Anda di halaman 1dari 50

DIKLAT LATIHAN DASAR

(LATSAR)
GOLONGAN III

MODUL 3

PELANGGARAN HAM

Penulis
Muh. Khamdan
Naniek Pangestuti

Pusat Pengembangan Diklat Teknis dan Kepemimpinan


Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM
2017

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. ................................................................................................. 1


A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Deskripsi Singkat ............................................................................................................ 2
C. Manfaat .......................................................................................................................... 3
D. Tujuan Pembelajaran ...................................................................................................... 3
E. Materi Pokok................................................................................................................... 3
F. Petunjuk belajar .............................................................................................................. 4

BAB II KONSEP DASAR PELANGGARAN HAM ..................................................... 5


A. Pengertian Pelanggaran HAM ........................................................................................ 5
B. Pelaku Pelanggaran HAM .............................................................................................. 6
C. Kategori Pelanggaran HAM ........................................................................................... 9
D. Latihan ............................................................................................................................ 10
E. Rangkuman .................................................................................................................... 11

BAB III PELANGGARAN HAM BERAT ..................................................................... 12


A. Konsep dan Pelanggaran HAM Berat ............................................................................. 12
B. Instrumen Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat ................................ 14
C. Pengaturan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia ......................................................... 19
D. Latihan ............................................................................................................................ 22
E. Rangkuman ..................................................................................................................... 22

BAB IV MEKANISME PENANGANAN PELANGGARAN HAM ............................ 23


A. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia .............................................. 23
B. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM Regional ................................................... 30
C. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM Internasional ............................................ 33
D. Latihan ............................................................................................................................ 44
E. Rangkuman ..................................................................................................................... 45

ii
BAB V PENUTUP ............................................................................................................. 45
A. Simpulan ........................................................................................................................ 45
B. Implikasi ........................................................................................................................ 45

Daftar Pustaka
Biodata Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Salam sukses semua untuk kita! Saat ini saudara sudah memasuki materi ke-3
dalam Latihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil (Latsar CPNS) untuk penguatan
kompetensi bidang Hak Asasi Manusia. Mata diklat yang akan dipelajari adalah
“Pelangaran HAM”. Pasti Anda pernah mendengar betapa banyaknya konflik dan
kekacauan yang diakibatkan adanya pelanggaran-pelanggaran HAM maupun kejahatan-
kejahatan HAM, Nach, untuk itu sangat penting bagi saudara untuk memahami betul
bagaimana dan apa saja pelanggaran dan kejahatan HAM itu serta upaya
penanganannya dengan tepat dan sesuai prosedur yang ada.

A. Latar Belakang
Dalam membahas tentang HAM, maka akan sangat sering kita dihadapkan pada
serentetan pertanyaan-pertanyaan, seperti apa yang dimaksud pelanggaran hak asasi
manusia? Kapan suatu perbuatan dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia? Apakah
pelanggaran hak asasi manusia sama dengan pelanggaran hukum? Kemudian, siapakan
aktor pelaku pelanggaran hak asasi manusia?
Petanyaan-pertanyaan itu sering muncul dan hampir sebagian besar masyarakat
belum memahami, termasuk juga bagi aparatur sipil negara (ASN). Sebagai aparatur
pemerintah yang merupakan bagian dari negara harus berperan dalam menghormati,
menegakan, memajukan melindungi dan memenuhi hak asasiwarga negaranya,
sebagaimana telah dibahas pada materi sebelumnya. Terkait kewajiban tersebut, tentu
akan mengalami kendala jika aparatur pemerintahnya sendiri kurang memahami
pengertian dan batasan pelanggaran hak asasi manusia.
Pelanggaran HAM merupakan ancaman besar terhadap perdamaian, keamanan
dan stabilitas suatu negara. Para ahli mendefinisikan pelanggaran HAM sebagai suatu
pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen
internasional hak asasi manusia. Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat
dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun oleh karena
kelalaiannya sendiri (acts of ommission). Dalam rumusan yang lain, pelanggaran hak

1
asasi manusia adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum
dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang
diakui secara nasional. Inilah yang membedakan pelanggaran hak asasi manusia dengan
pelanggaran hukum biasa. Dengan demikian, pihak yang bertanggung jawab adalah
negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang ditekankan adalah tanggung jawab negara (state responsibility).
Tanggung jawab atau kewajiban negara yang dimaksud adalah kewajiban yang
lahir dari perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia, maupun dari hukum
kebiasaan internasional, khususnya norma-norma hukum kebiasaan internasional yang
memiliki sifat jus cogens. Umumnya perjanjian itu telah diterima oleh negara, sehingga
memiliki kewajiban menghormati (to respect) HAM yang diakui secara internasional,
tetapi juga berkewajiban memastikan (to ensure) penerapan hak-hak tersebut di dalam
yurisdiksinya. Kewajiban ini sekaligus menyiratkan secara eksplisit, bahwa negara
berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi
pelanggaran. Jika negara gagal mengambil langkah-langkah yang pencegahan agar tidak
terjadi pelanggaran, maka negara tersebut harus bertanggung jawab.
Jika terjadi pelanggaran HAM diperlukan pengumpulan bukti-bukti dalam
kaitannya dengan usaha penyelesaian atau pertanggungjawabannya. Sangat sulit
dibayangkan bisa diambil langkah penyelesaian apabila tidak diketahui bagaimana sifat
dan skala pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Disinilah arti penting
pengumpulan bukti-bukti pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan melalui
pemantauan maupun investigasi. Walaupun pelanggaran HAM senantiasa disangkal
oleh aktor yang justru harus bertanggung jawab terhadapnya, yaitu negara.

B. Deskripsi Singkat
Mata diklat ini membekali peserta diklat dengan harapan peserta mengerti dan
memahami pengertian pelanggaran HAM, jenis pelanggaran HAM, dan mekanisme
penanganan jika terjadi pelanggaran HAM. Demikian juga untuk membedakan antara
pelanggaran HAM dengan kejahatan HAM yang terjadi di tingkat nasional maupun
tingkat internasional.

2
C. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dengan mempelajari modul ini adalah:
1. Peserta diklat dapat lebih memahami pelanggaran HAM
2. Peserta diklat dapat mengidentifikasi pelanggaran HAM dan kejahatan HAM
3. Peserta diklat dapat mengetahui pengadilan HAM
4. Peserta diklat dapat menganalisis mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM

D. Tujuan Pembelajaran
1. Hasil Belajar
Setelah mengikuti pelajaran ini, peserta diharapkan mampu mengidentifikasi
pelanggaran HAM dan kejahatan HAM, mengetahui peran pengadilan HAM,
dan mampu menganalisis mekanisme penanganan atas terjadinya pelanggaran
HAM dan kejahatan HAM.

2. Indikator Hasil Belajar


Setelah mempelajari Mata Diklat Pelanggaran HAM ini, peserta diharapkan
dapat:
1. Memahami pelanggaran HAM
2. Mengidentifikasi pelanggaran HAM dan kejahatan HAM
3. Mengetahui pengadilan HAM
4. Menganalisis mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM

E. Materi Pokok
Materi pokok yang dibahas dalam modul ini adalah:
1. Pengertian pelanggaran HAM
2. Jenis pelanggaran HAM dan kejahatan HAM
3. Pengadilan HAM
4. Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM

3
F. Petunjuk Belajar
Anda sebagai pembelajar, dan agar dalam proses pembelajaran mata Diklat
“Pelanggaran HAM” dapat berjalan lebih lancar, dan indikator hasil belajar tercapai
secara baik, Anda kami sarankan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Bacalah secara cermat, dan pahami indikator hasil belajar atau tujuan pembelajaran
yang tertulis pada setiap awal bab, karena indikator belajar memberikan tujuan dan
arah. Indikator belajar menetapkan apa yang harus Anda capai.
2. Pelajari setiap bab secara berurutan, mulai dari Bab I Pendahuluan sampai dengan
Bab akhir.
3. Laksanakan secara sungguh-sungguh dan tuntas setiap tugas pada akhir bab.
4. Keberhasilan proses pembelajaran dalam mata Diklat ini tergantung pada
kesungguhan Anda. Belajarlah secara mandiri atau berkelompok secara seksama.
Untuk belajar mandiri, dapat seorang diri, berdua atau berkelompok dengan yang
lain untuk mempraktikkan implementasi HAM yang baik dan benar.
5. Anda disarankan mempelajari bahan-bahan dari sumber lain, seperti yang tertera
pada Daftar Pustaka pada akhir modul ini, dan jangan segan-segan bertanya kepada
siapa saja yang mempunyai kompetensi dalam implementasi HAM.
Baiklah, selamat belajar!, semoga Anda sukses menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang diuraikan dalam mata Diklat ini, sebagai upaya untuk bekal dalam
melakukan pemantauan HAM sekaligus kemampuan menganalisis atas pelanggaran-
pelanggaran HAM yang menjadi pelaporan dan pengaduan oleh masyarakat nantinya.

4
BAB II
KONSEP DASAR PELANGGARAN HAM

Setelah membaca bab ini, peserta diklat diharapkan dapat menjelaskan pengertian pelanggaran
hak asasi manusia (HAM), bukti-bukti pelanggaran, dan pola pelanggaran HAM

A. Pengertian Pelanggaran HAM


Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Hal demikian dikuatkan kembali pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran
kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi
lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan
rasional yang menjadi pijakanya. Definisi di atas pada akhirnya mengaburkan antara
pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum.
Bagaimana halnya dengan individu atau kelompok masyarakat yang melakukan
perbuatan melanggar hak asas manusia yang telah dijamin dalam peraturan perundang
undangan (pelaku non state)? Apakah pelaku non state tersebut dapat dialifikasikan
sebagai pelanggar hak asasi manusia atau pelanggar hukum? Pada prinsipnya hak asasi

5
manusia adalah hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia, oleh karenanya
setiaporang berkewajiban untuk menghargai dan menghormati hak asasi manusia.
Dengan kata lain, tidak ada seorangpun boleh mengurangi, membatasi,
merampas atau mencabut hak asasi manusia yang melekat pada hakekat keberadaan
manusia. Berdasarkan pada pengertian tentang hak asas manusia, maka secara harfiah,
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang melakukan perbuatan
mengurangi, membatasi, merampas atau mencabut hak asasi manusia dapat disebut
melanggara hak asasi manusia.
Pada dasarnya, tidak ada definisi yang bisa diterima secara umum. Pelanggaran
HAM adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari adanya instrumen-
instrumen HAM, baik instrumen nasional maupun internasional. Pelanggaran tersebut
dapat berupa kelalaian negara atas norma yang belum masuk dalam pidana nasional
namun menjadi bagian dari hak yang diakui secara internasional. Oleh karenanya, titik
tekan palanggaran HAM adalah tanggung jawab negara (state responsibility) sedangkan
pelanggaran pidana berkaitan dengan pelaku non negara.

B. Pelaku Pelanggaran HAM


Berdasarkan hukum HAM Nasional, secara tegas telah dinyatakan bahwa
pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja, maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Dengan demikian,
pelaku pelanggaran dapat dilakukan individu, kelompok orang, dan negara.
Definisi pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor
39 tahun 1999 tentang HAM dapat dijelaskan bahwa ada dua konstruksi:
1. Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Konstruksi ini mengategorikan
tentang pelaku pelanggaran HAM atau perbuatan yang dapat dianggap sebagai
pelanggaran HAM.

6
2. Tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Kategori ini
mengatur adanya mekanisme penyelesaian atas terjadinya pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM pada dasarnya adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum.
Dalam terminologi hukum, maka ada yang disebut dengan pelanggaran hukum pidana,
hukum perdata, hukum tata usaha negara (TUN), hukum administrasi negara, termasuk
juga termasuk pelanggaran hukum hak asasi manusia.
Adapun pelaku pelanggaran HAM dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
a. Pelaku Negara (State actor)
Sebagaimana diatur dalam hukum Internasional HAM, state actor yaitu negara atau
seluruh penyelenggara negara baik organ negara, lembaga negara, lembaga
pemerintahan, termasuk lembaga pemerintahan non-Kementerian.
Penggolongan lembaga negara di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu:
1) Lembaga Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan
kewenangannya ditentukan juga dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2) Lembaga Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945,
namun kewenangannya tidak ditentukan di dalamnya.
3) Lembaga Negara yang keberadaannya tidak disebut dalam UUD NKRI Tahun
1945 dan kewenangannya tidak ditentukan di dalam UUD NKRI Tahun 1945,
tetapi keberadaannya mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional
importance, sebagiaman Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Negara dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM merupakan konsekuensi dari
tanggung jawab yang diembannya yaitu untuk menghormati (to respect), melindungi
(to protect) dan memenuhi (to fulfil) HAM sehingga ketika suatu negara baik sengaja
maupun karena kelalaiannya melakukan tindakan yang melanggar ketiga kewajiban
tersebut, maka negara telah dianggap melakukan pelanggaran HAM. Hal demikian
terutama jika negara tidak berupaya melindungi atau meniadakan hak-hak rakyat
yang bersifat non-derogable rights (hak yang tidak dapat dibatasi dan dikurangi) dan
membiarkan aparat-aparat negara melakukan pelanggaran itu sendiri.

7
b. Pelaku Non-Negara (Non state actor)
Pada awalnya isu utama dalam permasalahan hak asasi manusia hanya menyoroti
perilaku negara sebagai pemangku kewajiban atau entitas legal dalam hukum HAM
Internasional. Pasca-Perang Dingin, permasalahan HAM meluas pada perilaku aktor-
aktor non negara (non state actor).
Salah satu elemen atau unsur penting yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah
adanya sekelompok masa yang terorganisir, perusahaan multinasional atau
perusahaan transnasional. Perusahaan-perusahaan itu memiliki aset ekonomi dan
kekuasaan yang mampu menekan dan mempengaruhi pemerintahan bahkan
kebijakan negara. Dampak dari kegiatan mempengaruhi pemerintahan atau kebijakan
negara inilah yang berdampak negatif terhadap hak asasi manusia.
Ada beberapa contoh permasalahan hak asasi manusia yang timbul sebagai akibat
pengaruh pelaku non-negara yang berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM di
suatu wilayah terutama bidang ekonomi, sosial, budaya, yaitu:
1) Perburuhan
Ada beberapa hal yang berakibat pada pelanggaran HAM terkait dengan
permasalahan perburuhan di Indonesia, misalnya aktor non state mempengaruhi
pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan pemberian upah yang kecil dan
pembayaran gaji yang tidak memperhatikan standar biaya hidup minimal di
wilayah tertentu. Bisa juga tindakan kontrol yang ekstra ketat terhadap organisasi
perburuhan dengan membayar aparat keamanan (polisi dan tentara) untuk
menghadapi organisasi buruh yang ada.
2) Lingkungan
Permasalahan HAM oleh aktor non-negara yang berdampak pada hak lingkungan,
antara lain:
- Privatisasi sumber daya alam di sekitar wilayah operasi perusahaan yang
berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat berupa sulitnya
mendapatkan air bersih
- Pembukaan lahan-lahan pertanian dan hutan untuk pengembangan perusahaan
yang berdampak pada hilangnya lahan-lahan masyarakat adat dan kerusakan
lingkungan.

8
3) Kelompok Rentan
- Anak, ketika perusahaan memperkerjkan anak dengan tujuan menekan biaya
produksi karena pekerja anak bisa dibayar dengan sangat murah. Banyak
terjadi kasus anak di bawah umur bekerja di perusahaan pertambangan.
- Masyarakat adat, ketika perusahaan membuka lahan usaha dengan
memanfaatkan lahan-lahan komunal milik masyarakat adat, sebagaimana kasus
Mesuji dan kasus lahan sawit di Kalimantan.
- Perempuan, ketika perempuan yang bekerja sebagai buruh tidak mendapatkan
hak-hak cuti haid, menyusui serta jam kerjanya yang melampaui batas.
4) Kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ada beberapa kasus perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah tidak dibarengi
dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan membangun
insfrastruktur seperti sarana jalan dan jembatan yang layakbagi masyarakat di
sekitarnya, sebagai contoh : PT. Freeport telah beroperasi di bumi periwi ini
selama lebih dari empat puluh tahun, namun yang sangat mengenaskan adalah
kehidupan masyarakat sekitar perusahaan tersebut beroperasi ternyata jauh dari
kemapanan, kecuali untuk beberapa gelintir orang yang dilibatkan dalam aktifitas
perusahaan tersebut.

C. Kategori Pelanggaran HAM


Pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
(1) Pelanggaran HAM ringan, yang biasanya cukup disebut sebagai pelanggaran
HAM.
(2) Pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan
untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok
bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras. Kejahatan Genosida dilakukan
dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan atau kehancuran
secara fisik baik seluruh maupun sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan

9
yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang
dimaksud ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
a. Pembunuhan
b. Pemusnahan,
c. Perbudakan,
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan,
f. Penyiksaan,
g. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pelacuran secara
paksa, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara,
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional,
i. Penghilangan orang secara paksa,
j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atau
kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.

D. Latihan
1. Bagaimana pemahaman saudara tentang pengertian pelanggaran HAM?
2. Jelaskan perbedaan antara pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum!
3. Pelaku pelanggaran HAM dapat dikategorikan dengan pelaku negara dan
pelaku non-negara. Bagaimana pandangan saudara dengan kategori pelaku
pelanggaran tersebut!

10
E. Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sejak lahirnya. Dalam
kehidupan bernegara, HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan, di mana setiap
bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi, dan negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM. Pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Secara eksplisit, pelanggaran HAM berat dapat dipahami melalui ketentuan
pasal 7, pasal 8, dan pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran adalah
pengabaian atau ketidakpatuhan atas aturan yang sudah ada, sedangkan kejahatan tanpa
diatur sekalipun semua orang sudah tahu bahwa perbuatan tersebut sebagai hal yang
jahat.

11
BAB III
PELANGGARAN HAM BERAT

Setelah membaca bab ini, peserta diklat diharapkan dapat mengidentifikasi jenis-jenis pelanggaran
HAM, dan dapat membedakan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan

A. Konsep Dasar Pelanggaran HAM Berat


Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan
oleh masyarakat internasional. Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir,
masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang
terjadi di Eropa bekas negara Yugoslavia. Tindakan pembersihan etnis itu sangat
mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Peristiwa tragis yang terjadi di
negara Yugoslavia tersebut menewaskan ribuan orang termasuk lebih dari dua ratus
personil PBB dan anggota pasukan perdamaian PBB, serta mengakibatkan pengungsian
lebih dari 2,2 juta orang.
Setahun kemudian, konflik antar etnis di Rwanda pun kembali mengejutkan
nurani dunia. Dalam waktu singkat menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang dan
mengakibatkan pengungsian sekitar 2 juta orang. Pasca berakhirnya Perang Dunia II
memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat internasional. Hukum
Internasional Hak Asasi Manusia mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan
dengan sendirinya yang menjadi rujukan berbagai aktor seperti negara, organisasi
internasional, masyarakat internasional, dan individu ketika menanggapi banyak
peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kejahatan berat hak asasi manusia atau sebutan lain pelanggaran HAM berat
dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang
pasca Perang Dunia ke-2, yaitu 1915 melalui deklarasi pertama tiga negara yaitu
Perancis, Inggris, Rusia. Dalam Pengadilan Nuremberg, kjahatan itu meliputi genocide,
War Crime, Crime Against Humanity. Hal itu diatur dalam International Criminal
Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR) yang meliputi War crimes, Crimes against humanity, dan Genocide.

12
Istilah kejahatan HAM berat telah dikenal dan digunakan pada saat ini, namun
sayangnya belum dirumuskan secara jelas baik di dalam resolusi, deklarasi, maupun
perjanjian HAM. Kejahatan HAM berat dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran
HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga, dan
peradaban manusia. Pelanggaran HAM berat sebagai suatu pelanggaran yang mengarah
kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan
pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan
situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari
penduduk suatu negara secara terus menerus yang dilanggar atau diancam.
Berbagai bentuk kejahatan HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu
definisi hukum. Kejahatan HAM dikategorikan sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan
terhadap perdamaian ialah merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau
menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian
internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan, atau turut serta di
dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan
perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2. Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk dalam kejahatan perang ialah
pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan
(murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkannya,
memberlakukan kerja paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-
tawanan perang dengan kejam, membunuh, atau merampas milik negara atau milik
perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan semena-mena, sekaligus
membinasakannya tanpa adanya keperluan militer.
3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk kejahatan
terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan (murder) yang membinasakan,
memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan
terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang, perkosaan
hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras, atau agama. Pemimpin atau
orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu yang turut serta dalam
membentuk atau melaksanakan rencana bersama untuk melakukan kejahatan
tersebut.

13
International Criminal Court (ICC) yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma
1998 mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan kejahatan
HAM berat yaitu:
1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
3. Kejahatan perang
4. Kejahatan agresi.

B. Instrumen Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat


Suatu kejahatan bisa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Kejahatan maupun
pelanggaran yang dilakukan tersebut haruslah diberikan hukuman bagi yang
melakukannya. Akan tetapi, masing-masing negara tentu sudah memiliki hukum
nasional yang mengatur kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan di wilayah
negaranya. Hal demikian dapat menyebabkan ketidaksamaan hukum antara rakyat dari
negara satu dengan negara lainnya.
Adanya perbedaan dalam pengakuan dan perlindungan HAM maka perlu
ditafsirkan dan diterapkan perundang-undangan yang berlaku secara internasional.
Pengaturan itu untuk menyediakan keseragaman standar standar minimum oleh negara
terhadap manusia di muka bumi.
Instrumen internasional merupakan alat berupa standar-standar pembatasan
pelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan-kesepakatan antar negara
tentang jaminan HAM. Oleh karenanya dibutuhkan pembatasan untuk melindungi HAM
sehingga dibuat beberapa instrumen hukum internasional yang berlaku universal atas
persetujuan berbagai negara untuk menjadi pedoman bagi suatu negara yang menyetujui
itu dalam menghukum pelaku kejahatan tertentu.
Instrumen hukum internasional bentuknya berupa kovenan (perjanjian) dan
protokol. Kovenan, yaitu perjanjian yang mengikat bagi negara-negara yang
menandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaan dengan treaty
(kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian). Sedangkan protokol merupakan
kesepakatan dari negara-negara penandatangannya yang memiliki fungsi untuk lebih
lanjut mencapai tujuan-tujuan suatu kovenan.

14
Terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di belahan dunia maka
negara dapat menganut aturan yang terdapat dalam instrumen-instrumen hukum
internasional sebagai pedoman dalam menyelesaikan pelanggaran tersebut. Instrumen
hukum internasional yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat di antaranya:
a. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948)
Deklarasi Universal merupakan instrumen hidup yang memaksa supaya orang
memperhatikan ancaman baru terhadap martabat manusia dan kelangsungan hidup
kemanusiaan, seperti persenjataan berlebihan atau senjata penghancur massal, dan
juga bahaya potensial akibat manipulasi genetik.
Isi Deklarasi Universal sendiri, adalah prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan yang berasal dari Revolusi Perancis. Selain ketiga prinsip di atas,
Deklarasi Universal juga mengatur ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dalam
pelanggaran HAM berat seperti larangan perbudakan, larangan penganiayaan, dan
larangan diskriminasi.
Di dalam Pasal 4 DUHAM disebutkan bahwa tidak seorangpun dapat diperbudak
atau diperhambakan dan segala bentuk perdagangan budak harus dilarang.
Sedangkan untuk ketentuan larangan penganiayaan terdapat dalam Pasal 5 DUHAM
yang menyebutkan bahwa tidak seorangpun dapat dianiaya atau diperlakukan secara
kejam dengan tidak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan dan hukuman
yang menghinakan. Negara berkewajiban mengekstradisi atau menuntut pelaku
penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau tempat
pelanggaran yang dituduhkan. Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena
sifatnya sebagai deklarasi, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum,
sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martabat manusia suli diwujudkan.
Untuk itu supaya tujuan DUHAM, dapat menjadi kenyataan maka diperlukan alat
atau instrumen HAM internasional lainnya.

b. Charter of The United Nation (Piagam PBB)


Piagam PBB ditandatangani pada 26 Juni 1945, di San Francisco. Mulai berlaku
pada 24 Oktober 1945. Statuta Mahkamah Internasional merupakan bagian integral
Piagam tersebut.

15
Dalam mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB bertujuan untuk
menyelamatkan generasi berikut dari bencana perang, yang dua kali telah membawa
penderitaan sejak munculnya Perang Dunia ke-2. Adapun tujuan dari organisasi PBB
ini ialah:
1. Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Untuk itu maka
mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk pencegahan dan
penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan tindakan agresi
atau pelanggaran lain dari perdamaian, dan untuk membawa dengan cara damai,
dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian
atau penyelesaian sengketa internasional atau situasi yang mungkin menyebabkan
pelanggaran perdamaian.
2. Untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa. Hal itu didasarkan
pada penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri
rakyat, dan untuk mengambil tindakan yang tepat lainnya untuk memperkuat
perdamaian universal.
3. Untuk mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah
internasional. Kerjasama itu dapat pada bidang ekonomi, sosial, budaya, atau
kemanusiaan, dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap
HAM dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama.
4. Untuk menjadi pusat harmonisasi tindakan negara dalam pencapaian tujuan
tersebut umum.

c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial


Semua manusia pada dasarnya sama di hadapan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama atas tindakan diskriminasi dan terhadap hasutan apapun
untuk diskriminasi. Adanya suatu diskriminasi antara manusia baik atas dasar ras, warna
kulit, atau asal etnis merupakan penghalang bagi hubungan persahabatan dan damai di
antara bangsa-bangsa dan dapat mengganggu perdamaian dan keamanan antar negara.
Dengan demikian maka dibentuklah konvensi ini. Tujuan dari konvensi ini sendiri
ialah untuk menghapus adanya diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan
menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal-usul kebangsaan

16
atau etnis, persamaan di depan hukum dan khususnya menikmati hak-hak lainnya
seperti hak katas perlakuan yang sama di hadapan pengadilan, hak untuk kebangsaan,
hak pribadi dan perlindungan oleh negara terhadap kekerasan baik yang ditimbulkan
oleh pejabat pemerintah atau kelompok indivdu atau lembaga, dan hak lainnya.

d. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida


Genosida menimbulkan kerugian besar pada umat manusia dalam setiap periode
sejarah.Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia maka diperlukan kerjasama
internasional yang akhirnya melahirkan konvensi ini.
Genosida dalam konvensi ini merupakan perbuatan yang dilakukan di masa damai
atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian nasional, etnis, ras, atau
kelompok agama seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan tubuh atau
mental yang berat, membawa kehancuran fisik pada kondisi kehidupan kelompok,
melakukan tindakan yang mencegah kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.
Orang yang didakwa dengan genosida atau tindakan-tindakan lain akan diadili
oleh pengadilan dari negara di wilayah dimana perbuatan itu dilakukan, atau dengan
pengadilan pidana internasional yang memiliki yurisdiksi terhadap pihak-pihak tersebut
yang akan menerima yurisdiksinya.

e. Konvensi tentang Tidak Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk Kejahatan Perang


dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Dalam pembukaan konvensi ini disebutkan mengingat bahwa kejahatan perang
dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu kejahatan paling parah dalam
hukum internasional. Tidak ada deklarasi, instrumen atau konvensi yang berhubungan
dengan penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang dan kejahatan
kemanusiaan yang dibuat untuk jangka waktu terbatas. Konvensi ini menyebutkan
bahwa tidak ada batasan hukum yang berlaku bagi kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Konvensi ini berlaku untuk perwakilan dari otoritas negara dan
individu swasta yang berpartisipasi atau langsung menghasut orang lain untuk setiap
kejahatan tersebut.

17
f. Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokolnya
Jenis tindak pidana internasional atau pelanggaran hukum HAM dalam konflik
bersenjata baik internasional maupun non- internasional diatur dalam konvensi-
konvensi Jenewa dan protokol, yaitu:
1) Geneva Convention for The Amelioration of the condition of the wounded and sick in
armed force in the field, of August 12, 1949, mengatur perbaikan kondisi yang luka
dan sakit dalam pertempuran di darat, melindungi tentara yang luka dan sakit serta
orang-orang yang menyertainya, bangunan berlindung serta peralatan yang dipakai.
2) Geneva Convention for the Amelfration of the Condition of wounded, sick and ship
wrecked members of Armed forces at sea of August 12, 1949, mengatur mengenai
perbaikan kondisi luka dan sakit dan korban karam anggota militer di laut.
3) Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12,
1949, mengatur mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, melindungi anggota
angkatan bersenjata yang menjadi tawanan perang.
4) Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of
August 12, 1949, mengatur perlindungan penduduk sipil pada waktu perang.
5) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to
the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), mengatur
mengenai perluasan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil dan
membatasi alat dan cara berperang dalam sengketa bersenjata internasional.
6) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to
the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II),
mengatur mengenai perlindungan yang membatasi diri penduduk sipil dalam
sengketa bersenjata non internasional.
7) Geneva Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan konvensional
tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau akibat membabi buta.

Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:


1) Pembunuhan yang disengaja
2) Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat manusia
3) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas
4) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang
5) Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur

18
6) Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa
7) Menjatuhkan hukuman kurungan
8) Melakukan penyanderaan
Rumusan formal kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan
genosida kemudian muncul kembali dalam Statuta untuk Pengadilan Pidana
Internasional untuk bekas negara Yugoslavia (International Tribunal for Former
Yugoslavia-ICTY) dan Rwanda (International Tribunal for Rwanda-ICTR). Pengertian
terhadap kejahatan-kejahatan tersebut merupakan pertautan dari Piagam Nurenberg,
Statuta untuk ICTY, maupun Statuta untuk ICTR. Ada beberapa kesamaan pengaturan
meskipun dengan perumusan yang berbeda-beda.
Dalam perkembangannya, pengaturan yang lebih baru tentang kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diatur dalam Statuta Roma 1998
dengan disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court-ICC). Statuta ini merupakan rujukan paling akhir dalam
mendefiniskan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, dan kejahatan
perang. Terlebih, dalam Statuta tersebut juga telah diatur secara detail tentang unsur-
unsur kejahatan (element of crimes) dan hukum acara dan pembuktiannya (rules of
procedures and evidences).

Tabel. Perkembangan Hukum Internasional tentang Pelanggaran HAM Berat


No Instrumen Pengaturan
1 Charter of the International Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap
Military Tribunal 1945 Kemanusiaan.
(Nuremberg Charter).
2 Konvensi Genosida 1948. Kejahatan Genosida.
3 Konvensi Jenewa 1949. Pelanggaran Berat, Pelanggaran Serius dan
Pelanggaran lainnya dalam konteks perang.
4 Protokol Tambahan Konvensi Pelanggaran Berat Konvensi dan Pelanggaran
Jenewa 1949 hukum dan kebiasaan perang sebagai Kejahatan
(1977). Perang
5 ICTY. Genosida, Kejahatan atas Kemanusiaan dan
Kejahatan Perang.
6 ICTR. Genosida, Kejahatan atas Kemanusiaan dan
Kejahatan Perang.
7 Statuta Roma Pelanggaran Berat HAM yang meliputi Genosida,
Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan
Agresi.

19
C. Pengaturan tentang Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Istilah genosida pertama kali muncul dalam leksikon hukum Indonesia dan
dinyatakan sebagai kejahatan dalam hukum nasional pada UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi
yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Sementara, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak didefinisikan secara spesifik
namun disebutkan kejahatan-kejahatan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 memandatkan
terbentuknya Pengadilan HAM yang memiliki jurisdiksi pengadilan Pelanggaran HAM
yang berat paling lambat 4 (empat) tahun sejak UU disahkan. Tidak sampai 4 (empat)
tahun, muncul Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang
mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM yang berat
yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam merumuskan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, UU
No. 26 tahun 2000 menyatakan bahwa pengertian kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam UU ini sesuai dengan Rome Statute of The International
Criminal Court (Pasal 6 dan Pasal 7). Hal ini berarti bahwa apa yang dimaksud dengan
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan
yang paling serius sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998.
Pengadopsian ketentuan Statuta Roma 1998 ke dalam UU No. 26 Tahun 2000
ternyata masih memiliki kelemahan. Pertama, tidak lengkapnya jenis kejahatan yang
diadopsi. Di dalam Statuta Roma ada empat jenis kejahatan yang terdiri atas genosida,
kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Akan tetapi, UU No. 26 Tahun
2000 hanya mengambil dua jenis kejahatan, yaitu: genosida dan kejahatan atas
kemanusiaan. Indonesia tidak mengadopsi kejahatan perang sebagai bagian dari
pelanggaran HAM yang berat.
Kedua, adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta Roma 1998.
Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya merupakan ketentuan yang
tidak sesuai dengan maksud aslinya. Pada akhirnya perumusan kejahatan genosida dan

20
kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dilengkapi adanya element of crimes untuk
menjelaskan maksud atas ketentuan tersebut.
UU No. 26 Tahun 2000 secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang
berat adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan berdampak secara luas baik
pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang
diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pendefinisian inilah
yang menunjukkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah berbeda dengan perumusan dalam kejahatan-kejahatan dalam KUHP dan
karenanya perlu dilakukan langkah-langkah khusus. Berdasarkan karakteristik
kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan biasa lainnya, maka
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Kekhususan itu menyebabkan
keperluan untuk adanya langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan yang bersifat khusus pula.
Kekhususannya juga terletak pada asas dan prinsipnya yang diatur secara berbeda.
Ada beberapa asas yang secara berbeda antara pelanggaran HAM berat dengan tindak
pidana biasa. Pertama, tidak berlakunya ketentuan mengenai kadaluarsa dalam
pelanggaran HAM yang berat. Kedua, dapat digunakannya asas non-retroaktif untuk
kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Ketiga, tindakan percobaan,
permufakatan jahat, dan pembantuan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, hukumannya disamakan ancaman pidananya dengan pelaku
langsung.
UU No. 26 Tahun 2000 juga memberikan penekanan pada ketentuan-ketentuan
tertentu misalnya perlindungan terhadap saksi dan korban, serta kewajiban untuk
adanya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang
berat. Untuk melengkapi regulasi mengenai operasional dari ketentuan mengenai
perlindungan saksi dan hak-hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban,
pemerintah mengeluarkan 2 (dua) peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No.
2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM
yang berat.
Praktik penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia telah
dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat di

21
Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura Papua. Perkara yang diadili adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum ada perkara terkait dengan kejahatan
genosida.

D. Latihan
Untuk mengukur pemahaman saudara tentang pelanggaran HAM berat, silakan
jawab pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan!
2. Jelaskan apa itu kejahatan HAM atau pelanggaran HAM berat!
3. Jelaskan pengaturan pelanggaran HAM berat dalam perundang-undangan di
Indonesia!

E. Rangkuman
Kejahatan HAM atau pelanggaran HAM berat biasa dikategorikan dengan
kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace), Kejahatan Perang (War
Crimes), dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity).
Instrumen atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di belahan dunia menganut
aturan yang terdapat dalam hukum HAM internasional. Instrument itu sebagai pedoman
dalam menyelesaikan pelanggaran, yang terdiri atas:
a. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948)
b. Charter of The United Nation (Piagam PBB)
c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
d. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
e. Konvensi tentang Tidak Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk Kejahatan Perang
dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
f. Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokolnya

22
BAB IV
MEKANISME PENANGANAN PELANGGARAN HAM

Setelah membaca bab ini, peserta diklat diharapkan dapat memahami pengertian mekanisme
penanganan pelanggaran HAM baik tingkat nasional, regional, dan internasional

Mekanisme penanganan pelanggaran HAM adalah prosedur atau tata cara


penyelesaian atas dugaan adanya pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam hukum HAM
dikenal adanya 2 (dua) mekanisme pemantauan dan penanganan pelanggaran HAM,
yaitu mekanisme internasional yang didasarkan pada konvensi HAM internasional dan
mekanisme nasional yang didasarkan pada instrument hukum nasional.

A. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia


Mekanisme penanganan pelanggaran HAM pada prinsipnya terbagi menjadi 3
(tiga) cara, yaitu litigasi, non-litigasi dan judicial review. Litigasi adalah penyelesaian
pelanggaran HAM sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yaitu melalui penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian,
penuntutan di tingkat Kejaksaan, dan persidangan di pengadilan.
Non-litigasi adalah mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur di
luar hukum. Jalur yang bisa ditempuh adalah arbitrase, mediasi, dan pelaporan pada
badan-badan HAM atau komisi yang telah dibentuk di Indonesia untuk melakukan
penegakan hak-hak di Indonesia, yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombusman Republik Indonesia (ORI), Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Sedangkan jalur ketiga melalui judicial review atau peninjauan kembali atas
sebuah produk kebijakan. Terbagi menjadi dua, yaitu jika peninjauan kembali terhadap
Undang Undang melalui Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan untuk peninjauan
kembali peraturan daerah, keputusan pengadilan, serta kebijakan lain di bawah Undang
Undang melalui Mahkamah Agung (MA).
Mekanisme Nasional sesuai UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi
manusia, mengamanatkan adanya peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas

23
HAM ), yang memiliki mandat untuk memajukan dan menegakan hak asasi manusia di
Indonesia. UU tersebut tidak mengatur soal mekanisme penegakan HAM sekaligus
belum mampu merespon jika korban pelanggaran HAM ingin mengklaim ketika hak-
haknya dilanggar.
Pasal 89 Undang-Undang HAM hanya mengatur kewenangan Komnas HAM
untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap suatu kasus, tindakan atau
peristiwa yang diduga terjadi pelanggaaran HAM di dalamnya. Dalam Pasal 95 UU ini,
Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan dari korban, turun ke
tempat peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM, dan memanggil secara paksa
pihak pihak yang terlibat, meskipun pemanggilan paksa tersebut harus melalui putusan
pengadilan negeri.
Dalam mekanisme penanganan pelanggaran HAM di Indonesia, setelah dilakukan
penyelidikan oleh Komnas HAM, selanjutnya hasil penyelidikan diserahkan kepada
Kejaksaan berupa rekomendasi. Langkah langkah penanganan selanjutnya adalah sesuai
dengan prosedur hukum acara pidana (KUHAP), di mana penuntutan dilakukan oleh
Kejaksaan selaku lembaga negara yang berwenang melakukan penuntutan, sebagaimana
amanah Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana.
Pada mekanisme penanganana pelanggaran HAM di Indonesia dikenal juga
pengadilan Ad hoc, yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Pengadilan ini dibentuk khusus untuk mengadili pelanggaran
HAM yang termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Sistem peradilan yang
dilakukan dalam pengadilan HAM berat ini tidak mengacu pada hukum acara pidana
sesuai KUHAP, namun mengacu pada sistem peradilan khusus yang secara khusus pula
diatur dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

1. Mahkamah Konstitusi
Perkembangan pengaturan HAM di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan
politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998. Sidang Istimewa MPR bulan
November 1998 misalnya, menghasilkan Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.

24
Ketentuan lebih ekstensif
tentang HAM dicantumkan dalam
Perubahan Ketiga Undang-
Undang Dasar 1945 (tahun
2000), meski terdapat kemiripan
rumusan antara hasil amandemen
konstitusi dengan UU Nomor 39
Tahun 1999 dan Ketetapan
Nomor XVII/MPR/1998.
Menurut Pasal 28 I ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan,
menegakkan, dan memenuhi HAM. Rumusan demikian dirumuskan sebagai kewajiban
to protect, to promote, to implement or enforce and to fulfill human rights.
Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap konstitusi
merupakan uji konstitusionalitas sehingga dikenal sebagai constitutional review. Dalam
pelaksanaannya, uji konstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal
standing) bahwa undang-undang yang diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang
konstitusional pemohon constitutional review.

2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia


Komnas HAM merupakan sebuah badan yang menangani persoalan-persoalan
HAM, terutama dalam kerangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Secara
internasional institusi ini dimaksudkan sebagai rekan kerja Komisi HAM PBB di
tingkat nasional.
Komnas HAM dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 50 tahun 1993, dan dalam
perkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Keberadaan lembaga ini secara internasional dipandu oleh Prinsip-
Prinsip Paris 1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi
dan Memajukan Hak Asasi Manusia. Di dalamnya mencakup yurisdiksi lembaga,
kemandirian dan pluralitas yang harus tercermin dalam komposisi maupun cara
beroperasinya.

25
Dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil Komnas HAM memiliki
posisi yang unik. Meskipun instansi ini didirikan oleh Pemerintah/Negara, Komnas
HAM tetap tidak memihak kepadanya. Demikian pula dengan masyarakat sipil, Komnas
HAM harus dapat melepaskan diri dari pengaruh Pemerintah, maupun pengaruh pihak-
pihak yang minta perlindungan
dan penegakan hak asasinya
kepada Komnas HAM.
Tekanan internasional
dengan adanya Konferensi
HAM Dunia di Jeneva, maupun
tekanann yang bersifat nasional
oleh berbagai organisasi non-
pemerintah, fragmentasi di
kalangan elit, dan peristiwa Santa Cruz di Timor Leste adalah beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan Komnas HAM. Pembentukan komisi ini dapat
dilihat sebagai upaya untuk mengatasi tekanan politik sekaligus memberi citra positif
pada rezim penguasa. Komnas HAM dibentuk pada 1993 melalui Keppres Nomor 50
tahun 1993, yang melakukan 4 (empat) fungsi pokok, berupa pemantauan, penelitian,
mediasi, dan pendidikan.

3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)


KPAI adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan
efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
KPAI dibentuk untuk
merespon berbagai laporan
adanya kekerasan, penelantaran
dan belum terpenuhinya hak-
hak dasar anak di Indonesia.
Keputusan membentuk KPAI
tidak dapat dilepaskan dari
dorongan dunia internasional.

26
Komunitas internasional menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak
di Indonesia. Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak
dalam konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya angka
putus sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking, dan lain
sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan
pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi
perlindungan anak di Indonesia.
Tekanan internasional ini didasari oleh kondisi bahwa Konvensi tentang Hak
Anak (Convention the Righs of Child) adalah salah satu instrumen HAM internasional
yang paling cepat dan paling banyak diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Dalam
waktu yang sangat singkat Konvensi tentang Hak Anak diratifikasi oleh seluruh negara
anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.
Oleh karenanya, banyak kalangan yang mengatakan bahwa Konvensi tentang Hak
Anak bersifat universal, hampir menyamai universalitas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM). Dorongan komunitas internasional tersebut kemudian memaksa
pemerintah Indonesia untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan pembentukan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI).
Secara teknis, amanat pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
ditindaklanjuti dengan pembuatan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan
terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003. KPAI terdiri dari 9 orang
berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan KPAI adalah lembaga ini diperkenankan oleh peraturan
perundang-undangan untuk membentuk kelompok kerja di masyarakat dan juga
membentuk perwakilan di daerah yang keduanya ditetapkan oleh Ketua KPAI. KPAI
bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan masa kenggotaannya adalah selama 3
(tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja
KPAI didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas,
efektifitas, dan efisiensi.

27
4. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komnas Perempuan adalah sebuah institusi HAM yang dibentuk oleh negara
untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai HAM, khususnya isu kekerasan
terhadap perempuan. Karena mandatnya yang spesifik terhadap isu kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada yang mengkategorikan
Komnas Perempuan sebagai sebuah insitusi HAM yang spesifik, berbeda dengan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum
mencakupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.
Komnas Perempuan didirikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden
No. 181 tahun 1998, sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan
terkait dengan peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998--di mana terjadi
perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia.
Pada saat itu, negara dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan
korban kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah menganggap bahwa negara harus
bertanggungjawab kepada korban dan kemudian melakukan upaya yang sistematis
untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
Sebagai lembaga HAM nasional, maka dalam menjalankan tugasnya Komnas
Perempuan bersandar pada pengakuan internasional dan standar-standar internasional
tentang hak asasi manusia dan pendekatan HAM baru yang integral di mana Hak Asasi
Perempuan merupakan HAM dan Kekerasan terhadap Perempuan adalah Pelanggaran
HAM. Hal ini sebagaimana secara tegas telah ditegaskan dalam Deklarasi Wina (1993)
pada Konferensi HAM di Wina tahun 1993.
Di samping instrumen HAM internasional yang umum, secara spesifik Komnas
Perempuan mengacu pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Konvensi Perempuan) yang sudah sudah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia dengan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 dan Deklarasi
Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1993). Kedua instrumen ini
meletakkan kerangka kerja yang komperhensif tentang pemenuhan hak asasi perempuan
dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan (KTP).
Keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi berbasis
gender ini yang melandasi kerja Komnas Perempuan untuk menyikapi isu kekerasan
terhadap perempuan secara komprehensif. Kekerasan dan diskriminasi terhadap

28
perempuan adalah pelanggaran HAM, maka pencegahan dan penanganannya dilakukan
dalam kerangka HAM.
Hak untuk bebas dari kekerasan menjadi bagian yang tidak terpisah dari hak
ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil, politik di mana negara memiliki tanggung jawab
yang besar untuk pemenuhan hak tersebut. Jika perempuan mengalami kekerasan maka
ia berhak atas hak-haknya sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang memiliki
hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

5. Ombudsman Republik Indonesia (ORI)


Terbentuknya ORI pada
dasarnya lebih didasari oleh
semangat reformasi dalam
rangka melakukan reformasi
birokrasi yang telah mandeg
selama puluhan tahun. Semangat
untuk melakukan reformasi
birokrasi inilah yang sangat
terasa saat dimunculkannya
Komisi Ombudsman Nasional sedang menjadi pembicaraan meluas di kalangan
masyarakat. Dibentuknya ORI lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi dalam
rangka memastikan tidak adanya pelanggaran HAM oleh negara terutama pelanggaran
terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui layanan publik yang diselenggarakan
oleh negara.
Secara umum, wewenang ORI adalah menerima laporan dari masyarakat mengenai
dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah, melakukan klarifikasi,
mediasi, dan konsiliasi serta membuat rekomendasi. Pada prinsipnya ORI akan
mendahulukan cara mediasi dan konsiliasi, yang jika dianggap perlu maka
mengeluarkan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait. Rekomendasi ORI memiliki
sifat yang mengikat. Pejabat atau atasannya yang mendapatkan rekomendasi dari ORI
wajib melaksanakan rekomendasi tersebut. Jika rekomendasi tetap tidak dijalankan
maka ORI berwenang memublikasikan rekomendasi tersebut sekaligus melaporkan
pada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

29
B. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM Regional
Deklarasi dan Program Aksi Wina, yang ditetapkan oleh Konferensi Dunia
tentang HAM yang dilaksanakan di Wina pada 14 hingga 31 Juni 1993, menyatakan
pentingnya membentuk suatu pengaturan regional dan sub-regional bagi promosi dan
perlindungan HAM. Untuk itulah pada masing-masing kawasan menindaklanjuti
dengan berdirinya badan HAM regional beserta mekanisme pemantauan dan penegakan
atas pelanggaran HAM yang terjadi.

1. Dewan Eropa
Sebagai sebuah organisasi dengan 48 negara anggota, Dewan Eropa memegang
peranan penting dalam memastikan penghormatan dan penegakan HAM untuk 800 juta
penduduk di Eropa. Tugas utama Dewan Eropa adalah perlindungan HAM, pelaksanaan
demokrasi, dan penegakan hukum. Berdasarkan standar bersama mengenai hukum
internasional publik, hak dan kepentingan setiap orang merupakan fokus utama kerja
organisasi tersebut.
Jumlah negara anggota dan bidang kegiatan Dewan Eropa telah mengalami
peningkatan yang signifikan sejak di dirikan pada 1949 oleh sebelas negara Eropa
Barat. Meskipun HAM hanyalah salah satu fungsi Dewan Eropa, namun program aksi
politik 1997 menunjukkan adanya perkembangan bidang kegiatan yang semakin luas.
Dalam program aksi politik
tersebut, Dewan Eropa telah
mengajukan 19 program dalam 5
bidang untuk memperkuat
stabilitas demokrasi di negara-
negara anggotanya. Lima bidang
tersebut adalah demokrasi dan
HAM, solidaritas, keamanan
individu, nilai demokratis dan
keragaman, serta struktur budaya
dan cara kerja Dewan.

30
2. Komisi Afrika
Mekanisme pelaksanaan menurut Piagam Afrika tentang Hak Manusia dan
Rakyat, sering disebut sebagai Piagam Banjul. Pengadilan Afrika tentang Hak Manusia
dan Rakyat dibentuk pada 10 Juni 1998.
Komisi Afrika tentang Hak Manusia dan Rakyat itu terdiri dari 11 orang
independen yang dipilih oleh Uni Afrika. Komisi bersidang dua kali setahun. Tiga
fungsi inti dari Komisi adalah memajukan penghormatan HAM di Afrika, memastikan
perlindungan hak-hak, dan menafsirkan ketentuan-ketentuan Piagam Uni Afrika.
Pemajuan HAM di Afrika melibatkan berbagai tanggungjawab. Hal ini dapat
dilakukan melalui penelitian, konferensi, penyebarluasan informasi, analisis, legislasi,
dan praktik nasional serta kerja sama dengan organisasi lain. Tanggungjawab Komisi
yang paling penting adalah memastikan perlindungan HAM yang berasal dari Piagam.
Perlindungan tersebut diberikan melalui pemeriksaan laporan negara serta komunikasi
antarnegara dan individual. Negara-negara harus menyampaikan laporan tiap dua tahun
tentang tindakan yang diambil untuk menegakkan ketentuan-ketentuan Piagam.

3. Komisi HAM Antar-Amerika


Sistem HAM Antar-Amerika mempunyai dua mekanisme, yakni Komisi HAM
Antar-Amerika dan Pengadilan HAM Antar-Amerika. Dalam beberapa hal, kedua
institusi ini memiliki fungsi yang sejajar.
Komisi HAM Antar-Amerika dibentuk oleh negara-negara Amerika pada 1960.
Komisi tersebut diberi mandat yang luas yaitu menyiapkan laporan, membuat
rekomendasi, dan menjalankan penelitian mengenai negara-negara tertentu.
Diterimanya Konvensi
HAM Amerika pada 20
November 1969 memperkuat
Yurisdiksi Komisi. Komisi
HAM ini berkedudukan di
Washington, Amerika Serikat
dan terdiri dari 7 ahli
independen yang dipilih oleh
organisasi negara Amerika.

31
Konvensi menetapkan mandat dan fungsi Komisi, berupa pemajuan dan
perlindungan HAM. Tugas ini dapat dicapai melalui pengembangan kesadaran HAM,
penyampaian rekomendasi kepada negara-negara anggota, persiapan penelitian dan
laporan dengan meminta pemerintah-pemerintah untuk memberi informasi.

4. Badan HAM ASEAN


Komunike Bersama Menteri-Menteri ASEAN yang ke-26 di Singapura pada 23-
24 Juli 1993, para menteri luar negeri ASEAN mempertimbangkan pembentukan
mekanisme regional tentang HAM. Untuk menindak-lanjuti pembentukan badan HAM
ASEAN, pemerintah Indonesia telah memprakarasi adanya kerjasama ASEAN untuk
menagadakan dua pertemuan, di Bali pada Desember 2005, dan di Jakarta, pada
Desember 2006 yang disebut dengan “Roundtable Discussion on the ASEAN Human
Rights Mechanism: Follow Up of the Vientiane Action Programme (VAP) of ASEAN
2004-2010” and “Roundtable Discussion on Human Rights in ASEAN: Challenges and
Opportunities for Human Rights in a Caring and SharingCommunity”.
Pada 2005, Negara-
Negara Anggota ASEAN
menyepakati dirumuskannya
sebuah instrumen yang
mengikat secara hukum sebagai
instrumen konstitutif ASEAN,
untuk menggantikan Deklarasi
1967 yang bukan instrumen
mengikat secara hukum. Untuk
maksud tersebut, ASEAN membentuk kelompok orang-orang terkemuka yang ditugasi
menyusun cetak biru instrumen konstitutif tersebut yang dinamakan “Piagam ASEAN”.
Cetak biru instrumen ini terselesaikan pada 2006 dan untuk menyusun ketentuan-
ketentuan yang akan menyodorkan cetak biru itu menjadi ketentuan- ketentuan Piagam
ASEAN dibentuk Satuan Tugas Tingkat Tinggi yang beranggotakan pejabat-pejabat
senior Pemerintah Negara-Negara Anggota ASEAN.

32
Seiring dengan dibentuknya Asian Intergovermantal Commission on Human Right
(AICHR) di kawasan Asia Tenggara oleh 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN,
memiliki konsekuensi pada berlakunya mekanisme penanganan pelanggaran HAM di
tingkat regional, yaitu Asia Tenggara. Hal itu mengikat terhadap ke-10 negara anggota.
Hambatan penegakan HAM pada tingkat Internasional menyebabkan munculnya isu
mekanisme penegakan HAM pada tingkat regional.
Pada tingkat regional, ASEAN secara umum telah menganggap HAM sebagai
prinsip penting baik dalam hubungan internasional maupun dalam masalah domestik.
Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, namun salah satu tujuan pembentukan
ASEAN sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi Bangkok 1967 adalah
meningkatkan perdamaian dan stabilitas kawasan melalui penghargaan.
Tujuan terbentuknya suatu mekanisme HAM ASEAN mulai sedikit bergeser
untuk membentuk badan HAM di tingkat regional, yang bertujuan membentuk Komisi
HAM ASEAN untuk mengawasi pelaksanaan HAM di kawasan Asia Tenggara. Tujuan
itu kemudian dijabarkan dalam Piagam ASEAN tahun 2007, yang dibentuk dengan
maksud untuk memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas
serta memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada kedamaian di dalam regional
ASEAN. Organisasi regional ASEAN memiliki tujuan pemajuan dan peningkatan
perdamaian, keamanan, dan juga pemenuhan hak asasi manusia di lingkup ASEAN.
Organisasi ini juga menyatakan ketundukan dan penghormatan pada Piagam PBB,
hukum Internasional dan Hukum Humaniter Internasional.

C. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM Internasional


Setelah mengesahkan sebuah konvensi HAM internasional, suatu negara
menanggung kewajiban-kewajiban hukum tertentu tentang bagaimana memperlakukan
individu yang berada di bawah yurisdiksinya.
Kewajiban hukum adalah bagian dari rezim hukum internasional publik. Sebagai
titik awal, individu-individu tidak diberi secara langsung hak-hak yang dapat diterapkan
dalam konvensi. Status hukum mereka bergantung penuh pada bagaimana negara yang
bersangkutan menangani kewajiban HAM internasionalnya, dan setiap pelanggaran
terhadap kewajiban tersebut merupakan sengketa terhadap hukum internasional.

33
Konvensi-konvensi HAM memberi petunjuk khusus bagaimana negara harus
melaksanakan kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya pada tingkat nasional.
Suatu negara pihak diminta menetapkan tindakan legislatif atau tindakan lain yang
mungkin perlu untuk memberlakukan hak-hak dalam konvensi. Ketika konvensi-
konvensi HAM internasional dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan
nasional atau ketika norma-norma HAM yang sama dimanifestasikan ke dalam hukum
nasional, orang-orang akan memiliki kemungkinan untuk membawa kasus HAM ke
pengadilan nasional.
Perjanjian-perjanjian HAM
internasional ini tidak hanya
membentuk hak-hak spesifik
untuk orang dan kewajiban-
kewajiban bagi negara, tetapi
juga membawakan mekanisme
bagi pelaksanaannya di tingkat
internasional. Oleh karenanya,
sub bab ini akan membahas
tentang instrumen pelaksanaan
mekanisme secara internasional
yang disebut badan-badan perjanjian internasional menurut Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB).
Mekanisme yang menyangkut berbagai konvensi di dunia, yaitu:
a. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
b. Konvensi tentang Pengapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,
c. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat,
d. Konvensi tentang Hak Anak.
Sebelum membahas berbagai badan-badan HAM berdasarkan perjanjian
internasional, maka perlu memahami cara-cara yang memungkinkan badan-badan
tersebut berjalan melaksanakan tugas pemantauannya.

34
1. Laporan Negara
Semua negara yang mengesahkan satu atau lebih perjanjian internasional tentang
HAM, berkewajiban untuk menyampaikan laporan berkala mengenai tindakan-tindakan
yang diambil negara tersebut untuk mengimplementasikan standar HAM yang
tercantum dalam konvensi-konvensi yang bersangkutan menurut Komite untuk Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Laporan-laporan dari negara-negara pihak dapat diakses oleh publik, dan
diperiksa oleh komite yang relevan dengan kehadiran wakil-wakil pemerintah negara
pelapor. Berdasarkan informasi yang diberikan dalam laporan pemerintah, komite
menanyakan delegasi negara yang bersangkutan tentang situasi hak asasi manusia
negara tersebut.
Selain informasi yang diperlukan oleh negara, komite dapat mencari informasi
tambahan yang berasal dari manapun untuk menciptakan dasar bagi pemeriksaan itu,
terutama dari organisasi-organisasi non pemerintah. Bagi komite, pemeriksaan laporan
berakhir dengan diterimanya apa yang disebut “observasi penutup“, di mana komite
menyampaikan evaluasinya baik aspek positif maupun negatif yang ada mengenai isu-
isu HAM tertentu yang dilaporkan oleh negara tersebut.
Komite membuat rekomendasi khusus kepada negara pihak yang bersangkutan
mengenai tindakan yang perlu yang harus diambil dalam rangka memperbaiki situasi.
Laporan-laporan komite kemudian disampaikan kepada Majelis Umum PBB.

2. Komentar Umum
Bagian dari mandat Komite adalah untuk membuat apa yang disebut “komentar
umum” atau “rekomendasi”. Komentar Umum terfokus terutama pada tata cara
pelaporan dan tentang bagaimana berbagai ketentuan perjanjian internasional
diinterpretasikan dan tidak boleh menyebut negara-negara atau kasus-kasus secara
individual. Komentar umum menjelaskan, membatasi, dan menerangkan ketentuan-
ketentuan individual dalam Kovenan serta menjelaskan hubungan antara berbagai
ketentuan dan berbagai perjanjian internasional.
Walaupun Komentar Umum tidak mengikat secara hukum bagi negara, komentar
tersebut merupakan panduan yang berharga untuk menafsirkan dan menerapkan
Kovenan. Komentar tersebut didasarkan pada pengalaman yang diperoleh komite-

35
komite penelaahan petisi-petisi individu dan laporan-laporan negara dan mencerminkan
praktik internasional di lapangan serta interpretasi komite terhadap praktik tersebut.

3. Pengaduan Individu
Individu-individu dapat mengajukan petisi kepada Komite HAM yang memantau
KIHSP. Komite Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Komite Menentang
Penyiksaan. Setiap individu yang mengklaim bahwa haknya menurut konvensi telah
terlanggar dapat menyampaikan komunikasi kepada badan perjanjian Internasional yang
relevan. Prasyarat untuk mendapatkan akses prosedur pengaduan adalah bahwa negara
yang bersangkutan telah menerima kewenangan komite untuk berbuat, selain itu
terdapat banyak sekali persyaratan prosedural yang beragam yang harus dipenuhi
terutama setelah tuntasnya remedi domestik (KIHSP, Protokol Opsional I, Pasal 2).
Banyak komunikasi pengaduan yang ditolak karena pengaduan menyangkut
kegiatan yang tidak berada di bawah yurisdiksi perjanjian internasional.

4. Pengaduan Antar Negara


Pengaduan antarnegara dapat disampaikan kepada Komite HAM yang memantau
KIHSP, Komite Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan Komite Menentang
Penyiksaan. Pengaduan antarnegara akan disampaikan oleh suatu negara pihak sebagai
reaksi terhadap perlakuan tidak baik terhadap individu yang berada di bawah yurisdiksi
negara lain. Komite hanya akan mempunyai kewenangan untuk memeriksa pengaduan
tersebut, jika kedua negara pihak yang bersangkutan telah membuat deklarasi tentang
penerimaan kewenangan Komite.
Tidak seperti sistem pengaduan individual, mekanisme pemantauan ini tidak
pernah digunakan dalam sistem PBB. Dalam Pengadilan HAM Eropa, sistem tersebut
telah digunakan dalam 12 kasus (1 kasus terhadap Italia, 2 terhadap Yunani, 3 terhadap
Inggris, dan 6 kasus terhadap Turki). Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan
300.000 lebih permohonan yang diajukan. Hal itu terjadi karena tingginya harga
diplomasi yang harus dibayar oleh negara yang menggunakan sistem pengaduan ini, dan
resiko meningkatnya konflik.

36
5. Misi Pencari Fakta
Mekanisme pemantauan HAM yang lebih proaktif dibentuk menurut Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak
Manusiawi atau Merendahkan Martabat, serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (menurut protokol opsionalnya).
Atas dasar informasi yang dapat dipercaya mengenai pelanggaran serius atau
sistematis, komite-komite dapat diberi mandat untuk melakukan penyidikan sendiri.
Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, yang mulai berlaku pada 26 Juni
2006 meluaskan kewenangan komite ini. Prosedur penyelidikan yang khas akan dimulai
dengan informasi yang berasal dari individu-individu, kelompok dan negara-negara.
Komite selanjutnya akan mengundang negara pihak dalam pemeriksaan informasi
tersebut dan dapat menunjuk seorang atau lebih anggotanya untuk melakukan
penyelidikan konfidensial (termasuk kunjungan setempat). Rancangan laporan akan
dibahas dengan negara yang bersangkutan di dalam komite dan sebuah ringkasan sentral
mungkin diterbitkan dalam laporan tahunan komite. Keseluruhan proses itu bersifat
konfidensial dan sebagian besar didasarkan pada kerjasama dengan negara yang
bersangkutan.

6. Hubungan dengan Mahkamah Internasional


Mahkamah Internasional dibentuk menurut Piagam PBB dengan wewenang
untuk memutus persengketaan antara negara-negara berdasarkan penafsiran atau
penerapan dari hukum internasional publik. Dalam pengertian ini Mahkamah
Internasional mempunyai kewenangan juga untuk menafsirkan Konvensi HAM.
Beberapa konvensi yang menjadi kewenangan Mahkamah Internasional yaitu:
a. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
b. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
c. Konvensi Menentang Penyiksaan,
d. Kovensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan
Anggota Keluarga Mereka,
Semuanya konvensi tersebut membuka kemungkinan dirujuknya persengketaan
antara negara-negara pihak tentang penafsiran atau penerapan konvensi-konvensi
tersebut kepada Mahkamah Internasional.

37
Badan-Badan HAM berdasarkan perjanjian internasional sebagai berikut:
1. Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Kovenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (KIHESB), bagian IV
(Pasal 16-25) mengatur
mekanisme pemantauan.
Menurut Pasal 16 ayat (1),
negara pihak diharuskan
menyampaikan laporan tentang
tindakan-tindakan yang telah
diambil oleh negara-negara pihak dan kemajuan yang telah dicapai dalam pemantauan
hak-hak yang diakui di dalamnya.
Walaupun Kovenan tidak membentuk badan perjanjian internasional, Pasal 16
ayat (2) memberi kewenangan terhadap Dewan Ekonomi dan Sosial untuk membahas
laporan-laporan tersebut. Di samping itu salinan laporan disampaikan kepada badan-
badan khusus PBB dan Komite HAM untuk memperoleh perhatian badan-badan khusus
PBB. Mandat Dewan Ekonomi dan Sosial berasal dari Piagam PBB Bab X juncto Pasal
55. Dewan berfungsi sebagai forum sentral bagi pembicaraan isu-isu ekonomi dan sosial
internasional dan membuat rekomendasi politik dengan tetap menghormati isu-isu
ekonomi, sosial dan budaya internasional yang berkaitan dengan masalah kesehatan,
pendidikan dan masalah sejenis.
Dewan Ekonomi dan Sosial harus memajukan penghormatan pada pemenuhan
HAM dan kebebasan dasar, serta menyelenggarakan konferensi-konferensi internasional
sekaligus mempersiapkan perjanjian internasional. Dewan Ekonomi dan Sosial dalam
beberapa hal harus bekerjasama dan mengkoordinasikan aktifitasnya dengan program-
program PBB (seperti UNICEF dan UNDP) dan badan-badan khusus seperti ILO,
WHO, UNESCO dan FAO. Organisasi non pemerintah yang relevan juga dilibatkan,
dan lebih dari 2.700 organisasi non pemerintah mempunyai status konsultatif pada
Dewan Ekonomi dan Sosial.
Dewan memiliki 54 anggota yang dipilih untuk masa tiga tahun. Anggota-anggota
tersebut bertugas sebagai utusan pemerintah. Dewan menyelenggarakan pertemuan

38
setiap tahun dalam sidang yang berlangsung selama lima minggu. Tetapi menurut
Piagam PBB Pasal 68, bagian utama kerja operasional Dewan tersebut didelegasikan
kepada komisi-komisi.
Komisi-komisi dibagi ke dalam tiga kategori utama yaitu:
- Komisi-komisi fungsional, seperti bekas Komisi HAM, Komisi tentang Status
Perempuan dan Komisi tentang Pembangunan berkelanjutan.
- Komisi-komisi regional untuk Afrika, Asia dan Pasifik, Amerika Latin dan
Karibian, Eropa, dan Asia Barat.
- Komisi Tetap dan badan-badan ahli, seperti Komisi untuk Program Pemukiman
Manusia.

2. Komite Hak Asasi Manusia


Bagian IV KHISP, Pasal 28- Pasal 45 mengatur pembentukan Komite HAM
(Human Rights Committe). Komite ini mempunyai 18 anggota yang dinominasi dan
dipilih oleh negara-negara (Pasal 29 dan Pasal 30) tetapi bekerja dalam kapasitas pribadi
mereka dan bukan sebagai wakil pemerintah (Pasal 28 ayat (3)).
Anggota-anggota tersebut haruslah “orang-orang berkarakter moral yang tinggi
dan mempunyai kompetensi di bidang HAM yang diakui” menurut Pasal 28 ayat (2).
Fungsi utama Komite tersebut adalah menjamin pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Kovenan melalui pembahasan laporan-laporan pengaduan antarnegara dan secara
bertahap, petisi individual Komite harus mengembangkan peraturan tata tertibnya
sendiri dan peraturan-peraturan mereka sendiri (Pasal 39), agar pelaksanaan mekanisme
lebih efektif.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) Pasal 40 ayat (1)
mengharuskan negara-negara pihak menyampaikan tindakan-tindakan yang telah
diambil yang memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan dan mengenai
kemajuan yang tercapai dalam penikmatan hak-hak tersebut. Selain itu laporan harus
memasukkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang dapat mempengaruhi
implementasi dari Kovenan.
Laporan berkala harus disampaikan dalam waktu satu tahun, terhitung mulai
berlakunya Kovenan untuk negara yang bersangkutan dan setelahnya setiap lima tahun.
Tugas Komite dirumuskan secara agak longgar yaitu Komite harus meneliti laporan-

39
laporan yang disampaikan oleh negara-negara pihak dan Komite menyampaikan laporan
serta komentar umum yang mungkin dianggapnya tepat kepada para pihak.

3. Komite atas Penghapusan Diskriminasi Rasial


Mekanisme pelaksanaan
menurut ketentuan Konvensi
Internasional Penghapusan
Diskriminasi Rasial didasarkan
pada Bagian II yang membahas
laporan tentang komunikasi
antarnegara dan komunikasi
individual.
Pasal 8 Konvensi ini
mengamanatkan terbentuknya Komite tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial yang
akan menjalankan fungsi-fungsinya. Komite terdiri dari 18 ahli yang mempunyai
kedudukan moral tinggi dan imparsialitas yang diakui. Para anggota dipilih oleh negara-
negara pihak dengan mempertimbangkan pembagian geografis yang adil dan
terwakilinya berbagai bentuk peradaban serta sistem-sistem hukum yang utama. Para
anggota dan Komite bertugas dalam kapasitas pribadi dan pembiayaan mereka harus
ditanggung oleh negara-negara pihak menurut Pasal 8 ayat (6).
Semua negara yang menerima Konvensi wajib membuat laporan. Laporan tentang
tindakan legislatif, yudisial, administratif atau tindakan lainnya harus disampaikan
setiap dua tahun atau setiap saat apabila diminta oleh Komite. Komite tentang
Penghapusan Diskriminasi Rasial membahas laporan tersebut dan dapat membuat saran
dan ”Rekomendasi Umum” yang dikompilasikan dalam laporan tahunan Komite kepada
Majelis Umum PBB. Prosedur ini banyak persamaannya dengan prosedur menurut
Komite Hak Asasi Manusia.

4. Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan


Bagian V dari Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All of Discrimination against
Woman/CEDAW) mengatur pelaksanaan Konvensi tersebut. Mekanismenya terbatas

40
pada pembahasan laporan oleh Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan dan pembuatan komentar umum.
Komite Penghapusan
Diskriminasi Perempuan ini
dibentuk berdasarkan Pasal 17
CEDAW dan terdiri dari 23 ahli
dengan kedudukan moral tinggi
dan kompeten. Menurut Pasal
17 ayat (1) CEDAW para
anggota dipilih oleh Negara-
Negara Pihak, tetapi bertindak
dalam kapasitas pribadi. Pemilihan para ahli harus mempertimbangkan pembagian
geografis yang adil dan terwakilinya berbagai bentuk peradaban serta sistem-sistem
hukum utama.
Sesungguhnya Pasal 29 CEDAW juga membentuk mekanisme pelaksanaan.
Ketentuan ini menetapkan bahwa pertikaian antar Negara Pihak mengenai penafsiran
penerapan Konvensi, dalam keadaan tertentu, dapat dirujuk pada Mahkamah
Internasional. Sejumlah negara telah membuat reservasi terhadap ketentuan ini dan
mekanisme tersebut belum pernah digunakan. Melalui Protokol Opsional 1999,
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan telah
menjadi alat yang lebih efisien untuk menjamin pelaksanaan Konvensi, tetapi
mekanisme ini dilemahkan melalui beberapa reservasi yang dibuat oleh negara-negara
pada waktu ratifikasi yang memang dibolehkan sesuai Pasal 28. Pasal tersebut
menekankan bahwa persyaratan yang “bertentangan dengan obyek dan tujuan”
Konvensi tidak diperbolehkan.
Banyak negara yang melakukan reservasi, hal ini tentu sangat bertentangan
dengan obyek dan tujuan CEDAW. Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan telah membuat dua rekomendasi umum dan pernyataan agar negara-negara
menarik reservasi mereka sesuai dengan Pasal 28 ayat (3). Tugas Komite tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah menilai laporan
berkala yang disampaikan oleh Negara-Negara Pihak setiap empat tahun atau apabila
Komite memintanya. Laporan harus memberikan informasi tentang “tindakan legislatif,

41
administratif atau tindakan lainnya yang telah diambil oleh Negara-Negara Pihak untuk
memberlakukan Konvensi ini dan tentang kemajuan yang telah dicapai setelah
meratifikasi Konvensi. Laporan tersebut dapat menyebutkan faktor-faktor dan kesulitan-
kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban.

5. Komite Menentang Penyiksaan


Terdapat beberapa mekanisme
pelaksanaan menurut Konvensi
Menentang Penyiksaan yaitu
pembahasan laporan, investigasi,
komunikasi antarnegara, dan
komunikasi individual. Semua
mekanisme bertumpu pada
Komite Menentang Penyiksaan.
Komite terdiri dari 10 ahli dengan kedudukan moral tinggi dan kemampuan yang
diakui dalam bidang HAM yang menjalankan tugas dalam kapasitas pribadi. Para
anggota dipilih oleh negara-negara pihak, dengan mempertimbangkan berbagai alasan
geografis yang adil dan pada kegunaan partisipasi beberapa anggota yang memiliki
pengalaman hukum.

6. Komite tentang Hak Anak


Mekanisme pelaksanaan Konvensi tentang Hak Anak dilakukan oleh Komite
tentang Hak Anak (Commitee on the Right of childs). Komite itu terdiri dari 10
(sepuluh) ahli dengan kedudukan moral tinggi dan kompetensi yang diakui dalam
bidang yang diliput oleh Konvensi ini. Meskipun para anggota Komite dipilih oleh
Negara-Negara Pihak, mereka melakukan tugas dalam kapasitas pribadi mereka yang
pemilihannya didasarkan atas pertimbangan pembagian geografis yang adil dan pada
sistem-sistem hukum utama.
Tujuan utama Komite adalah memeriksa kemajuan yang dibuat oleh Negara-
Negara Pihak dalam mencapai perwujudan kewajiban yang dijanjikan dalam Konvensi.
Isi laporan harus menginformasikan tindakan yang telah diambil oleh Negara Pihak
yang memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Konvensi dan tentang kemajuan yang

42
telah tercapai tentang penikmatan hak-hak tersebut. Laporan negara harus menunjukkan
faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban
Negara Pihak.
Sejak diterimanya Konvensi
tentang Hak Anak, UNICEF
telah memiliki peran khusus.
UNICEF merupakan aktor
penting dalam pengembangan
Konvensi, dan telah
menjadikan Konvensi tentang
Hak Anak sebagai prinsip dasar
kegiatannya. Hubungan ini
membawa arah baru ketika pada 1998, UNICEF memutuskan bahwa seluruh
programnya harus berdasarkan HAM. Prespektif ini mengandung arti bahwa anak-anak
adalah pemegang hak bukan penerima pasif kemurahan hati. UNICEF berfokus pada
anak-anak yang sulit dijangkau, seperti anak-anak dalam perang atau persengketaan,
pekerja anak, anak-anak cacat, anak-anak jalanan, dan anak-anak yang bermasalah
dengan hukum.

7. Komite Pekerja Migran


Selama bertahun-tahun, 6 (enam) konvensi HAM PBB di atas dinamakan ‘enam
konvensi inti’. Satu alasan untuk mengedepankan enam konvensi ini dalam arti lebih
penting daripada konvensi-konvensi HAM lainnya adalah karena enam konvensi ini
telah membentuk sistem pemantuan yang didasarkan pada perjanjian internasional.
Pada 1 Juli 2003 ”keluarga enam” tersebut diperbesar ketika Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarga Mereka
mulai berlaku. Pada 14 September 2006, sebanyak 34 negara telah menjadi pihak pada
Konvensi tersebut. Konvensi tersebut membentuk Komite dengan sepuluh anggota ahli
independen (untuk diperbesar menjadi empat belas tergantung pada jumlah ratifikasi.
Komite mengadakan sidang pertamanya pada 2004, dan memiliki kewenangan
memeriksa laporan negara-negara yang disampaikan setiap lima tahun.

43
Keprihatinan dan rekomendasi Komite akan disampaikan dalam pengamatan
umum atas setiap negara yang bersangkutan. Karena Komite tentang Pekerja Migran
baru dibentuk dan belum memiliki ratifikasi yang banyak, maka saat ini belum ada
yurisprudensi atau dokumentasi yang dikeluarkan.

D. Latihan
Untuk mengukur pemahaman saudara tentang mekanisme penanganan
pelanggaran HAM, silakan jawab pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan bagaimana mekanisme penanganan pelanggaran HAM di Indonesia!
2. Bgaimana prosedur pelaksanaan pengadilan HAM atas terjadinya pelanggaran berat!
3. Jelaskan perbedaan antara mekanisme regional dan internasional atas pelanggaran
HAM!

E. Rangkuman
Mekanisme penanganan pelanggaran HAM dapat ditemui hampir di semua negara
yang kemudian dianggap penyelesaian secara internasional. Pada prinsipnya terdapat
empat prosedur penyelesaian, yaitu prosedur pelaporan oleh negara anggota, prosedur
pengaduan antar negara, prosedur pengaduan individu, prosedur penyelidikan.
Keempat prosedur penyelesaian pelanggaran HAM Internasional tersebut
selanjutnya diproses melalui sebuah mekanisme penanganan pelanggaran HAM yang
terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Mekanisme berdasarkan piagam (the charter base mekanism)
Mekanisme berdasarkan piagam adalah prosedur penegakan HAM yang dibentuk
melalui piagam PBB. Mekanisme ini dilakukan melalui Dewan HAM PBB, Sub
Dewan HAM PBB, Prosedur 1503, dan mekanisme tematis dan negara.
2. Mekanisme berdasarkan perjanjian (the treaty base mekanism)
Mekanisme berdasarkan perjanjian adalah mekanisme yang dibentuk melalui
perjanjian perjanjian hak asasi manusia yang berada dibawah sistem PBB, terutama
komite komite dengan kewenangan untuk memeriksa dan mengevaluasi praktek
praktek hak asasi manusia negara negara anggota menurut tugas yang berasal dari
konvensi konvensi. Metode kerja mereka terkait dengan dokumen pembentukannya
yang membuat badan badan ini bersifat legal.

44
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
1. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir
dari adanya instrumen-instrumen HAM, baik instrumen nasional maupun
internasional. Pelanggaran tersebut dapat berupa kelalaian negara atas norma
yang belum masuk dalam pidana nasional namun menjadi bagian dari hak yang
diakui secara internasional. Oleh karenanya, titik tekan palanggaran HAM
adalah tanggung jawab negara (state responsibility) sedangkan pelanggaran
pidana berkaitan dengan pelaku non negara.
2. Adanya perbedaan dalam pengakuan dan perlindungan HAM maka perlu
ditafsirkan dan diterapkan perundang-undangan yang berlaku secara
internasional. Pengaturan itu untuk menyediakan keseragaman standar standar
minimum oleh negara terhadap manusia di muka bumi. Instrumen internasional
merupakan alat berupa standar-standar pembatasan pelaksanaan dan mekanisme
kontrol terhadap kesepakatan-kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM.
3. Dalam penanganan pelanggaran HAM, maka dapat dikategorikan menjadi 3
(tiga), yaitu penanganan di lingkup nasional yang bersandarkan atas pengaturan
instrumen HAM nasional, mekanisme penanganan regional, dan mekanisme
penanganan internasional.

B. Implikasi
Setelah mempelajari modul ini, peserta diklat dapat memahami serta menerapkan
meknaisme penanganan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugasnya. Di sisi lain,
pesertadiklat mampu mengidentifiksi jenis, pola, dan cakupan pelanggaran HAM yang
ada serta memberikan solusi mekanisme penanganan yang ada sesuai dengan instrumen
HAM masing-masing.

45
DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini, (Jakarta: Kencana, 2004)
Azizy, Qodri. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004)
B. Kieser, Paguyuban Manusia Dengan Dasafirman (Kanisius: Yogyakarta, 1991)
Donnely, Jack. Universal Human Rights in Theory and Practice (Ithaca and London:
Cornell University Press, 2003)
Kemitraan Partnership. Modul Pelatihan Bagi Petugas Pemasyarakatan Implementasi
Sistem Pemasyarakatan dan Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners
(Jakarta: Kemitraan, 2008)
Khamdan, Muh. Islam dan HAM Bagi Narapidana atau tahanan (Kudus: Parist, 2012)
Melander, Goran. Kompilasi Instrumen Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg Institute
(Jakarta: SIDA-Departemen Hukum dan HAM, 2004)
Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2002)
Smith, Rhona K. M. Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008)

46
BIODATA PENULIS

Naniek Pangestuti, S.Sos., SH., M.Si. Lahir di Purbalingga, 3 Agustus 1976.


Mengawali statusnya sebagai PNS di Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia sejak
2001. Kemudian menjabat sebagai Kepala Seksi Pelatihan HAM (2006), Kepala Seksi
Penguatan HAM (2008), dan Kepala Seksi Penguatan HAM Wilayah II B (2011).
Panggilan jiwa mengantarkannya sebagai dosen di Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
(Poltekip). Lulusan S1 dan S2 Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia ini memiliki
5 anak, dengan motto hidup “Jika Kita Senang Memudahkan Urusan Orang Lain, Maka
Allah Pasti Akan Memudahkan Semua Urusan Kita”.
HP. 081310694144.

Muh. Khamdan, S.Pd.I., MA.Hum. Lahir di Jepara, 25 Pebruari 1985.


Mengawali status sebagai PNS di BPSDM Hukum dan HAM sejak 2009. Hobinya
mengajar mengarahkan jalan hidupnya menjadi widyaiswara sejak 2011, serta menjadi
dosen tidak tetap di beberapa universitas seperti Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
(Poltekip). Sejak 2015 menjadi Widyaiswara Madya (IV/a). Meraih gelar Magister
Agama dan Studi Perdamaian dari UIN Syarif Hidayatullah atas beasiswa dari
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dan saat ini sedang menyelesaikan
program doktoral di almamater yang sama. Pendiri Yayasan Pemberdayaan Umat
(YPU) Tjitra Mas yang bergerak pada sektor pendidikan dan pengembangan kajian Al-
Qur’an. Aktif juga di Paradigma Institute dan The Indonesian Muslim Crisis Center
(IMC2) yang peduli pada upaya mengurangi tensi kekerasan atas nama agama.
HP. 081326293918.

47

Anda mungkin juga menyukai