Anda di halaman 1dari 9

SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015

Institut Teknologi Nasional Malang


ISSN: 2407 – 7534

Potensi Lensa Fresnel sebagai Solar Thermal Concentrator


untuk Aplikasi Solar Domestic (Heating and Solar Cooking)

Asrori1, Sudjito Soeparman2, Slamet Wahyudi3, Denny Widhiyanuriyawan4


1) Mahasiswa Program Doktor Teknik Mesin Universitas Brawijaya
2,3,4) Staff Pengajar Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya
e-mail: 1) asrori2_polinema@yahoo.com

ABSTRAK

Energi matahari merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang paling menjanjikan
yang tersedia di sebagian besar negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Konsentrator
panas matahari digunakan untuk menangkap radiasi matahari dan dalam hal ini, radiasi
langsung dari sinar matahari yang difokuskan menjadi panas untuk berbagai aplikasi. Dalam
penelitian ini digunakan lensa fresnel PMMA (Polymethyl-methacrylates) yang mempunyai
luasan penangkapan 1 m2, ketebalan 0,03 m, dan panjang fokus 0,88 m. Tujuan utama dari
penelitian ini adalah untuk mengukur temperatur stagnasi pada titik fokus dari konsentrator
lensa fresnel. Hasil percobaan menunjukkan bahwa rata-rata radiasi matahari langsung dan
temperatur stagnasi pada titik fokus lensa fresnel adalah masing-masing sekitar 951,16 W/m2
(pada pukul 10.00-13.00) dan 507,79 oC. Sedangkan, total energi yang dihasilkan selama 3 jam
adalah sekitar 10272,56 kJ. Hal ini menunjukkan bahwa lensa fresnel sebagai konsentrator
panas matahari sangat menjanjikan untuk diaplikasikan di rumah tangga (solar domestic
application) contohnya pemanas air dan memasak. Oleh karena itu, untuk saat ini lensa fresnel
berbahan PMMA menjadi salah satu pilihan terbaik dalam bidang aplikasi energi panas
matahari terkonsentrasi. Hal ini dikarenakan mempunyai kelebihan diantaranya ringan,
produksi massal dengan biaya murah serta dapat meningkatkan densitas energi secara efektif
dan mempunyai efisiensi yang tinggi.
Kata kunci: Konsentrator panas matahari, lensa Fresnel PMMA, Radiasi matahari langsung,
Temperatur stagnasi, Solar domestic application.

ABSTRACT

Solar energy is one of the most promising renewable energy resources, which is available in
most of the developing countries including Indonesia. The Solar thermal concentrator are used to
capture solar radiation and In this regard, the direct normal irradition can be concentrated into
heat for diverse applications. The PMMA (polymethyl-methacrylate) fresnel lens has an aperture
area 1 m2, thickness 0.03 m, and focal length 0.88 m was used in this experimental. The main
objective of the present study is to measure the stagnation temperature at point focus of fresnel lens
concentrator. The experimental results shows that the average of Direct Normal Irradiation and the
stagnation temperature at point focus of fresnel lens is about 951,16 W/m 2 (at local time 10.00-13.00)
and 507,79 oC, respectively. While, the total energy generated is about 10272,56 kJ for 3 hours. This
indicates that solar thermal concentrator with the fresnel lens is very promising for solar domestic
application (heating and cooking). Therefore, PMMA fresnel lenses recently have been one of the
best choice because of the advantages such as small volume, light-weight, mass production with
low cost, as well as effectively increase the energy density and high efficiency.

Keywords: Solar Thermal Concentrator, PMMA Fresnel Lens, Direct Normal Irradiation, Stagnation
Temperature, Solar Domestic Application
SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 254
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

Pendahuluan

Energi matahari merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang paling menjanjikan
dimana telah tersedia hampir disemua negara berkembang termasuk Indonesia. Secara umum di
Indonesia terdapat empat sektor utama pengguna energi terbesar, yaitu sektor rumah tangga,
komersial, industri dan transportasi. Berdasarkan Laporan ESDM pada tahun 2011 (KEDM,[5])
konsumsi energi (non biomassa) terbesar adalah sektor industri sebesar 44,2%, sektor
transportasi 40,6%, sektor rumah tangga sebesar 11,4% dan sektor komersial sebesar 3,7%.
Sedangkan penggunaan energi biomasa terbesar adalah pada sektor industri dan rumah tangga
yaitu masing masing sebesar 41% dan 29%. Besarnya penggunaan biomassa di rumah tangga
mengindikasikan bahwa masih banyak dari masyarakat di Indonesia yang sesungguhnya belum
mendapatkan akses energi modern secara baik disebabkan karena kondisi geografis wilayah dan
pembangunan infrastruktur yang minim. Dengan kondisi tersebut di atas maka penggunaan
energi termal matahari sebagai sumber energi alternatif sangat diperlukan. Sampai saat ini,
sumber energi yang digunakan sebagian besar masih berasal dari fosil, yaitu minyak bumi
sebesar 46,9%, batu bara sebanyak 26,4% dan gas alam sebesar 21,9%. Sementara tenaga air
(hidro) dan energi terbarukan lainnya hanya sekitar 4,8% dari total sumber daya energi yang
termanfaatkan (http://konservasi energiindonesia.info/energy/indonesia).
Energi matahari berupa radiasi yang dihasilkan dari reaksi fusi nuklir dalam inti matahari.
Radiasi ini selanjutnya merambat ke bumi melalui angkasa dalam bentuk energi yang disebut
foton. Total energi yang dihasilkan matahari sebesar 3,8 x 10 20 MW yang berarti sama dengan 63
MW/m2 energi yang dihasilkan oleh permukaan matahari. Energi tersebut diradiasikan kesemua
arah dan total radiasi energi matahari yang sampai ke bumi tersebut sekitar 1,7 x 10 14 kW
(Kreith & Kreider ,[7]). Meskipun energi matahari ini hanya 30 % yang mencapai bumi, energi
yang terpancar selama 30 menit saja mampu memenuhi kebutuhan energi di bumi selama
setahun (Kalogirou,[4]). Potensi energi surya yang begitu luar biasa besarnya, masih belum
maksimal pemanfaatnya di Indonesia. Indonesia terletak di garis katulistiwa, sehingga
Indonesia mempunyai sumber energi surya yang berlimpah dengan intensitas radiasi matahari
rata-rata sekitar 4,8 kWh/m2 per hari di seluruh wilayahnya. Indonesia mempunyai cuaca
kondisi cerah pertahun (sunshine hours annually) adalah sekitar 2975 jam atau 124 hari
sedangkan rata-rata lamanya penyinaran sekitar 8,2 jam per hari. (sumber:
http://www.indonesia.climatemps.com). Letak geografis tersebut memungkinkan sinar matahari
dapat optimal diterima di hampir seluruh Indonesia sepanjang tahun. Sehingga dalam kondisi
puncak atau posisi matahari tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan wilayah di
Indonesia seluas 1 m2 akan mampu mencapai 900 hingga 1000 Wh. Di Indonesia potensi tenaga
surya dapat mencapai 5,1 kWh/m2/hari (Indonesia Timur) dan 4,5 kWh/m2/hari (Indonesia
Barat). Bahkan, menurut catatan National Renewable Energy Laboratory (NREL-USA), Potensi
energi surya di Indonesia diperkirakan mencapai 4.967.990.841 MWh/year dan menduduki
rangking 18 terbesar didunia (http://en.openei.org/wiki/Indonesia)
Metode konsentrasi termal surya merupakan cara untuk menaikkan panas sinar matahari
dengan menggunakan suatu peralatan tambahan. Prinsip konsentrasi energi surya secara umum
dapat dilihat pada Gbr.1 di bawah ini.

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 255


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

Gambar 1. Prinsip konsentrasi termal surya (Akinjiola et.al, [1])


Kalogirou (2004) mengungkapkan bahwa pada solar thermal concentrating, energi surya
dikonsentrasikan/difokuskan secara optikal sebelum ditransfer menjadi panas. Mekanisme
konsentrasi ini dapat diperoleh dengan cara pemantulan (reflection) atau pembiasan (refraction)
radiasi surya dengan menggunakan cermin atau lensa. Cahaya yang dipantulkan atau dibiaskan
akan terkonsentrasi pada daerah fokus, selanjutnya akan menaikkan flux energi pada target
penerima (receiver/absorber). Untuk kolektor/konsentrator surya tipe konsentrasi tersebut,
intensitasi radiasi surya yang diperhitungkan adalah direct/beam/normal irradiance dimana
dapat diperoleh dengan pengukuran menggunakan alat Pyrheliometers. Sedangkan untuk tipe
flat-plat collectors intensitas radiasi surya yang diperhitungkan adalah global (total) aperture
irradiance artinya pada tipe kolektor ini energi yang masuk pada area penangkapan (aperture
area) adalah radiasi langsung dan baur. Oleh karena itu dalam pengukuran radiasi untuk tipe
kolektor ini digunakan alat ukur pyranometer karena mampu untuk mengukur intensitas radiasi
global (global solar irradiance).
Menurut Menghani et.al (2012), ada dua tipe Fresnel yaitu lensa bias (refractive lens) dan
cermin bias (reflective mirrors), seperti yang ditunjukkan dalam Gbr. 2. Lensa Fresnel bias
sebagian besar digunakan dalam aplikasi fotovoltaik sedangkan cermin reflektif banyak
diaplikasikan dalam solar thermal. Disain optical Lensa fresnel lebih fleksibel dan dapat
menghasilkan kerapatan fluks yang seragam pada absorber. Pada tipe lensa fresnel dengan
fokus titik secara geometri tersusun berupa alur melingkar yang berbentuk prisma dengan
sudut kemiringan tertentu untuk membentuk fokus (Gambar.3)

(a) (b)

Gambar 2. (a) reflective mirror fresnel, (b) refractive lens fresnel (Menghani et.al, [9])

Gambar 3. Bentuk permukaan lensa fresnel

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 256


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

Untuk saat ini lensa fresnel berbahan plastik yang terkenal adalah dari bahan PMMA
(polymethylmethacrylate). Fresnel bahan PMMA ini tahan terhadap sinar matahari,
menghasilkan suhu yang stabil hingga temperatur paling kurang 80 o, transmisivitas spektrum
matahari yang bagus dan mempunyai indek refraksi 1,49 yang mendekati dari bahan kaca
(Leutz & suzuki, [8]). Dengan desain dan produksi permukaan penangkapan lensa yang presisi
akan menghasilkan efisiensi optikal yang cukup tinggi hingga 96,06% (Jing et.al, [3]). Menurut
penelitian Ferriere (2004) penggunaan lensa fresnel PMMA dengan geometri sirkular (diameter
= 900 mm, tebal = 3.17 mm, jarak fokus = 757 mm) diperoleh flux densitas radiasi surya pada
titik fokus dapat mencapai 2664 kali artinya untuk penangkapan radiasi 1000 W/m 2 diperoleh
maksimum densitas energi pada titik fokus 264 W/cm2.
Beberapa kelebihan lensa fresnel modern (berbahan plastik) dibandingkan dengan tipe lensa
cembung konvensional (berbahan kaca) adalah 1) lebih ringan lensa fresnel modern berbahan
bahan plastik (acrylic, polymethylmethacrylate (PMMA), polycarbonate (PC), polyvinyl cholride
(PVC), dan rigid vinyl) bukan dari kaca (glass), 2) permukaan lebih tipis dan bisa dilapisi dengan
plastik sehingga bentuk datar, 3) pemakaian lebih praktis karena selain tipis dan ringan, juga
menghasilkan fokus yang bisa ditentukan dengan luasan yang sama dan 4) penggunaannya lebih
banyak dibandingkan dengan jenis lensa tipe cembung, seperti untuk traffic light, lighting house,
LCD Projector dan untuk konsentrator solar cooker dan lain-lain.
Oleh karena itu dengan melihat potensi solar energy yang ada di Indonesia dan teknologi
konsentrator lensa fresnel yang berkembang saat ini, maka tujuan tulisan ini adalah 1)
mengetahui temperatur stagnasi yang mampu dibangkitkan pada titik fokus lensa fresnel yang
diuji, 2) mengetahui potensi konsentrator lensa fresnel untuk water heating dan solar cooking.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di koordinat Latitude: -7.9553o dan Longitude: 112.6145o, yang


dilakukan dari jam 10.00 s.d jam 13.00 pada kondisi cuaca cerah. Diagram rancangan penelitian
dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini :

Direct Normal Irradiance

Solar Power Meter


IDN

Ta

Thermocouple Digital Multimeter

Ts
n
Receiver
Gambar 4. Skema rancangan penelitian

Komponen utama yang digunakan dalam pengujian ini adalah lensa fresnel sebagai konsentrator
sinar matahari dengan spesifikasi: ukuran 1000 x 1000 mm, ketebalan 3 mm, bahan PMMA, groove pitch
0.5 mm, jarak fokus 880 mm. Direct Normal Irradiation (IDN) diukur dengan Solar Power Meter SM206
dengan spesifikasi: resolution: 0.1W/mm2, error range: ±10 W/mm2 atau ± 5 % dari nilai pengukuran,
temperature error: ± 0.38 W/m2/degree, range: 0.1 - 3999 W/m2, sampling time: 0.5 second, operating

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 257


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

environment: 0- 50o C. Sebuah Digital Multimeter yang terhubung dengan termocouple tipe K digunakan
untuk mengukur temperatur stagnasi (Ts) pada titik fokus lensa fresnel dan temperatur ambien (Ta).
Supaya akurasi data penelitian dapat terjaga, berikut prosedur yang perlu diperhatikan dalam
pengujian: 1) radiasi surya: besarnya energi surya yang tersedia yang ditangkap oleh lensa fresnel
merupakan radiasi langsung (direct radiation) atau juga dikenal dengan istilah Direct Normal Irradiance
(IDN) sehingga diukur dengan Solar Power Meter yang di kopel dengan rangka fresnel. Dimana satuan
DNI adalah Watt/m2. Variasi pembacaan IDN selama interval 10 menit tidak melebihi 100 W/m2. Rentang
pembacaan IDN antara 450 – 1100 W/m2. 2) Tracking : Posisi lensa fresnel tegak lurus terhadap datangnya
sinar matahari oleh karena itu perlu ada alat solar tracker yang dilakukan secara intermitent setiap 10
menit. Dalam pengujian ini dilakukan secara manual dengan memasang alat solar finder atau alat
penjejak sinar matahari secara manual 3) Kecepatan angin : kecepatan angin tidak boleh lebih dari 1
m/s, jika kecepatan angin lebih dari 2.5 m/s selama 10 menit maka data sudah tidak akurat. 4)
Temperatur stagnasi (Ts) diukur tepat berada pada titik fokus dari lensa fresnel. 5) Temperatur ambient:
temperatur ambient berada pada rentang 20–35 oC. Semua data diambil setiap 10 menit. Instalasi
pengujian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

Solar
Power Meter

Solar finder

Gambar 5. Instalasi pengujian lensa fresnel

Hasil dan Pembahasan


Untuk mengetahui seberapa besar potensi energi yang berada di lokasi pengujian (koordinat
Latitude: -7.9553o dan Longitude : 112.6145o ) dapat diperoleh dari data yang dikeluarkan NASA
Surface meteorology and Solar Energy, (https://eosweb.larc.nasa.gov/). Data untuk rata-rata
bulanan radiasi langsung (Direct Normal Radiation) pada untuk rata-rata 22 tahun (periode
1983 -2005), dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Rata-rata bulanan radiasi langsung periode 1983-2005
pada koordinat 7.9553o LS dan 112.6145 o BT
Bulan kWh/m2/Hari kJ/m2/hari
Jan 3,52 12672
Peb 3,44 12384
Mar 3,74 13464
Apr 4,37 15732
Mei 5,05 18180
Jun 5,18 18648
Jul 5,58 20088
Ags 5,80 20880
Sept 5,92 21312
Okt 5,28 19008
Nop 4,33 15588
Des 3,94 14184
Rerata Tahunan 4,69 16884
Catatan: 1kWh = 3600 kJ

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 258


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

Dari data diatas tampak bahwa pada lokasi pengujian tersebut, potensi energi radiasi
normal matahari yang tersedia setiap luasan 1 m2 selama 1 hari adalah rata-rata sebesar 16884
kJ. Energi sebesar ini kalau bisa dimanfaatkan secara optimal dapat memenuhi kebutuhan
energi memasak dan air panas untuk satu keluarga dalam sehari. Jika dibandingkan dengan
LPG maka energi matahari tersebut diatas adalah setara dengan 1/3 kg LPG (Calorific value of
LPG(LHV) = 45837 kJ/kg).
Data pengukuran radiasi langsung dapat dilihat dalam Gambar 6. Berikut:

1100
1050
Radiasi Langsung [W/m2]

1000
950
900
850
800
750
700
650
600

Waktu Lokal [jam:menit]

Gambar 6. Variasi radiasi matahari langsung terhadap waktu lokal

Dari data pengukuran radiasi matahari langsung/Direct Normal Irradiance (IDN) selama 3 jam
yaitu jam 10.00 s.d 13.00 diperoleh rata-rata 951,16 W/m2. Dengan demikian total energi radiasi
langsung yang mampu ditransfer oleh lensa fresnel dengan luas 1m2 selama 3 jam, dapat
dihitung dengan rumus,
Qr  I DN .Af .t (1)
Dimana Qr adalah energi yang mampu ditransfer oleh konsentrator lensa fresnel (kJ); IDN
adalah radiasi matahari langsung (kW/m2); Af adalah luas penangkapan lensa fresnel (m2); t
adalah lamanya pengujian (s). Sehingga,
Qr = 0,95116 (kW/m2) x 1 (m2) x 3 (jam) x 3600 (s)
Qr = 10272,56 kJ
Potensi energi sebesar ini dapat digunakan untuk keperluan memasak atau untuk
kebutuhan air panas. Menurut kumar et.al, (2014) untuk saat ini memasak nasi dengan
komposisi 1 kg beras dengan 1,2 s.d 1,6 liter air dibutuhkan rata-rata energi sebesar 3000 kJ.
Dengan demikian apabila memasak hanya 1 kg beras saja maka diprediksi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 1 jam saja.
Sedangkan hasil pengukuran temperatur stagnasi (temperatur pada titik fokus lensa
fresnel) dan temperatur ambien dapat dilihat dalam gambar 7.

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 259


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

600

550

] 500
C
o
[i 450
s 400
a
n
g350
a
t 300 Temp.Stagnasi
S
r Temp.Ambient
u
t
250
a200
r
e
p150
m
e 100
T
50

Waktu Lokal [jam:menit]

Gambar 7. Variasi temperatur stagnasi dan temperatur ambien terhadap waktu lokal

Pada grafik Gbr.7 di atas diperoleh rata-rata temperatur stagnasi selama waktu pengujian
tiga jam adalah 507,79 oC dan temperatur stagnasi tertinggi tercatat pada pukul 12.30 yang
mencapai 570 oC. Sebagai gambaran efek panas yang dibangkitkan oleh titik fokus lensa fresnel
tersebut maka dalam penelitian ini di coba untuk membakar kayu bangunan yang diletakkan di
daerah fokus lensa (Gambar 8), hasilnya dalam waktu 10 detik kayu tersebut mulai terbakar.

Gambar 8. Panas pada titik fokus mampu membakar kayu

Dari data temperatur fokus yang dibangkitkan konsentrator fresnel tersebut maka
memungkinkan untuk diaplikasikan sebagai sumber energi dalam pengolahan makanan seperti
yang ditunjukkan dalam tabel 2 berikut,

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 260


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

Tabel 2. Kebutuhan temperatur dalam proses pengolahan makanan


Temperatur (oC) Kegunaan
45 – 50 Menghangatkan makanan atau
proses pengeringan
65 – 70 Pasteurisasi air
70 – 75 Pasteurisasi makanan
80 – 85 Memasak makanan
100 Mendidihkan air
120 Sterilisasi
150– 200 Penggorengan

Dari tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sangat menjanjikan untuk dilakukan


pengembangan solar cooker atau water heater dengan menggunakan konsentrator lensa fresnel.
Karena temperatur yang dibutuhkan dalam proses memasak dapat diperoleh dari konversi
energi panas matahari terfokus. Oleh karena itu saat ini aplikasi lensa fresnel untuk teknologi
solar energy mulai dikembangkan. Kelebihan tipe solar concentrating cooker ini adalah efisiensi
tinggi, temperatur yang tinggi, proses memasak cepat dan dapat digunakan untuk proses
pengolahan makanan yang lebih luas.

Kesimpulan

Potensi radiasi matahari di Indonesia rata-rata sekitar 4,8 kWh/m2/hari di seluruh


wilayahnya. Total energi matahari pertahun diperkirakan mencapai 5 GWh dan menduduki
rangking 18 terbesar didunia Sedangkan potensi energi matahari (hanya radiasi langsung) yang
berada di lokasi pengujian (koordinat 7.9553o LS dan 112.6145o BT ) di prediksi rata-rata 16884
kJ/m2/hari.
Teknologi konsentrasi energi termal surya dengan menggunakan lensa fresnel adalah
sebuah cara yang efektif untuk menyerap seluruh energi matahari. Lensa fresnel PMMA
(polymethyl-methacrylate) saat ini banyak digunakan sebagai konsentrator surya dikarenakan
volume kecil, jernih, ringan, efisiensi optikal tinggi dan dalam skala besar biaya produksi murah
serta efektif menaikkan densitas energi.
Radiasi matahari langsung(Direct Normal Irradiance) selama pengujian rata-rata 951,16 W/m2 .
Sedangkan rata-rata temperatur stagnasi adalah 507,79 oC. Oleh karena itu pemanfaatan metode
konsentrasi surya dengan lensa fresnel ini dapat dikembangkan untuk solar cooker atau solar
water heater. Kelebihan tipe solar concentrating cooker ini adalah efisiensi tinggi, temperatur
yang tinggi, proses memasak cepat dan dapat digunakan untuk proses pengolahan makanan
yang lebih luas.

Daftar Pustaka

1. Akinjiola, O.P., and Balachandran, U.B., Concentrated Solar Thermal (CST) System for Fuel wood
Replacement and Household Water Sanitation in Developing Countries, Journal of Sustainable
Development, Vol. 5, No. 6, 2012.
2. Ferriere, A., Rodríguez, G.P. & Sobrino, J.A., Flux distribution delivered by a fresnel lens used for
concentrating solar energy, Journal of Solar Energy Engineering, 126, 1, 654-660, ISSN 0199-6231,
2004.
3. Jing, L., Liu, H., Zhao, H., Wu, H., Wang and Xu, J., Design of Novel Compound Fresnel Lens for High
Performance Photovoltaic Concentrator, International Journal of Photoenergy, Vol.2012, p.7, Hindawi
Publs.Corp., 2012.
4. Kalogirou, Soteris A., Solar Thermal Collectors and Applications, Progress in Energy and
Combustion Science, pp 231–295, Elsevier, 2004.
5. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Indonesia Energy Outlook 2010, Jakarta,
2011.

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 261


SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI 2015
Institut Teknologi Nasional Malang
ISSN: 2407 – 7534

6. Kumar De,K., Nath De, N., Nathaniel,M., and Olawolea, O., Minimizing Energy Usage in Cooking to
Protect Environments and Health, International Journal of Energy and Environmental Research,
Vol.2, No.3, pp.20-44, September 2014
7. Kreith, F. & Kreider, J.F., Principles of solar engineering, McGraw-Hill, New York, 1978.
8. Leutz,R.& Suzuki, A., Nonimaging Fresnel Lenses: design and performance of solar
concentrators, Heidelberg, springer verlag, 2001.
9. Menghani, P.D, Udawant,R.R, Funde, A.A, & Dingare, S.V., Low Pressure Steam Generation
by Solar Energy With Fresnel Lens: A Review, IOSR Journal of Mechanical and Civil
Engineering (IOSR-JMCE), ISSN: 2278-1684, PP: 60-63. www.iosrjournals.org, 2012.

SENATEK 2015 | Malang, 17 Januari 2015 262

Anda mungkin juga menyukai