Anda di halaman 1dari 42

PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN

BMT CITRA MANDIRI SYARIAH MENURUT PERATURAN MENTERI


KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
NOMOR 16/Per/M.KUKM/IX/2015 TENTANG PELAKSANAAN
KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM DAN PEMBIAYAAN SYARIAH
OLEH KOPERASI

A. Latar Belakang Masalah

Perekonomian masyarakat Indonesia sering mengalami pasang surut

karena perkembangan ekonomi dunia yang tidak menentu. Akan tetapi di

tengah ketidakpastian perkembangan ekonomi itu, usaha-usaha kecil dan

menengah, koperasi, dan usaha-usaha lain yang tidak terlalu tergantung

dengan modal besar justru bertahan dan berkembang.

Salah satu dari usaha sejenis koperasi yang bisa bertahan di tengah

krisis adalah Baitul Mal Wattamwil (BMT). Baitul Mal Wattamwil adalah

lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,

menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka

mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir

miskin, yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang tata

cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan

Hadist (Sudarsono, 2008).

BMT memegang prinsip ekonomi Islam yang mengharamkan unsur-

unsur aktivitas atau transaksi yang mengandung Mysir (judi), Gharar (tidak

jelas), Risywah (suap) dan Riba (bunga) atau yang biasa disingkat

MAGHRIB. Untuk mengawal gerakan KJKS/UJKS/BMT agar berjalan sesuai

syariah, maka pengurus dan pengelola didampingi dewan pengawas syariah

1
2

(Antonio, 2010).

Baitul Mal Wattamwil (BMT) beroperasi mengikuti ketentuan-

ketentuan syari’ah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat

secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktek-praktek yang

dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-

kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Untuk

menjamin operasi bank Islam tidak menyimpang dari tuntunan syari’ah, maka

pada setiap bank Islam hanya diangkat manager dan pimpinan bank yang

sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam.

Definisi yang lain adalah merupakan kependekan dari Baitul Maal wa

Tamwil atau dapat juga ditulis dengan baitul maal wa baitul tamwil. Dalam

kamus kontemporer Arab-Indonesia, baitul maal diartikan sebagai rumah

dana/harta dan baitul tamwil diartikan sebagai rumah usaha atau rumah

pembiayaan (Ali & Muhdlor, 2013).

Baitul maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangan Islam.

Dimana baitul maal dikembangkan untuk mengumpulkan sekaligus

mentasyarufkan dana sosial. Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga

bisnis yang bermotif laba. Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua

istilah, yaitu baitul mal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada

usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat,

infak dan shodaqoh. Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan

dan dan penyaluran dana komersial (Anwari & Djazuli, 2002).


3

BMT singkatan dari Baitul Maal wat Tamwil, namun ada juga yang

menyebutnya sebagai Balai Usaha Mandiri dan Terpadu. Perbedaan

penyebutan ini sebenarnya akan menimbulkan penafsiran yang berbeda

tentang BMT di lapangan. Dari perkataan Baitul Maal wat Tamwil ini, maka

BMT memiliki 2 visi/misi : yaitu visi/misi sosial yang diwujudkan melalui

Baitul Maal, dan visi/misi bisnis yang diwujudkan melalui Baitut Tamwil.

Dengan demikian strategi BMT dalam pemberdayaan ekonomi rakyat ini

adalah dengan memadukan visi/misi sosial dan bisnis (Anwari & Djazuli,

2002).

Dalam segi operasi, BMT tidak lebih dari sebuah koperasi, karena ia

dimiliki oleh masyarakat yang menjadi anggotanya, menghimpun simpanan

anggota dan menyalurkannya kembali kepada anggota melalui produk

pembiayaan/kredit. Oleh karena itu, legalitas BMT pada saat ini yang paling

cocok adalah berbadan hukum koperasi. Baitul Maal-nya sebuah BMT,

berupaya menghimpun dana dari anggota masyarakat yang berupa zakat,

infak, dan shodaqoh (ZIS) dan disalurkan kembali kepada yang berhak

menerimanya, ataupun dipinjamkan kepada anggota yang benar-benar

membutuhkan melalui produk pembiayaan qordhul hasan (pinjaman

kebijakan/bungan nol persen). Sementara Baitut Tamwil, berupaya

menghimpun dana masyarakat yang berupa: simpanan pokok, simpanan

wajib, sukarela dan simpanan berjangka serta penyertaan pihak lain, yang

sifatnya merupakan kewajiban BMT untuk mengembalikannya. Dana ini


4

diputar secara produktif/bisnis kepada para anggota dengan menggunakan

pola syariah (Anwari & Djazuli, 2002).

Dalam pengembangan selanjutnya, BMT mengembangkan “triangle”

yaitu, Baitul Maal, Baitut Tamwil, dan sektor riil BMT. Untuk yang ketiga ini,

BMT mendirikan untuk mengoptimalkan dana masyarakat. Selain dari pada

itu di bank ini di bentuk dewan pengawas syari’ah yang bertugas mengawasi

operasional bank dari sudut syari’ahnya. Baitul Mal berasal dari bahasa Arab

bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis

(ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau

menyimpan harta. Sedangkan Wattamwil secara umum dapat diartikan sebagai

lembaga keuangan syariah yang berkonsentrasi pada kegiatan pemberdayaan

usaha kecil yang berada di bawah payung koperasi (Karim, 2010).

Di dalam sebuah koperasi ada sejumlah unit usaha, antara lain unit

usaha jasa, unit usaha riil, dan unit usaha simpan pinjam. Pada BMT usaha

simpan pinjam (USP) tersebut menekankan pada prinsip bagi hasil, pada saat

ini lebih dikenal dengan adanya pengelolaan dana secara syariah

(mudharabah dan musyarakah) yang bisa diwujudkan dalam bentuk

pembiayaan syariah. Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi),

sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (dalam Yadi Anwari dan H.A.

Djazuli, 2002), Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: al jihat)

yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa

pendapatan maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah,

bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta


5

benda lainnya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum

syara' dan tidak ditentukan individu pemiliknya walaupun telah tertentu pihak

yang berhak menerimanya maka harta tersebut menjadi hak Baitul Mal

Wattamwil, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal

Wattamwil. Secara hukum, harta-harta itu adalah hak Baitul Mal Wattamwil,

baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat Penyimpanan Baitul

Mal Wattamwil maupun yang belum. Demikian pula setiap harta yang wajib

dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya, atau untuk

merealisasikan kepentingan kaum muslimin, atau untuk biaya penyebarluasan

dakwah, adalah harta yang dicatat sebagai pengeluaran Baitul Mal, baik telah

dikeluarkan secara nyata maupun yang masih berada dalam tempat

penyimpanan Baitul Mal Wattamwil. Dengan demikian, Baitul Mal

Wattamwil dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah

lembaga atau pihak (al-jihat) yang menangani harta Negara, baik pendapatan

maupun pengeluaran. Namun demikian, Baitul Mal Wattamwil dapat juga

diartikan secara fisik sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola segala

macam harta yang menjadi pendapatan negara.

Istilah Baitul Mal atau Baitul Mal Wattamwil belakangan ini populer

seiring dengan bangkitnya semangat umat untuk berekonomi secara Islam.

Istilah itu biasanya dipakai oleh sebuah lembaga khusus (dalam perusahaan

atau instansi) yang bertugas menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq,

shadaqah) dari para pegawai atau karyawannya. Kadang dipakai pula untuk

sebuah lembaga ekonomi berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di


6

berbagai lini kegiatan ekonomi umat, yakni dalam kegiatan sosial, keuangan

(simpan-pinjam), dan usaha pada sektor riil.

Sebagai sebuah lembaga keuangan yang profesional, BMT juga harus

memiliki kesehatan keuangan. Guna mengetahui tingkat kesehatan keuangan,

maka pengukuran kinerja keuangan perlu dilakukan pada tiap akhir periode

tertentu. Hal ini merupakan salah satu tindakan penting yang harus dilakukan

oleh Koperasi (BMT) guna mengetahui prestasi dan keuntungan yang

dicapainya melalui indikator-indikator pengukuran tingkat kesehatan

keuangan dengan harapan koperasi beroperasi secara normal dan mampu

memenuhi semua kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Penilaian kesehatan koperasi mencakup permodalan, kualitas aktiva produktif,

manajemen, efisiensi, likuiditas, kemandirian dan kemandirian, jatidiri

koperasi dan prinsip syariah.

Peraturan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan

keuangan BMT adalah Peraturan Menteri Koperasi Negara Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh

Koperasi. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik meneliti

kesehatan keuangan BMT Citra Mandiri Syariah. Hasil penelitian dituangkan

dalam bentuk karya ilmiah skripsi berjudul Penilaian Tingkat Kesehatan

Keuangan BMT Citra Mandiri Syariah Menurut Peraturan Menteri Koperasi

dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang


7

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh

Koperasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai

berikut.

1. Bagaimana kualitas aktiva produktif di BMT Citra Mandiri Syariah tahun

2011-2015?

2. Bagaimana penilaian likuiditas BMT Citra Mandiri Syariah tahun 2011-

2015?

3. Bagaimana tingkat kesehatan keuangan BMT Citra Mandiri Syariah tahun

2011-2015?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui dan menganalisis:

1. Kualitas aktiva produktif di BMT Citra Mandiri Syariah tahun 2011-

2015.

2. Penilaian likuiditas BMT Citra Mandiri Syariah tahun 2011-2015.

3. Tingkat kesehatan keuangan BMT Citra Mandiri Syariah tahun 2011-

2015.

D. Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya kesehatan keuangan BMT Citra Mandiri

Syariah, dapat memberikan manfaat sebagai berikut.


8

1. Bagi obyek penelitian

a. Memberikan suatu bahan evaluasi terhadap kebijaksanaan yang telah

dijalankan oleh manajemen.

b. Dapat memberikan bahan pertimbangan bagi manajemen untuk

menyusun suatu kebijaksanaan yang berkaitan dengan kesehatan

keuangan.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang koperasi

syariah.

3. Bagi Pemerintah

Memberikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan

pengembangan koperasi khususnya pengembangan koperasi syariah.

4. Bagi Penulis

Melalui penelitian ini dapat memberikan semangat untuk menerapkan

dan mengembangkan dunia perkoperasian khususnya koperasi syariah.

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Koperasi

Koperasi sebagai sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal

di Indonesia, bahkan Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik

Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi

adalah Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian,

beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung


9

secara sukarela dan atas dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu

usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.

Istilah koperasi berasal dari kata co dan operation yang berarti pekerjaan

bersama atau bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan tertentu

Kartasapoetra, dkk. (2014).

Undang-undang tentang Koperasi yang terbaru adalah UU No. 17 Th.

2012 tentang Perkoperasian. Namun karena Undang-undang ini mempunyai

jiwa korporasi yang tidak sesuai dengan kegotongroyongan (asas koperasi),

maka UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah

Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 28/PUU-XI/2013. Misalnya, definisi

koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau

sebagai subjek, berakibat pada korporatisasi koperasi dan membuka peluang

modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh

pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi.

Hal itu merupakan bentuk pengrusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para

pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan

dengan UUD 1945 (Sahbani, "UU Perkoperasian Dibatalkan Karena Berjiwa

Korporasi," diakses dari http://www.hukumonline.com pada tanggal 1

Februari 2016). Oleh karena itu, yang dijadikan acuan dalam tulisan ini adalah

Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, yang dimaksud dengan

koperasi adalah:

”Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau


badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
10

prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang


berdasar atas asas kekeluargaan.”

Sedangkan menurut Kartasapoetra, dkk (2014) koperasi adalah:

“Suatu badan hukum yang bergerak dalam bidang perekonomian,


beranggotakan mereka yang bergabung secara sukarela dan atas dasar
persamaan hak, berkewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggota.”

Di lain pihak menurut Chaniago (2013), koperasi adalah:

”Suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-


badan, yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai
anggota; dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan
usaha, untuk mempertinggi kesejateraan jasamniah para
anggotanya.”

Dari pengertian-pengertian koperasi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa koperasi merupakan suatu badan hukum yang bergerak dalam bidang

perekonomian yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi

yang bergabung secara sukarela atas dasar persamaan hak dan azas

kekeluargaan, yang melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan para anggota.

Dari definisi koperasi tersebut terkandung unsur-unsur:

a. Koperasi bukan merupakan perkumpulan modal (akumulasi modal),

melainkan persekutuan sosial.

b. Tujuannya mempertinggi kesejahteraan jasmani anggota–anggota dengan

bekerja sama secara kekeluargaan.

Selain itu diketahui bahwa Koperasi Indonesia merupakan kumpulan

dari orang-orang atau badan hukum koperasi yang secara bersama-sama


11

bergotong royong berdasarkan persamaan hak kerja untuk memajukan

kepentingan perekonomian anggota pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya. Dengan demikian koperasi merupakan alat pendemokrasian

ekonomi yang dijamin kepemilikannya oleh anggota sendiri dan diatur sesuai

dengan kepentingan anggota serta diwujudkan dalam program kerja yang

digariskan berdasarkan berdasarkan musyawarah anggota.

2. Fungsi, Peranan, Tujuan dan Jenis Koperasi

Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan politik

yang cukup kuat karena memiliki dasar yuridis yang kuat, yaitu berpegang

pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa

"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun

usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.

Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering

disebut sebagai perumus pasal tersebut.

Dalam Penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan, bahwa sistem

ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana

produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat

ditafsirkan sebagai koperasi. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi

disebut juga sebagai the third way, atau "jalan ketiga", istilah yang akhir-akhir

ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens, yaitu sebagai "jalan

tengah" antara kapitalisme dan sosialisme.


12

a. Fungsi dan Peranan Koperasi

Menurut UU Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 disebutkan

bahwa fungsi dan peranan Koperasi adalah:

a. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk

meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;

b. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas

kehidupan manusia dan masyarakat;

c. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan

ketahanan perekonomian nasional dengan Koperasi sebagai

sokogurunya;

d. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian

nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Menurut Chaniago (2013) fungsi koperasi dalam tata

perekonomian Indonesia adalah:

a. Alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat.

Koperasi memberikan kemampuan yang lebih besar untuk

mempertinggi golongan ekonomi yang lebih, sehingga dapat mandiri.

Untuk menjamin tercapainya tujuan ini pada masa pertumbuhan

koperasi, perlu adanya pembinaan bimbingan serta fasilitas dari

pemerintah sehingga koperasi benar-benar dapat meningkatkan taraf

hidup masyarakat.
13

b. Alat pendemokrasian ekonomi nasional. Koperasi merupakan salah

satu wadah perhimpunan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah.

Peranan koperasi secara menyeluruh untuk melaksanakan aktivitas

dalam semua lapangan usaha tidak hanya terbatas dalam bidang

konsumsi, tetapi segala bidang, dengan memberi peran serta secara

aktif kepada seluruh anggotanya.

c. Sebagai salah satu urat nadi perekonomian bangsa. Dalam tata

perekonomian bangsa Indonesia koperasi salah satu badan usaha

memegang peranan penting. Sudah ditegaskan dalam UUD 1945 dan

dalam GBHN bahwa: “Wadah utama untuk menyusun perekonomian

dengan gotong royong adalah koperasi. Koperasi perlu dikembangkan

bersama dengan kegiatan ekonomi lainnya untuk melaksanakan

pembangunan.”

d. Alat pembinaan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi

bangsa Indonesia dengan penekankan pada peningkatan tata laksana

perekonomian rakyat. Untuk itu segala hal yang mengatur tentang

ketatalaksanaan koperasi agar sejalan dengan kebijaksanaan untuk

memperkokoh perekonomian bangsa.

Fungsi tersebut akan tercapai apabila koperasi benar-benar

menjalankan pekerjaan usaha berdasarkan azas dan sendi dasarnya. Untuk

meningkatkan taraf hidup anggota dan rakyat umumnya, peranan dan

fungsi koperasi harus disosialisasikan sehingga masyarakat mau

bergabung bersama koperasi.


14

b. Tujuan Koperasi

Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU Perkoperasian, adalah

memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur

berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tujuan koperasi dapat berbeda antara koperasi yang satu dengan

yang lain sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan koperasi. Menurut

Suwandi (2008) apapun tujuan koperasi itu yang pasti mempunyai 5 sifat,

yaitu:

a. Merupakan rumusan arah gerak usaha atau arah yang harus diambil

oleh koperasi.

b. Merupakan pedoman tingkah laku setiap unit usaha yang ada di

koperasi.

c. Sebagai alat untuk menilai, apakah suatu keputusan yang diambil

adalah baik bagi masa depan koperasi atau jalannya usaha.

d. Sebagai pedoman untuk melaksanakan tugas oleh pengurus.

e. Sebagai alat utama dalam melaksanakan kontrol intern usaha koperasi.

Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang

sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah

partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, ini tidak berarti, bahwa

koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Di lain pihak Undang-

undang Koperasi menentukan bahwa secara umum tujuan koperasi adalah


15

meningkatkan taraf hidup dan pendapatan anggota dan masyarakat pada

umumnya. Lebih lanjut dalam Undang-undang Perkoperasian

menyebutkan bahwa koperasi juga didirikan untuk tujuan sebagai berikut:

a. Untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

b. Untuk meningkatkan pendapatan mereka yang berkecimpung

didalamnya.

c. Untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat baik sosial maupun

ekonomi dari usaha koperasi.

d. Untuk memperoleh keringanan dan untuk mendapatkan fasilitas dari

pemerintah.

Pada dasarnya tujuan didirikannya koperasi dapat dilihat dari dua

segi, yaitu yang bersifat material dan tujuan yang bersifat non material.

Tujuan yang bersifat material adalah untuk meningkatkan harga barang

yang dihasilkan oleh anggota sehingga keadaan ekonomi mereka lebih

baik. Sedangkan tujuan non material adalah memberikan kepuasaan,

meningkatkan hasrat manusia, memberikan pelayanan yang baik, dan

menjadikan koperasi sebagai alat melaksanakan kebijaksanaan pemerintah

di bidang ekonomi.

Untuk mencapai tujuan koperasi, maka semua pihak yang terkait

dengan koperasi, baik anggota, pengurus, badan pemeriksa, manager dan

karyawan, harus bersatu dan saling bekerja sama untuk mencapai tujuan

tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan koperasi Indonesia

harus benar-benar merupakan kepentingan bersama dari pada anggotanya


16

dan tujuan itu dicapai berdasarkan karya dan jasa yang disumbangkan

oleh anggota.

c. Jenis Koperasi

Dalam Undang-undang Koperasi dinyatakan bahwa koperasi harus

diberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya dan ditingkatkan

kemampuannya sebagai penunjang di sektor ekonomi riil. Kepada

koperasi harus diberikan peranan dan ruang gerak yang seluas-luasnya

untuk melaksanakan usahanya diberbagai sektor.

Tingkatan koperasi dalam UU Perkoperasian dibagi menjadi dua

tingkatan, yakni Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer

adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang,

dan Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan

beranggotakan Koperasi.

Di Indonesia secara umum terdapat tiga jenis koperasi. Pertama,

adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh

dan pegawai. Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah

kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga, adalah koperasi

kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi

kebutuhan modal. Akan tetapi lama-kelamaan jenis koperasi bertambah

luas sesuai dengan kebutuhan masyarakat seperti koperasi pertanian,

koperasi perikanan, koperasi peternakan, dan sebagainya. Koperasi

menurut lapangan usahanya ini umumnya berusaha dalam bidang usahan


17

tertentu sesuai dengan bidang usaha mayoritas yang dimiliki para

anggotanya. Dengan demikian diharapkan keberadaan koperasi dapat

memberi manfaat yang optimal bagi pengembangan usaha para

anggotanya.

3. Latar Belakang Berdirinya Lembaga Keuangan Syariah

Bentuk pinjam-meminjam dalam Ekonomi Syariah disebut dengan

istilah Qardh yang artinya kepercayaan yang kemudian dikenal menjadi credo

dalam Ekonomi Konvensional dan selanjutnya di Indonesia dikenal dengan

istilah kredit. Qardh (pinjaman) adalah pemberian harta kepada orang lain

yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau

dengan kata lain merupakan transaksi pinjam-meminjam tanpa syarat

tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh

dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong, sehingga

berbeda dengan jual-beli atau bagi hasil yang merupakan transaksi komersial.

Akan tetapi dalam transaksi simpan-pinjam dana secara konvensional, si

pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya

faktor penyeimbang yang diterima si penerima pinjaman kecuali kesempatan

dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman. Hal yang dinilai

tidak adil adalah si penerima pinjaman diwajibkan selalu, tidak boleh tidak,

harus, dan mutlak, serta pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan

tersebut. Padahal kenyataannya uang (dana) tidak akan berkembang dengan

sendirinya, tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.


18

Berdasarkan praktek pinjam meminjam uang yang selalu dikenakan

bunga, maka pada tahun 1968 para pakar syariah Islam mengadakan

musyawarah di Sidoarjo Surabaya yang membahas tentang bunga. Hasil

musyawarah tersebut adalah (Latifah, 2001):

a. Riba hukumnya haram dengan dalil shohih dari Al-Qur’an dan Sunnah

Rasul.

b. Bank dengan sistem riba, hukumnya adalah haram dan Bank tanpa riba

hukumnya adalah halal.

c. Bunga yang diberikan oleh bank konvensional kepada para nasabahnya

atau yang sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara

“muttasyabihat” adalah perkara yang harus dijauhi.

Ternyata dunia Islampun mempersoalkan dengan serius masalah bunga

bank tersebut. Konferensi Islam se-dunia pada tahun 1969 di Kuala lumpur

Malaysia antara lain memutuskan bahwa riba itu sedikit banyak hukumnya

tetap haram. Sebagai konsekuensi dari pendirian tersebut konferensi Islam se-

dunia tahun 1970 dicarilah bentuk lembaga keuangan yang sesuai dengan

petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, lahirlah Islamic Development Bank

(IDB) pada tanggal 18 Desember 1973. Menteri-menteri keuangan negara

anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) termasuk Insonesia merumuskan

Articles Agreement atau perjanjian tentang berdirinya IDB tersebut yang

sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dari musyawarah inilah dihasilkan lima

konsep dasar aqad. Kelima konsep dasar aqad (ikatan dalam bermuamalat)

tersebut adalah (Latifah, 2001):


19

1. Konsep dasar aqad Tijaroh atau pertukaran (perniagaan/jual beli).

2. Konsep dasar aqad Wadiah atau titipan.

3. Konsep dasar aqad Syirkah atau berserikat.

4. Konsep dasar aqad Kafalah atau memberi kepercayaan/jaminan.

5. Konsep dasar aqad Wakalah atau memberi kuasa/mewakilkan.

Disamping itu ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup

serba berkecukupan muncul kekhawatiran akan timbulnya pengikisan aqidah.

Pengikisan aqidah ini bukan hanya dipengaruhi dari aspek syiar Islam tetapi

juga dipengaruhi oleh lemahnya ekonomi masyarakat. Sebagaimana

diriwayatkan dari Rasulullah saw, ”kefakiran itu mendekati kekufuran” maka

keberadaan BMT diharapkan mampu mengatasi masalah ini lewat pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat (Heri, 2004).

4. Pembentukan Koperasi Syariah sebagai Pelaksanaan Ekonomi Syariah

Pembentukan Koperasi Syariah merupakan salah satu cara peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan prinsip ekonomi syariah

(Gamal, 2004). Seabgaimana diketahui bahwa prinsip Koperasi menurut UU

Koperasi adalah:

a. Kenggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;

c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan

besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;


20

e. Kemandirian.

Memperhatikan prinsip Koperasi di atas, maka konsep-konsep

Koperasi tersebut tidak jauh berbeda dengan tujuan yang ada pada Sistem

Ekonomi Syariah. Namun dalam Islam, keadilan yang dimaksud bukanlah

pemerataan secara mutlak, tetapi adalah keseimbangan antara individu dengan

masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Qardhawi,

2007). Hal tersebut mengandung implikasi bahwa pembagian laba atau sisa

hasil usaha harus merefleksikan kontribusi yang diberikan kepada Koperasi

oleh anggota bukan hanya sekedar modal (financial) tetapi juga berupa modal

keahlian, waktu, kemampuan manajemen, good will, dan kontrak usaha.

Kerugian usaha juga harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan

tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut.

Menurut Chapra (2008), koperasi syariah merupakan bentuk organisasi

bisnis berorientasi kepada pelayanan yang dapat memberikan sumbangan yang

kaya kepada realisasi sasaran-sasaran perekonomian Islam. Dengan penekanan

Islam pada persaudaraan, maka koperasi dalam berbagai bentuknya dalam

memecahkan persoalan yang saling menguntungkan antara berbagai pihak.

Koperasi dapat menyumbangkan sejumlah pelayanan kepada para

anggota, termasuk penyediaan keuangan berjangka pendek bila diperlukan

melalui dana mutual, ekonomi penjualan dan pembelian dalam jumlah besar,

pemeliharaan fasilitas, pelayanan bimbingan, bantuan atau pelatihan untuk

memecahkan persoalan-persoalan manajemen dan teknik, termasuk juga

asuransi. Sesungguhnya, sulit melihat bagaimana suatu masyarakat Islam


21

modern dapat secara efektif merealisasikan tujuan-tujuannya tanpa suatu peran

yang dimainkan oleh Koperasi.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada halangan untuk mendirikan

sebuah badan usaha berbentuk Koperasi yang bertujuan menyejahterakan

anggotanya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang tidak bertentangan

dengan syariah, karena Sistem Ekonomi Syariah sudah sedemikian lengkap

mengatur permasalahan ekonomi beserta tata cara transaksi yang tersedia

dalam berbagai macam jenis dan jauh lebih lengkap dibandingkan dengan

Sistem Ekonomi Konvensional yang dikenal saat ini. Satu hal lagi yang perlu

diingat, bahwa Sistem Ekonomi Syariah sudah ada terlebih dahulu daripada

sistem Konvensional yang dikenal saat ini, sehingga adanya sebagian

pendapat bahwa Ekonomi Syariah adalah Ekonomi Konvensional yang diberi

kerudung dapat dipertanyakan kembali apakah bukan Sistem Ekonomi

Konvensional (Sekuler) yang dikenal saat ini merupakan Sistem Ekonomi

Syariah yang sudah tidak memakai (menanggalkan) kerudungnya.

Menurut Chapra (2008), koperasi syariah merupakan bentuk organisasi

bisnis berorientasi kepada pelayanan yang dapat memberikan sumbangan yang

kaya kepada realisasi sasaran-sasaran suatu perekonomian Islam. Dengan

penekanan Islam pada persaudaraan, maka koperasi dalam berbagai bentuknya

berusaha memecahkan persoalan dengan sistem yang saling menguntungkan

bagi semua pihak. Koperasi syariah dapat menyumbangkan sejumlah

pelayanan kepada para anggota, termasuk penyediaan keuangan berjangka

pendek bila diperlukan melalui dana mutual, ekonomi penjualan dan


22

pembelian dalam jumlah besar, pemeliharaan fasilitas, pelayanan bimbingan,

bantuan atau pelatihan untuk memecahkan persoalan-persoalan manajemen

dan teknik, dan asuransi mutual.

Koperasi syariah didirikan untuk mempromosikan dan

mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya ke

dalam sistem perekonomian. Menurut Fahmi (2013) prinsip utama yang

diikuti oleh ekonomi Islami adalah:

1. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.

2. Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan

keuntungan yang sah.

3. Memberikan zakat.

Mengenai ciri koperasi syariah yang tidak memperbolehkan laba, hal

ini didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut ajaran Islam bunga

adalah riba, sedangkan riba dalam Islam adalah haram (Kasmir, 2010). Oleh

karena itu, dalam operasinya koperasi syariah menerapkan sistem bagi hasil

dan melarang sistem bunga dalam berbagai transaksi, karena dalam Syariat

Islam bunga adalah riba, dan riba adalah haram hukumnya. Larangan supaya

umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat

dalam Al Quran dan Al Hadits, antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Ali Imron: 130)
23

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan


tinggalkanlah sisa dari riba itu jika memang kamu orang-orang yang
beriman”. (QS. Al Baqarah: 278)

“Jabir berkata bahwa Rasulullah saw, mengutuk orang yang menerima


riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya
sama’”. (HR Muslim)

Bagi koperasi yang berdasarkan prinsip syariah dalam pelaksanaan

kegiatan pinjam meminjam uang sangat berbeda dengan koperasi berdasarkan

prinsip konvensional. Pada koperasi berdasarkan prinsip syariah kegiatan

pinjam meminjam uang dilakukan berdasarkan perjanjian menurut hukum

Islam antara koperasi dengan pihak anggota untuk menyimpan dana atau

pembiayaan usaha atau kegiatan koperasi lainnya.

Secara umum antara koperasi dengan dasar syariah dengan yang

menggunakan sistem konvensional terdapat perbedaan yang cukup mencolok.

Perbedaan tersebut khususnya jika dilihat dari sumber pendapatan koperasi.

Pada koperasi dengan sistem konvensional, pendapatan koperasi berasal dari

bunga yang dibayar anggota peminjam. Di lain pihak pada koperasi dengan

prinsip syariah bunga sama sekali tidak diperbolehkan dan pendapatan

koperasi bersumber dari bagi hasil antara koperasi dengan anggota peminjam.

Lebih detail mengenai perbedaan sumber pendapatan koperasi sistem

konvensional dan koperasi berdasar syariah dapat dilihat dalam tabel berikut.
24

Tabel 1.1
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

BUNGA BAGI HASIL


a Penentuan bunga dibuat pada a Penentuan besarnya rasio/nisbah
waktu akad dengan asumsi bagi hasil dibuat pada waktu
harus selalu untung akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi
b Besarnya persentase b Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah uang berdasarkan pada jumlah
(modal) yang dipinjamkan. keuntungan yang diperoleh
c Pembayaran bunga tetap seperti c Bagi hasil tergantung pada
yang dijanjikan tanpa keuntungan proyek yang
pertimbangan apakah proyek dijalankan. Bila usaha merugi,
yang dijalankan oleh pihak kerugian akan ditanggung
nasabah untung atau rugi bersama oleh kedua belah pihak.
d Jumlah pembayaran bunga d Jumlah pembagian laba
tidak meningkat sekalipun meningkat sesuai dengan
jumlah keuntungan berlipat peningkatan jumlah pendapatan
atau keadaan ekonomi sedang
“booming”
e Eksistensi bunga diragukan e Tidak ada yang meragukan
(kalau tidak dikecam) oleh keabsahan bagi hasil.
semua agama, termasuk Islam
Sumber: Muhammad Syafii Antonio (2010), Bank Syariah: dari Teori ke
Praktek.

5. Perbedaan Koperasi Syariah dan Koperasi Konvensional

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam

mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang

membungakan uang. Penyimpanan uang di koperasi syariah termasuk kategori

kegiatan investasi, karena perolehan kembaliannya dari waktu ke waktu tidak

pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada

hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan koperasi sebagai mudharib

atau pengelola dana.


25

Adapun perbedaan prinsip manajemen antara koperasi syariah dan

koperasi konvensional dalam mengharmonisasikan kepentingan penyandang

dana, pemegang saham, dan pemakai dana adalah sebagai berikut:

a. Pada koperasi konvensional, pelaksanaan pinjam meminjam uang

dilakukan dengan sistem bunga.

b. Pada koperasi syariah, pelaksanaan pinjam meminjam uang dilakukan

dengan sistem bagi hasil (Atmadja dan Antonio, 1992).

Apa yang dikemukakan di atas juga dapat ditemukan dalam buku Antonio

(2010) yang berjudul Bank Syariah, dari Teori ke Praktek yang membahas

mengenai perbedaan bank syariah dan bank konvensional. Namun demikian

ternyata perbeadaan itu juga cocok diterapkan pada koperasi, sehingga dengan

menyesuaikan dengan pendapat Antonio (2010) tersebut, didapatkan

perbedaan koperasi syariah dan koperasi konvensional sebagai berikut:

Tabel 1.2
Perbedaan antara Koperasi Syariah dan Koperasi Konvensional

KOPERASI SYARIAH KOPERASI KONVENSIONAL


Berdasarkan prinsip Investasi bagi Berdasarkan tujuan membungakan
hasil uang
Menggunakan prinsip jual beli Menggunakan prinsip pinjam
meminjam uang
Hubungan dengan anggota dalam Hubungan dengan anggota dalam
bentuk hubungan kemitraan bentuk hubungan kreditur-debitur
Melakukan investasi yang halal saja Investasi yang halal maupun yang
haram
Setiap produk dan jasa yang diberikan Tidak mengenal dewan sejenis itu
sesuai dengan fatwa dewan syariah
Tidak memberikan dana tunai tetapi Memberikan peluang yang sangat
memberikan dana yang dibutuhkan besar untuk penyalahgunaan
pinjaman
Bagi hasil menyeimbangkan sisi Rentan terhadap negative spread
pasiva dan sisi aktiva
26

6. BMT sebagai Bentuk Koperasi Syariah

Istilah bank tidak dikenal dalam literatur Islam. Suatu lembaga yang

mengerahkan dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kembali

kepada masyarakat dalam literatur Islam dikenal sebagai Baitul Tamwil atau

Baitul Maal.

BMT inilah yang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang

merupakan bentuk dari koperasi syariah. Baitul Maal wat Tamwil (BMT)

merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil bawah

(golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan sistem ekonomi Syariah

Islam. Badan Hukum dari BMT dapat berupa Koperasi jika telah mempunyai

kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara administrasi untuk

menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan koperasi dan baik

(thayyibah) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan para pengurus yang

telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan hukum

koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya

Masyarakat) yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi.

Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha

ekonomi bagi kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi

BMT berada pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya,

dalam rangka meningkatkan ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan

ekonomi kerakyatan, maka sudah seharusnya memanfaatkan dan

memberdayakan Koperasi dan BMT sebagai lembaga yang menghimpun

masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam


27

lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga

pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga

Perbankan Syariah, yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam

sebuah bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan

pengembangan perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama

pendanaan dan pembiayaan.

Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, maka

diharapkan dapat mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama

ekonomi kerakyatan, yang akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan

konsep perbankan murni, dan di sisi lain kemitraan ini juga akan

meningkatkan kemampuan Koperasi dan BMT sebagai lembaga keuangan

alternatif yang akhirnya program Ekonomi Kerakyatan yang didengung-

dengungkan selama ini dalam mencapai visi mencapai kesejahteraan lahir dan

bathin, akan dapat terwujud.

Namun sebelum mewujudkan visi masyarakat sejahtera lahir dan

bathin, harus dipahami bahwa makna kesejahteraan yang ingin dicapai bukan

hanya dari sisi materi semata, tetapi lebih dari itu yakni mempunyai hubungan

yang erat dengan aspek ruhaniah yang juga mencakup permasalahan

persaudaraan manusia dan keadilan sosial ekonomi, kesucian kehidupan,

kehormatan individu, kebersihan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta

keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga mendiskusikan

konsep kesejahteraan tersebut tidak terbatas pada variabel-variabel ekonomi

semata, melainkan juga menyangkut moral, adat, agama, psikologi, sosial,


28

politik, demografi, dan sejarah.

Ada tiga jenis aktivitas yang dijalankan BMT yaitu jasa keuangan, jasa

sosial atau pengelolaan zakat, infak, shodaqoh (ZIS) dan sektor riil.

Mengingat masing-masing mempunyai kekhasannya sendiri setiap aktivitas

merupakan suatu entitas (badan) yang terpisah, artinya pengelolaan dana ZIS,

jasa keuangan dan sektor riil tidak bercampur satu sama lain. Selain itu yang

mendasar adalah bahwa seluruh aktivitas BMT harus dijalankan berdasarkan

prinsip muamalah (ekonomi) dalam Islam.

a. Jasa Keuangan

Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT berupa

penghimpunan dana dan menyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan

dari dan untuk anggota atau non anggota. Kegiatan ini dapat disamakan

secara operasional dengan kegiatan simpan pinjam dalam koperasi atau

kegiatan perbankan secara umum. Namun demikian, karena merupakan

lembaga keuangan Islam, BMT dapat disamakan dengan sistem perbankan

/lembaga keuangan yang mendasarkan kegiatan dengan syariat Islam. Hal

ini juga terlihat dari produk-produk jasanya yang kurang lebih sama

dengan yang ada dalam perbankan Islam.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan koperasi, untuk jenis

kegiatan simpan pinjam aktivitasnya tidak boleh bercampur dengan

aktifitas lain yang dilakukan oleh koperasi. Artinya, koperasi harus

merupakan entitas tersendiri dan khusus untuk aktivitas simpan pinjam

harus disediakan modal sendiri yang dipisahkan, jumlahnya sudah


29

ditentukan dan tidak boleh berkurang.

b. Sektor riil

Pada dasarnya, kegiatan sektor riil juga merupakan bentuk

penyaluran dana BMT. Namun berbeda dengan kegiatan sektor jasa

keuangan yang penyalurannya berjangka waktu tertentu, penyaluran dana

pada sektor riil bersifat permanen atau jangka panjang dan terdapat unsur

kepemilikan didalamnya. Penyaluran dana ini selanjutnya disebut investasi

atau penyertaan. Investasi yang dilakukan BMT dapat dengan mendirikan

usaha baru atau dengan masuk ke usaha yang sudah ada dengan cara

membeli saham.

c. Jasa Sosial

Kegiatan pada sektor ini adalah pengelolaan zakat, infak dan

shodaqoh baik yang berasal dari Dompet Dhuafa maupun yang berhasil

dihimpun sendiri oleh BMT. Sektor ini merupakan salah satu kekuatan

BMT karena juga berperan dalam pembinaan agama bagi para nasabah

sektor jasa keuangan BMT. Dengan demikian pemberdayaan yang

dilakukan BMT tidak terbatas pada sisi ekonomi, tetapi juga dalam hal

agama. Diharapkan pula para nasabah BMT tersebut akan turut

memperkuat sektor sosial BMT dengan menyalurkan ZIS-nya kepada

BMT.

7. Penilaian Tingkat Kesehatan Koperasi

Sebagaimana layaknya manusia, dimana kesehatan merupakan hal


30

yang sangat penting didalam kehidupannya, maka di dalam koperasi pun

kesehatan keuangan sangat penting. Tubuh yang sehat akan meningkatkan

kemampuan kerja dan kemampuan lainnya. Begitu pula dengan koperasi harus

selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam melayani para anggotanya.

Kesehatan keuangan koperasi diukur secara kuantitatif melalui

berbagai ukuran kinerja perusahaan melalui berbagai alat analisis laporan

keuangan seperti ratio likuiditas, solvabilitas, profitabilitas dan aktivitas.

Kinerja keuangan koperasi juga diadopsi dari ratio-ratio tersebut yang

disesuaikan dengan kondisi Koperasi seperti tertuang dalam peraturan Menteri

Koperasi Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah nomor

16/Per/M.KUKM/IX/2015. Hasil ratio tersebut masing-masing diberi skor dan

bobot yang telah ditentukan, selanjutnya dapat ditentukan tingkat kesehatan

Koperasi yang meliputi aspek:

Tabel 1.3
Penilaian Tingkat Kesehatan Koperasi

Skor Predikat
3,50 – 4,00 Sehat
2,50 – 3,49 Cukup Sehat
1,50 – 2,49 Kurang Sehat
< 1,50 Tidak Sehat

Adapun cara dalam penilaian untuk memperoleh angka skor dari aspek

yang dinilai adalah sebagai berikut:

a. Penilaian Permodalan

Penilaian permodalan adalah jumlah modal tertentu secara aman

dan seimbang yang harus dimiliki oleh koperasi dibandingkan dengan


31

dana yang harus siap untuk dikeluarkan apabila ada penarikan dana secara

tiba-tiba.

Adapun pengukuran rasio permodalan menggunakan rumus

(Kasmir, 2010):

Modal Sendiri
Permodalan = x 100%
Total Modal

Setelah dilakukan penghitungan rasio permodalan, kemudian

dilanjutkan dengan pemberian skor berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

a. Jika rasio < 5% diberi nilai 1

b. Jika rasio 6% - 15% diberi nilai 2

c. Jika rasio 16% - 25% diberi nilai 3

d. Jika rasio > 25% diberi nilai 4

e. Nilai dikalikan bobot sebesar 20% diperoleh skor.

b. Penilaian Kualitas Aktiva Produktif

Penilaian kualitas aktiva produktif adalah kualitas kekayaan

koperasi yang menghasilkan pendapatan/bagi hasil dihubungkan dengan

pembiayaan bermasalah. Adapun pengukuran rasio kualitas aktiva

produktif menggunakan dua rumus yaitu:

1) Rasio Aktiva Risiko Pinjaman

Jumlah Pinjaman Bermasalah


= x 100%
Jumlah Piutang dan Pembiayaan

Setelah dilakukan penghitungan rasio aktiva risiko pinjaman,

maka dilakukan pemberian skor rasio aktiva risiko pinjaman dengan


32

ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 10% diberi nilai 1

b) Jika rasio 6% - 10% diberi nilai 2

c) Jika rasio 3% - 5% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 3% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 25% diperoleh skor.

2) Rasio Cadangan Kerugian

Cadangan Risiko
= x 100%
Risiko Pinjaman Bermasalah

Pemberian skor rasio cadangan kerugian ditetapkan

berdasarkan ketentuan berikut.

a) Jika rasio 0% - 25% diberi nilai 1

b) Jika rasio 26% - 50% diberi nilai 2

c) Jika rasio 51% - 75% diberi nilai 3

d) Jika rasio 76% - 100% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 5% diperoleh skor.

c. Penilaian Likuiditas

Penilaian likuiditas menunjukkan kemampuan koperasi untuk

memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau

kemampuan koperasi untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat

ditagih. Adapun pengukuran rasio likuiditas diperoleh dari rumus:

Total Pembiayaan
Likuiditas = x 100%
Dana yang Diterima
33

Pemberian skor rasio likuiditas ditetapkan berdasarkan ketentuan

sebagai berikut.

a) Jika rasio < 71% dan > 94% diberi nilai 1

b) Jika rasio 71% - 74% dan 91% - 94% diberi nilai 2

c) Jika rasio 75% - 80% dan 86% - 90% diberi nilai 3

d) Jika rasio 81% - 85% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 20% diperoleh skor.

d. Penilaian Efisiensi

Penilaian efisiensi adalah kemampuan koperasi dalam

mengendalikan pengeluaran biaya operasional sehingga semakin kecil

pengeluaran dana operasional terhadap pendapatan operasional dan

semakin tinggi nilai inventaris terhadap besarnya jumlah modal, maka

semakin baiklah koperasi. Cara perhitungan efisiensi ada dua cara, yaitu:

Biaya Operasional
1) Efisiensi 1 = x 100%
Jumlah Pendapatan Operasional

Setelah itu dilakukan penghitungan skor efisiensi berdasarkan

ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 90% diberi nilai 1

b) Jika rasio 76% - 90% diberi nilai 2

c) Jika rasio 60% - 75% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 60% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 5% diperoleh skor.


34

Inventaris
2) Efisiensi 2 = x 100%
Total Modal

Setelah itu dilakukan penghitungan skor efisiensi berdasarkan

ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 50% diberi nilai 1

b) Jika rasio 41% - 50% diberi nilai 2

c) Jika rasio 31% - 40% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 30% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 5% diperoleh skor.

e. Penilaian Rentabilitas

Penilaian rentabilitas adalah kemampuan koperasi dalam

menghasilkan keuntungan/pendapatan. Rumus rasio rentabilitas ada dua,

yaitu:

Laba
1) Rentabilitas 1 = x 100%
Total Asset

Setelah itu dilakukan penghitungan skor rentabilitas

berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 3% diberi nilai 4

b) Jika rasio 2% - 3% diberi nilai 3

c) Jika rasio 1% -1,9% diberi nilai 2

d) Jika rasio < 1% diberi nilai 1

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 13% diperoleh skor.


35

Laba
2) Rentabilitas 2 = x 100%
Total Modal

Setelah itu dilakukan penghitungan skor rentabilitas

berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio < 5% diberi nilai 1

b) Jika rasio 5% - 15% diberi nilai 2

c) Jika rasio 16% -25% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 25% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 7% diperoleh skor.

F. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah pada BMT Citra Mandiri Syariah.

2. Data yang diperlukan

1. Data umum

a. Sejarah perkembangan koperasi syariah yaitu BMT Citra Mandiri

Syariah.

b. Struktur organisasi BMT Citra Mandiri Syariah.

2. Data Khusus

a. Laporan Neraca dan Laporan Laba Rugi tahun 2011-2015.

b. Bidang usaha yang dijalankan selama tahun 2011-2015.


36

3. Jenis Data

1. Data primer yaitu, data yang diperoleh langsung dari penelitian di

lapangan, yang dilakukan dengan melakukan wawancara kepada

karyawan BMT Citra Mandiri Syariah.

2. Data sekunder, yaitu data yang diambil dari data yang telah

dikumpulkan oleh pihak lain sebelumnya, yang berupa buku-buku

dan brosur-brosur.

4. Metode Pengumpulan Data

1. Teknik wawancara (interview), yaitu metode pengambilan

data dengan wawancara langsung dengan para pengurus BMT Citra

Mandiri Syariah guna memperoleh data yang diperlukan.

2. Observasi, yaitu metode pengambilan data dengan cara

mengadakan pengamatan langsung terhadap kinerja keuangan

koperasi.

3. Studi pustaka, yaitu metode penelitian yang mencari

bahan-bahan dari buku-buku, majalah-majalah, makalah dan catatan-

catatan kuliah yang bersangkutan dengan finansial koperasi.

5. Metode Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan kemudian dipergunakan sebagai alat

bantu di dalam memecahkan pokok permasalahan yang dijumpai. Ada


37

beberapa cara yang dipergunakan untuk menganalisis secara kualitatif,

sementara data-data berupa angka dilakukan analisis kuantitatif.

Menurut Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan

Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi,

maka diketahui cara penilaian tingkat kesehatan keuangan koperasi adalah

sebagai berikut.

a. Penilaian Permodalan

Penilaian permodalan adalah jumlah modal tertentu secara aman

dan seimbang yang harus dimiliki oleh koperasi dibandingkan dengan

dana yang harus siap untuk dikeluarkan apabila ada penarikan dana secara

tiba-tiba.

Adapun pengukuran rasio permodalan menggunakan rumus

(Kasmir, 2010):

Modal Sendiri
Permodalan = x 100%
Total Aktiva

Setelah dilakukan penghitungan rasio permodalan, kemudian

dilanjutkan dengan pemberian skor berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

a. Jika rasio < 5% diberi nilai 1

b. Jika rasio 6% - 15% diberi nilai 2

c. Jika rasio 16% - 25% diberi nilai 3

d. Jika rasio > 25% diberi nilai 4

e. Nilai dikalikan bobot sebesar 20% diperoleh skor.


38

b. Penilaian Kualitas Aktiva Produktif

Penilaian kualitas aktiva produktif adalah kualitas kekayaan

koperasi yang menghasilkan pendapatan/bagi hasil dihubungkan dengan

pembiayaan bermasalah. Adapun pengukuran rasio kualitas aktiva

produktif menggunakan dua rumus yaitu:

1) Rasio Aktiva Risiko Pinjaman

Risiko Pinjaman Bermasalah


= x 100%
Volume Pinjaman yang Diberikan

Setelah dilakukan penghitungan rasio aktiva risiko pinjaman,

maka dilakukan pemberian skor rasio aktiva risiko pinjaman dengan

ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 10% diberi nilai 1

b) Jika rasio 6% - 10% diberi nilai 2

c) Jika rasio 3% - 5% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 3% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 25% diperoleh skor.

2) Rasio Cadangan Kerugian

Cadangan Risiko
= x 100%
Risiko Pinjaman Bermasalah

Pemberian skor rasio cadangan kerugian ditetapkan

berdasarkan ketentuan berikut.

a) Jika rasio 0% - 25% diberi nilai 1

b) Jika rasio 26% - 50% diberi nilai 2


39

c) Jika rasio 51% - 75% diberi nilai 3

d) Jika rasio 76% - 100% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 5% diperoleh skor.

c. Penilaian Likuiditas

Penilaian likuiditas menunjukkan kemampuan koperasi untuk

memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau

kemampuan koperasi untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat

ditagih. Adapun pengukuran rasio likuiditas diperoleh dari rumus:

Total Pembiayaan
Likuiditas = x 100%
Dana yang Diterima

Pemberian skor rasio likuiditas ditetapkan berdasarkan ketentuan

sebagai berikut.

a) Jika rasio < 71% dan > 94% diberi nilai 1

b) Jika rasio 71% - 74% dan 91% - 94% diberi nilai 2

c) Jika rasio 75% - 80% dan 86% - 90% diberi nilai 3

d) Jika rasio 81% - 85% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 20% diperoleh skor.

d. Penilaian Efisiensi

Penilaian efisiensi adalah kemampuan koperasi dalam

mengendalikan pengeluaran biaya operasional sehingga semakin kecil

pengeluaran dana operasional terhadap pendapatan operasional dan

semakin tinggi nilai inventaris terhadap besarnya jumlah modal, maka

semakin baiklah koperasi. Cara perhitungan efisiensi ada dua cara, yaitu:
40

Biaya Operasional
1) Efisiensi 1 = x 100%
Jumlah Pendapatan Operacional

Setelah itu dilakukan penghitungan skor efisiensi berdasarkan

ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 90% diberi nilai 1

b) Jika rasio 76% - 90% diberi nilai 2

c) Jika rasio 60% - 75% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 60% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 5% diperoleh skor.

Inventaris

2) Efisiensi 2 = x 100%
Total Modal

Setelah itu dilakukan penghitungan skor efisiensi berdasarkan

ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 50% diberi nilai 1

b) Jika rasio 41% - 50% diberi nilai 2

c) Jika rasio 31% - 40% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 30% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 5% diperoleh skor.

e. Penilaian Rentabilitas

Penilaian rentabilitas adalah kemampuan koperasi dalam

menghasilkan keuntungan/pendapatan. Rumus rasio rentabilitas ada dua,

yaitu:

Laba
41

1) Rentabilitas 1 = x 100%
Total Asset

Setelah itu dilakukan penghitungan skor rentabilitas

berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio > 3% diberi nilai 4

b) Jika rasio 2% - 3% diberi nilai 3

c) Jika rasio 1% -1,9% diberi nilai 2

d) Jika rasio < 1% diberi nilai 1

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 13% diperoleh skor.

Laba
2) Rentabilitas 2 = x 100%
Total Modal

Setelah itu dilakukan penghitungan skor rentabilitas

berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

a) Jika rasio < 5% diberi nilai 1

b) Jika rasio 5% - 15% diberi nilai 2

c) Jika rasio 16% -25% diberi nilai 3

d) Jika rasio < 25% diberi nilai 4

e) Nilai dikalikan bobot sebesar 7% diperoleh skor.

Atas dasar hasil perhitungan terhadap penilaian lima aspek

kesehatan keuangan yang dikemukakan di atas, diperoleh skor secara

keseluruhan. Skor inilah yang akan digunakan untuk menentukan tingakat

kesehatan keuangan koperasi. Dalam hal ini ada 4 tingkatan kesehatan

keuangan koperasi, yaitu Sehat, Cukup Sehat, Kurang Sehat dan Tidak
42

Sehat. Adapun kriteria penilaian masing-masing tingkatan adalah sebagai

berikut:

Tabel 1.4
Penilaian Tingkat Kesehatan Koperasi

Skor Predikat
3,50 – 4,00 Sehat
2,50 – 3,49 Cukup Sehat
1,50 – 2,49 Kurang Sehat
< 1,50 Tidak Sehat

Anda mungkin juga menyukai