Anda di halaman 1dari 29

PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP

AKTIVITAS PEROKSIDASI LIPID HATI TIKUS PUTIH


(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ASFIKSIA

FITRIA DEWI

N111 13 019

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
KATA PENGANTAR

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i

KATA PENGANTAR ......................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 3

1.3 Tujuan Peneiitian ............................................................ 3

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori ............................................................... 4

2.1.1 Asfiksia ........................................................................ 4

2.1.1.1 Etiologi Asfiksia ......................................................... 4

2.1.1.2 Patofisiologi Asfiksia Terhadap Hati .......................... 9

2.1.2 Radikal Bebas .............................................................. 10

2.1.3 Peroksidasi Lipid .......................................................... 11

iii
2.1.4 Malondialdehida (MDA) ............................................... 11

2.1.5 Antioksidan .................................................................. 12

2.1.6 Adenosin ...................................................................... 13

2.1.6.1 Sifat Fisika Kimia ...................................................... 13

2.1.6.2 Farmakokinetik.......................................................... 14

2.1.6.3 Mekanisme Kerja ...................................................... 14

2.1.6.4 Adenosin Sebagai Sitoproteksi ................................. 15

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ............................................................... 18

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................... 18

3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................. 18

3.4 Populasi dan Sampel ...................................................... 19

3.5 Teknik Pengumpulan Data .............................................. 19

3.6 Teknik Analisis Data ....................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asfiksia adalah keadaan kekurangan oksigen karena pernapasan

abnormal yang menimbulkan kehilangan kesadaran sebagai akibat dari

kurangnya O2 pada otak dan peningkatan CO2 dalam darah. Kematian

akibat asfiksia paling banyak ditemukan pada neonatus dan anak-anak.

Berdasarkan Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001,

kematian neonatal akibat birth asphyxia menduduki urutan ke dua sebesar

27 persen, setelah prematur + Low birth weight (LBW) (1, 2, 3). Adapun

pada orang dewasa asfiksia dapat terjadi saat operasi terutama pada

operasi jantung, terhitung terjadi lebih dari 30% dari total kasus (4).

Pada kondisi asfiksia dan disertai kegagalan sirkulasi akan

menyebabkan penurunan aliran darah ke beberapa organ sehingga

memicu kondisi iskemia, dimana pada kondisi ini akan memicu

pembentukan radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS) (6). Pada

kondisi tahap pertama cedera iskemia akan terjadi peningkatan adenosin

dan antioksidan endogen utama, seperti enzim glutation peroksidase

(GPx); katalase dan superoksida dismutase, sebagai mekanisme

pertahanan untuk mengurangi cedera jaringan. Hanya saja pada kondisi

iskemia yang berkepanjangan mengakibatkan jumlah antioksidan

berkurang dalam plasma dan sel darah merah, sehingga terjadi stress

oksidatif (7).

1
2

Keadaan ini dapat diperparah apabila terjadi reperfusi jaringan,

dimana kondisi ini dapat memicu peningkatan kadar radikal bebas lebih

tinggi. Peningkatan kadar ROS yang terus menerus dapat menyebabkan

nekrosis sel hati akut. Penelitian sebelumnya menunjukkan terjadinya

peningkatan aspartate transaminase (AST), alanine transaminase (ALT),

dan alkaline phosphatase (ALP) pada pasien yang mengalami asfiksia (6,

8, 9). Adapun 60% kasus kematian pada kondisi asfiksia disertai dengan

rusaknya fungsi organ hati (10).

Adenosin merupakan nukleusida purin, dimana pada beberapa

penelitian sebelumnya, diketahui bahwa adenosin memiliki kemampuan

untuk meningkatkan kerja dari antioksidan (1, 11, 12). Adenosin

mengaktifkan reseptor adenosin (reseptor A3) yang akan mengaktivasi

enzim-enzim antioksidan intrasel. Proses ini akan membantu kemampuan

scavenging antioksidan terhadap ROS menjadi lebih efisien dan proses

peroksidasi lipid dapat dihambat (13).

Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan adenosin sebagai

efek protektif pada peningkatan aktivitas lipid peroksidase pada hati tikus

(Rattus norvegicus) yang diinduksi asfiksia. Pengukuran aktivitas lipid

peroksidase dilakukan melalui pengukuran kadar malondialdehid yang

merupakan hasil akhir peroksida lipid.


3

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana efek protektif pemberian adenosin terhadap

peningkatan aktivitas lipid peroksidase pada hati tikus (Rattus

norvegicus) yang diinduksi asfiksia?

2. Berapa dosis adenosin yang efektif menurunkan aktivitas lipid

peroksidase akibat asfiksia?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efek protektif pemberian adenosin terhadap

peningkatan aktivitas lipid peroksidase pada hati tikus (Rattus

norvegicus) yang diinduksi asfiksia

2. Untuk mengetahui dosis adenosin yang efektif menurunkan

aktivitas lipid peroksidase akibat asfiksia

1.4 Manfaat Peneliian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan

informasi mengenai pemilihan terapi protektif untuk penanganan kondisi

asfiksia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Asfiksia

Asfiksia adalah keadaan kekurangan oksigen karena pernapasan

abnormal yang menimbulkan kehilangan kesadaran sebagai akibat dari

kurangnya O2 pada otak dan peningkatan CO2 dalam darah (1,2).

Secara etimologis, istilah asfiksia berasal dari Yunani dan berarti

''a stopping of the pulse'' (14, 15). Saat ini, istilah yang luas ini digunakan

untuk mencakup semua kondisi yang disebabkan oleh kegagalan sel

untuk menerima atau memanfaatkan oksigen (16). Kondisi asfiksia dapat

bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia) (15).

2.1.1.1 Etiologi Asfiksia

Penyebab asfiksia dapat dikategorikan sebagai asfiksia mekanik

dan asfiksia kimia. Asfiksia mekanik biasanya melibatkan beberapa

kekuatan fisik atau kelainan mempengaruhi pernapasan atau sirkulasi,

seperti penutupan lubang pernapasan bagian atas (pembekapan,

penyumbatan), penekanan dinding saluran pernapasan (pencekikan,

gantung), penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik) dan

saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning). Sedangkan asfiksia

kimia biasanya melibatkan reaksi antara zat kimia dan tubuh, terutama

mengakibatkan gangguan dengan pengambilan dan pemanfaatan oksigen

(1, 2, 16).

4
5

1. Asfiksia Mekanik

a. Smothering (Pembekapan)

Pembekapan dapat menyebabkan kematian asfiksia akibat dari

obstruksi mekanik atau oklusi eksternal saluran udara, yaitu, hidung

dan mulut. Hal ini disebabkan karena tertutupnya lubang hidung dan

mulut oleh tangan atau materi yang mencegah udara masuk. Dalam

beberapa kasus, pembekapan dapat menimbulkan cedera bagi

korban, bergantung pada sikap korban untuk mencegah pembekapan

seperti lecet/memar pada wajah (2, 16).

b. Chocking (Tersedak)

Tersedak menyebabkan asfiksia oleh obstruksi dalam saluran

udara. Tersedak melibatkan penyumbatan saluran udara internal

biasanya antara faring dan bifurkasi trakea. Penyebab dari tersedak

misalnya menghirup makanan atau material lain, dan kondisi dimana

benda asing masuk ke saluran pernapasan (2, 16).

c. Strangulation (Pencekikan) dan Hanging (Gantung)

Pencekikan dan gantung adalah bentuk asfiksia ditandai dengan

penyempitan atau penutupan pembuluh darah dan/atau saluran udara

dari leher akibat tekanan eksternal pada leher (15, 17, 18). Dikatakan

pencekikan apabila tekanan pada leher diperketat oleh kekuatan lain

selain berat badan, sedangkan gantung adalah bentuk asfiksia yang

disebabkan oleh penyempitan leher karena pengaruh berat gravitasi

tubuh atau bagian dari tubuh (16).


6

d. Asfiksia Traumatik

Asfiksia traumatik didefinisikan sebagai jenis asfiksia disebabkan

oleh adanya tekanan eksternal pada dada atau kompresi abdomen

oleh benda berat, sehingga terjadi gangguan pada gerakan otot-otot

utama respirasi, yaitu otot-otot interkostal dan diafragma (16).

e. Drowning (Tenggelam)

Tenggelam didefinisikan sebagai kematian yang disebabkan oleh

perendaman dalam cairan, biasanya air (19, 20). Tenggelam terjadi

saat korban terlalu terendam dan tidak dapat menahan nafas lebih

lama, sehingga proses respirasi terjadi dan menyebabkan saluran

pernapasan akan terisi dengan cairan (2, 16).

2. Asfiksia Kimia

a. Karbon dioksida

Karbon dioksida (CO2) tidak berwarna, tidak berbau, gas yang

tidak menimbulkan iritasi. CO2 banyak digunakan sebagai pemadam

kebakaran. CO2 dalam konsentrasi tinggi, memiliki efek toksik

langsung, terutama pada stimulasi simpatis, termasuk peningkatan

denyut jantung, dan curah jantung, akibatnya akan memaksakan

kelebihan beban pada miokardium. Tindakan yang paling penting

dalam keracunan CO2 adalah membawa korban dari lingkungan

terbuka dan memberikan bantuan cardiorespiratory (21).


7

b. Nitrogen

Gas Nitrogen (N2) tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Efek

toksik utama adalah sesak napas. N2 diduga bertindak dengan

berinteraksi langsung dengan reseptor antagonis gamma aminobutyric

acid (GABA) (22).

c. Propana

Propana (C3H8) tidak berbau dalam keadaan gas, memiliki

karakteristik yang sangat mudah terbakar dan meledak. Propana dapat

menggantikan oksigen, akibatnya menyebabkan hipoksia dan akhirnya

anoksia. Penipisan oksigen di udara, dan pembentukan propana dan

karbon dioksida, menyebabkan ketidaksadaran dan dapat berakhir

dengan kematian (23). Hasil kematian tidak dari sifat beracun dari gas

propana tetapi akibat dari menggantikan oksigen. Inhalasi gas

propana dapat menyebabkan pusing, mual, muntah, kebingungan,

halusinasi, dan perasaan euforia. Pada konsentrasi tinggi, ia memiliki

efek narkotika dan dapat membawa serangan jantung yang dihasilkan

dari penekanan pusat sistem saraf (24).

d. Karbon monoksida

Karbon monoksida (CO) merupakan gas setelah karbon dioksida,

yang paling sering ditemukan. CO berasal sebagian dari sumber-

sumber alam seperti kebakaran hutan dan letusan gunung berapi,

namun sebagian besar dari aktivitas manusia, khususnya dari mesin

pembakaran internal dan limbah industri. Kunci untuk patogenisitas CO


8

adalah kecenderungan untuk menempelkan dirinya sendiri ke besi

(Fe3+) di heme pada kelompok prostetik dari hemoprotein, yang

meliputi hemoglobin, mioglobin, dan beberapa enzim intraseluler

(sitokrom, P-450). Keracunan CO ringan sering terjadi, yang

menyebabkan sakit kepala, mual, muntah, pusing, mialgia atau

kebingungan. Namun, dalam keracunan CO parah, pasien akan

menderita ketidakstabilan kardiovaskular, misalnya kejang, koma,

sinkop, iskemia, infark, atau dysrthymia (25).

e. Hidrogen sianida

Sianida (CN-) digunakan dalam operasi pertambangan, bahan

fotografi, produksi plastik, pigmen, dan pewarna. Selama kebakaran,

korban juga dapat menghirup karbon monoksida dan gas sianida yang

signifikan, yang dapat menyebabkan toksisitas sinergis pada manusia.

CN- digambarkan sebagai racun selular karena menghambat

metabolisme aerobik (26). CN- secara reversibel mengikat sitokrom

oksidase dan menghambat langkah terakhir dari fosforilasi oksidatif

mitokondria. Penghambatan ini menghentikan metabolisme karbohidrat

dari siklus asam sitrat, dan konsentrasi intraseluler dari adenosin

trifosfat cepat habis. Dengan menghirup konsentrasi tinggi hidrogen

sianida (300 mg/m3) akan menyebabkan kejang, pingsan, koma,

bahkan kematian (26).


9

f. Hidrogen Sulfida

Hidrogen sulfida (H2S) tidak berwarna,dan gas yang mudah

terbakar. H2S memiliki bau menyengat seperti telur busuk. H2S selektif

mengikat enzim yang terlibat dalam respirasi seluler sehingga

menyebabkan pergeseran ke arah respirasi anaerob. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi, kematian disebabkan oleh depresi pusat pernapasan

di otak, pada konsentrasi yang lebih rendah, kematian disebabkan oleh

edema paru (27).

2.1.1.2 Patofisiologi Asfiksia Terhadap Hati

Pada kondisi asfiksia yang disertai kegagalan sirkulasi akan

menyebabkan penurunan aliran darah ke beberapa organ, salah satunya

adalah hati (5). Dimana aliran darah yang melewati lobus hati kanan akan

berkurang sehingga terjadi iskemia (6). Setelah aliran darah dan pasokan

oksigen kembali (reperfusi jaringan) maka akan meningkatkan cedera

yang disebabkan oleh periode iskemik, dan akan memperparah kerusakan

sel (28, 29). Fenomena ini dikenal sebagai cedera iskemik-reperfusi (IR),

yang berdampak langsung pada viabilitas hati (30).

Selama periode iskemik, beberapa perubahan fungsional terjadi

pada sel yang mengalami cedera. Terjadi penurunan hasil fosforilasi

oksidatif di ATP dan penurunan homeostasis kalsium (30). Efek buruk dari

modifikasi katabolisme ATP lebih ditingkatkan oleh produksi dari beberapa

zat, termasuk reactive oxygen species (ROS), sitokin, molekul adhesi, dan

agen vasoaktif (endotelin dan tromboksan A2) (31). Perubahan ini disertai
10

dengan penurunan zat sitoprotektif termasuk oksida nitrat, prostasiklin,

dan lain-lain, dan dapat mengakibatkan kematian sel hati karena nekrosis

dan apoptosis (32, 33).

2.1.2 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang memiliki satu

atau lebih elekton yang tidak berpasangan. Senyawa ini memiliki sifat

yang sangat reaktif untuk mencari pasangan elektron dengan

menyumbangkan elektron atau menerima elektron dari molekul lain. Oleh

karenanya, radikal bebas juga dapat berperilaku sebagai oksidan atau

reduktan (1, 34).

Radikal bebas terdiri dari reactive oxygen species (ROS), radical

nitrogen species (RNS) dan lainnya. ROS dan RNS diproduksi di dalam

tubuh manusia secara fisiologis dan patologis. Beberapa contoh senyawa

ROS yang ditemukan pada organisme hidup adalah anion superokside

(O2*), hidroksil (OH*), peroksil (RO2*), alkoksil (RO*), dan hidroperoksil

(HO2*). Nitrit oksida dan nitrogen oksida (NO2*) adalah contoh senyawa

RNS. Radikal bebas oksigen dan nitrogen dapat dikonversi menjadi

spesies reaktif non radikal lain, seperti hidrogen peroksida, asam hipoklorit

(HOCl), asam hipobromous (HOBr) dan peroksinitrit (ONOO-) (35).

Radikal bebas menyerang makromolekul penting yang mengarah

ke kerusakan sel dan gangguan homeostatis. Target dari radikal bebas

mencakup semua jenis molekul dalam tubuh. Di antaranya lipid, asam

nukleat, dan protein adalah target utama (35).


11

Radikal bebas berasal baik dari proses normal metabolisme penting

dalam tubuh manusia atau dari sumber eksternal seperti paparan sinar-X,

ozon, merokok, polusi udara, dan bahan kimia industri (36). Pembentukan

radikal bebas terjadi secara terus menerus dalam sel sebagai konsekuensi

dari reaksi enzimatik dan nonenzimatik. Reaksi enzimatik yang berfungsi

sebagai sumber radikal bebas, termasuk proses pernapasan, fagositosis,

sintesis prostaglandin, dan sistem sitokrom P-450 (37). Radikal bebas

juga bisa terbentuk dalam reaksi nonenzimatik oksigen dengan senyawa

organik serta diprakarsai oleh reaksi ion. Beberapa sumber internal dari

radikal bebas adalah mitokondria dan oksidase xantin (38).

2.1.3 Peroksidasi Lipid

Peroksidasi lipid terbentuk ketika senyawa radikal bebas bereaksi

dengan senyawa polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang terletak di

membran sel dan membentuk hidroperoksida lipid dan radikal baru.

Karena peroksidasi lipid, sejumlah senyawa terbentuk, misalnya alkana,

malanoaldehyde (MDA), dan isoprotanes. Senyawa ini digunakan sebagai

penanda dalam uji lipid peroksidasi dan telah diverifikasi di banyak

penyakit seperti penyakit neurogeneratif, dan cedera iskemik-reperfusi

(39).

2.1.4 Malondialdehida (MDA)

Salah satu produk oksidasi sekunder utama asam lemak tak jenuh

adalah malondialdehida (MDA) yang telah disimpulkan memiliki efek

mutagenik dan sitotoksik, berperan dalam timbulnya aterosklerosis (40,


12

41). Konsentrasi MDA yang tinggi dapat menunjukkan adanya proses

oksidasi dalam membrane sel (41). MDA paling sering ditentukan secara

spektrofotometri dengan metode Thiobarbituric Acid Reactif Substance

(TBARS) setelah reaksi dengan thiobarbituric acid (TBA) pada suhu 100◦C

pada media asam dan mengukur absorbansi pada panjang gelombang

maksimum 532 nm (34, 42).

Pengukuran dengan metode TBARS merupakan pengukuran

kromogen yang dihasilkan dari reaksi antara TBA dan MDA yang diukur

dengan spektrofotometer (43). Prinsip metode ini berdasarkan kepada

kemampuan pembentukan kompleks berwarna merah muda antara MDA

dan TBA, dimana pada kondisi asam kuat dan pemanasan, sampel

biologis akan bereaksi dengan TBA yang mengarah pada pembentukan

produk berwarna pink (44).

2.1.5 Antioksidan

Antioksidan adalah molekul yang cukup stabil untuk

menyumbangkan elektron ke radikal bebas dan menetralisirnya, sehingga

mengurangi kapasitasnya untuk merusak. Antioksidan ini menunda atau

menghambat kerusakan sel terutama melalui scavenging ROS (45).

Antioksidan terdiri atas endogen dan eksogen. Beberapa antioksidan

endogen adalah enzim glutation peroksidase (GPx), katalase dan

superoksida dismutase, sedangkan antioksidan eksogen antara lain

vitamin E (α-tokoferol), vitamin C (Asam askorbat), dan β-karoten (1, 46).


13

Antioksidan bertindak sebagai scavenging radikal bebas, donor

hidrogen, donor elektron, peroksida dekomposer, dan enzim inhibitor.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi

antioksidan primer (endogen), sekunder (eksogen) dan tersier. Kerja

antioksidan melibatkan dua proses yang pertama adalah mekanisme

memotong reaksi berantai, dimana antioksidan primer akan

menyumbangkan elektron pada radikal bebas sehingga menjadi lebih

stabil. Mekanisme kedua melibatkan penghapusan ROS oleh antioksidan

sekunder dan mencegah terjadinya reaksi berantai (34).

2.1.6 Adenosin

Adenosin merupakan senyawa antagonis yang memiliki mekanisme

biokimia dan fisiologis dalam merespon cedera IR dan telah terbukti

mengurangi disfungsi ventrikel paska iskemik. Adenosin memediasi fungsi

fisiologis dengan berinteraksi dengan empat subtipe reseptor yang

bernama A1, A2a, A2b dan A3, semua reseptor berhubungan dengan G-

protein-coupled receptors (47).

2.1.6.1 Sifat Fisika Kimia

Adenosin berbentuk bubuk kristal putih, memiliki kelarutan dalam

air dan praktis tidak larut dalam alkohol. Kelarutan adenosin dapat

meningkat dengan pemanasan dan dengan menurunkan pH larutan. pH

larutan antara 4.5 dan 7.5. Rumus molekul adenosin adalah C10H13N5O4,

dengan rumus kimia 6-amino-9-beta-D-ribofuranosyl-9-H-purine dan berat

molekulnya 267,24 (48).


14

Gambar 1. Rumus Struktur Adenosin

2.1.6.2 Farmakokinetik

Adenosin intravena dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi melalui

serapan seluler, terutama oleh eritrosit dan sel-sel endotel vaskular.

Proses ini melibatkan transmembran sistem carrier nucleoside tertentu

yang reversibel, nonconcentrative, dan bidirectionally simetris. Adenosin

intraseluler cepat dimetabolisme baik melalui fosforilasi untuk adenosin

monofosfat oleh adenosin kinase, atau melalui deaminasi untuk inosin

oleh deaminase adenosin dalam sitosol. Inosin dibentuk oleh deaminasi

adenosin dapat berupa sel utuh atau dapat terdegradasi ke hipoxantin,

xantin, dan hasil akhirnya berupa asam urat. Adenosin monofosfat

dibentuk oleh fosforilasi adenosin dipindahkan ketempat yang memiliki

kandungan fosfat yang tinggi. Sementara adenosin ekstraseluler

dibersihkan oleh serapan seluler dengan paruh kurang dari 10 detik di

seluruh darah. Adenosin injeksi tidak dimetabolisme baik pada ginjal (48).

2.1.6.3 Mekanisme Kerja

Adenosin adalah vasodilator kuat, kecuali dalam arteriol aferen

ginjal dimana adenosin menghasilkan vasokonstriksi namun hanya

bersifat sementara. Adenosin diduga mengerahkan efek farmakologis


15

melalui aktivasi reseptor purin (reseptor adenosin A1 dan A2). Meskipun

mekanisme yang tepat dimana aktivasi reseptor adenosin melemaskan

otot polos pembuluh darah tidak diketahui, ada bukti untuk mendukung

penghambatan penyerapan kalsium intrasel sehingga mengurangi jumlah

kalsium. Adenosin juga dapat mengurangi tonus pembuluh darah oleh

modulasi neurotransmisi simpatik. Penyerapan intraselular adenosin

dimediasi oleh transmembran tertentu sistem transportasi nukleusida.

Setelah berada di dalam sel, adenosin cepat terfosforilasi oleh kinase

adenosin untuk adenosin monofosfat, atau deaminasi oleh deaminase

adenosin untuk inosin (49).

2.1.6.4 Adenosin Sebagai Sitoproteksi

Adenosin adalah senyawa endogen yang dihasilkan oleh aksi

berurutan dari berbagai enzim antara lain adenosin trifosfat (ATP),

adenosin difosfat (ADP) dan adenosin monofosfat (AMP) (47). Efek

iskemia adalah pengeluaran berlebihan ATP, yang pada akhirnya terjadi

akumulasi adenosin. Namun, peningkatan adenosin ekstraseluler muncul

untuk memberikan sitoproteksi pada jaringan iskemik (1, 50).

Ketika terjadi iskemia, pada organ hati terjadi kenaikan adenosin

ekstraseluler, aktivasi reseptor A2a adenosin, dan sinyal peningkatan

sintesis nitrat oksida (NO) yang dikaitkan dengan efek protektif

preconditioning iskemik (51). NO adalah pluripotent gas radikal bebas

yang merupakan molekul sinyal penting dalam hati. NO dapat berupa

mediator utama dari cedera sel hati atau bagian dari mekanisme
16

perlindungan melawan rangsangan merugikan (50). Bukti paling

meyakinkan untuk peran sentral dari reseptor A2a dalam memediasi

hepatoproteksi sebelum kerusakan iskemik-reperfusi adalah agonis

reseptor memproduksi efek pengkondisian iskemik (51). Lebih khusus,

jalur adenosin reseptor A2a dihubungkan dengan kenaikan pada siklik

(c)AMP yang memediasi perlindungan sinusoidal endothelial cells (SEC)

sebelum kondisi iskemik. Adenosin dan NO disintesis di endotel pembuluh

darah dan dilepaskan ke sekitar kompartemen vaskuler selama periode

iskemik-reperfusi (50, 51). Adenosin juga dapat mencegah peningkatan

alanine transaminase (ALT), aspartate transaminase (AST), and laktate

dehydrogenase (LDH) yang merupakan parameter kerusakan hati (51).

Pada preconditioning iskemik, peningkatan konsentrasi

ekstraseluler adenosin secara eksogen dapat menginduksi aktivasi

reseptor adenosin A2 ketika terjadi iskemik, yang kemudian akan

menginduksi sintesis NO yang bersifat sebagai sitoproteksi ke jaringan

iskemik (51).

Adenosin juga bersifat sitoproteksi dengan meningkatkan aktivitas

antioksidan endogen sebagai efek dari pengaktifan reseptor A3 pada

jaringan. Aktivasi reseptor ini merangsang aktivitas fosfolipase C, yang

mengarah ke peningkatan inositol 1,4,5-trifosfat dan diasilgliserol

sehingga meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC), dimana enzim ini

secara langsung memfosforilasi dan mengaktivasi enzim-enzim

antioksidan endogen. Proses ini akan membantu kemampuan scavenging


17

antioksidan terhadap ROS menjadi lebih efisien dan pada akhirnya proses

peroksidasi lipid dapat dihambat (13).

Mekanisme sitoprotektif adenosin secara signifikan meningkatkan

aktivitas 3 jenis antioksidan: superoksida dismutase (SOD), katalase dan

glutation peroksidase (GPx) dengan masing-masing mengalami kenaikan

31%, 51% dan 15% (51). SOD merupakan suatu enzim antioksidan yang

memetabolisme anion superoksida (O2-*) menjadi hidrogen peroksida

(H2O2) (51). Enzim antioksidan katalase bertugas mengkatalisis

pemecahan H2O2 (52). Enzim glutation peroksidase (GPx) juga

mengkatalisis H2O2 dan hidroperoksida organik, hanya saja GPx

menggunakan glutathione (GSH) sebagai co-substrat. GSH disintesis

terutama pada organ hati, dan kemudian diangkut ke beberapa organ

tubuh melalui darah (53, 54).


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah jenis kuantitatif, dengan

mengukur aktivitas peroksidase lipid, dimana dapat diketahui dengan

mengukur kadar malondyaldehid (MDA) dengan menggunakan metode

Thiobarbituric Acid Reactive Substance (TBARS). Prinsip analisis ini yaitu

pemanasan akan menghidrolisis peroksida lipid sehingga MDA yang

terikat akan dibebaskan dan akan bereaksi dengan TBA dalam suasana

asam membentuk kompleks MDA-TBA yang berwarna merah dan diukur

dengan alat spektrofometer UV-Vis pada panjang gelombang 531 nm.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di Laboratorium Biofarmasi, Fakultas Farmasi

Universitas Hasanuddin, dengan waktu penelitisn 1 bulan yaitu 18 Januari

2019 – 18 Februari 2019.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data

kuantitatif dengan menggunakan alat spektrofometer UV-Vis pada

panjang gelombang 531 nm dan analisis SPSS, sedangkan sumber data

diperoleh secara data primer yaitu data dikumpulkan oleh peneliti

berdasarkan penelitian yang dilakukan.

18
19

3.5 Populasi dan Sampel

Untuk populasi disiapkan hewan coba yaitu tikus putih (Rattus

norvegicus) sebanyak 28 ekor dipelihara hingga beratnya mencapai 150-

200 gram, yang ditempatkan dalam kandang dengan akses makanan dan

air setiap harinya, sedangkan untuk sampel tikus putih dirandom dan

ditempatkan ke dalam 7 kelompok masing-masing 4 ekor.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Aktivitas peroksidase lipid dapat diketahui dengan mengukur kadar

malondyaldehid (MDA) dengan menggunakan metode Thiobarbituric Acid

Reactive Substance (TBARS). Prinsip analisis ini yaitu pemanasan akan

menghidrolisis peroksida lipid sehingga MDA yang terikat akan

dibebaskan dan akan bereaksi dengan TBA dalam suasana asam

membentuk kompleks MDA-TBA yang berwarna merah. Organ hati yang

telah digerus menggunakan lumpang ditimbang beratnya (400 mg),

kemudian ditambahkan PBS pH 7,4 sebanyak 2 ml dan dicampurkan

hingga homogen. Setelah itu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan

disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Dipipet

supernatan 0,5 ml dan ditambahkan 1 ml TBA 1% dan 1 ml TCA 10% ke

dalam tabung. Setelah itu dipanaskan pada penangas air dengan suhu

100°C selama 40 menit dan didinginkan. Disentrifugasi kembali dengan

kecepatan 3000 rpm selama 10 menit kemudian dipipet supernatannya

untuk diukur dengan alat spektrofometer UV-Vis pada panjang gelombang

531 nm.
20

3.6 Teknik Analisis Data

Data yang dihasilkan dianalisa menggunakan software SPSS 16

dengan melihat distribusi normalnya menggunakan Kolmogorov-Smirnov

dan homogenitasnya menggunakan Levene’s Test. Apabila semua uji

terpenuhi, maka data tersebut dilanjutkan dengan metode one way anova

dan data dinyatakan dengan uji Post Hoc menggunakan Tukey. Hasil

dinyatakan signifikan apabila p<0,05.


DAFTAR PUSTAKA

1. Armstrong, D., Stratton, R. D., Textbook of Oxidative Stress and


Antioxidant Protection. The Science of Free Radical Biology and
Disease-Wiley. 2016
2. Dix J., Graham, M., Hanzlick, R. Asphyxia and drowning : An Atlas.
CRC Press. 2000
3. Djaja, S., Soemantri, S., Sistem Pelayanan Kesehatan Yang
Berkaitan Dl Indonesia Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
2001. Puslitbang Ekologi Kesehatan, Badan Litbangkes. 2001
4. Sandroni, C., Ferro, G., Santangelo, S., Tortora, F., Mistura, L.,
Cavarallo, F., et al. In-hospital Cardiac Arrest Depends Mainly On
The Effectiveness of The Emergency Response. Resuscitation.
2014. 62(3): 291-297.
5. Cloherty, J.P., Eichenwald, E.C., Hansen, A.R., Stark, A.R. Manual
of Neonatal Care. 7th Editions. Lippincott Williams & Wilkins. 2011
6. Kiang J.L., Tsen K.T., Biology of hypoxia. Chinese J Physiology.
2006. 49: 223-233.
7. Gedik, E., Girgin, S., Ozturk, H., Obay, B.D., Ozturk, H.,
Buyukbyarm, H. Resveratrol attenuates oxidative stress and
histological alterations induced by liver ischemia/reperfusion in rats.
World J Gastroenterol. 2008. 14(46): 7101-7106.
8. Godambe, S.V., Udani R.H., Malik, S, Kandalkar B.M.. Hepatic
profile in asphyxia neonatorum. Indian Pediatrics. 1997. 34: 927-30.
9. Islam, M.T., Islam, M.N., Mollah, A.H., Hoque, M.A., Hossain, M.A.,
Nazir, F., Ahsan, M.M. Status of liver enzymes in babies with
perinatal asphyxia. Mymensingh Medical Journal. 2011. 20(3): 446-
449.
10. Saili, A., Sarna, M.S., Gathwala, G., Kumari. S., Dutta, A.K. Liver
dysfunction in severe birth asphyxia. Indian Pediatr. 1990. 27(12):
1291-1294.
11. Hochhauser, E., Kaminski, O., Shalom, H., Leshem, D., Shneyvays,
V., Shainberg, A., and Vidne, B.A. Role of Adenosine Receptor
Activation in Antioxidant Enzyme Regulation During Ischemia–
Reperfusion in the Isolated Rat Heart. Forum Original Research
Communication. 2004. 6(2): 335-344.

21
22

12. Maggirwar, S.B., Dhanraj, D.N., Somani, S.M., and Ramkumar, V.


Adenosine acts as an endogenous activator of the cellular
antioxidant defense system. Biochem Biophys Res Commun. 1994.
201: 508–515.
13. Ramkumar, V., Nie, Z., Rybak, L.P., Maggirwar, S.B. Adenosine,
antioxidant enzymes and cytoprotection. Trends Pharmacol Sci.
16: 283-285. 1995
14. Shkrum, M.J., Ramsay, D.A. Asphyxia. In: Karch S. B, series editor.
Forensic pathology of trauma: common problems for the
pathologist. Totowa, NJ: Humana Press. 2007.
15. DiMaio, V.J., DiMaio, D. Asphyxia. In: Geberth V.J, series editor.
Forensic pathology, 2nd edn. Boca Raton, FL: CRC Press. 2001.
16. Sauvageau, A., Boghossian, E. Classification of Asphyxia: The
Need for Standardization. Journal of Forensic Science. 2010. 55(5):
1259-1267.
17. Spitz, W.U. Asphyxia. In: Spitz W. U, Spitz D. J, editors. Spitz and
Fisher’s medicolegal investigation of death: guidelines for the
application of pathology to crime investigation, 4th edn. Springfield,
IL: Charles Chomas. 2006
18. Oehmichen, M., Auer, R.N., Kçnig, H.G. Forensic Types of
Ischemia and Asphyxia. In: Oehmichen, M., editor. Forensic
neuropathology and associated neurology. Berlin: Springer-Verlag.
2005
19. Shkrum, M.J., Ramsay, D.A. Bodies recovered in water. In: Karch
S. B, series editor. Forensic pathology of trauma: common
problems for the pathologist. Totowa, NJ: Humana Press. 2007
20. DiMaio, V.J, DiMaio, D. Death by drowning. In: Geberth V. J, series
editor., 2nd ed. Boca Raton, FL: CRC Press. 2001
21. Halpern, P., Raskin, Y, Sorkine, P, Oganezov, A. Exposure to
extremely high concentrations of carbon dioxide: a clinical
description of a mass casualty incident. Ann Emerg Med. 2004. 43:
196-9.
22. Abraini, J.H., Kriem, B., Balon, N., Rostain, J.C., Risso, J.J.,
Gamma-aminobutyric acid neuropharmacological investigations on
narcosis produced by nitrogen, argon, or nitrous oxide. Anesthesia
& Analgesia. 2003. 96: 746-9.
23

23. Fonseca, C.A., Auerbach, D.S., Suarez, R.V., The forensic


investigation of propane gas asphyxiation. American Journal of
Forensic Medicine & Pathology. 2002. 23: 167- 9.
24. Broussard, L. Inhalants: classification and abuse. In Levine B.
Principles of forensic toxicology. American Association for Clinical
Chemistry, Inc. 1999. 345–53.
25. Tan, K.H., Wang, T.L., Asphyxiants: Simple and Chemical. Ann
Disaster Med. 2005. 4: S35-S40
26. Sauer, S.W., Keim, M.E. Hydroxocobalamin: improved public health
readiness for cyanide disasters. Ann Emerg Med 2001. 37: 635-41.
27. Costigan, M.G. Hydrogen sulfide: UK occupational exposure limits.
Occupation Environ Med. 2003. 60: 308-12.
28. Serracino-Inglott, F., Habib, N.A., Mathie R.T. Hepatic ischemia
reperfusion injury. Am J Surg. 2001. 181: 160.
29. Romanque, U.P., Uribe M.M, Videla L.A. Molecular mechanisms in
liver ischemic-reperfusion injury and ischemic preconditioning. Rev
Med Chil. 2005. 133: 469.
30. Mantalvo-Jave, E. E., Tattarsfield, T. E., Ortega-Salgado, J. A.,
Pina, E., Geller, D.A. Factors in the Pathophysiology of the Liver
Ischemia-Reperfusion Injury: Research Review. Journal of Surgical
Reserarch. 2008. 147: 153-158.
31. Groot, H. do, Rauen, U. Ischemia-reperfusion injury: processes in
pathogenetic networks: A review. Transplant Proc. 2007. 39: 481.
32. Jaeschke, H. Molecular mechanisms of hepatic ischemia
reperfusion injury and preconditioning. Am J Physiol Gastrointest
Liver Physiol. 2003. 284: G15-26.
33. Malhi. H, Gores G.J, Lemasters J.J. Apoptosis and necrosis in the
liver: a tale of two deaths? Hepatology. 2006. 43: S31-34.
34. Lobo, V., Patil, A., Phatak, A., Chandra, N. Free radicals,
antioxidants and functional foods: Impact on human health: Review
Article. Pharmacognosy Reviews. 2010. 4: 118-128.
35. Fang, Y., Yang, S., Wu G. Free radicals, antioxidant, and nutrition.
J. Nutrition. 2002. 18:872-879.
36. Bagchi, K., Puri, S. Free radicals and antioxidants in health and
disease. East Mediterranean Health Jr. 1998. 4: 350-60.
24

37. Liu, T., Stern, A., Roberts, L.J. The isoprostanes: Novel
prostanglandin-like products of the free radical catalyzed
peroxidation of arachidonic acid. J Biomed Sci. 1999. 6: 226-35.
38. Ebadi, M. Antioxidants and free radicals in health and disease: An
introduction to reactive oxygen species, oxidative injury, neuronal
cell death and therapy in neurodegenerative diseases. Arizona:
Prominent Press. 2001.
39. Lovell, M.A, Ehmann, W.D, Buffer, B.M, Markesberry, W.R.
Elevated thiobarbituric acid reactive substances and antioxidant
enzyme activity in the brain in Alzemers disease. Neurology. 1995.
45: 1594-601.
40. Pilz, J., Meineke, I., Gleither, C.H. Measurement of free and bound
malondialdehyde in plasma by high-performance liquid
chromatography as the 2,4-dinitrophenylhydrazine derivative. J
Chromatogr B Biomed Sci Appl. 2000. 742: 315-25.
41. Suttnar, J., Masova, L., Dyr, J.E. Influence of citrate and EDTA
anticoagulants on plasma malondialdehyde concentration estimated
by high-performance liquid chromatography. Journal of
Chromatography B. 2001. 751: 193-197.
42. Mateos, R., Lecumberri, E., Ramos, S., Goya, L. Bravo, L.
Determination of malondialdehyde (MDA) by high-performance
liquid chromatography in serum and liver as a biomarker for
oxidative stress Application to a rat model for hypercholesterolemia
and evaluation of the effect of diets rich in phenolic antioxidants
from fruits. Journal of Chromatography B. 2005. 827: 76-82.
43. Collins A. Assays for oxidative stress and antioxidant status:
applications to research into the biological effectiveness of
polyphenols. Am J Clin Nutr. 2005. 81: 261–267.
44. Capeyron M.F., Cases, J., Badia, E., Cristol J.P., Rouanet, J.M.,
Besancon, P., Leger, C.L., Descomps, B. A diet cholesterol and
deflcient in vitamin E incudes lipid peroxidation but does not enhace
antioxidant enzyme expression in rat liver. J Nurt. Biochem. 2002.
13(15): 296-301.
45. Halliwell, B. How to characterize an antioxidant- An update.
Biochem Soc Symp. 1995. 61: 73-101.
46. Shi, H.L., Noguchi, N., Niki, N. Comparative study on dynamics of
antioxidative action of α- tocopheryl hydroquinone, ubiquinol and α-
tocopherol, against lipid peroxidation. Free Radic Biol Med. 1999.
27: 334-46.
25

47. Trivencavelli, M.L., Daniele, S., Martini, C. Adenosine receptors:


what we know and what we are learning. Curr Top Med Chem.
2010. 10(9): 860-877.
48. Paul, T, Pfammatter. J.P. Adenosine: an effective and safe
antiarrhythmic drug in pediatrics. Pediatric Cardiology. 1997. 18:
118-126.
49. US Food and Drug Administration (FDA). FDA drugs safety
communication: FDA Adenoscan (Adenosine). 2013. Available
from: www.fda.gov. Accessed 09, February, 2017.
50. Teoh, N.C., Farrel, G.F. Hepatic ischemia reperfusion injury:
Pathogenic mechanisms and basis for hepatoprotection: A review.
Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2003. 18: 891-902.
51. Perlata, C., Hotter, G., Closa, D., Prats, N., Xaus, C., Gelpi, E.,
Rosello-Catafau, J. The Protective Role of Adenosine in Inducing
Nitric Oxide Synthesis in Rat Liver Ischemia Preconditioning Is
Mediated by Activation of Adenosine A2 Receptors. Hepatology.
1999. 29(1); 126-132.
52. Husain, K., Somani, S.M. Interaction of exercise and adenosine
receptor agonis and antagonist on rat heart antioxidants defense
system. Molrcular and Cellular Biochemistry. 2005. 270: 209-214.
53. Hori, M., Gotoh, K., Kitakaze, M., Iwai, K., Iwakura, K., Sato, H.,
Koretsune, Y., Inque, M., Kitabatake, A., Kamada, T. Role of
oxygen-derived free radicals in myocardial edema and ischemia in
coronary microvascular embolization. Circulation. 1991. 84: 828–
840.
54. Sies, H. Glutathione and its role in cellular functions. Free Radical
Biology and Medicine. 1999. 27: 916–921.

Anda mungkin juga menyukai