Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

“CEDERA KEPALA RINGAN”


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Diajukan Kepada :

Pembimbing :dr. Fiena Monica, Sp.S

Disusun Oleh :

Muhammad Adzanta Al Afghani


H2A013035P

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Muhammad Adzanta Al Afghani


NIM : H2A013035P
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Ilmu Penyakit Saraf
Pembimbing : dr. Fiena Monica, Sp.S

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Oktober 2018

Pembimbing,

dr. Fiena Monica, Sp.S


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik
dalam perjalanan antar desa, antar kota, maupun propinsi, serta antar negara.
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap
sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian
kecelakaan lalu lintas. Apalagi dalam kondisi sarana transportasi, dan pada
akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas.1
Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan
dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah
kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan
produktif.2
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak dia atas usia
1 tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase
trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan
80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis meninggal di tempat
kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan
ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa
perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah
sakit masih membutuhkan pelayanan jagka panjang.2
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat
besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini.
Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis
ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam
jumlah yang sama.
Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam
manajemen non operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit
saraf (neurologi) dan manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah
saraf.2
Manajemen trauma kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan
keluaran kualitas hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada
penderitanya (patient oriented) yang mayoritas berusia muda dan sehat dan
masih berkesempatan untuk mengembangkan kariernya.2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 25 Maret 1999
Usia : 19 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Sayung, Demak
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober 2018
1. Keluhan Utama
Luka di kepala
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar oleh temanya ke IGD RSUD Tugurejo dengan luka
di kepala setelah kecelakaan. + 1 jam SMRS pasien mengalami
kecelakaan di jalan raya Ngaliyan di depan perumahan BPI. Pasien
menghindari truk dan akhirnya terjatuh kearah kiri dengan posisi miring
serta kepala terbentur dengan helm terlepas saat terbentur. Pasien sadar
tetapi merasa kebingungan. Pasien mengeluhkan terdapat luka di kepala
kirinya dan terasa nyeri. Selain itu, pasien merasakan mual dan sedikit
pusing. Pusing tidak berputar. Keluhan lain seperti muntah(-), Kelemahan
anggota gerak(-), pandangan kabur(-), kejang(-), tidak ada cairan yang
keluar dari telinga. Penggunaan obat-obatan dan minuman beralkohol
disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Serupa : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat penyakit pembekuan darah : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Sakit yang sama : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat penyakit pembekuan darah : Disangkal
5. Riwayat Social Ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar di universitas swasta Semarang, tinggal di
kos dan pembayaran menggunakan BPJS non PBI kelas 3. Kesan
ekonomi: cukup
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda vital :
a. Tekanan darah : 120/80 mmHg
b. Nadi : 85 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
c. Suhu : 36,2o C
d. Pernapasan : 20 x/ menit
4. Gtatus Gizi :
a. BB : 55 Kg
b. TB : 160 Cm
c. IMT : 21,48 kg/m2 (normoweight)
5. Status Generalis
a. Kulit
i. Warna : sawo matang, ikterik (-)
ii. Turgor : cukup
b. Kepala : mesocephal
Terdapat sebuah luka terbuka di kepala bagian frontal kiri dengan
ukuran p= 3 cm, l=0,5 cm
c. Mata
i. Exophtalmus : (-)
ii. Enophthalmus : (-)
iii. Konjungtiva : anemis (-)
iv. Sklera : ikterik (-)
v. Refleks pupil : langsung (+/+), tidak langsung (+/+),
isokor
vi. Ukuran pupil : 3mm / 3mm (bulat, central reguler)
d. Hidung
i. Deformitas : (-)
ii. Sekret : (-)
e. Telinga
i. Deformitas : (-)
ii. Serumen : (-)
f. Mulut
i. Simetri : Simetris
ii. Mulut kering : (-)
iii. Bibir sianosis : (-)
iv. Tonsil : T1-T1
g. Leher
i. Kelenjar tiroid : pembesaran (-)
ii. Kelenjar limfe : pembesaran (-)
h. Pembesaran kelenjar getah bening
i. Submandibula : (-)
ii. Leher : (-)
iii. Supraklavikula : (-)
iv. Ketiak : (-)
i. Paru-paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kanan Gerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
Kiri pernafasan tertinggal

Palpasi Kanan Vokal fremitus simetris kanan dan kiri


Kiri ICS : tidak melebar / menyempit
Perkusi Kanan Sonor Sonor
Kiri Sonor Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler
Kiri Ronki (-/-), wheezing (-/-)
j. Jantung
i. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
ii. Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V linea
midclavicularis sinistra
iii. Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas
normal
iv. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
k. Abdomen
i. Inspeksi : perut tampak cembung, ikterik (-)
ii. Auskultasi : peristaltik (+) normal
iii. Perkusi : Timpani pada region abdomen,
: pekak hepar (+)
iv. Palpasi : nyeri tekan (-), organomegali (-)
l. Ekstremitas superior
Kanan Kiri
Edema - -
Capillary Refill Time < 2 detik < 2 detik
Akral dingin - -
Ekstremitas inferior
Kanan Kiri
Edema - -
Capillary Refill Time < 2 detik < 2 detik
Akral dingin - -

2. Status neurologis
a. Kesadaran
1) Kualitatif : Compos Mentis
2) Kuantitatif : GCS 15, E4M6V5
b. Orientasi : Baik
c. Jalan pikiran : Baik/koheren
d. Kemampuan bicara : Baik
e. Pemeriksaan motorik

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior

Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra


Gerakan Normal Normal Normal Normal

Kekuatan Otot 5/5/5 5/5/5 5/5/5 5/5/5

Tonus Otot Normotoni Normotoni Normotoni Normotoni

Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

f. Refleks fisiologis
KANAN KIRI
Biceps (+) (+)
Radius (+) (+)
Ulna (+) (+)
Patella (+) (+)
Achiles (+) (+)
g. Refleks patologis
KANAN KIRI
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Gordon (-) (-)
Openheim (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Gonda (-) (-)
Hoffman tromer (-) (-)
h. Pemeriksaan sensorik
1) Eksteroseptif : Nyeri : dbn
Suhu : tidak dilakukan
Raba : dbn
2) Proprioseptif : dalam batas normal
3) Diskriminatif : (+) normal
i. Pemeriksaan saraf kranialis
1) N. I (Olfactorius)
KANAN KIRI
Subjektif Normal Normal
Objektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2) N. II (Opticus)
KANAN KIRI
Tajam
Normal Normal
penglihatan
Lapang
Normal Normal
pandang
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3) N. III (Okulomotorius), N. IV (Troklearis), dan


N. VI (Abducens)
KANAN KIRI
Pergerakan
Normal Normal
bulbus
Sikap bulbus Sentral Sentral
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Eksoftalmus (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Ukuran pupil Diameter 3mm Diameter 3 mm
Bentuk pupil Bulat, isokor Bulat isokor
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek (+) (+)
Melihat kembar (-) (-)
4) N. V (Trigeminus)
KANAN KIRI
Membuka
Pasien dapat membuka mulut, simetris
mulut
Mengunyah Tidak dilakukan
Menggigit Tidak dilakukan
Reflek kornea Tidak dilakukan
Sensibilitas
Normal Normal
muka
5) N. VII (Facialis)
KANAN KIRI
Mengerutkan dahi Simetris
Mengangkat alis Simetris
Menutup mata + +
Menyeringai Simetris
Mencucu Simetris
Pengecapan lidah 2/3
Tidak dilakukan
anterior
Sensibilitas Normal
6) N. VIII (Vestibulokoklearis)
KANAN KIRI
Detik arloji + +
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Webber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
7) N. IX (Glossopharyngeus)
HASIL
Pengecapan lidah 1/3
Tidak dilakukan
posterior
Refleks muntah Tidak dilakukan
8) N. X (Vagus)
HASIL
Arcus faring Simetris, uvula ditengah
Berbicara Normal
Menelan Normal
Refleks muntah Tidak dilakukan
9) N. XI (Accessorius)
KANAN KIRI
Mengangkat bahu (+) (+)
Memalingkan kepala (+) (+)
10) N. XII (Hipoglossus)
HASIL
Tremor lidah (-)
Kedudukan lidah Deviasi (-)
Artikulasi Jelas
j. Koordinasi
1) Tes Gerakan Cepat : Tidak dilakukan
2) Tes Telunjuk – Hidung : Tidak dilakukan
3) Tes tumit – lutut : Tidak dilakukan
4) Tes Romberg : (-)
5) Tes Romberg dipertajam : (-)
6) Stepping test : Tidak dilakukan
7) Tes Cara Berjalan : Tidak dilakukan
k. Fungsi Vegetatif
1) Vasomotorik : Tidak dilakukan
2) Sudomotorik : Tidak dilakukan
3) Pilo-erektor : Tidak dilakukan
4) Miksi : Dalam batas normal
5) Defekasi : Dalam batas normal
6) Potensi dan Libido : Tidak dilakukan
l. Fungsi Luhur
1) Kesadaran Kualitatif : Compos Mentis
2) Ingatan Baru : Tidak dilakukan
3) Ingatan Lama : Tidak dilakukan
4) Orientasi : Tidak dilakukan
5) Intelegensia : Tidak dilakukan
6) Daya Pertimbangan : Tidak dilakukan
7) Reaksi Emosi : Tidak dilakukan
8) Afasia : Tidak dilakukan
9) Apraksia : Tidak dilakukan
10) Agnosia : Tidak dilakukan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan X foto Cranium AP/Lateral

Kesan : Tak tampak fraktur pada ossa cranium


2. Laboratorium darah lengkap

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hemoglobin 11,30(L) g/dl 11,7-15,5
Leukosit 10,72 10^3/ul 3,6-11
Eritrosit 4,42 10^6/ul 3,8-5,2
Hematokrit 34,00(L) % 35-47
MCV 76,90(L) fL 80-100
MCH 25,60(L) Pg 27 – 32
MCHC 32,20 g/dl 32 – 37
Trombosit 134(L) 10^3/ul 150-400
RDW 14,00 % 10-18
Eosinofil 0,70 % 2–4
Basofil 0,20 % 0–1
Neutrofil 78,30 % 50 -70
Limfosit 13,50 % 25 - 40
Monosit 7,30 % 2 –8

E. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Vulnus eksoriasi regio frontalis sinistra
Diagnosis topis : Frontalis sinistra
Diagnosis etiologi : Cedera Kepala Ringan

F. PLANNING
1. Plan Diagnosis
CT Scan Kepala
2. Plan terapi:
a. Medikamentosa :
1) Infus RL 20 tpm
2) Asam Mefenamat 3 x 500 mg
3) Cefixime 3 x 100 mg
b. Nonmedikamentosa:
1) Perawatan Luka
2) Istirahat yang cukup

3. Plan monitoring :
a. Keadaan umum
b. Tanda vital
c. GCS
d. Perubahan gejala dan tanda
4. Plan edukasi :
a. Menjelaskan keadaan pasien kepada pasien
b. Minum obat secara teratur
c. Pasien diizinkan pulang bila tidak ada keluhan, dan semisal muncul
keluhan kembali maka pasien segera dibawa ke RS
G. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Qua ad sanam : dubia ad bonam
3. Qua ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. ANATOMI KEPALA

Gambar 1. Anatomi kulit kepala

a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
1) Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta
kelenjar sebasea (keringat).
2) Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan
lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah
terutama diatas galea. Pembuluh darah tersebut merupakan
anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih
dominan arteri karotis eksterna.
3) Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat
yang berhubungan langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea
merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada tiga
otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior),
m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose
areolar tissue, lapisan ini mengandung vena emissary yang
merupakan vena tanpa katup, menghubungkan SCALP, vena
diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan
ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP
bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini
disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling
sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
5) Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura
ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak
atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.3
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiridari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.3,4
c. Meninges3,4
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:
Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak

1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm.
Terletak paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar
(lapisan periosteal) langsung melekat pada endosteum tabula interna
dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater merupakan
selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan
pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Diperdarahi oleh arteri meningea anterior, media, dan posterior.
Masing-masing merupakan cabang dari arteri opthtalmika untuk
yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan arteri
vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis.1,3,4
2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak
tepat dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler,
mendapatkan nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam,
lapisan ini memiliki banyak trabekula yang melekat pada lapisan
epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan
arachnoid, hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang
tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan
pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.3,4
d. Otak

Gambar 3. Bagian otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang


dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian
yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak
menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.4
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.4

Gambar 4. Aliran Cairan Cerebrospinal

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).4
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak
mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.4
2. FISIOLOGI KEPALA
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah
intrakranial, cairan serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan
normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan
CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg (8)
. Kenaikan
TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat
iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah
dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi
maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat
menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan
Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min
atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang
cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa
antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO
bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam
6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma.
ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita
yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-
TIK) pada level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk
meningkatkan ADO.4
B. CEDERA KEPALA
SINONIM: Trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma kranioserebral
= Traumatic Brain Injury.2
1. DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen.2
2. EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya
kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari
penderita cedera kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih
dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala.2 Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana
kecelakaan terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal
akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera kepala masih
merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun.
Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan
tindakan operasi.2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498
kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang
dan 80% penyebabnya adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari
RSCM (1995-1998), terjadi 96% trauma kapitis yang disebabkan oleh
kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia muda ±
25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya
memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera
kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.1
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah
kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak
menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai (>85%).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang
terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga
saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala membentur
lantai.1,3
3. ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu-lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan
penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari
ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olahraga,
korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok,
parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah
tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.3,5
4. MEKANISME CEDERA OTAK
a. Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon.
Tekanan pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus
sehingga timbul kerusakan berturut-turut mulai dari kulit, tengkorak
dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.6
b. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon,
berbentuk impulsif dan / atau impak.6 Trauma tidak langsung
membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak
atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan pada
tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi
dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak.6
c. Impak (Impact Loading), Trauma yang langsung membentur kepala
dapat menimbulkan 2 bentuk impak:
1) Kontak / benturan langsung (contact injury), Trauma yang langsung
mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :
a) Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan
coup kontusio
b) Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di
luar tempat trauma
c) Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan
oleh gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau
getaran yang ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam
jaringan otak.3,6
2) Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak
dengan tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua
jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar
otak, cedera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan
subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra coup, dan
intermediate.3,6
5. PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
otak langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar.
Perluasan kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh
berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah
otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran
bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi
dan radikal bebas.6
Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung
Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi
jaringan otak terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan,
sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur
pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak
yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk
ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa
milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur
mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan
terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah
datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut
datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas toleransi jaringan
tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur tengkorak dapat
berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.6
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1) Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang
tengkorak sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).3,6
2) Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala
menyebabkan perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi,
deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat menimbulkan cedera
otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari arah
samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara
massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau
bagian-bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun
dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup.
Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh dari tempat
benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan
(frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada
pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-
anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak
bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan
terjadinya coup dan contra coup.3,6
3) Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang
akan diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang
tersebut menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup
besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui
proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat
berupa : “Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus
disertai perdarahan intraserebral.3,6
4) Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat
benturan dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat
terjadi benturan. Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni
terjadi tekanan negatif di tempat benturan dan tekanan positif di tempat
yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang
menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).6
6. KLASIFIKASI
a) Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2
jenis yaitu lesi primer dan lesi sekunder.
1) Lesi Primer
- Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa
bersifat lokal maupun difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo
pada kepala mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub
galeal maupun fraktur tulang tengkorak. Demikian juga dapat
terjadi kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan
mikrovaskular difus.1,3
2) Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma,
menyusul kerusakan primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan
iskemi-hipoksia, edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural,
perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal, perdarahan
intraserebral, dan infeksi.1,3
b) Berdasarkan patologi:
1) Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan
Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan
pemeriksaan klinis, sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi
berdasarkan patologi. CKR dianalogikan sama dengan komosio
serebri. Di klinik, klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena
memiliki beberapa keuntungan yaitu:
- Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat
ringannya cedera, penilaiannya mudah bagi dokter spesialis,
dokter umum, maupun paramedis, dan nilai GCS dapat dipakai
sebagai monitoring kondisi pasien
- Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak
lebih tinggi.1,7
2) Kontusio Cerebri
Kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater.
Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan
(kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena, dan arteri),
nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus
karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan
tulang saat terjadi benturan.1,7,8
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat
timbul perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat
yang berlawanan dari cedera (countre-coup). Kontusio intermediate
coup terletak diantara lesi coup dan countre coup.1,3,8

Gambar 5. Cedera Countre-Coup

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu,


sebabnya antara lain adalah perdarahan yang terus berlangsung,
iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya lesi
akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam),
disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan
gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48
jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik kecoklatan.6
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi
kontusio. Jika melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral,
disebut ‘cedera tetrapolar’, memberikan gejala TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift)
dan disertai koma atau penurunan kesadaran yang progresif.
Gambaran CT scan berupa daerah kecil hiperdens yang disertai atau
dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak
yang nekrosis.3
3) Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi
biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid
traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat
dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi
langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka, sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh
deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.3
c) Berdasarkan lokasi lesi
1) Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara
makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien
mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai
koma.1
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut
diatas bukan disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi
batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih banyak
disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan
serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya
kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan
berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa
disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya
tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami
kerusakan.3
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga
menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada
CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di
substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke
batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi
pada CT-scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai
kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan
3
yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages.
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi
klinisnya dapat berupa:
a))Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih
dari 6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya
lesi fokal baik berupa massa maupun daerah yang iskemik.
Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap
dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang
berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan
oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai
istilah cedera akson difus. Untuk keperluan klinis dan penentuan
prognosis, DAI dibagi menjadi :
- DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa
disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup
lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan.
- DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai
gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak
ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi
agresif angka kematiannya adalah 20 %.
- DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai
disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang
berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan
cacat neurologis yang berat.6
b)) Cedera Vaskular Difus (“Diffuse Vaskular Injury” = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada
seluruh hemisfer, khususnya masa putih daerah lobus frontal,
temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera meninggal
dalam beberapa menit.3
2) Lesi Fokal
a))Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu
hematom yang cepat terakumulasi di antara duramater dan tabula
interna. Paling sering terletak pada daerah temporal dan frontal.
Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media. Jika
tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.1,2,3,9,10

b))Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging
vein) robek. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH.
Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi cedera.1,3,10
c)) Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai
lesi lain. Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater,
mengisi ruang subarachnoid.1,3,10
d)) Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH),
diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak
(parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah.
Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 persen),
tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan
ganglia basalis.1,2,3
e)) Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini
jarang terjadi pada trauma, umumnya merupakan perdarahan
spontan. Prinsipnya hampir sama dengan ICH, tetapi secara
anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih
sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak.2,3
d) Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS2
Kategori GCS Gambaran Klinik CT Scan Otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologik (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologik (- Normal
)
Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
neurologik (+)
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal
Catatan:
1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat
2. Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita
dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat2
7. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
a) Anamnesis
Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval
lucid , Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea, Amnesia traumatika
(retrograd/anterograd)
b) Hasil pemeriksaan klinis neurologis
c) Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
d) Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e) CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.
f) Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1) Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2) Penilaian fungsi vital
3) Otorrhea/rhinorrhea
4) Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5) Ekimosis mastoid bilateral/Battle’s sign
6) Gangguan fokal neurologik
7) Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8) Refleks tendon, refleks patologis
9) Pemeriksaan fungsi batang otak
10) Pemeriksaan pupil
11) Refleks kornea
12) Doll’s eye phenomenon
13) Monitor pola pernafasan
14) Gangguan fungsi otonom
15) Funduskopi.2
HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal.2,3,5,10
Hematoma Epidural di Fossa Posterior
Gejala dan tanda klinis:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
5. Pupil isokor 2,3,5,10
Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks2,3,5

Gambar 6. CT Scan Hematom Epidural


HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya ‘bridging
vein´
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari
b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu
c. Kronik : interval lucid >3 bulan2
Hematoma Subdural Akut
Gejala dan tanda klinis:
 Sakit kepala
 Kesadaran menurun2
Penunjang diagnostik:
 CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan
arakhnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak
seperti bulan sabit.1,2,3,5,7,10
Gambar 7. CT Scan Hematom Subdural

HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri
intraserebral mono- atau multiple.3,6

Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage

FRAKTUR BASIS KRANII


1. Anterior
Gejala dan tanda klinis :
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
- anosmia2,3
Gambar 9. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye
2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea2,3,9
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
- Bilateral mastoid ecchymosis/battle’s sign2,3,5

Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign

Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin
section)2
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda kllinis :
- Koma lama trauma kapitis
- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi 2
Penunjang diagnostik:
 CT scan otak
 Awal normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
 Ulangan setelah 24 jam, edema otak luas2
PERDARAHAN SUBARAKNOID TRAUMATIKA
Gejala dan tanda klinis:
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang subarakhnoid2,6,8

Gambar 11. CT Scan Subarachnoid Hemorrhage

Diagnostik Pasca Perawatan


1. Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma
(APT), tidak ada defisit neurologis
2. Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)
GCS 13-15, CT Scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif,
rawat RS< 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1 jam
3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)
GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau
GCS > 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau
abnormal CT scan, pingsan >30 menit ± 24 jam, APT 1-24 jam
4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)
GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam,
APT > 7 hari.1,2
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
- Darah tepi lengkap
- Gula darah sewaktu
- Ureum kreatinin
- Albumin serum (hari ke-1)
- Analisa gas darah (Astrup)
- Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)
- Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan
hematologis)7,9
b. Pemeriksaan Radiologi
- Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur
servikal, kerah leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
- Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
- Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial
(edema, kontusio, hematoma)7,9,10
c. NeurobehavioR: Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri7
9. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Cedera Kepala Ringan
1) Pemeriksaan status umum dan neurologi
2) Perawatan pada luka
3) Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama
48 jam Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut : Pasien
cenderung mengantuk, Sakit kepala yang semakin berat dan Muntah
proyektil.Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit.
4) Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut: Ada gangguan
orientasi (waktu, tempat). Sakit kepala dan muntah, Tidak ada yang
mengawasi dirumah Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali
kerumah sakit2
5) Indikasi rawat inap CKR:
i. Nilai GCS <15
ii. Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya amnesia
iii. Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo
iv. Fraktur tulang kepala
v. Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi
hematoma intrakranial7.
6) Tujuan rawat inap CKR:
i. Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
ii. Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur
pasca trauma berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas
hidup
iii. Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau
hematoma subdural3,7
7) Pemeriksaan penunjang CKR
i. Laboratorium: darah tepi lengkap
ii. Foto kepala AP/lateral, foto servikal kalau perlu
iii. CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma
intrakranial dengan gejala riwayat lucide interval, sakit kepala
progresif, muntah proyektil, kesadaran menurun, dan gejala
lateralisasi2,3,7
8) Tata laksana dan tindak lanjut
i. Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20°- 30°, dimana posisi
kepala dan dada pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan
keluhan (sakit kepala, muntah, vertigo). Mobilisasi bertahap harus
dilakukan secepatnya
ii. Simtomatis: Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti
vertigo (beta histin mesilat), antiemetik
iii. Antibiotik jika ada luka (ampicilin 4x500 mg)
iv. Perawatan luka
v. Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1
kolf/12 jam, untuk mencegah dehidrasi1,7
9) Unit terkait
PPM bedah saraf  bila ada hematoma epidural atau hematom
subdural yang perlu tindakan bedah.1,7
b. Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat
Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B),
dan Circulation (C)
Airway: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari
lidah yang turun ke bawah, Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa
endotrakeal, Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu, Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
aspirasi
Breathing: Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten,
Bila perlu pakai ventilator
Circulation: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari
penyebabnya, oleh faktor ekstrakranial berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan
- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9%
atau ringer laktat per infus
- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah1,7
Pemeriksaan fisik CKS/CKB
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
- Kesadaran
- Tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan
- Pupil
- Defisit fokal serebral
- Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama tim)7
- Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di
atas bisa diartikan timbulnya kerusakan sekunder
Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB: Lihat pemeriksaan radiologi dan
laboratorium1,7
Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20
mmHg, sudah harus diturunkan dengan cara:
- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2
dipertahankan antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu
dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi,
hiperbentilasi diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
- Terapi diuretik:
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB
setiap 6jam, selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak
melebihi 320 mOsm.
 Loop diuretik (furosemid)
Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis:
40mg/hari
 Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan
dosis sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
 Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada
dalam satu bidang.1,7
Keseimbangan cairan dan elektrolit
Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000
ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%
atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung
glukosa. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil
normal, takikardi kembali normal dan volume urin ≥ 30 ml/jam.
Setelah 3-4 hari dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
Bila terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian
diuretik, diabetes insipidus, SIADH), pemasukan cairan harus
disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula
darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah.1,7
Nutrisi: Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata
40%, kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari
kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari. Selain infus, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik:
-
Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
-
Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
-
Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari
disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.1,7
NeuroproteksiAdanya tenggang waktu antara terjadinya trauma
dan timbulnya kerusakan jaringan saraf memberi waktu bagi kita
untuk memberikan neuroprotektor. Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH),
sitikolin, dan piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.1,7
10. KOMPLIKASI
a. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late
eplepsy. Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko
tinggi untuk terjadinya kejang pasca CKB, yaitu:
 GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
 Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam
kurun waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan
 Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v,
dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya
diberikan 3-4 x 100 mg/hari
 Profilaksis:
 Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200
mg/hari selama 7-10 hari.1,3,7
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii. Antibiotik
yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari Bila ada
kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis
meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x
1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi
diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal
negatif. 1,3,7
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu
dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala,
ketiak, dan lipat paha. Dan ditambahkan obat antipiretik. 1,3,7
d. Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, dengan 19-24% diantaranya akan berdarah.
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang
simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa
sehingga mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan
pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama H2 reseptor bloker yaitu
simetidine, ranitidin, atau famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v
selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole. 1,3,7
e. Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian
hiperosmotika dan pemberian diuretika serta oksigen. 1,3,7
f. Neurorestorasi /neurorehabilitasi
Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi
/neurorehabilitasi dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan
perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, pneumonia ortostatik dengan
perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, dan ekstermitas digerakkan
secara pasif. Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang
termasuk pemeriksaan kortikal luhur, karena banyak gejala sisa berupa
gangguan kortikal luhur yang menurunkan kualitas hidup pasca cedera
kranio serebral. 1,
11. INDIKASI OPERASI
a. EDH (epidural hematoma):
1) 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal
denagn fungsi batang otak masih baik.
2) >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan
batang otak atau hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
3) EDH progresif
4) EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
b. SDH (subdural hematoma)
1) SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih
baik
2) SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
3) SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift
dengan fungsi batang otak masih baik
c. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
1) Penurunan kesadaran progresif
2) Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing
refleks)
3) Perburukan defisit neurologi fokal
d. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
e. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
f. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
g. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK,
dipertimbangkan operasi dekompensasi.2
12. PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya
trauma kapitis.3
Diffuse Injury Grade CT appearance Mortality
I Normal CT Scan 9.6%
II Cisterns present. Midline shift <5 mm 13,5%
III Cisterns compressed/ absent. Midline 34%
shift <5 mm
IV Midline shift >5 mm 56,2%
13. PENCEGAHAN DAN EDUKASI1,3
a. Penggunaan helm penyelamat dan memadai
b. Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000
pengemudi terhindar dari kerusakan yang serius
c. Perilaku pengemudi
d. Kecepatan kendaraan
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:


Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.

3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan


Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.

4. Crossman, Alan R, Neary, David. Neuroanatomy colour text. Manchester:


Elsevier.2015

5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117

6. Tim Neurotrauma.Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya: FK UNAIR. 2014

7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian
Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58

8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:


http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed on
November 21 2012.

9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. p12-18

Anda mungkin juga menyukai