Pendahuluan
Jargon humanisme lazim digunakan dalam pengertian tatanan nilai yang
mengaksentuasikan kompetensi kepribadian setiap individu manusia. Namun
jargon ini tidak mengandung keimanan kepada Tuhan. Kendati dalam humanisme
terlihat bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para
humanis juga menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan
norma-norma kemanusiaan. Contohnya, pada abad ke 19 Auguste Comte,
seorang positivis Perancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang
berlandaskan ateisme hanya dengan tujuan membenahi situasi sosial. Kecuali itu,
serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat
minat dari kalangan elit agama.
Humanisme dipahami sebagai suatu ajaran yang tidak menggantungkan
diri pada doktrin-doktrin yang tidak memberikan kebebasan kepada individu.
Doktrin-doktrin yang bersifat otoritatif sangat bertentangan dengan prinsip dasar
humanisme religius, yang senantiasa memberikan kebebasan kepada setiap
individu dalam menentukan pilihan hidup, baik dalam beragama, berpendapat
maupun dalam menuntut haknya, tetapi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan hak-hak
orang lain tetap diperhatikan.
Humanisme berasal dari Barat dan mengalami perkembangan dalam
lingkungan pemikiran filsafat Barat. Karena itu, untuk mengkaji dan menganalisis
gerakan humanisme beserta pengaruhnya pada dasar-dasar epistemologi Barat
sudah seharusnya kita merujuk ke berbagai Ensiklopedia Barat yang akurat agar
kajian bisa dilakukan secara ilmiah dan bebas dari berbagai kecenderungan
subyektif antara lain Encyclopedia of Philoshopy karya Paul Edward yang
menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut: Humanisme adalah sebuah
gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-
14 kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi
salah satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat
yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya
sebagai kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat
manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek.
Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang
menjadi aspek fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di jadikan para
pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam
natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang
ini. Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata
humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-
masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti
kebudayaan. Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni
bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia
berbeda dengan semua binatang.
Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit
yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman
pertengahan. Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi
klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk
mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah
kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak
berdaya oleh faktor alam dan sejarah. Humanisme yang kembali kepada era
klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan
dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan
dikerahkan oleh orang-orang terdahulu. Di saat yang sama, kaum humanis telah
melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan.
Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan
klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka
bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan
kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif.
Kalangan humanisme meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar
yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya.
Dalam diri manusia terdapat dua naluri, naluri alamiah dan naluri ketuhanan.
Keduanya saling mengisi dan tidak bertentangan, meskipun mengandung
kontradiksi, dan kadangkala manusia bertindak menentang dan berlawan dengan
sunnatullah yang mengandung keseimbangan di dalamnya.
Walaupun Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme
atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat,
karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar
humanisme ateistis. Misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam,
humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dan sebagainya yang
memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya tanpa mengesampingkan
kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang
paling serung memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu
kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi
iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat
menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian
terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-
abad. Humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas
kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada
ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak
menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang
gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya.
Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam
humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati
manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari
dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas,
yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung
pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak
dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18.
Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris
agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan
menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia,
sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis. Selanjutnya pertanyaan adalah
bagaimana kita melihat Agama dan Humanisme: Persoalan Agama Hari ini,
Bahaya, Tantangan dan Prospeknya?