Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Hepatitis B

Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus

Hepatitis B (VHB).Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula

menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian.Dari

beberapa penyebab Hepatitis yang disebabkan oleh virus, Hepatitis B menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia karena manifestasinya

sebagai Hepatitis akut dengan segala komplikasinya serta risiko menjadi kronik

(Kementerian Kesehatan RI, 2014; Feld dan Janssen, 2015).

Hepatitis B akut memiliki masa inkubasi 60-90 hari.Penularannya vertikal

95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intra uterine. Penularan

horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, aktifitas

seksual (Dunkelberg, dkk., 2014; Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut.Infeksi hepatitis B

kronis didefinisikan sebagai deteksi terus-menerus dari Hepatitis B surface antigen

(HBsAg) selama lebih dari 6 bulan setelah paparan awal virus.Usia saat terjadinya

infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan terjadi saat bayi maka

95% akan menjadi Hepatitis B kronis, sedangkan bila penularan terjadi pada usia

balita, maka 20-30% menjadi penderita Hepatitis B kronis dan bila penularan saat

dewasa maka hanya 5% yang menjadi penderita Hepatitis B kronis. Infeksi hepatitis

B kronis dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas dari sirosis hati dan

1
karsinoma hepatoseluler hingga 40 persen dari orang-orang yang terkena dampak

(Dunkelberg, dkk., 2014; Feld dan Janssen, 2015; Kementerian Kesehatan RI,

2014).

2.2. Epidemiologi

Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita

yang tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah

penderita yang sesungguhnya.Mengingat ini adalah penyakit kronis yang menahun,

dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi, kondisi masih sehat dan belum

menunjukkan gejala dan tanda yang khas, tetapi penularan terus berjalan

(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia

termasuk di Indonesia.Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang

di dunia, dan sekitar 250 juta orang diantaranya menjadi pengidap Hepatitis B

kronis. Sekitar 15-40% dari pasien yang terinfeksi kronis akan menjadi sirosis,

menuju gagal hati dan atau kanker hati. Setiap tahun, ada lebih dari 4 juta kasus

klinis akut Hepatitis B virus. Dan diperkirakan 1 juta orang meninggal setiap tahun

karena infeksi kronis Hepatitis B dan komplikasinya: sirosis atau kanker hati primer

(Feld dan Janssen, 2015).

Prevalensi VHB dalam kehamilan di Amerika Serikat adalah 0.2% sampai

6%. Dalam studi yang dilakukan di Florida yang melibatkan hampir 1,7 juta wanita

hamil, prevalensi virus hepatitis B 27 kali lebih tinggi di antara Asia-Amerika dan

5 kali lebih tinggi diantara Afrika-Amerika dibandingkan dengan kulit putih.

2
Prevalensi virus hepatitis B di asia timur 8% (Cina 2-18%, Taiwan 2-18% dan

Hongkong 4-10%, tergantung pada daerah), sub-sahara afrika 8-12%, dan asia

tenggara 6% ( Indonesia 2-9%, Thailand 1-25%, dan india 1-66%, tergantung pada

daerah) (Dunkelberg, dkk., 2014).

2.3 Etiopatogenesis Hepatitis B Dalam Kehamilan

Hampir semua jenis virus hepatitis dapat menyerang manusia.Ibu hamil yang

terserang virus ini dapat menularkannya pada bayi yang ada dalam kandungan atau

waktu menyusui bayi itu. Bentuk penularan seperti inilah yang banyak di jumpai

pada penyakit hepatitis B. Pada saat ini jenis hepatitis yang paling banyak di pelajari

ialah hepatitis B. Walaupun infeksi virus ini jarang terjadi pada populasi orang

dewasa, kelompok tertentu dan orang dengan cara hidup tertentu memiliki risiko

tinggi. Kelompok ini mencakup (Ferrari, dkk., 2003):

a. Imigran dari daerah endemis hepatitis B

b. Pengguna obat secara intravena (iv) yang sering bertukar jarum dan alat suntik

c. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang yang

terinfeksi

d. Pria homoseksual yang secara seksual aktif

e. Pasien rumah sakit jiwa

f. Narapidana pria

g. Pasien hemodialisis dan penderita hemofilia yang menerima produk tertentu

dari plasma

h. Kontak serumah dengan karier hepatitis

3
i. Pekerja sosial di bidang kesehatan, terutama yang banyak kontak dengan darah

Bila hepatitis virus terjadi pada trimester I atau permulaan trimester II maka

gejala-gejalanya akan sama dengan gejala hepatitis virus pada wanita tidak hamil.

Meskipun gejala-gejala yang timbul relatif lebih ringan dibanding dengan gejala-

gejala yang timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya tetap dirawat di

rumah sakit.

Hepatitis virus yang terjadi pada trimester III, akan menimbulkan gejala-

gejala yang lebih berat dan penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala

fulminant. Pada fase inilah hepatitis nekrosis akut sering terjadi, dengan

menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi, dibandingkan dengan penderita

tidak hamil. Pada trimester III, adanya defisiensi faktor lipotropik disertai

kebutuhan janin yang meningkat akan nutrisi, menyebabkan penderita mudah jatuh

dalam hepatitis nekrosis akut. Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat

menentukan prognosa (Ferrari, dkk., 2003).

Peneliti lain juga menyimpulkan, bahwa berat ringan gejala hepatitis virus

pada kehamilan sangat tergantung dari keadaan gizi ibu hamil. Gizi buruk

khususnya defisiensi protein, ditambah pula meningkatnya kebutuhan protein untuk

pertumbuhan janin, menyebabkan infeksi hepatitis virus pada kehamilan memberi

gejala-gejala yang jauh lebih berat. Pengaruh kehamilan terhadap berat ringannya

hepatitis virus, telah diselidiki oleh Adam, yaitu dengan cara mencari hubungan

antara perubahan-perubahan koagulasi pada kehamilan dengan beratnya gejala-

gejala hepatitis virus. Diketahui bahwa pada wanita hamil, secara fisiologik terjadi

perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan kenaikan

4
faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitas fibrinolitik, sehingga pada

kehamilan mudah terjadi DIC (Disseminated Intra Vascular Coagulation).

Penularan virus ini pada janin, dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu

(Shao, dkk., 2011) :

1. Melewati plasenta

2. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan

3. Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya

4. Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.

Virus Hepatitis B dapat menembus plasenta, sehingga terjadi hepatitis virus

in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati pada periode

neonatal.Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus plasenta, ialah

ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in utero atau pada janin baru

lahir.Selain itu telah dilakukan pula autopsi pada janin-janin yang mati pada periode

neonatal akibat infeksi hepatitis virus.Hasil autopsi menunjukkan adanya

perubahan-perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatu

bentuk sirosis.Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, hanya mungkin

terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim.Kelainan yang

ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat pada lobus kiri.Hal ini

membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis dari ibu ke janin dapat terjadi

secara hematogen.Angka kejadian penularan virus hepatitis dari ibu ke janin atau

bayinya, tergantung dari tenggang waktu antara timbulnya infeksi pada ibu dengan

saat persalinan.Angka tertinggi didapatkan, bila infeksi hepatitis virus terjadi pada

kehamilan trimester III.Meskipun pada Ibu-Ibu yang mengalami hepatitis virus

5
pada waktu hamil, tidak memberi gejala-gejala ikterus pada bayinya yang baru

lahir, namun hal ini tidak berarti bahwa bayi yang baru lahir tidak mengandung

virus tersebut. Ibu hamil yang menderita hepatitis virus B dengan gejala-gejala

klinik yang jelas, akan menimbulkan penularan pada janinnya jauh lebih besar

dibandingkan dengan Ibu-Ibu hamil yang hanya merupakan carrier tanpa gejala

klinik (Shao, dkk., 2011).

Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran

darah partikel Dane, yang merupakan lapisan permukaan dari VHB atau dikenal

dengan HBsAg, masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya

sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh dengan bentuk

bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB

merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang oleh respons imun

nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu

pendek, dalam beberapa menit sampai jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi

tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T (Shao, dkk.,

2011).

Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik,

yaitu dengan mengaktifkan sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktifasi sel T CD8+

terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptide VHB-MHC

kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding

Antigen Presenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD 4+ yang

sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptide VHB-MHC kelas

II pada dinding APC. Peptide VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel

6
hati dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptide kapsid yaitu HBcAg

atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam

sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bias terjadi dalam bentuk nekrosis

sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di

samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang

terinfeksi melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF)-α

yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik) (Shao, dkk., 2011).

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi

antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah

netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah virus kedalam sel. Dengan demikian

anti HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB

bukan disebabkan gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B

kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengan

metode pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi dalam kompleks dengan

HBsAg (Shao, dkk., 2011).

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat

diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB

yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat

disebabkan oleh faktor viral ataupun faktor pejamu. Faktor viral antara lain:

terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL

(Citotoksik T Limfosit) yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya

mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom

sel hati. Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya

7
antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons

antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal(Shao, dkk., 2011).

Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam

persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang

dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut

disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh

janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga

disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya kadar partikel virus. Persistensi

infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang

menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada mutan

tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB (Shao, dkk., 2011).

2.4 Patofisiologi, Manifestasi Klinis dan Komplikasi Hepatitis B Terhadap

Kehamilan

2.4.1 Patofisiologi hepatitis B dalam kehamilan

Transmisi virus dari ibu ke anak umumnya dikenal dengan istilah transmisi

perinatal. Berdasarkan definisinya, periode perinatal dimulai dari usia kehamilan

28 minggu dan berakhir pada hari ke-28 pasca salin. Berdasarkan definisi ini, maka

istilah transmisi perinatal tidak mencakup infeksi yang terjadi sebelum/sesudah

periode waktu tersebut, dan karenanya digunakanlah istilah Mother to Child

Transmission (MTCT) yang mencakup infeksi VHB yang terjadi sebelum

8
persalinan, saat persalinan, dan masa kanak-kanak. Secara teoritis, ada 3 jalur yang

memungkinkan terjadinya MTCT, yaitu (Navabakhsh, 2011) :

a. Transmisi Prenatal

Meskipun pemberian vaksinasi VHB dan titer HBIG yang tinggi memiliki

efektivitas sebagai Post-Exposure Prophylaxis (PEP) pada bayi baru lahir,

namun pemberian vaksin ini memiliki tingkat kegagalan sebesar 3% - 9%

terutama pada bayi yang lahir dari ibu dengan serum marker VHB positif. Hal

ini mungkin terjadi karena adanya transmisi VHB intrauterin (transmisi

prenatal). Mekanisme pasti transmisi VHB prenatal sampai saat ini belum

diketahui secara pasti, namun ada beberapa hipotesa yang diduga berperan

antara lain:

1. Adanya defek pada barier plasenta

Kebocoran transplasenta terhadap darah maternal dengan HBeAg

positif, yang dapat diinduksi oleh kontraksi uteri selama hamil atau karena

gangguan barier plasenta (misalnya ancaman persalinan preterm atau

abortus spontan) merupakan jalur tersering yang menyebabkan infeksi VHB

intrauterin.Selain itu, prosedur amniosintesis juga meningkatkan risiko

transmisi virus karena jarum yang digunakan secara transversal melalui

dinding abdomen dan uteri berisiko tercampur dengan darah ibu.

2. Infeksi plasenta dan transmisi VHB transplasenta

Plasenta yang terinfeksi VHB memiliki 2 kemungkinan, yaitu dapat

menjadi “penyebab” terjadinya transmisi VHB dari ibu ke fetus, atau dapat

9
terjadi karena merupakan “akibat” dari fetus yang terinfeksi VHB melalui

rute lain. Untuk membedakannya, para peneliti telah mengukur gradien

infeksi plasenta di sisi maternal dan fetal, dan disimpulkan bahwa pada

sebagian besar kasus, infeksi transplasental merupakan “penyebab”

terjadinya infeksi VHB intrauterin.

3. Beberapa studi menunjukkan bahwa VHB DNA terdapat dalam

oosit/sperma. Oleh karena itu, fetus dapat terinfeksi VHB sejak proses

konsepsi.

4. Kemungkinan transmisi VHB intrauterin lainnya dapat terjadi melalui

infeksi ascending dari sekret vagina dari ibu yang mengandung virus.

b. Transmisi Natal

Transmisi VHB saat proses persalinan dapat terjadi karena paparan

terhadap sekret serviks atau darah maternal yang mengandung virus. Sampai

saat ini masih terjadi perdebatan mengenai metode persalinan terbaik untuk

mencegah MTCT. Pada guideline obstetrik yang ada, nilai HBsAg positif tidak

mempengaruhi pemilihan metode persalinan, sementara beberapa artikel

merekomendasikan Cesarean section untuk kasus-kasus dengan nilai VHB

DNA maternal yang tinggi.

c. Transmisi Postnatal

Meskipun VHB DNA ditemui dalam ASI pada ibu yang terinfeksi, namun

pemberian ASI tidak terbukti meningkatkan risiko transmisi asalkan bayi

10
dibekali dengan imunoprofilaksis yang tepat saat lahir dan sesuai jadwal.Selain

itu, ASI tidak perlu ditunda sampai bayi selesai divaksin.Menyusui tidak

terbukti memberikan efek negatif terhadap respon imun bayi terhadap vaksin

VHB dan tidak meningkatkan angka kegagalan vaksin. Hal yang perlu

diperhatikan dalam mencegah transmisi postnatal adalah cara perawatan puting

selama proses menyusui agar tidak terjadi luka atau kulit yang kering dan pecah,

mengingat proses penularan dapat terjadi melalui blood to blood routes.

2.4.2 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis infeksi VHB pada ibu hamil tidak berbeda dengan infeksi

VHB pada umumnya, dengan 4 gambaran sebagai berikut (Silverman, 1995) :

1. Asimtomatik

Gambaran klinis pada penderita asimtomatik tidak memberikan gambaran

yang khas.Penderita nampak sehat, namun dalam darahnya ditemukan HBsAg

positif.Jika ditemukan HBeAg positif, maka penderita tergolong infeksius,

sebab HBeAg menunjukkan adanya proses replikasi yang masih berlangsung.

2. Hepatitis B Akut

Perjalanan klinis hepatitis B akut dibagi menjadi 4 tahap yaitu:

a. Masa inkubasi

Merupakan periode diantara penularan infeksi hingga timbulnya gejala,

berkisar antara 28 – 225 hari dengan rata-rata 75 hari.

b. Fase pra-ikterik

11
Merupakan periode diantara timbulnya gejala pertama hingga ikterik.

Keluhan awal yang biasa dirasakan antara lain lemas, malaise, anoreksia,

mual, muntah, panas, dan rasa tidak enak di daerah perut kanan atas. Mual

dan muntah pada kehamilan muda dapat dibedakan dari hepatitis, dimana

pada kehamilan muda, mual dan muntah terutama dirasakan pada pagi hari

dan semakin berkurang dan semakin membaik pada sore hari. Sementara

pada hepatitis, semakin sore mual dan muntah yang dirasakan akan semakin

berat.

c. Fase ikterik

Fase ikterik berlangsung antara beberapa hari hingga 6 bulan, dengan rata-

rata 1-3 minggu dan menghilang dalam 2-6 minggu. Saat gejala ikterik

muncul, maka gejala demam dan malaise akan menghilang. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan hepar yang teraba membesar dan menetap

selama beberapa saat setelah ikterik menghilang.

d. Fase penyembuhan

Merupakan periode diantara menghilangnya ikterik hingga pasien

sembuh.Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan HBsAg, HBeAg,

dan VHB DNA. Anti-HBc mulai timbul disertai IgM anti-HBc yang

meningkat, sedangkan IgG anti-HBc timbul belakangan dan menetap. Pada

fase ini, sebelum HBsAg menghilang akan timbul anti-HBe yang

menandakan penurunan replikasi virus dan terjadinya resolusi.

Dalam waktu 6 bulan akan timbul anti-HBs setelah HBsAg menghilang

(Liaw dan Chu, 2009).

12
Gambar 2.1
Serologi Infeksi Hepatitis B (Liaw dan Chu, 2009).

3. Hepatitis B kronis

Gambaran klinis hepatitis B kronis bermacam-macam, mulai dari tanpa

gejala hingga gejala yang khas. Gejala tersebut seringkali sulit dibedakan,

apakah seseorang menderita hepatitis kronis persisten atau hepatitis kronis aktif.

Keluhan yang sering terjadi pada hepatitis kronis aktif adalah lemas, mudah

lelah, nafsu makan dan berat badan menurun, dan kadang disertai demam

subfebris.

4. Karsinoma Hepatoselular Primer (KHP)

Gejala klinis KHP akan muncul dan perlu dicurigai apabila seorang

penderita sirosis mengalami perburukan kondisi. Keluhan umum berupa

malaise, rasa penuh di daerah perut, anoreksia, berat badan menurun dan

demam subfebris. Pada pemeriksaan didapatkan perut yang membengkak

karena asites dan liver yang membesar. Gambaran yang mencurigakan ke arah

13
kanker hati bila ditemukan hepar membesar disertai benjolan keras tidak teratur

pada abdomen kuadran kanan atas.

2.5 Diagnosis Hepatitis B

Skrining hepatitis B merupakan salah satu bagian dari upaya untuk

menurunkan transmisi vertikal dari maternal. Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) menyarankan untuk melakukan skrining hepatitis B surface

antigen (HBsAg) setiap wanita hamil pada setiap kehamilan, bahkan jika

sebelumnya terdapat riwayat skrining maupun vaksinasi. Ibu dengan hasil skrining

positif diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan

diagnosis hepatitis B (CDC, 2005).

 Lakukan skrining HBsAg pada wanita dalam setiap kehamilannya


 Lakukan skrining pada trimester pertama jika memungkinkan
 Lakukan skrining apapun hasil tes sebelumnya

14
Status HBsAg
Maternal
Gambar 2.2
Alur Skrining Infeksi Virus Hepatitis B Selama Kehamilan Penyedia Layanan
Antenatal (CDC, 2005).

Diagnosis hepatitis B memerlukan pemeriksaan laboratorium darah pasien

untuk HBsAg, hepatitis B surface antibody (HBsAb), dan hepatitis B core antibody

(HBcAb). HBsAg adalah protein dari permukaan virus hepatitis B yang dapat

ditemukan dalam kadar yang tinggi pada serum elama infeksi akut maupun kronis.

Adanya HBsAg mengindikasikan bahwa pasien tersebut infeksius. HBsAb atau

anti-HBs adalah antibodi yang dihasilkan tubuh sebagai respon imunitas normal

terhadap infeksi. Anti-HBs dapat ditemukan pada orang yang sembuh dan imun

terhadap infeksi virus hepatitis B, baik dari infeksi sebelumnya maupun vaksinasi.

HBcAb atau anti-HBc muncul saat onset akut hepatitis dan bertahan seumur hidup.

15
Pemeriksaan IgM anti-HBc dapat dilakukan untuk memberikan informasi akut

tidaknya infeksi hepatitis. IgM anti-HBc dapat ditemukan ≤ 6 bulan sejak infeksi

akut (CDC, 2005; Wilkins, dkk., 2010).

Komponen-komponen dari pemeriksaan ini, jika digabungkan dapat

menghasilkan interpretasi-interpretasi sebagaimana dijabarkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1
Interpretasi Hasil Tes Serologi Pada Hepatitis B

Komponen Pemeriksaan Hasil Interpretasi

HBsAg Negatif (-) Mudah terinfeksi


Anti-HBc Negatif (-)
Anti-HBs Negatif (-)
HBsAg Negatif (-) Imun karena infeksi sebelumnya
Anti-HBc Positif (+)
Anti-HBs Positif (+)
HBsAg Negatif (-) Imun karena vaksinasi hepatitis B
Anti-HBc Negatif (-)
Anti-HBs Positif (+)
HBsAg Positif (+) Infeksi akut
Anti-HBc Positif (+)
IgM anti-HBc Positif (+)
Anti-HBs Negatif (-)
HBsAg Positif (+) Infeksi kronis
Anti-HBc Positif (+)
IgM anti-HBc Negatif (-)
Anti-HBs Negatif (-)
HBsAg Negatif (-) Interpretasi tidak jelas; empat
Anti-HBc Positif (+) kemungkinan:
Anti-HBs Negatif (-) 1. Infeksi yang telah sembuh (paling
sering)
2. Positif palsu anti-HBc, rentan
terserang HB
3. Infeksi kronik “kadar rendah”
4. Infeksi akut dalam masa pemulihan
(CDC, 2005)

Deteksi dan pengukuran kadar DNA virus hepatitis B (VHB) dengan

menggunakan PCR dapat menjadi salah satu alat diagnosis, tolak ukur memulai

terapi dan pemantauan kondisi pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas dan

16
spesifisitas yang tinggi, sehingga dijadikan sebagai standar internasional menurut

World Health Organizatiion (WHO) untuk normalisasi konsentrasi DNA VHB.

Penyebab lain dari penyakit hepar kronik harus dicari secara sistematis,

termasuk ko-infeksi dengan virus hepatitis, D, C dan/atau HIV. Pasien dengan

infeksi kronik virus hepatitis B harus diperiksa untuk antibodi terhadap virus

hepatitis A (anti-HAV). Komorbid, termasuk penyakit hati alkoholik, auto imun

dan metabolik dengan steatosis atau steatohepatitis juga harus dinilai (European

Association for the Study of the Liver, 2012).

2.6 Terapi dan Pencegahan Tranmisi Vertikal Hepatitis B Dalam Kehamilan

Kasus infeksi hepatitis B akut dan kronik perlu dibedakan dalam

penanganannya. Ibu yang mengalami infeksi akut virus hepatitis B selama

kehamilan harus di monitor ketat dan diterapi konservatif. Selama tidak terdapat

tanda-tanda kegagalan hepar, pemberian antiviral untuk ibu hamil bukanlah sebuah

indikasi (Degertekin dan Lok, 2009).

Tujuan utama tatalaksana infeksi virus hepatitis B kronis adalah memperbaiki

kualitas hidup dan derajat keberlangsungan hidup orang yang terinfeksi dengan

mencegah progresi penyakit ke penyakit sirosis, sirosis terdekompensasi, penyakit

liver stadium lanjut, hepatoselular karsinoma, dan kematian; serta mencegah

transmisi virus hepatitis B ke orang lain.Tujuan ini dapat tercapai jika replikasi

virus hepatitis B ditekan secara baik. Terapi yang diberikan harus dapat mensupresi

kadar virologis sehingga dapat terjadi remisi biokimia, perbaikan secara histologis

dan mencegah komplikasi. Namun, perlu diperhatikan bahwa infeksi virus hepatitis

17
B tidak dapat sepenuhnya dieradikasi karena persistensi dari covalently closed

circular DNA (cccDNA) di nukleus hepatosit yang terinfeksi, dan genom virus

hepatitis B mengintegrasi genom inang dan dapat memicu onkogenesis dan

perkembangan hepatoselular karsinoma (Pollicino, dkk., 2011; European

Association for the Study of the Liver, 2012; Sarin, dkk., 2016).

Indikasi terapi diberikan didasari oleh kombinasi dari tiga kriteria, yaitu:

kadar DNA VHB serum, kadar SGPT/ALT serum dan keparahan penyakit hepar

(dinilai secara klinis, biopsi hepar atau metode noinvasif). Dari tiga kriteria itu,

pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B dapat dibagi sesuai dengan bagan-

bagan pada gambar (Sarin, dkk., 2016).

Pasien terinfeksi VHB kronis

Sirosis Terdekompensasi Sirosis Terkompensasi


Reaktivasi berat
dari hepatitis B
kronis
 DNA VHB > 2000IU/ml
DNA VHB terdeteksi jika SGPT normal,
 DNA VHB terdeteksi jika
SGPT meningkat
18
diperlukan
 Terapi
 Pemeriksaan histologi tidak
 Terapi
Gambar 2.3
Indikasi Terapi pada Pasien Terinfeksi VHB Kronik dengan Sirosis atau
Reaktivasi dari Infeksi Kronis Virus Hepatitis B(Sarin, dkk., 2016).

19
Pasien terinfeksi VHB kronis HBeAg positif non sirosis

DNA VHB DNA VHB DNA VHB


Viral Load < 2000 IU/ml 2000- 20.000 IU/ml > 20.000 IU/mL

SGPT Apapun Apapun 1-2 x diatas batas >2 x


atau normal diatas
batas atas

 Jika SGPT meningkat,  Nilai fibrosis secara


eksklusi penyebab lain non invasif
 Nilai fibrosis secara non  Pantau per 3
Fibrosis  Pantau per 3 bulan
invasif bulan jika
 Biopsi hepar pada tidak terdapat
 Pantau per 3 bulan kasus fibrosis, dekompesatio
 Biopsi hepar pada kasus peningkatan SGPT hepatik
fibrosis, peningkatan SGPT persisten, usia diatas
persisten, usia diatas 35,  Terapi jika
35, dengan riwayat
engan riwayat keluarga tidak terdapat
keluarga sirosis atau
sirosis atau hepatoselular serokonversi
hepatoselular
karsinoma  Dapatkan
karsinoma
 Terapi jika terdapat histologi atau
 Terapi jika terdapat
peradangan sedang sampai nilai fibrosis
peradangan sedang
berat atau fibrosis secara
sampai berat atau
noninvasif
fibrosis signifikan

Gambar 2.4
Indikasi Terapi untuk Pasien Terinfeksi VHB Kronis HBeAg Negatif Non Sirosis (Sarin,
dkk., 2016).

Pada hepatitis B dalam kehamilan, terdapat dua indikasi dalam memutuskan terapi, yaitu

penyakit hepar kronik pada ibu dan pencegahan transmisi vertikal. Dua faktor risiko yang

berpengaruh terhadap transmisi vertikal adalah tingginya kadar viral load VHBdan aktivitas

replikasi viral yang tinggi. Transmisi vertikal menyumbang lebih dari sepertiga kasus transmisi

virus hepatitis B, sehingga mencegah penularan ini dapat menurunkan angka morbiditas akibat

hepatitis B (Sarin, dkk., 2016).

Imunoprofilaksis virus hepatitis B pada bayi diberikan pada semua bayi yang lahir

dengan ibu HBsAg positif. Imunoprofilaksis ini diharapkan dapat memberikan imunitas aktif

dan pasif pada bayi. Imunisasi pasif, hepatitis B immunoglobulin (HBIG) diberikan dalam 12

jam setelah lahir pada bayi. Imunisasi aktif, berupa dosis pertama vaksin hepatitis B, diberikan

dalam beberapa jam awal kehidupan. Pada ibu yang tidak diketahui status HBsAg maternal,

20
bayi tetap diberikan vaksin sambil menunggu hasil dari pemeriksaan laboratorium. Pemberian

imunoprofilaksis ini mampu menurunkan rerata tranmisi vertikal dari 90% menjadi 10%

(Lamberth, dkk., 2015).

Penggunaan obat anti virus pada kasus hepatitis B dalam kehamilan, dapat

dipertimbangkan sesuai dengan kondisi yang ditemukan. Pada kasus hepatitis B kronik, terapi

antiviral analog nukleotida dan interferon (IFN) dapat mempengaruhi kondisi janin. IFN

merupakan kontraindikasi kehamilan terutama trimester awal karena bersifat antiproliferatif

(Sarin, dkk., 2016). Pemberian hanya diberikan pada ibu dengan viral load DNA VHB> 107

kopi/mL untuk pencegahan transmisi vertikal atau hepatitis B kronis dengan fibrosis atau gejala

aktif. Pemberian antiviral harus mempertimbangkan keuntungan dan risiko dari ibu dan janin

terkait risiko progresi penyakit maternal, flares SGPT, perkembangan fetus, transmisi vertikal

VHB, rencana jangka panjang untuk terapi dan kehamilan berikutnya (Pan dan Lee, 2013;

Patton dan Tran, 2014).

Terdapat dua jenis obat antiviral yang dikategorikan B untuk tingkat keamanannya

menurut FDA, yaitu telbivudine (LdT) dan tenofovir disoproxil fumarate (TDF). Untuk

kategori C menurut FDA, terdapat lamivudine (LAM), entecavir, adefovir dan interferon

(Lamberth, dkk., 2015; Sarin, dkk., 2016). Pemberian LdT (600 mg per hari) atau TDF (300

mg per hari) pada pencegahan transmisi vertikal dilakukan pada trimester ketiga

mempertimbangkan selesainya organogenesis dari janin (Sarin, dkk., 2016). TDF lebih aman

diberikan kepada ibu dengan HIV positif dengan kemungkinan terjadinya resistensi viral lebih

rendah dibanding LdT. Pemberhentian analog nukleotida dilakukan setelah persalinan atau 4-

12 minggu setelah persalinan pada wanita tanpa flares SGPT dan tanpa fibrosis/sirosis tahap

lanjut. Pemantauan DNA HBC kuantitatif dilakukan 2 bulan setelah pemberian TDF dan SGPT

diperiksa per bulan setelah persalinan untuk mendeteksi flares VHB postnatal (NICE, 2013).

21
Pemberian ASI tidak dilarang pada wanita dengan infeksi hepatitis B kronis jika bayi

telah mendapatkan imunoprofilaksis yang sesuai. Tetapi, umumnya ibu disarankan tidak

menyusui jika menggunakan analog nukleotida karena keamanannya kepada bayi yang belum

diketahui (Sarin, dkk., 2016).

2.7 Prognosis

Prognosis infeksi VHB tergantung dari berat ringannya penyakit dan komplikasi-

komplikasi yang terjadi. Infeksi VHB pada penderita tanpa menimbulkan gejala klinis dan juga

tidak ada penyakit lain sebagai penyerta maka prognosisnya baik. Tetapi apabila didapatkan

penyakit-penyakit lain seperti penyakit jantung, diabetes militus dan anemia maka akan

memperburukkeadaan penderita sehingga prognosisnya menjadi lebih jelek. 90% dari infeksi

VHB pada dewasa akan sembuh sempurna,baik terjadi pada kehamilan trimester I,II maupun

wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester III, infeksi VHB akut memberikan prognosis

yang lebih buruk,didapatkan angka kematian yang tinggi bagi ibu dan anak, terutama apabila

yerjadi hepatitis fulminan. Gizi ibu hamil juga menentukan,bila terdapat gizi jelek maka mudah

terjadi hepatitis fulminant (Departemen Kesehatan RI, 2008).

22
23

Anda mungkin juga menyukai