Anda di halaman 1dari 25

Ascobatg/kars/10

SESI-10/11 DAN 16

MEKANISME “COST AND PRICING” PELAYANAN RUMAH SAKIT


DALAM ERA LIBERALISASI PELAYANAN KESEHATAN1

Ascobat Gani2

PENDAHULUAN

Secara formal, konsep Rumah Sakit sebagai unit sosial-ekonomi dikemukakan pada awal
tahun 1990-an. Secara historis, RS memang dipandang sebagai unit pelayanan yang
bersifat sosial untuk menolong seseorang dari penderitaannya. Motivasi kemanusiaan
sangat kental dalam sejarah pelayanan kesehatan. Oleh karenanya, aplikasi perhitungan
ekonomis, lebih-lebih perhitungan tarif serta perhitungan untung-rugi, terasa kurang etis
apabila di terapkan dalam upaya perumah sakitan.

Namun zaman telah berubah. Sumberdana kesehatan sangat terbatas. Maksud-maksud


baik untuk menolong penderita sering tidak efektif karena dengan sumberdana terbatas,
sebuah RS tidak bisa memberikan pelayanan yang baik kepada penderita. Disamping itu,
pelaku-pelaku dalam industri kesehatan tidak lagi terbatas pada fihak-fihak dengan motif
sosial. Para investor dengan motivasi murni memperoleh untung melihat industri
pelayanan kesehatan sebagai peluang bisnis yang baik, yang menjanjikan “return on
investment” cukup menarik. Perkembangan “for profit hospital” ini menciptakan atmosfir
kompetisi yang lebih ketat dalam industri perumah-sakitan.

Bagi “for profit hospital”, jelas perhitungan biaya yang cermat (cost) dan penentuan tarif
yang tepat (pricing) sangat diperlukan. Namun bagi RS sosialpun, perhitungan biaya dan
penentuan tarif yang tepat adalah suatu keharusan. Alasannya, ditengah meningkatnya
persaingan, (1) “cost recovery”, (2) efisiensi dan (3) mutu adalah andalan utama untuk
tetap bisa “survive”. Ketiga hal tersebut hanya bisa diwujudkan apabila rumah sakit
mengetahui berapa biaya yang dipakainya dan berapa tarif yang tepat untuk menjamin
“cost recovery” sehingga dengan revenue yang diperoleh bisa dilakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan mutu pelayanan. Bahkan untuk tujuan sosialpun, rumah sakit yang
bersangkutan memerlukan informasi biaya dan penentuan tarif yang tepat, sehingga bisa
melakukan perluasan jagkauan atau melakukan subsidi silang.

Dalam makalah ini disampaikan prinsip pokok dan prakondisi yang diperlukan agar
sebuah rumah sakit mampu melakukan analisis biaya dan penentuan tarif yang “rasional”.
Pada bagian pertama disampaikan ulasan tentang tantangan yang dihadapi oleh industri
pelayanan kesehatan dewasa ini dan dimasa mendatang. Dalam bagian kedua dan ketiga
disampaikan prinsip pokok analisis biaya dan penentuan tarif. Akhirnya dalam bagian
keempat disampaikan pola kebijaksanaan tarif dewasa ini, khususnya untuk pelayanan
kesehatan milik pemerintah.

TANTANGAN PEMBIAYAAN DALAM INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN


1
Seminar “Kompetensi Eksekutif Rumah Sakit Dalam Era Liberalisasi Pelayanan
Kesehatan” RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, 16 Juli 1997.
2
. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indoensia

1
Ascobatg/kars/10

Liberalisasi nampaknya juga akan terjadi dalam industri kesehatan. Ini berarti semakin
banyak pelaku (investor) yang terlibat, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Di
Indonesia, pelayanan RS memang masih didominir oleh rumah sakit pemerintah. Namun
dengan kebijaksanaan “zero growth” sektor pemerintah, diperkirakan pertumbuhan RS
swasta akan berlangsung cepat dimasa yang akan datang. Diperkirakan pula, para investor
tersebut sebagian besar akan melakukan investasi pada “for profit hospital”.

Keadaan ini akan menumbuhkan suasana kompetisi yang semakin ketat dalam industri
perumah sakitan. Dalam suasana demikian, ada tiga hal yang menjadi penting dalam
pengelolaan RS, yaitu: 1. mutu pelayanan, 2. efisiensi, 3. tarif yang bersaing dan 4.
pemasaran. Berikut ini disampaikan secara singkat ulasan tentang beberapa tantangan yang
dihadapi sehubungan dengan adanya liberalisasi industri RS dewasa ini dan dimasa
mendatang.

1. Tujuan normatif sektor kesehatan

Pemerataan, kualitas, efisiensi dan kesinambungan (equity, quality, eficiency and


sustainability) adalah tujuan normatif dalam sistem pelayanan kesehatan. Di Indonesia,
tujuan normatif tersebut disimpulkan dalam kebijaksanaan bahwa RS adalah suatu unit
upaya yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Fungsi sosial RS adalah upaya-upaya
untuk meningkatkan pemerataan pelayanan yang bermutu. Fungsi ekonomi mencakup
upaya untuk meningkatkan efisiensi dan sustainability. Pengertian sustainability dalam hal
ini termasuk upaya untuk menjamin “financial sustainability” dari RS tersebut.

Tujuan normatif dan fungsi sosial-ekonomi tersebut diatas merupakan tantangan besar
bagi pengelola RS dewasa ini. Pertama, banyak RS, terutama milik pemerintah, selama
ini lebih banyak dikelola sebagai RS sosial. Merubah keseluruhan RS tersebut untuk juga
sekaligus melaksanakan prinsip-prinsip ekonomi tidaklah mudah. Sebaliknya, bagi RS
swasta “for profit” tidak pula mudah untuk menjalankan fungsi sosialnya ditengah
kenyataan bahwa pangsa pasar golongan menengah keatas tidak mudah untuk ditangkap
dan kenyataan lain bahwa biaya input RS terus meningkat.

2. Cost inflation

Inflasi biaya adalah tantangan kedua yang dihadapi dalam industri RS. Inflasi biaya ini
menyangkut biaya investasi sarana yang memang terus semakin mahal sejalan dengan
perkembangan teknologi kedokteran. Disamping itu, biaya obat sebagai salah satu
komponen utama dalam kelompok biaya operasional RS, juga mengalami inflasi (paling
tidak mengikuti inflasi ekonomi sebesar 5 - 7% per tahun). Sudah umum diketahui bahwa
harga obat di Indonesia adalah termasuk paling mahal dikawasan Asia.

3. “Balance budget allocation”

Salah satu masalah utama dalam pembiayaan RS milik pemerintah adalah ketidak
seimbangan antara komponen biaya. Dalam proses produksi suatu komoditi, secara

2
Ascobatg/kars/10

teoretis, volume biaya (1) investasi, (2) operasional dan (3) pemeliharaan haruslah
seimbang . Namun dalam kenyataan tidak demikian. Bank Dunia memperkirakan bahwa di
sebagian besar RS type C, hanya 40% dari kebutuhan biaya operasional dan pemeliharaan
yang terpenuhi. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menjamin terlaksananya fungsi-
fungsi RS secara bermutu.

4. “Shortage of human resources”

Transisi epidemiologis dan meningkatnya demand penduduk semakin membutuhkan


tenaga-tenaga profesional yang spesialistik. Namun seperti dapat diamati, banyak RS
swasta yang sangat tergantung pada waktu yang disediakan oleh dokter spesialis
pemerintah. Tidak jarang satu spesialis bekerja di lebih dari 2 RS. Dampaknya terhadap
mutu pelayanan sangatlah besar, lebih-lebih di kota besar yang mengalami kemacetan lalu
llintas.

Menurut hukum penawaran dan permintaan, “shortage” akan meningkatkan harga (tarif
jasa medis). Bahkan “shortage” tersebut membuat Direktur RS sulit mengatur pada
spesalis bersangkutan. Termasuk dalam mengatur besaran tarif.

Disamping kekurangan tenaga spesialis, kekuranan “qualified nurse” adalah realita lain
yang dapat diamati dalam industru RS di Indonesia.

5. Demand terhadap pelayanan “bermutu”

Tantangan lain adalah meningkatnya demand terhadap pelayanan RS yang “bermutu”.


Seperti diketahui, cukup banyak segmen atas penduduk di kota-kota besar yang mencari
pengobatan ke luar negeri. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pelayanan di LN jauh
lebih bermutu dari pada pelayanan RS di dalam negeri. Seringkali pengertian mutu dari
kaca mata pasien tidak berkaitan dengan efikasi pengobatan, akan tetapi dikaitkan dengan
(1) kecepatan dan keramahan pelayanan, (2) penggunaan alat canggih dan (3) sarana non-
medis yang mewah, yang secara keseluruhan memerlukan biaya mahal bagi fihak RS.

6. Perkembangan asuransi kesehatan dan JPKM

Jumlah penduduk Indonesia yang telah dicakup dalam sistem asuransi dan JPKM memang
relatif kecil, yaitu sekitar 9% dari total penduduk atau 18 sampai 19 juta orang. Dari
jumlah tersebut, 15.5 juta adalah pegawai negeri dan keluarganya yang menjadi peserta PT
Askes. Seperti diketahui, premi yang dipungut dari PNS adalah kecil, yaitu 2% gaji.
Seperti diketahui pula, gaji PNS di Indonesia adalah juga kecil rendah). Oleh sebab itu
tidak mudah bagi PT. Askes untuk menyesuaikan pembayarannya dengan tarif-tarif yang
cenderung naik dan dinaikkan pada akhir-akhiir ini. Sisanya sebanyak sekitar 2.3 sampai
3.5 juta adalah peserta PT. jamsostek (1.8 juta) dan asuransi kesehtan swasta lain.

Walaupun cakupan asuransi dan JPKM sekarang masih rendah, perlu diamati bahwa kini
sedang berlangsung upaya yang sungguh-sungguh untuk memacu perkembangannya. Dari
fihak pemerintah, landasan hukum dan berbagai peraturan serta mekanisme insentif sudah
dan terus dikembangkan. Dari fihak swasta, beberapa perusahaan asuransi mulai
memasarkan produk asuransi kesehatan dan JPKM. Dibeberapa Daerah Tingkat-II

3
Ascobatg/kars/10

(Magetan dan Wonogiri), Pemda setempat telah melaksanakan JPKM/Dana Sehat secara
“compulsory” (total coverage). Selain itu, upaya sistematis pemerintah untuk menaikkan
tarif pelayanan RS dan Puskesmas juga akan mendorong masyarakat untuk menjadi
peserta asuransi, JPKM dan Dana Sehat.

Apa tantangan yang dihadapi RS? Tantangan pertama adalah berubahnya posisi
“bargaining” RS, karena dengan perkembangan asuransi kesehatan, RS tidak lagi
berhadapan dengan individu pasien, akan tetapi dengan sebuah lembaga keuangan yang
mempunyai “bargaining power” yang lebih kuat. Salah satu issu adalah penentuan tarif
pelayanan. Apabila RS tidak mengetahui berapa biaya satuannya, sulit melakukan negosiasi
dengan fihak asuransi. Sekarang ini, umumya tarif pelayanan RS milik pemerintah jauh
dibawah biaya satuannya. Jadi RS pemerintah memberikan subsidi, yang mungkin telah
dinikmati oleh penduduk yang sebetulnya tidak perlu disubsidi.

7. Cost recovery

Cost recovery adalah perbandingan antara penerimaan total dan biaya total yang
dikeluarkan oleh RS. Untuk RS pemerintah, cost recovery ini masih rendah (sekitar 35%).
Untuk RS milik BUMN tertentu, cost rcovery tersebut bahkan ada yang hanya mencapi
15%. Ini berarti RS tersebut masih sangat tergantung pada subsidi anggaran yang
disediakan oleh pemiliknya (penyandang dana). Dengan adanya inflasi biaya, beban yang
dipikul penyandang dana semakin berat. Salah satu sebab utama rendahnya cost recovery
adalah tarif yang rendah dan tingkat utilisasi yang jauh dibawah kapasitas RS
bersangkutan.

Selama 5 - 10 tahun terakhir, pemerintah dan beberapa BUMN berusaha agar RS mereka
dapat mandiri dalam hal pembiayaanya. Ada tiga strategi pokok yang umumnya dilakukan,
yaitu (1) meningkatkan tarif, (2) meningkatkan utilisasi dan (2) meningkatkan efisiensi.
Salah satu kesulitan yang dihadapi banyak RS dalam melakukan stratgei pertama
(penyeduaian tarif) dan strategi ke tiga (meningkatkan efisiensi) adalah tidak tersedianya
informasi yang akurat tentang biaya.

Dari uraian tentang 7 tantangan pembiayaan diatas, dapat dilihat bahwa dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam pembiayaan RS, ada dua hal yang sangat dibutuhkan, yaitu (1)
informasi biaya dan (2) penentuan tarif yang realistis. Kedua hal ini akan disampaikan
dalam bagian berikut.

ANALISIS BIAYA PELAYANAN RS

Berikut ini disampaikan prinsip-prinsip dan tehnik melakukan analisis biaya di sebuah RS.
Seperti nanti terlihat, analisis biaya RS memang cukup kompleks, karena begitu banyaknya
unit yang terllibat dalam produksi pelayanan RS serta begitu banyaknya produk yang
dihasilkan ditambah dengan begitu banyaknya jenis input yang dipergunakan dalam
menghasilkan satu jenis pelayanan tertentu.

Konsep dan elemen biaya RS

1. Batasan

4
Ascobatg/kars/10

Per definisi, biaya atau "cost" adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Ini berarti biaya tidak hanya berupa pengorbanan yang langsung berupa uang,
tetapi juga bisa berupa barang atau waktu atau kesempatan (opportunity) yang hilang.
Bahkan ketidak nyamanan yang timbul dalam rangka mencapai tujuan tertentu tersebut bisa
juga disebut sebagai biaya. Contohnya adalah kebisingan yang dialami penduduk disekitar
lapangan terbang, bisa diperhitungkan sebagai biaya dalam peyelenggaraan lapangan tersebut.

Semua pengobanan tersebut baru bisa diukur kalau sudah dikonversikan kedalam nilai
moneter (nilai uang). Jadi barang, wajtu dan kesempatan yang hilang atau ketidak nyamanan
tersebut harus diterjemahkan dalam nilai uang. Ini bukan pekerjaan mudah dalam proses
analisis biaya.

2. Elemen Biaya RS

Klasifikasi biaya yang lazim dalam analisis biaya juga berlaku untuk RS. Secara umum,
biaya-biaya dapat dibagi dalam:

- Biaya investasi, yang terdiri dari:


- Biaya gedung
- Biaya alat medis
- Biaya alat non-medis
- Biaya pemeliharaan, yang terdiri dari:
- Biaya gedung
- Biaya alat medis
- Biaya alat non-medis
- Biaya operasional, yang terdiri dari:
- Biaya personil (gaji)
- Biaya obat dan bahan
- Biaya makan
- Biaya ATK
- Biaya umum (listrik, telepon, air, perjalanan, dll)

3. Perhitungan biaya investasi

Analisis biaya lazimnya dilakukan untuk suatu kurun waktu tertentu, yaitu satu tahun
anggaran. Untuk biaya-biaya yang tergolong sebagai biaya operasional dan pemeliharaan,
maka yang diperhitungkan adalah jumlah elemen-elemen biaya tersebut yang dikeluarkan
selama satu tahun.

Persoalan timbul dengan biaya investasi, oleh karena pemanfaatan barang-barang investasi
tersebut bisa berlangsung melampaui kurun waktu satu tahun. Jadi agar bisa digabungkan
dengan biaya operasional dan pemeliharaan untuk memperoleh nilai biaya total (TC)
pertahun, maka biaya investasi tersebut perlu dihitung nilainya untuk satu tahun, yaitu pada
tahun mana biaya operasional dan pemeliharaan tersebut dihitung. Nilai biaya investasi

5
Ascobatg/kars/10

setahun ini disebut "nilai tahunan biaya investasi" atau "annualized investment cost". Dalam
makalah ini nilai tersebut disingkat "AIC".

Besarnya nilai tahunan biaya investasi dipengaruhi oleh nilai uang (inflasi) serta waktu pakai
dan "masa hidup" suatu barang investasi. Dengan menggunakan informasi laju inflasi, masa
pakai dan masa hidup tersebut, maka dihitung "nilai sekarang" atau "Present Value" atau PV
dari biaya investasi tersebut. Yang dimaksud dengan nilai sekarang adalah nilai setahun biaya
investasi tersebut untuk "tahun sekarang", yaitu tahun dimana analisis biaya dilakukan.

Untuk menghitung nilai tahunan biaya investasi tersebut dapat dipergunakan formula sebagai
berikut:

IIC (1 + r) t
AIC = ------------
L
dimana:

AIC = Annualized Investment Cost


IIC = Initial Investment Cost
r = interest rate (bank pemerintah)
t = masa pakai
L = perkiraan masa "hidup" investasi ybs.

Laju inflasi yang dipakai adalah laju inflasi rata-rata selama 5 tahun terakhir. Nilai L dapat
dilihat dari spesifikasi pabrik atau untuk gedung dengan berkonsultasi pada pakar bangunan.

Pusat Biaya

Dalam melakukan analisa biaya, sangat penting untuk mengidentifisir pusat biaya (cost
center), yaitu unit organisasi RS dimana biaya terpakai. Secara umum, unit-unit organisasi RS
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) pusat biaya penunjang dan (2) pusat
biaya produksi.

Pusat biaya adalah unit fungsional dimana biaya-biaya tersebut diperguna-kan. Untuk RS,
pusat biaya tersebut secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu (1) pusat biaya penunjang,
yaitu unit-unit yang tidak langsung memproduksi "produk" RS dan (2) pusat biaya
produksi, yaitu unit-unit dimana pelayanan RS dihasilkan.

Yang termasuk pusat biaya penunjang misalnya adalah:


- Unit pimpinan (direksi RS) dan Tata Usaha
- Unit Pemeliharaan
- Unit CSSD/Laundry
- Unit Dapur

6
Ascobatg/kars/10

- dll.

Yang termasuk pusat biaya produksi misalnya adalah:


- Laboratorium klinik
- Laboratorium patologi anatomi
- Bagian radiologi
- Unit Rawat Jalan (Umum dan spesialis)
- Unit Gawat Darurat
- Unit ICU
- Unit ICCU
- Unit Bedah (Kamar Operasi)
- Unit Rawat Nginap (dari berbagai kelas perawatan)
- Unit rehabilitasi medis
- Unit Kamar Jenazah
- Dll.

Dari uraian butir (1) dan (2) diatas, maka peta biaya RS dapat digambarkan sebagai berikut:

Unit Penunjang Unit Produksi


Biaya investasi
Biaya pemeliharaan
Biaya operasional

Distribusi Biaya

Salah satu tujuan analisis biaya RS adalah perhitungan biaya satuan. Untuk itu, semua biaya
yang terpakai pada pusat biaya penunjang harus didistribusikan sampai habis ke pusat biaya
produksi, sehingga akhirnya untuk setiap pusat biaya produksi diketahui besar biaya total.
Kalau jumlah output pada pusat biaya produksi bersangkutan diketahui, maka dapat dihitung
biaya satuan produk (jenis pelayanan) tersebut.

Untuk melakukan distribusi biaya tersebut, dipergunakan dasar tertentu. Misalnya, untuk
mendistribusikan biaya yang dikeluarkan di instalasi dapur, dipergunakan distribusi porsi
makanan sebagai dasar distribusinya ke pusat biaya produksi. Untuk biaya yang dikeluarkan
di instalasi laundry, dasar distribusi biayanya adalah jumlah potong pakaian. Untuk biaya-
biaya yang dikeluarkan di unit direksi dan administrasi, dasar alokasi biayanya ke pusat biaya
produksi adalah jumlah personil di masing-masing pusat biaya produksi tersebut.

Distribusi biaya tersebut dilakukan satu persatu terhadap setiap elemen biaya, yang secara
ringkas digambarkan dalam tebel berikut.

7
Ascobatg/kars/10

Pusat biaya penunjang Pusat biaya produktif


(A) (B) (C) (D) (1) (2) (3) (4) (5)
-------------------------------------------------------------------------
Biaya investasi (AFC) ----------------> x x x x x
Biaya operasional ------------------> x x x x x
Biaya pemeliharaan ----------------> x x x x x
------------------------------------------------------------------------

Untuk analisis biaya RS, telah dikembangkan beberapa metode untuk melakukan distribusi
biaya tersebut, yaitu:

1. Metode distribusi sederhana (simple distribution method)


2. Metode distribusi anak tangga (step down method)
3. Metode distrubis ganda (double distribution method)
4. Metode distribusi multipel (multiple distribution method)

Dalam makalah ini masing-masing metode tersebut tidak diuraikan lebih lanjut. Prinsipnya
adalah mendistribusikan masing-masing elemen biaya tersebut diatas dari unit-unit penunjang
ke unit-unit produksi dengan menggunakan dasar-dasar alokasi tertentu. Dalam praktek,
yang sering dipergunakan adalah metode "simple distribution" dan "double distribution".

Jenis "produk" RS

Selanjutnya untuk mengitung biaya satuan, perlu pula diketahui secara rinci jenis-jenis
produk (jenis pelayanan) yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di RS. Dalam hal ini, ada
unit-unit produksi yang produknya bersifat homogen (sejenis), misalnya (1) Unit rawat jalan,
(2) Unit rawat nginap. Ada pula unit-unit produkdi yang produknya beragam (heterogen)
misalnya (1) Unit Kamar Operasi, (2) Unit laboratorium klinik, (3) Unit Laboratorium PA,
(4) Unit Radiologi, (4) Unit Rehabilitasi Medis, (5) Unit Kamar Jenazah, dll.

Tehnik perhitungan biaya satuan untuk unit produksi yang produknya homogen berbeda dari
perhitungan biaya satuan untuk unit produksi yang produknya heterogen, seperti akan
dijelaskan.

Biaya Satuan

Biaya satuan adalah biaya yang dipergunakan untuk memproduksi satu unit produk (barang
atau jasa). Dalam biaya satuan terkandung semua jenis elemen biaya yang disampaikan
diatas.

Biaya satuan bisa juga dihitung secara "fragmented", misalnya biaya satuan investasi, biaya
satuan gaji, biaya satuan obat dan bahan, biaya satuan operasional, dll.

8
Ascobatg/kars/10

Dalam analisis biaya RS, biaya-biaya investasi dan pemeliharaan biasanya tidak banyak
dipengaruhi oleh besarnya output, sehingga kedua kelompok biaya tersebut dapat disebut
sebagai biaya tetap (fixed cost). Kemudian, biaya-biaya gaji dan biaya umum (listrik, air,
telepon, perjalanan, dll.) relatif juga tidak banyak dipengaruhi oleh volume output, sehingga
dapat disebut sebagai biaya semi tetap atau semi variabel (semivariable cost). Selanjutnya,
biaya-biaya obat dan bahan, biaya makan, biaya laundry dll. besarnya ditentukan oleh jumlah
output, sehingga disebut sebagai biaya variable (variable cost).

Dari uraian diatas, maka ada berbagai jenis biaya satuan yang dapat dihitung, seperti
disampaikan dalam bagan-2 dihalaman berikut.

Ada dua konsep pengertian biaya satuan, yaitu (1) biaya satuan aktual dan (2) biaya satuan
normatif. Biaya satuan aktual, yang kadang-kadang disebut sebagai "biaya rata-rata" adalah
total biaya dibagi jumlah output. Jadi misalnya kalau di Unit Rawat Jalan biaya yang
dikeluarkan dalam setahun (setelah dilakukan distribusi biaya) adalah Rp 35 juta, dan jumlah
pasien per tahun hanya 350 orang, maka biaya satuan aktual rawat jalan adalah 100.000.
Jadi satuan ini sebetulnya adalah biaya "rata-rata" per pasien yang dilayani. Mudah difahami
bahwa dalam hal ini jelas bahwa "nilai moneter" satu kali kunjungan rawat jalan tersebut
tidak mencapai Rp 100.000. Biaya satuan aktual dihitung sebagai: UC = TC/Q, dimana TC
adalah biaya total di unit produksi bersangkutan dan Q adalah jumlah output. Jadi besar
biaya satuan aktual tergantung pada nilai TC (yang terdiri dari biaya investasi, biaya
pemeliharaan dan biaya operasional) dan juga tergantung pada nilai Q.

Bagan-2.
Komponen biaya dan jenis biaya satuan

BIAYA INVESTASI
1. Gedung
2. Alat Non-medis
3. Alat Medis
4. Kendaraan
5. Dll.
Fixed
Cost
BIAYA PEMELIHARAAN
1. Gedung
2. Alat Non-medis
3. Alat Medis Unit
4. Kendaraan Cost
5. Dll. Fixed

BIAYA OPERASIONAL Semi Unit


1. Pegawai (gaji) Varbl. Cost
2. Umum (listrik, Cost Total
air, telp. dll)
3. Obat
4. Makan Vari- Unit
5. Laundry abel Cost
6. ATK Cost Varbl.

9
Ascobatg/kars/10

7. Dll.

Biaya satuan normatif adalah biaya yang sesuai dengan nilai biaya yang melekat pada satu
unit produk (pelayanan). Yang dihitung adalah biaya satuan investasi (yang besarnya
ditentukan oleh TC dan kapasitas produksi) dan biaya satuan variable (yang besarnya
ditentukan oleh biaya variabel dan jumlah produksi).

Perhitungan Biaya Satuan

1. Perhitungan biaya total di unit produksi (pertahun)

Perhitungan biaya satuan di suatu unit produksi RS perlu didahului dengan perhitungan
biaya total (TC) di unit tersebut. Pertama, di unit bersangkutan perlu dihitung elemen-
elemen biaya yang telah disebutkan diatas (investasi, pemeliharaan dan operasional). Kedua,
dijumlahkan semua biaya-biaya unit penunjang yang telah didistrisbusikan (dialokasikan) ke
unit produksi bersangkutan (yang juga terdiri dari biaya investasi, pemeliharaan dan
operasional).

Perlu dicatat bahwa semua elemen biaya tersebut dihitung sebagai pengeluaran selama satu
tahun (biasanya satua tahun yang lalu). Untuk biaya investasi, ada perhitungan khusus untuk
menghitung biaya investasi setahun.

Dari perhitungan diatas, maka diperoleh biaya total (TC) di unit produksi bersangkutan.

2. Identifikasi jenis dan jumlah pelayanan per tahun

Selanjutnya, dilakukan perhitungan jumlah dan jenis pelayanan yang dihasilkan oleh unit
produksi bersangkutan selama satu tahun (juga biasanya selama satu tahun yang lalu).
Khusus untuk unit-unit produksi yang produknya heterogen, ini memerlukan pencatatan
yang baik untuk setiap pelayanan yang diselenggarakan selama satu tahun. Misalnya, unit
laboratorium klinik perlu mencatat semua jenis pemeriksaan yang dilakukan. Demikian juga
dengan kamar operasi, unit radiologi, laboratorium patologi anatomi, dll.

3. Perhitungan biaya satuan aktual

Perhitungan biaya satuan, seperti telah disampaikan diatas, secara sederhana dapat dihitung
dengan rumus:

TC
UC = ----
Q

4. Perhitungan biaya satuan normatif

10
Ascobatg/kars/10

Untuk menghitung biaya satuan normatif, pertama biaya total yang telah dihitung di unit
produksi bersangkutan dipisahkan menjadi:

1. Biaya variabel di Unit bersangkutan (obat, makan, atk, dll.)


2. Biaya tetap di unit bersangkutan (investasi, pemeliharaan, gaji dan
umum).

Perhitungan biaya satuan normatif dilakuan dengan rumus :

FC VC
UC = ----- + ------
C Q

Dalam hal ini C adalah kapasitas unit bersangkutan selama satu tahun. Misalnya, Ruang
rawat nginap dengan 20 TT mempunyai kapasitas untuk menghasilkan hari rawat sebanyak
365 x 20 = 7300 hari per tahun.

5. Perhitungan biaya satuan kalau output besifat heterogen

Cara perhitungan biaya satuan yang disampaikan dalam butir 3 dan 4 diatas hanya berlaku
untuk unit produksi yang produknya homogen atau sejenis, seperti misalnya unit rawat jalan,
unit rawat nginap, dan UGD.

Kalau produknya lebih dari satu jenis, maka perhitungan biaya satuan menjadi rumit. Dalam
hal ini, masing-masing jenis pelayanan di unit bersangkutan perlu diberikan nilai bobot
tertentu. Untuk pelayanan RS, nilai bobot tersebut sering disebut sebagai "Relative Value
Unit" (RVU).

Nilai RVU diperoleh dari survey khusus, yaitu menghitung nilai harga obat dan tenaga yang
diperlukan untuk melakukan satu kali pelayanan tertentu. Nilai RVU ini belum baku dan
terbatas dilakukan di RS tertentu. Dengan bantuan matriks spread sheet (disampaikan
sebagai bahan latihan), TC di unit bersangkutan dialokasikan ke masing-masing jenis
pelayanan proporsional terhadap RVU dan jumlah pelayanan bersangkutan. Setelah alokasi
ini dilakukan, maka dapat dihitung biay satuan untuk jenis pelayanan tertentu tersebut.

Yang paling rumit adalah menghitung "biaya satuan normatif" untuk unitproduksi yang
produknya heterogen. Sangat sulit memperkirakan berapa kapasitas suatu unit tertentu
untuk melakukan berbagai jenis pelayanan yang dihasilkannya.

Misalnya, produk pelayanan yang dihasilkan unit produksi tertentu adalah tindakan-
tindakan: "a", "b", "c", "d" dan"e". Maka untuk menhitung biaya satuan normatifnya, perlu
diperkirakan berapa banyak tindakan "a" yang dapat dilakukan selama setahun kalau unit
tersebut hanya melakukan tindakan "a". Demikian juga untuk tindakan "b", "c", dst.

Maka untuk biaya satuan normatif:

11
Ascobatg/kars/10

FC VCa
UCa = ---- + ----
Ca Q

Dalam hal ini, Ca adalah kapasitas unit tersebut kalau hanya melakukan tindakan "a", dan
VCa adalah biaya variabel yang telah dialokasikan untuk tindakan-tindakan "a" atas dasar
RVU.

Langkah-langkah Analisis Biaya RS

Secara garis besar, ada empat langkah pokok yang perlu dilakukan dalam analisis biaya RS,
yaitu sebagai berikut.

1. Identifikasi Pusat Biaya

Identifikasi pusat biaya dilakukan dengan memperlajari organogram RS bersangkutan serta


mencocokkannya dengan situasi fisik secara faktual. Konsultasi dengan unit yang relevan
perlu dilakukan agar semua unit organisasi teridentifisir.

2. Pengumpulan data biaya

Data biaya dikumpulkan dari semua sumber, termasuk data laporan akuntansi maupun data
biaya yang tersedia di masing-masing pusat biaya. Data biaya tersebut perlu dipilah-pilah
kedalam elemen-elemen biaya seperti telah dijelaskan diatas.

3. Pengumpulan data untuk dasar distribusi

Data untuk dasar distribusi biaya, seperti telah disebutkan diatas, meliputi data tentang porsi
makanan, potong laundri, jumlah personil, luas lantar, penggunaan obat dan bahan, dll. Data
tersebut juga perlu dikumpulkan. Keberhasilan pengumpulan data untuk dasar distribusi ini
tergantung pada sistem pencatatan yang dilaksanakan di RS bersangkutan.

4. Analisis biaya:

Metode analisis biaya yang disarankan adalah metode distribusi ganda (double distribution).
Pertama, dilakukan deskripsi biaya total menurut elemen biaya (investasi, operasional,
pemeliharaan). Kedua dilakukan deskripsi distribusi elemen-elemen biaya tersebut ke masing-
masing pusat biaya.

Selanjutnya adalah melakukan distribusi ganda setiap elemen biaya, sehingga semua biaya
yang terpakai di pusat biaya penunjang habis dibagi ke pusat biaya produksi. Hasilnya adalah
Biaya Totak di masing-masing Pusat Biaya Produksi.

Setelah itu, dapat dilakukan perhitungan biaya satuan seperti telah dijelaskan dimuka.

12
Ascobatg/kars/10

Guna Analisis Biaya

Paling tidak ada empat kegunaan utama dari analisis biaya, yaitu sebagai berikut.

1. Pricing

Informasi biaya satuan sangat penting dalam penentuan kebijaksanaan tarif RS. Kelemahan
sistem pentarifan RS selama ini adalah tidak adanya informasi biaya satuan tersebut. Dengan
diketahuinya biaya satuan, dapat diketahui apakah tarif sekarang merugi, break even atau
menguntungkan. Juga dapat dilihat berapa besar subsidi yang diberikan kepada pengguna
pelayanan tersebut.

2. Budgeting/Planning

Kegunaan lain hasil analisis biaya adalh untuk perencanaan anggaran. Kalau biaya satuan
diketahui danproyeksi tingkat utilisasi pelayanan diketahui pula (misalnya jumlah hari rawat),
maka dapat diperkirakan biaya yang diperlukan untuk masa yang akan datng.

Besar elemen biaya tertentu pada pusat biaya tertentu juga bisa dipakai sebagai patokan
dalam menentukan kebutuhan elemen biaya bersangkutan pada pusat biaya bersangkutan.

3. Budgetary control

Hasil analisis biaya juga dapat dimanfaatkan untuk memonitor dan mengendalikan kegiatan
operasional RS bersangkutan. Misalnya adalah menilai tingkat efisiensi penggunaan biaya
dengan membandingkan hasil analisis biaya dari tahun ketahun.

4. Evaluasi dan pertanggungan jawab

Analisis biaya juga berguna untuk menilai performance keuangan RS secara keseluruhan,
sekaligus sebagai pertanggung jawaban kepada fihak-fihak berkepentingan. Misalnya,
informasi tentang total biaya dapat dibandingkan dengan total revenue. Perbandingan ini akan
menunjukkan tingkat "cost recovery" RS tersebut.

Infrastruktur Yang Diperlukan Untuk Analisis Biaya RS

Analisis biaya RS hanya dapat dilakukan apabila ada infrastruktur pendukung yang
diperlukan, yakni sebagai berikut:

1. Sistem akuntansi

Untuk menjamin bahwa data biaya dapat dipergunakan untuk analisis biaya, sistem akuntans
harus berjalan baik. Umumnya RS milik pemerintah menerapkan sistem akuntansi yang
bersifat "cash basis". Untuk analisis biaya yang tepat, diperlukan sistem akuntansi yang
bersifat "accrual".

13
Ascobatg/kars/10

2. Sistem pencatatan inventaris dan gedung RS

Agar perhitungan biaya investasi (yang "disetahunkan" atau "annualized investment cost")
dapat dihitung dengan baik, hendaknya RS mengembangkan dan melaksanakan sistem
pencatatan invetaris yang baik. Ini termasuk pencatatan nama barang, tahun beli (tahun
pengadaannya), harga beli, masa hidup (spesifikasi pabrik atau akhli).

Dibeberapa RS, pada setiap ruangan ada daftar inventaris dengan perincian data sebagaimana
disebutkan diatas, yang digantungkan pada dinding ruangan bersangkutan. Daftar tersebut
berisi catatan tentang semua barang yang di ruang tersebut.

3. Pencatatan jumlah pelayanan

Agar perhitungan biaya satuan dapat dilakukan, maka semua jenis pelayanan dan jumlahnya
yang telah diberikan kepada pasien perlu dicatat secara lengkap.

4. Data untuk dasar alokasi

Sistem pencatatan yang berjalan di RS bersangkijutan perlu memasukkan jenis data sebagai
berikut:

- distribusi bahan farmasi


- distribusi porsi makanan
- distribusi potong laundry
- distribusi luas lantai
- distribusi jumlah personil

5. Tenaga tehnis

Akhirnya, setiap RS hendaknya memiliki paling tidak satu orang tenaga tehnis yang
memahami tehnik analisis biaya dengan menggunakan metode "double distribution".
Sebaiknya tenaga tersebut adalah salah seorang tenaga dari bagian keuangan dan akuntansi.

PENENTUAN TARIF PELAYANAN RS

Akhir-akhir ini berkembang kebijaksanaan untuk membuat Rumah Sakit lebih mandiri dalam
pembiayaannya. Kemandirian ini terutama diandalkan pada penyesuaian tarif. Ada beberapa
alasan kenapa kebijaksanaan tersebut berkembang.

Alasan pertama berkaitan dengan isyu pemerataan yang adil (equity). Diketahui bahwa
sebagian besar tarif RS Pemerintah di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, jauh
dibawah biaya satuan. Artinya, orang yang menggunakan pelayanan RS menikmati suatu
subsidi yang cukup besar. Kalau ditelaah siapa yang paling banyak memanfaatkan pelayanan

14
Ascobatg/kars/10

RS tersebut, ternyata adalah penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan yang mempunyai
tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Dengan demikian, mungkin masyarakat yang lebih mampu
justru menikmati lebih banyak subsidi yang diberikan melalui RS, khususnya RS milik
Pemerintah. Ada asumsi bahwa sebetulnya tarif yang berlaku sekarang masih dibawah
kemampuan membayar kelompok masyarakat tersebut.

Alasan kedua, sejak krisis ekonomi dunia pada tahun 1983, banyak negara menghadapi
kesulitan untuk mencukupi kebutuhan biaya kesehatannya. Ini merupakan ancaman terhadap
keberhasilan pencapaian "Health for All by the year 2000". Karena strategi pokok dalam
mencapai HFA/2000 adalah Primary Health Care, maka diusahakan agar program-program
PHC tersebut akan selalu didukung oleh biaya yang mencukupi. Hal ini terutama menjadi
masalah besar bagi Pemerintah, yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan-tujuan
pembangunan kesehatan secara nasional. Dalam kenyataan, anggaran kesehatan Pemerintah
yang diserap oleh RS memang cukup besar, berkisar antara 20 - 30%. Oleh sebab itu, banyak
negara kini mengupayakan agar potensi masyarakat dimobilisir dengan cara menyesuaikan
tarif RS. Salah satu indikator upaya ini adalah melihat "cost recovery rate" dalam pembiayaan
RS, yaitu perbandingan antara revenue RS yang diperoleh dari pasien dengan total biaya.
Diharapkan dengan meningkatnya cost recovery tersebut, beban Pemerintah untuk
menanggung biaya RS bisa dikurangi dan dapat dilakukan realokasi anggaran untuk program-
program prioritas, seperti PHC, dll.

Alasan ketiga, dan ini terutama dihadapi oleh RS Swasta, biaya operasional dan investasi RS
senantiasa terus bertambah mahal. RS dituntut untuk menyediakan fasilitas dan keakhlian
yang sesuai dengan pola penyakit yang makin "canggih". Dalam kenyataan memang ada
segmen masyarakat yang mempunyai demand yang lebih tinggi terhadap pelayanan dengan
kualitas tinggi, terlepas dari kemungkinan bahwa demand tersebut sebetulnya adalah
"induced" demand atau tidak. Kenyataan ini menyebabkan RS perlu memperhitungkan
depresiasi investasi yang telah dilakukan serta kemungkinan perlunya melakukan
pengembangan dan peningkatan kualitas dimasa yang akan datang. Penyesuaian tarif adalah
salah satu alternatif menghadapi fenomena tersebut: meningkatnya demand dan perlunya
peningkatan kualitas.

Yang keempat menyangkut isyu efisiensi sosial. Ada beberapa jenis pelayanan kesehatan yang
memberikan manfaat bukan saja kepada individu, akan tetapi juga kepada masyarakat
banyak. Misalnya adalah immunisasi, yang melalui mekanisme "herd immunity" selain
menjaga seorang individu, juga melindungi masyarakat luas. Apabila keuntungan yang
diperoleh masyarakat banyak tersebut lebih besar dari pada keuntungan yang diperoleh
individu, maka dikatakan bahwa pelayanan immunisasi tersebut mempunyai eksternalitas.

Sebaliknya, ada pelayanan kesehatan yang manfaatnya bagi individu lebih besar dibandingkan
dengan manfaat yang diperoleh masyarakat. Ini umumya terdapat pada pelayanan kuratif,
terutama si RS. Pelayanan demikian tidak mempunyai eksternalitas. Kalau tarif untuk
pelayanan jenis ini ditetapkan dibawah nilai biaya marginal (marginal cost), yang terjadi
adalah in-efisiensi secara sosial.

Keempat hal tersebut sering dikemukakan sebagai latar belakang perlunya penyesuaian tarif
RS. Namun ada hal-hal atau prinsip lain yang perlu ditelaah dalam penyesuaian tarif suatu
RS. Hal tersebut akan disampaikan secara ringkas dalam makalah ini.

15
Ascobatg/kars/10

Prinsip-prinsip

1. Tarif dan keseimbangan pasar untuk pelayanan RS

Tarif atau "price" adalah harga dalam nilai uang yang harus dibayar oleh konsumer untuk
memperoleh atau mengkonsumsi suatu komoditi, yaitu barang atau jasa. Dalam suatu
mekanisme pasar yang murni, tinggi rendahnya tarif biasanya ditentukan oleh interaksi antara
supply dan demand.

Pada tingkat harga yang terlalu tinggi, memang menarik produser untuk mensupply barang ke
pasar. Akan tetapi jumlah orang yang mampu dan mau membeli mungkin lebih sedikit dari
pada jumlah barang yang dilempar kepasar. Keadaan ini akan menyebabkan surplus barang
bersangkutan. Karena supplier tidak mau usahanya terhenti dan satu saat akan membutuhkan
uang, maka ia akan menurunkan harga.

Sebaliknya, kalau harga terlalu rendah, memang banyak konsumer yang mampu dan mau
membeli. Akan tetapi sedikit supplier yang mau memproduser barang bersangkutan.
Akibatnya terjadi "shortage". Orang akan mencari barang dipasar gelap, sehingga hargapun
akan cenderung naik.

Kedua contoh ekstrim tersebut menunjukkan bahwa dalam mekanisme pasar, antara supply
dan demand ada kecenderungan untuk mencari keseimbangan. Namun fenomena ini akan
terjadi dalam suatu keadaan tertentu, yaitu asumsi-asumsi tentang mekanisme pasar.

Asumsi pertama adalah bahwa konsumer komoditi yang bersangkutan memiliki informasi
yang jelas tentang variasi harga diberbagai tempat. Juga konsumer mempunyai informasi yang
jelas tentang variasi kualitas komoditi yang ditawarkan. Jelas bahwa asumsi ini sama sekali
tidak tepat untuk komoditi pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan RS. Konsumer, dalam
hal ini pasien, umumnya tidak tahu jenis pelayanan atau pengobatan apa yang akan
diperolehnya. Iapun relaatif tidak mengetahui apakah pelayanan di RS akan lebih mujarab
dibandingkan dengan pelayanan di RS B.

Asumsi kedua, supplier cukup mudah memasuki pasar dan dengan mudah pula sewaktu-
waktu keluar dari kegiatan produksi. Asumsi inipun tidak tepat untuk pelayanan RS.
Pendirian RS biasanya terikat pada berbagai izin. Walaupun suatu badan bisa mendapatkan
izin, tenaga yang dipekerjakan masih harus pula memiliki izin. Dengan perkataan lain, keluar
masuknya investor dalam industri RS tidak seperti keluar masuknya restoran dalam industri
makanan. Dalam kenyataan, begitu suatu RS berdiri, ia akan terus beroperasi dalam waktu
yang lama. Fenomena "surplus" yang bisa mengancam kelangsungan hidup RS tidak terjadi
oleh karena adanya "supply induced demand". Demikian pula, subsidi yang umumnya terjadi
di RS Pemerintah menyebabkan keseimbangan supply dan demand melalui mekanisme harga
mengalami distorsi.

Dengan uraian diatas jelaslah bahwa interaksi supply dan demand dalam pasar pelayanan RS
tidaklah sempurna. Perilaku supplier, dalam hal ini RS tidak ditentukan oleh harga yang
ditetapkan pasar. Sebaliknya, peranan supply cukup dominan menentukan harga. Peranan

16
Ascobatg/kars/10

demand, kalaupun ada, terbatas pada harga pelayanan pengobatan penyakit ringan (misalnya
rawat jalan).

2. Biaya satuan sebagai titik tolak

Penetapan tarif yang rasional mutlak memerlukan informasi tentang biaya satuan. Dalam
kenyataan, tidak mudah menghitung biaya satuan. Antara lain oleh karena produk RS sangat
banyak. Rawat nginap terdiri dari berbagai kelas. Rawat jalan juga banyak jenisnya, yaitu
rawat jalan umum dan berbagai macam rawat jalan spesialis. Demikian juga dengan
pemeriksaan laboratorium, radioterapi, rontgent, tindakan bedah, dll. Kalau seseorang bicara
tentang tarif RS, harus jelas tarif untuk pelayanan jenis apa yang sedang dibicarakan. Apakah
tersedia informasi tentang biaya satuan pelayanan tersebut?

Tanpa melakukan analisa biaya secara komprehensif dan sistematis, sulit mengetahui biaya
satuan untuk masing-masing produk RS. Ini berarti, kegiatan analisa biaya adalah langkah
awal dalam penetapan kebijaksanaan tarif suatu RS.

3. Berbagai kebijakan tarif

Pada tingkat mikro, kebijaksanaan penentuan tarif dapat dijelaskan dengan melihat hubungan
antara biaya total, pendapatan total dan jumlah output (produk). Biaya total (TC) adalah
jumlah biaya tetap (FC) dengan biaya variable (VC). Sedangkan pendapatan total (TR)
adalah jumlah output (Q) dikalikan dengan harga per satu unit. Karena harga per satu unit
adalah tarif (P = price), maka dapat pula dinyatakan bahwa TR = Q x P.

Hal ini dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:

TR = TC

Atau: P x Q = FC + VC

Khusus dalam hal penetapan tarif RS yang sudah berjalan, asumsinya adalah bahwa Q sudah
fixed. RS tidak dapat dengan mudah menentukan berapa jumlah pasien yang harus datang ke
RS tersebut. Selanjutnya, TC adalah variable yang dapat diperkirakan. Dengan demikian,
dalam menelaah berbagai kemungkinan tarif, masalahnya adalah mengkaji hubungan antara
TC dan TR, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

TC >< TR

atau (FC + VC) >< (Q x P)

atau [(UFC x Q) + (UVC x Q)] >< (Q x P)

dimana UFC adalah "Unit FC" dan UVC adalah "Unit VC", yang nilainya diperoleh
dari analisa biaya RS.

17
Ascobatg/kars/10

Dalam persamaan diatas, yang akan ditentukan adalah P. Karena asumsinya Q sudah "given",
maka alternatif tarif tinggal ditentukan oleh variasi TC. Ada dua kemungkinan yang terjadi
dengan TC: mendapat subsidi (total atau partial) dan tidak mendapat subsidi. Berikut ini
diuraikan kemungkinan P dalam dua jenis keadaan tersebut.

a. RS dengan subsidi

Kalau RS mendapat subsidi, maka kurve TC akan bergeser kebawah. Ada tiga kebijaksanaan
tarif dalam keadaan ini: tarif untuk mencapai titik impass (break even), tarif untuk mencapai
"keuntungan" yang sudah ditetapkan (predetermined profit).

a.1. Tarif break even

Tarif break even dalam keadaan disubsidi tergantung pada besarnya subsidi tersebut. Kalau
seluruh TC disubsidi, maka break even sudah dicapai pada P = 0. Dalam kenyataan, subsidi
yang diperoleh biasanya terbatas.

Misalkan semua biaya investasi disubsidi. Keadaan break even dicapai pada:

(UVC x Q) = (Q x P)

atau: P = UVC

UVC dalam hal ini adalah biaya satuan setelah komonen biaya depresiasi investasi dikurangi.
Jadi tarif yang diberlakukan sama dengan biaya satuan yang terdiri dari komponen gaji/upah,
obat, bahan, makanan, pemeliharaan, air/listrik/telepon dan biaya operasional lainnya.

Kemungkinan lain, karena pada dasarnya gaji/upah adalah "semi variable cost", maka P akan
sama dengan UC dikurangi UFC dan juga dikurangi biaya satuan gaji. Oleh karena
penambahan atau pengurangan jumlah pasien dalam skala kecil tidak mempengaruhi besar FC
dan gaji/upah, maka sebetulnya biaya satuan tanpa FC dan gaji/upah adalah sama dengan
biaya marginal (Marginal Cost = MC). Per definisi, MC adalah besarnya biaya tambahan yang
diperlukan untuk menaikkan produksi sebesar 1 (satu) unit. Dengan perkataan lain, dalam
kemungkinan ini P = MC.

Nampaknya kebijakan tarif yang terakhir ini relevan untuk RS Pemerintah yang diharapkan
dapat beroperasi secara mandiri. Dalam kebijaksanaan ini, Pemerintah melalui RS
menjalankan fungsi sosialnya melalui subsidi investasi dan gaji/upah. Perluasan gedung atau
renovasi gedung dan pembelian alat baru atau replacement alat, ditanggung oleh Pemerintah
(subsidi).

a.2. Dengan fixed (predertmined) "profit"

Pemberian subsidi Pemerintah mengandung makna bahwa RS sebetulnya tidak boleh


bertujuan "profit maximization". Sebab untuk mencapai profit maximum, letak Q yang
optimal (Qo) adalah pada titik dimana (TR - TC) = maksimum. Pada gambar diatas, ini

18
Ascobatg/kars/10

berarti Qo berada dibawah Q break even (Qb). Ini mendorong RS untuk berusaha membatasi
pasien.

Namun ada kemungkinan sebuah RS (misalnya milik Pemerintah) memerlukan biaya


tambahan biaya operasional dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan. Misalnya biaya
tambahan tersebut akan dipakai untuk menggaji seorang PR part time, menggaji tenaga
kebersihan taman dan ruang tunggu, tenaga keamanan honorer, dll. Biaya tambahan ini akan
dikeluarkan secara rutin setiap bulan. Misalkan pula bahwa jumlah tambahan tersebut adalah
X, maka:

(UVC x Q) + X = (Q x P)

Persamaan diatas akan menyelesaikan perhitungan nilai P.

b. RS tanpa subsidi

Kalau tanpa subsidi, misalnya pada kasus sebagian besar RS Swasta, maka tarif break even
diselesaikan dengan persamaan;

[FC + (UVC x Q)] = (P x Q).

dimana UVC adalah unit variabel cost unit cost, mencakup semua elemen biaya operasional.

Untuk tarif dengan keuntungan X, maka persamannya adalah;

[FC + (UVC x Q)] + X = (P x Q).

c. Tarif dengan multiple product

Perhitungan diatas disampaikan untuk menerangkan kemungkinan penetapan tarif kalau


hanya ada satu jenis output. Dalam kenyataan, output RS terdiri dari berbagai macam jenis
pelayanan. Untuk multiple product, berbagai macam tarif perlu ditetapkan. Ini dapat
dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:

TC + X = TR

[FC + (UVCn x Qn)] + X = (Pn x Qn)

dimana:

- X adalah profit yang ditargetkan (bisa sama dengan nol),


- UVCn adalah berbagai unit variable cost untuk berbagai jenis pelayanan RS

19
Ascobatg/kars/10

- Qn adalah perkiraan jumlah pasien atau jumlah hari rawat untuk berbagai jenis

pelayanan,
- Pn adalah tarif-tarif berbagai pelayanan yang akan ditetapkan.

Tidak mudah menyelesaikan persamaan diatas. Salah satu cara adalah melakukan semacam
"sensitivity analysis", menggunakan berbagai variasi Pn untuk berbagai jenis pelayanan.
Penetapan nilai Pn haru mempertimbangkan dua hal. Pertama, Pn ditetapkan sama dengan
(UFC + UVC) masing-masing jenis pelayanan. Ini akan memberikan keadaan break even.
Kedua, pelayanan tertentu yang diperkirakan tetap akan di"beli" orang walau tarif dinaikkan,
nilai tarifnya (Pn) ditetapkan lebih tinggi dari pada (UFC + UVC), sedemikian rupa sehingga
nilai X (profit) tercapai dengan kumulasi kenaikan Pn tersebut.

4. Elastisitas Demand dan Kemampuan membayar

Kebijakan tarif yang dijelaskan diatas baru mempertimbangkan sisi produksi. Sisi lain yang
sama pentingnya adalah kemampuan dan kemauan masyakat untuk membayar. Yang ideal
adalah menggunakan koefisien elastisitas demand dalam menetapkan tarif. Koefisien
elastisitas demand menunjukkan perbandingan antara persentase perubahan demand
(penggunaan RS) dengan persentase perubahan harga. Namun informasi ini sangat langka.
Disamping itu, pada umumnya demand terhadap pelayanan RS, terutama untuk pelayanan
emergensi dan rawat nginap, relatif tidak elastis terhadap perubahan harga.

Pendekatan lain adalah dengan mempertimbangkan kemampuan membayar (ability to pay =


ATP). Ini secara kasar dapat dilihat dari tingkat pengeluaran keluarga untuk hal-hal yang
bersifat tidak esensial (non-essential expenditure). Misalnya, dilakukan survey pengeluaran
pasien yang selama ini berobat ke RS, yaitu untuk misalnya rokok, kosmetika, hiburan, pesta
dan pengeluaran yang bersifat tidak esensial lainnya.

Dari survey sejumlah pasien, nilai-nilai "non-essential expenditure” tersebut dapat diplot
sehingga menghasilkan sebuah kurve yang merupakan grafik kemampuan membayar (Ability
to pay atau ATP) sampel pasien tersebut. Gambar tersebut menyajikan frekuensi distribusi
pasien atau rumah tangga menurut besarnya kemampuan membayar yang diasumsikan sama
dengan “nonesential expenditure”. .

Selanjutya, bisa ditarik garis horizontal yang menggambarkan berbagai alternatif tarif yang
akan ditetapkan. Akan nampak bahwa sebagian pasien mempunyai kemampuan dibawah garis
tarif, sebagian diatas garis tarif tersebut. Jumlah uang yang berada diatas garis tarif
dinamakan "consumer surplus", yang menggambarkan "iddle capacity to pay".

Berikut ini disampaikan hasil survey ATP di sebuah RS di Jawa Timur.

20
Ascobatg/kars/10

ATP VIP & Kls-1 RS Probolinggo

300000

250000

200000

ATP2
ATP

150000
ATP3

100000

50000

0
14
2

21

27

33

40

46

52

59

65

71

78

84

90

97
% Rumah Tangga

ATP Kls-2 RS Probolinggo

300000

250000

200000

ATP2
ATP

150000
ATP3

100000

50000

0
13
1

18

24

30

36

42

48

53

59

65

71

77

83

88

94
10
0

% Rumah Tangga

21
Ascobatg/kars/10

ATP Kls-3, RS Probolinggo

300000

250000

200000

ATP2
ATP

150000
ATP3

100000

50000

0
50
1
7
12
18

23
28
34
39
45

55
61
66
72

77
82
88
93
99
% Rumah Tangga

ATP RJ Spesialis RS Probolinggo

100000

90000

80000

70000

60000
ATP2
ATP

50000
ATP3
40000

30000

20000

10000

0
44
49

98
0
6

17
22
27
33
38

54
60
65
71
76
81
87
92
11

% Rum ah Tangga

22
Ascobatg/kars/10

ATP Rj-U, RS Probolinggo

50000

40000

30000
ATP2
ATP

ATP3
20000

10000

0
10

17

86
3

24

31

38

45

52

59

66

72

79

93

100
% Rumah Tangga

Dari grafik-grafik ATP diatas misalnya, jumlah rumah tangga atau individu dibawah garis
tarif Rp 5000 adalah jumlah yang diperkirakan akan mendapat kesulitan membayar tarif
sebesar Rp 5000. Macam-macam kemungkinan yang bisa terjadi. Kalau ada pelayanan
substitusi yang tarifnya terjangkau bagi mereka, tentu mereka akan meningalkan RS
bersangkutan. Kalau tidak, mereka akan tetap mengunakan pelayanan RS dengan "deficit
financing" (pinjam sana-sini), atau melepas barang-barang berharga, atau mengusahakan surat
tidak mampu.

Misalnya, kalau hasil survey menunjukkan jumlah pasien yang berada dibawah tarif sangat
besar, perlu dipertimbangkan untuk tidak menggunakan tarif tersebut, dan menurunkannya.
Sebagai kompensasinya, bisa dilakukan kenaikan tarif untuk pelayanan-pelayanan yang
memiliki "consumer surplus" cukup besar. Dengan cara ini diharapkan akan terjadi subsidi
silang (cross subsidy) antara pasien yang mampu dengan pasien yang kurang mampu.

Mungkin dipersoalkan bahwa survey terbatas pada pasien RS tidak valid mewakili ATP
masyarakat secara umum. Ini memang betul. Tetapi survey pada masyarakat umum biayanya
mahal dan metodologinya (sampling, dll) cukup rumit. Diharapkan survey terbatas pada
pasien bisa memberikan "hint" tentang kasar tentang ATP masyarakat. Salah satu jalan keluar
adalah melakukan ekstrapolasi kalau bisa diperoleh distribusi tingkat pendapatan penduduk
untuk wilayah kerja RS bersangkutan. Ini misalnya bisa diperoleh dari Kantor Statistik
setempat.

KEBIJAKSANAAN PENTARIFAN RS

23
Ascobatg/kars/10

Untuk melengkapi uraian tentang analisis biaya dan penentuan tarif ini, bermanfaat pula
untuk dikemukakan kebijaksanaan pola tarif sektor RS pemerintah. Selama tahun 1990-an
ini, Depkes RI secara sistematis melakukan penyesuaian tarif di beberapa propinsi, yaitu
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Barat dan Jawa
Timur. Penyesuaian (penaikkan) tarif tersebut sekaligus dilakukan juga pada Puskesmas.

Prinsip-prinsip pokok dan metode yang dipergunakan dalam penyesuaian tarif tersebut
persis sama dengan apa yang telah diuraikan dalam makalah ini. Sekarang ini, tarif-tarif
Puskesmas telah dinaikkan dari semula berkisar antaraRp 500 sampai Rp 1000 menjadi
berkisar antara Rp 1500 sampai Rp 2000. Untuk Rumah Sakit, kenaikan tarif bisa
mencapai dua kali lipat. Khusus untuk kelas VIP dan Kelas-I, kenaikkan tersebut bisa
sampai 3 atau 4 kali lipat.

Kenaikan tarif tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa kemampuan membayar


masyarakat, seperti ditunjukkan oleh ATP, suah jauh melampaui pola tarif yang ada
sekarang. Hasil survey biaya dan ATP ternyata meyakinkan fihak DPR dan Pemda
setempat sehingga pola tarif baru bisa didudkung oleh suatu Peraturan Daerah. Untuk
NTB dan Kltim, perubahan tarif tersebut sudah berlansung sejak tahun 1995 dan untuk
Kalbar, Sumbar dan Jatim, perubahan tarif akan dilakukan pada akhir tahun 1997 ini.

Yang penting pula dalam perubahan tarif tersebut adalah kebijakan “revenue retention”,
yaitu membolehkan RS bersangkutan untuk menggunakan sebagian besar pendapatan
sehingga dengan penerimaan tersebut RS bersangkutan dapat melakukan peningkatan
mutu termasuk peningkatan kesejahteraan staff. Tentu saja subsidi silang merupakan
keharusan dalam penerapan kebijakan ini.

Dengan kebijaksan demikian, diharapkan RS milik pemerintah bisa lebih mandiri dalam
pembiayaannya sekaligus lebih mampu menangkap deman masyarakat yang meningkat
dengan pesat akhir-akhir ini.

PENUTUP

Dalam makalah ini telayh disampaikan dua isu pokok dalam pembiayaan RS yaitu
perhitungan biaya dan penentuan tarif. Kedua issu ini sangat penting dalam menyehatkan
pembiayaan sebuah RS, sehingga lebih mampu bersain dalam era liberalisasi industri
pelayanan kesehatan, khususnya industri RS.

“Cost consciousness” dan “rational pricing “ ada kata kunci dalam uraian ini. RS sekarang
ini harus megetahui biaya yang dikeluarkannya dan harus pula mampu menentukan tarif
sesuai dengan biaya kemampuan membayar pangsa pasarnya. Untuk itu, setiap RS perlu
mengembangkan kemampuan dan infrastruktur agar dapat melakukan analisis biayadan
penentuan tarif dengan baik.

REFERENSI

1. Ascobat, G. Improving Quality in Public Sector Hospitals in Indonesia. J. of Health

24
Ascobatg/kars/10

Planning and Management. Vol.11, July-Sept. 1996

2. Newbrander, Barnum and Kutzin. Hospital economics and Financing in Developing


Countries. WHO, Geneva, 1992.

3. Ascobat, G. Hospital Financial Management, Achieving Cost Efficiency. Health Care


Indonesia ‘95. Global executivindo Training, Jakarta, January 1995.

4. Ascobat, G, et al: Analisis Biaya dan Penentuan Tarif Pelayanan Kesehatan di NTB
dan Kaltim. Health Project-III, Biro Perencanaan Depkes RI/Bank Dunia,
Desember 1994.

5. Ascobat, G, et al: Analisis Biaya dan Penentuan Tarif Pelayanan Kesehatan di Kalbar,
Sumbar dan Jatim. Health Project-IV. Biro Perencanaan Depkes RI/Bank
Dunia. July 1997 (forthcoming report)

25

Anda mungkin juga menyukai