 0,0097
β2 -9,4216 0,00002 -1,4796 -0,00007

Tabel 3 memaparkan nilai-nilai yang diperoleh pada penelitian Susandi (2004a) dan
penelitian ini. Perbedaan tanda yang dihasilkan pada koefisien pencemaran gas SO2 antara
penelitian Susandi terhadap penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan variabel yang
digunakan. Pada penelitian Susandi digunakan variabel PDB riil per kapita, sedangkan penelitian ini
menggunakan variabel PDRB, sebagai variabel yang menyatakan tingkat kesejahteraan penduduk.
Susandi menggunakan variabel emisi SO2, yang diprediksi dari pembakaran BBM dan batubara di
Indonesia, di lain pihak penelitian ini menggunakan data konsentrasi ambien gas SO2 di Jakarta.
Mengingat jenis BBM dan batubara yang digunakan di Indonesia sangat beragam, maka
penggunaan variabel emisi SO2 yang diturunkan dari koefisien emisi ataupun faktor emisi akan
menyebabkan terjadinya over estimasi atau under estimasi.
Perbedaan tanda koefisien tidak terjadi pada pencemaran gas NO2 karena timbulnya
pencemaran ini disebabkan oleh peningkatan temperatur akibat pembakaran BBF. Tidak seperti
pencemaran gas SO2 yang disebabkan oleh adanya kandungan Sulfur (S) dalam BBF, yang
diemisikan sebagai gas SO2 pada saat pembakaran. Sehingga penggunaan prediksi emisi NO2
(penelitian Susandi) maupun konsentrasi ambien NO2 (penelitian ini) sebagai variabel yang
menyatakan degradasi lingkungan tidak membedakan tanda pada koefisien yang dihasilkan.
Prediksi Kuznet selanjutnya setelah tingkat kesejahteraan mencapai titik tertentu (titik balik)
degradasi lingkungan akan menurun meskipun pendapatan naik. Titik balik dapat diperoleh dengan
menghitung turunan pertama dari persamaan pangkat 2 yang diperoleh adalah nol, atau -β1/2β2.
Untuk gas SO2 diperoleh nilai PDRB sebesar 60 Triliun Rupiah sebagai titik balik, dan kondisi ini
telah dicapai pada tahun 2000-2001 (lihat Tabel 1). Sedangkan untuk gas NO2 titik balik dicapai pada
PDRB sebesar Rp 69,28571 Triliun atau kondisi pada tahun 2003-2004 (lihat Tabel 1). Perolehan
angka titik balik tersebut, sesuai dengan prediksi Kuznet, mengindikasikan bahwa kondisi
pencemaran udara di DKI Jakarta akan membaik. Namun kurva yang diperoleh dalam penelitian ini
menyatakan terjadinya kecenderungan peningkatan pencemaran sejalan dengan peningkatan
kesejahteraan, meskipun nilai titik balik telah dicapai, sehingga bentuk kurva tidak seperti EKC, lihat
Gambar 2.
Beberapa alasan dapat diberikan mengapa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan prediksi
Kuznet yang menyatakan peningkatan pendapatan penduduk (dalam penelitian ini dinyatakan
dengan PDRB) sudah tidak akan meningkatkan polusi udara (berupa konsentrasi ambien gas SO2
dan NO2), pada saat telah melampaui titik balik. Alasan pertama disebabkan karena pendapatan
penduduk DKI Jakarta sangat bervariasi atau tidak merata, maka PDRB yang menyatakan
pendapatan total tidak menggambarkan variasi pendapatan. Alasan kedua, sesuai dengan
pernyataan Fauzi (2007) bahwa EKC hanya berlaku jika sumber daya alam yang digunakan bersifat
dapat terbarukan (reversible), sehingga sebagian dari PDRB yang diperoleh dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi lingkungan.

50
Listyarini, Kurva Lingkungan Kuznet: Relasi antara Pendapatan Penduduk terhadap Polusi Udara

K o n s e n t r a s i N O 2 (p p m )
K o n s e n tr a s i S O 2 ( p p m ) 0.009 0.060
0.008
0.050
0.007
0.006 0.040
0.005
0.030
0.004
0.003 0.020
0.002
0.010
0.001
0.000 0.000

. 50 9
. 64 8
. 16 0
. 47 2
. 38 4
. 21 7
. 69 3
. 86 9
. 25 1
. 74 5
. 84 9
65
. 50 9
. 64 8
. 16 0
. 47 2
. 38 4
. 21 7
. 69 3
. 86 9
. 25 1
. 74 5
. 84 9
65

5 5 6 45
6 0 5 26
6 6 8 69
6 9 4 80
5 7 9 43
5 7 0 51
5 9 5 22
6 1 4 41
6 4 5 97
6 6 9 07
7 0 4 74
5 5 6 45
6 0 5 26
6 6 8 69
6 9 4 80
5 7 9 43
5 7 0 51
5 9 5 22
6 1 4 41
6 4 5 97
6 6 9 07
7 0 4 74

26
26

. 10
. 10

51
51

PDRB (Triliun Rupiah) PDRB (Triliun Rupiah)

Gambar 2. Kurva Lingkungan Kuznet Hasil Penelitian

Polusi udara yang berupa gas SO2 dan NO2, sebagian besar disebabkan oleh pembakaran
BBF yang merupakan sumber daya alam tidak dapat terbarukan (irreversible). Karena itulah kondisi
lingkungan di DKI Jakarta tidak sepenuhnya memenuhi prediksi Kuznet, terutama setelah titik balik
dilewati. Agar peningkatan pendapatan penduduk dapat disertai dengan perbaikan lingkungan, maka
diperlukan adanya konversi sumber energi dari yang bersifat tidak dapat terbarukan (irreversible) ke
sumber daya alam yang bersifat dapat terbarukan (reversible).
Upaya konversi sumber energi sebenarnya telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan
dikeluarkannya Peraturan Presidan Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Mulai
tahun 2005 pengembangan bahan bakar alternatif mulai digalakkan, terutama pengembangan bahan
bakar nabati. Sebenarnya selain bahan bakar nabati, Indonesia juga memiliki berbagai sumber
energi yang ramah lingkungan dan bersifat reversible seperti panas bumi, energi angin, tenaga
surya, dan tenaga air. Selain diversifikasi sumber energi, Pemerintah juga telah mengupayakan
penghematan penggunaan bahan bakar, terutama yang bersumber dari BBF, hal ini sebenarnya
merupakan momentum yang tepat untuk mengangkat isu pencemaran udara, mengingat keterkaitan
yang sangat erat antara penggunaan BBF dan pencemaran udara.
Menyikapi adanya kecenderungan peningkatan pencemaran udara sejalan dengan
bertambahnya pendapatan penduduk, maka pemerintah, khususnya pemerintah propinsi DKI
Jakarta, perlu mengeluarkan kebijakan yang tepat. Kebijakan lingkungan udara yang berlaku di
Indonesia maupun DKI Jakarta, menggunakan pendekatan perintah dan kendalikan (command and
control). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa emisi gas SO2 dan NO2 di DKI Jakarta akan terus
meningkat, sehingga dapat dikatakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda setempat belum efektif
untuk mendorong reduksi emisi gas SO2 dan NO2. Hal ini disebabkan kebijakan yang berbasis
perintah dan kendalikan adakalanya berbenturan dengan kegiatan ekonomi (Wolfgang, 2001).
Sehingga kebijakan dengan pendekatan command and control perlu dikombinasi dengan pendekatan
ekonomi agar kepentingan ekonomi dan lingkungan bisa sejalan yang akhirnya mendorong
perbaikan kondisi sosial. Perbaikan kondisi ini diharapkan berupa perubahan perilaku masyarakat
yang pada akhirnya dapat mengurangi emisi polutan.
Selama ini ada kesan bahwa pengelolaan lingkungan, khususnya pengendalian pencemaran
udara yang dilakukan oleh pemerintah, baik pada tingkat Pusat maupun Propinsi, merupakan satu
kegiatan yang bertentangan dengan kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan munculnya persepsi

51
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 46-54

bahwa pengendalian pencemaran udara dapat merugikan kegiatan perekonomian serta


menyebabkan munculnya keengganan pelaku usaha untuk secara proaktif melakukan pengendalian
pencemaran udara dari kegiatannya. Padahal Menz dan Seip (2004) menjelaskan hasil studi di
Swedia yang menyatakan bahwa PDB riil akan meningkat dan pengangguran akan berkurang
dengan diberlakukannya pajak emisi untuk mengontrol emisi SO2, NO2, dan debu (PM10). Sepanjang
pajak yang dihasilkan digunakan untuk berbagai upaya dalam mereduksi emisi polutan tersebut,
misalnya dengan memperkenalkan mekanisme produksi bersih, penghematan penggunaan bahan
bakar, dan sebagainya.
Millock & Nauges (2006) memberikan contoh penggunaan hasil pajak untuk upaya
penurunan emisi pencemar di Perancis. Hasil pajak terhadap kelebihan emisi pencemar yang berupa
gas SO2 dan NO2 didistribusikan kembali kepada pihak industri yang harus digunakan untuk
meningkatkan teknologi dan metodologi penurunan emisi gas-gas tersebut. Sebenarnya Indonesia
dapat mencontoh cara ini untuk menurunkan tingkat pencemaran udara. Namun saat ini
pertumbuhan ekonomi masih merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia, sehingga terdapat
kekhawatiran jika kelebihan emisi pencemar dikenai pajak akan menurunkan aktifitas ekonomi.

PENUTUP
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tidak bertentangan dengan penelitian sebelumnya
yang berskala nasional dan dilakukan oleh Susandi (2004). Untuk itu pencemaran udara harus
segera dikendalikan, jika hal ini tidak segera dilakukan, maka kerugian yang diderita oleh masyarakat
akan semakin besar dan peningkatan pendapatan tanpa merusak lingkungan akan sulit
dilaksanakan. Sebaliknya pengendalian emisi polutan ke udara yang berupa gas SO2 dan NO2, akan
memperbaiki kualitas lingkungan, dan tentunya juga akan meningkatkan kualitas kehidupan.
Penelitian ini menyatakan bahwa kondisi DKI Jakarta sesuai dengan awal prediksi Kuznet
dalam bentuk EKC, yang memperlihatkan bahwa pada awal peningkatan kesejahteraan penduduk
akan terjadi peningkatan degradasi lingkungan sesuai dengan meningkatnya pendapatan. Prediksi
Kuznet selanjutnya setelah tingkat kesejahteraan mencapai titik tertentu (titik balik atau turning point)
degradasi lingkungan akan menurun meskipun pendapatan naik. Kondisi ini tidak terjadi di DKI
Jakarta, sehingga peningkatan pendapatan penduduk yang dinyatakan dengan PDRB masih akan
meningkatkan polusi udara yang berupa gas SO2 dan NO2, sebagai hasil pembakaran BBF.
Peningkatan PDRB yang tidak dapat digunakan untuk memperbaiki lingkungan disebabkan karena
BBF merupakan sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan (irreversible). Untuk itu perlu
dilaksanakan konversi sumber energi, dari sumberdaya alam yang tidak terbarukan (irreversible)
seperti BBF ke sumberdaya alam lain yang bersifat terbarukan (reversible). Diversifikasi penggunaan
sumber energi juga harus diikuti dengan penghematan energi.
Selain melalui kebijakan penggunaan energi, pengendalian polusi udara yang berupa gas
SO2 dan NO2 juga dapat dilakukan dengan kebijakan lingkungan. Selama ini kebijakan lingkungan
yang berlaku di Indonesia adalah kebijakan dengan pendekatan perintah dan kendalikan (command
and control = CAC), namun kebijakan berbasis CAC adakalanya berbenturan dengan kepentingan
ekonomi. Untuk itu kebijakan CAC perlu dikombinasi dengan instrumen ekonomi yang berupa pajak,
sepanjang hasil yang diperoleh dari pajak tersebut digunakan untuk perbaikan lingkungan. Kombinasi
pendekatan lingkungan dan ekonomi bertujuan agar kepentingan ekonomi dan lingkungan bisa
sejalan yang akhirnya mendorong perbaikan kondisi sosial. Perbaikan kondisi ini diharapkan berupa
perubahan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dapat mengurangi emisi polutan.

52
Listyarini, Kurva Lingkungan Kuznet: Relasi antara Pendapatan Penduduk terhadap Polusi Udara

REFERENSI
Bartz, S. & Kelly, D.L. (2004). Economic growth and the environment: Theory and facts. Diambil 21
Juni 2005, dari http://www.hec.ca/cref/sem/documents/040325.pdf .
Baum, E. (2001). Unfinished business: Why the acid rain problem is not solved. A clear the air report:
Boston. Diambil 28 Maret 2006 dari http://www.cleartheair.org/relatives/18480.pdf.
Burtraw, D., Krupnick, A., Mansur, E., Austin, D., & Farrell, D. (1997). The cost and benefits of
reducing acid rain. Washington: Resources for the Future.
Duchesne, L., Ouimet, R., & Houle, D. (2002). Basal area growth of sugar maple in relation to acid
deposition, stand health, and soil nutrient. Journal Environment Quality. 31, 1676-1683.
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air: Bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan.
Yogyakarta: Kanisius.
Fardiaz, S. (1992). Polusi air & udara. Yogyakarta: Kanisius.
Fauzi, A. (2007). Economic of natures non-convexity: Reorientasi pembangunan ekonomi sumber
daya alam dan implikasinya bagi Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Howells, G. (1995). Acid rain and acid waters 2nd ed. New York: Ellis Horwood Limited.
Hung, M.F. & Shaw, D. (2005). Economic growth and the environmental Kuznets Curve in Taiwan: A
simultaneity model analysis. Diambil 21 Juni 2005, dari http://www.sinica.edu.tw/econ/dshaw
/download /ekc.pdf.
Kennedy, I.R. (1992). Acid soil and acid rain (2nd ed). Somerset: Research Studies Press Limited.
Menz, F.C., & Seip, H.M. (2004). Acid rain in Europe and the United States: an update.
Environmental Science & Policy, 7, 253-265.
Millock, K., & Nauges, C. (2006). Ex post evaluation of an earmarked tax on air pollution. Land
Economics, 82: 68–84.
Ostro, B. (1994). Estimating the health effects of air pollutans: A method with an application to
Jakarta. Diambil 18 Januari 2005, dari
http://wdsbeta.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/IW3P/IB/1994/05/01/00000
9265_3970716141007/Rendered/PDF/multi0page.pdf. 18 Jan 2006.
Sarwoko, M. (2005). Dasar-dasar ekonometrika. Yogyakarta: Andi Offset.
Stern, D.I. (2004). The rise and fall of the environmental Kuznets Curve. World Developmet, 32 (8),
1419-1439.
Susandi, A. (2004). The impact of international greenhouse gas emissions reduction on Indonesia.
Hamburg: Reports on Earth System Science.
Susandi, A. (2004a). Future emissions of air pollutans in Indonesia: SO2 and NOx. Diambil 18 Januari
2005, dari http://www.ecomod.net/conferences/ecomod2004/ecomod2004_papers/235.pdf.
Syahril, S., Resosudarmo, B.P., & Tomo, H.S. (2002). Study on air quality in Jakarta, Indonesia:
Future trends, health impacts, economic value and policy options. ADB.
Wolfgang, O. (2001). Eco-correlation in acidification scenarios. Diambil 9 Mei 2006, dari
http://www.oekonomi.uio.no/memo/memopdf/memo2301.pdf.

53
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 46-54

LAMPIRAN

Kurva Estimasi_1.

Independent: PDRB

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2 b3

AMBISO2 LIN .001 9 .01 .916 .0052 9.5E-06


AMBISO2 LOG .000 9 1.4E-03 .971 .0050 .0002
AMBISO2 INV .000 9 1.3E-03 .972 .0056 .0115
AMBISO2 QUA .212 8 1.08 .386 .0799 -.0024 2.0E-05
AMBISO2 CUB .207 8 1.04 .396 .0549 -.0012 1.1E-07

Kurva Estimasi_2.

Independent: PDRB

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2 b3

AMBI_NO2 LIN .164 9 1.77 .217 -.0255 .0008


AMBI_NO2 LOG .173 9 1.88 .204 -.1900 .0525
AMBI_NO2 INV .181 9 1.99 .191 .0795 -3.2516
AMBI_NO2 QUA .208 8 1.05 .393 -.2947 .0097 -7.E-05
AMBI_NO2 CUB .208 8 1.05 .393 -.2947 .0097 -7.E-05

54

Anda mungkin juga menyukai