Revisine Dwi
Revisine Dwi
Disusun Oleh:
Disusun Oleh:
RIZKY NINGSIH UTAMI (2019030098)
Mengetahui,
Pembimbing Lapang
Assalaamu’alaikum wr wb
Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan studi
kasus. Laporan studi kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk memenuhi tugas praktek kerja lapangan bidang gizi klinik.
Penyusunan laporan ini banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan serta
saran dari berbagai pihak, maka dari itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih
kepada:
1. Martini, S.Gz selaku Kepala Instalasi Gizi.
2. Dyah Widiyastuti, S.Gz selaku Pembimbing Lapang yang telah meluangkan
waktu dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan laporan.
3. Weni Hastuti, S.Kep., M.Kes., selaku Rektor Institut Teknologi Sains Dan
Kesehatan PKU Muhammadiyah Surakarta.
4. Cemy Nur Fitria. S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Waket Rektor I Institut Teknologi
Sains Dan Kesehatan PKU Muhammadiyah Surakarta.
5. Tuti Rahmawati S.Gz., M.Si selaku Ketua program studi S1 Gizi Institut Teknologi
Sains Dan Kesehatan PKU Muhammadiyah Surakarta dan pembimbing akademik
I PKL Pelayanan Gizi Institusi RS yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada kami untuk melaksanakan PKL ini.
6. Retno Dewi N, S.Gz., M.Si selaku CI Klinik yang telah memberikan bimbingan,
arahan serta masukkan dalam penyusunan laporan ini.
7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam
penyusunan laporan yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari
sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini.
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.......................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................viii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................ 3
C. Tujuan........................................................................................................................... 3
D. Tempat dan Waktu........................................................................................................ 3
E. Manfaat......................................................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................5
A. STROKE NON HEMORAGIK........................................................................................5
B. Gagal Ginjal Kronik.....................................................................................................10
BAB III. GAMBARAN UMUM PASIEN....................................................................26
A. Identitas Pasien........................................................................................................... 26
B. Data Medis Pasien......................................................................................................26
C. Data pemeriksaan Medis pasien.................................................................................29
D. Assesment Gizi...........................................................................................................31
E. Diagnosis Gizi.............................................................................................................32
F. Perencanaan Asuhan Gizi...........................................................................................33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................41
A. Evaluasi Data Antropometri.........................................................................................41
B. Evaluasi Data Biokimia................................................................................................42
C. Evaluasi Data Klinis/Fisik............................................................................................43
D. Evaluasi Data Dietary History......................................................................................44
BAB V. RINGKASAN PELAYANAN GIZI................................................................47
BAB VI. PENUTUP..................................................................................................51
A. Kesimpulan................................................................................................................. 51
B. Saran.......................................................................................................................... 51
DAFTAR TABEL
A. Latar Belakang
Ginjal merupakan salah satu organ yang mempunyai fungsi sangat penting di
dalam tubuh. Pada kondisi tertentu, secara patofisiologi ginjal dapat mengalami
penurunan fungsi yang progresif akibat beragam etiologi. Kondisi ini dikenal dengan
istilah chronic kidney dissease (CKD) atau penyakit ginjal kronis (PGK) yang pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel
(Suwitra, 2014).
Pada pasien dengan kondisi gagal ginjal akan mengalami gangguan fungsi
dan kegagalan ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) sehingga memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Smeltzer dan Bare, 2002; Suwitra, 2014).
Salah satu metode terapi dialisis pada penderita gagal ginjal adalah hemodialisis
(HD). Terapi ini bertujuan menghasilkan fungsi ginjal untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah ketika ginjal secara secara progresif tidak mampu lagi
melaksanakan fungsi tersebut sehingga dapat memperpanjang kelangsungan hidup
dan memperbaiki kualitas hidup penderita (Mutaqqin & Sari, 2011; Haryono, 2013).
Data USRDS terbaru tahun 2015 menyebutkan bahwa prevalensi PGK
secara keseluruhan memang mengalami peningkatan yaitu dari 12 % pada tahun
1988-1994 menjadi 14 % pada tahun 1999-2004, tetapi pada tahun 2007-2012
cenderung stabil yaitu 13,6 % (USRDS Annual Data Report, 2015). Menurut laporan
tahunan National Kidney Foundation, berdasarkan data terbaru USRDS lebih dari
660.000 orang Amerika dirawat karena gagal ginjal. Dari jumlah tersebut, sebanyak
468.000 adalah pasien dialisis dan lebih dari 193.000 pasien melakukan
transplantasi ginjal (National Kidney Foundation, 2016).
Penderita penyakit ginjal tahap akhir yang harus menjalani terapi
hemodialisis beresiko mengalami berbagai masalah/ gangguan kesehatan. Salah
satu gangguan kesehatan yang muncul pada penderita dengan terapi hemodialisis
adalah sindrom uremia yang ditandai dengan lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, pruritus, gangguan pada indra perasa (metallic taste), gangguan neurologi
seperti kejang- kejang sampai koma (Mahan dan Escott- Stump, 2004; Payne dan
Barker, 2010; Suwitra, 2014).
1
Penderita PGK tahap akhir juga beresiko mengalami gangguan gizi, bahkan
sering menunjukkan adanya gejala malnutrisi energi protein (protein- energi
wasting). Hasil studi menunjukkan sebanyak 20-70% pasien yang menjalani dialisis
mengalami malnutrisi dan kejadian meningkat seiring dengan durasi dialisis yang
dijalani (Palmer et al, 2015). Menurut Kovesdy (2010), jumlah asupan protein dan
energi yang tidak mencukupi merupakan faktor penting penyebab protein-energi
wasting (PEW) pada penderita PGK tahap akhir yang menjalani perawatan dialisis.
Malnutrisi juga disebabkan oleh pembatasan diet, keracunan ureum, asidosis
metabolik, infeksi, serta adanya penyakit penyerta yang dapat menekan nafsu
makan sehingga menurunkan asupan energi dan protein dan menyebabkan
peningkatan proses katabolisme di dalam tubuh penderita (Palmer et al, 2015).
Anemia, ketidakadekuatan dialisis, dan kehilangan protein akibat proses dialisis
juga merupakan penyebab malnutrisi pada pasien dialisis (Payne dan Barker,
2010).
Salah satu penatalaksanaan yang penting dipatuhi oleh penderita gagal
ginjal selain terapi dialisis/ cuci darah ataupun transplantasi ginjal adalah
pengaturan pola makan/ diet (Smeltzer dan Bare, 2002). Pengaturan pola konsumsi
pangan pada penderita gagal ginjal dilakukan untuk membantu mengurangi kerja
ginjal, menurunkan kadar ureum darah yang tinggi, mengatur keseimbangan cairan
dan elektrolit, serta mencapai dan mempertahankan status gizi yang optimal
(Almatsier, 2007).
Pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis, pengaturan diet
sedemikian kompleks dan membutuhkan kecermatan. Hal ini membutuhkan
integrasi perilaku manajemen diri yang kompleks terkait gaya hidup pasien maupun
keluarganya (Lorig & Holman, 2003) karena perubahan pada salah satu anggota
keluarga akan mempengaruhi keluarga dan semua anggotanya (Ryan & Sawin,
2009). Manajemen diri melibatkan pengetahuan dan keyakinan, keterampilan dan
kemampuan pengaturan diri, serta dukungan sosial untuk mengelola kondisi
penyakit kronisnya (Ryan & Sawin, 2009). Menurut Grey, Knafl, McCorkle (2006)
manajemen diri individu dan keluarga yang efektif telah dikaitkan dengan berbagai
hasil dan dapat memperbaiki kondisi, berdampak pada hasil individu, seperti
tingginya efikasi diri, kepatuhan yang lebih baik pada regimen pengobatan, dan
peningkatan kualitas hidup.
Oleh karena hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan studi kasus pada
pasien rawat inap di rumah sakit. Pada pelayanan studi kasus ini, penulis
melaksanakan pelayanan gizi bagi pasien dengan kasus gangguan fungsi ginjal
2
stage IV disertai HIV yang dilaksanakan selama 3 hari sejak tanggal 26 Juni sampai
28 Juni 2019 di bangsal Flamboyan 8 kamar 803 B RSUD Dr. Moewardi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Penatalaksanaan Asuhan Gizi pada pasien gangguan fungsi
ginjal stage IV disertai HIV dan Hipertensi di Bagian Ruang Perawatan Flamboyan
8 kamar 803 B RSUD Dr. Moewardi.?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan asuhan gizi pada pasien
gangguan fungsi ginjal stage IV disertai HIV dan Hipertensi di Bagian Ruang
Perawatan Flamboyan 8 RSUD Dr. Moewardi.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan skrining gizi.
b. Mahasiswa mampu melaksanakan anamnesa gizi pasien.
c. Mahasiswa mampu mengkaji data antropometri, biokimia, klinis, dietary history,
dan data lain.
d. Mahasiswa mampu membuat diagnosis gizi.
e. Mahasiswa mampu menghitung kebutuhan zat gizi pasien.
f. Mampu melaksanakan pelayanan gizi.
g. Mahasiswa mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi.
h. Mahasiswa mampu merencanakan dan melaksanakan konseling gizisesuai
dengan permasalahan gizi pasien.
3
3. Bagi RSUD Dr. Moewardi
Sebagai bahan pertimbangan untuk mengevaluasi dan menjadi masukan
dalam pelayanan gizi di Rumah Sakit.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
Penyebab PGK yang menjalani hemodialisis di Indonesia menurut Penefri tahun
2003 adalah:
a. Glomerulonefritis 46,39%
b. Diabetes Mellitus 18,65%
c. Obstruksi dan infeksi 12,85%
d. Hipertensi 8,46%
e. Sebab lain 13,65%
Penyebab lain adalah: infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler
hipersensitif, gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter,
gangguan metabolisme, nefropati toksik, nefropati obstruksi dan intoksikasi obat.
3. Klasifikasi
Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakanginjal dan
kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memfasilitasi penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan
peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen PGK (National
KidneyFoundation, 2002). Berikut adalah klasifikasi stadium PGK:
GFR
Stadium Deskripsi
(mL/menit/1.73 m2)
5
Fungsi ginjal normal,tetapi temuan
urin, abnormalitas struktur atau ciri
1 ≥90
genetic menunjukkan adanya penyakit
ginjal.
5. Gambaran klinis
Gambaran klinis meliputi gambaran yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium dini, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR masih normal atau justru meningkat.
Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat
badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan gejala uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
7
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terserang
infeksi, terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%,
maka timbul gejala dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT (Suwitra,
2009).
6. Penegakan diagnosis
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung.
Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau pemeriksaan
histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologibiopsi renal sangat berguna
untuk menentukan penyakit glomerularyang mendasari (Scottish Intercollegiate
Guidelines Network, 2008). Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal
dapatdisimpulkan dari urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus
menyebabkan kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan
adanya hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008).
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus
Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis
kelamin (Willems et al, 2013).
8
c) Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
2) Syarat diit
a) Energi
Asupan energi yang cukup sangat diperlukan untuk mencegah
katabolisme jaringan tubuh. Dibutuhkan sekurang kurangnya 35 kal/kg
BB/hari, dibutuhkan asupan yang optimal dari golongan bahan makanan non
protein. Ini dimaksudkan untuk mencegah gangguan protein sebagai sumber
energi. Bahan-bahan ini bisa diperoleh dari minyak, mentega, margarin, gula,
madu, sirup dan lain-lain.
b) Protein
Asupan protein rendah yaitu 0,6-0,75 gr/kgBB/hari. Sekurang-
kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein bernilai biologi tinggi, yang
lebih lengkap kandungan asam amino esensialnya biasanya dari golongan
hewani, misalnya telur, daging ayam, ikan, susu, dan kerang dalam jumlah
yang sesuai anjuran. Sedangkan pada pasien dengan Hemodialisa protein
diberikan tinggi, yaitu sebesar 1- 1,2 g/ kgBB ideal/hari pada Hemodialisa 1,3
gr/kgBB ideal/hari pada continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mengganti asam amino
yang hilang selama dialisis.
c) Natrium
Asupan natrium 40- 120 mEq/hari ( 270- 920 mg/hari ) untuk 9lindne
tekanan darah dan oedema.pembatasan natrium dapat membantu mengatasi
rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan cairan.
Asupan Natrium diberikan sesuai dengan jumlah urin yang keluar 24 jam, yaitu
1 gr+ penyesuaian menurut jumlah urin sehari, yaitu 1 gr untuk setiap ½ liter
urin dengan terapi hemodialisa dan 1-4 gr menurut jumlah urin sehari yaitu 1
gr untuk tiap ½ liter urin. Bahan makanan tinggi natrium yang tidak dianjurkan
antara lain bahan makanan yang dikalengkan, garam natrium yang
ditambahkan kedalam makanan seperti natrium bikarbonat atau soda kue,
natrium 9lindnes atau pengawet buah dan sayuran, natrium nitrit atau
senyawa yang digunakan sebagai pengawet daging, seperti pada cornet beef.
d) Kalium
Pembatasan kalium sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
eksresi 9lindness karena ada gangguan pada fungsi ginjal yang
mengakibatkan hiperkalemia. Asupan kalium diberikan 1560- 2730 mg/ hari.
Pada hemodialisa kalium diberikan sesuai dengan urin yang keluar/ 24
jam, yaitu 2 g+ penyesuaian menurut jumlah urin sehari. Bahan makanan
9
tinggi kalium pada umbi, buah- buahan, alpukat, pisang ambon, mangga,
tomat, rebung, daun singkong, daun 10lindn, bayam, kacang tanah, kacang
hijau dan kacang kedelai.
e) Kalsium dan Fosfor
Perlu pengontrolan pada keadaan hipokalsium, hal ini untuk
menghindari terjadinya seminimal mungkin mencegah klasifikasi dari tulang
dan jaringan tubuh. Asupan 10lindnes 400-900 mg/hari, kalsium 1000-1400
mg/hari. Sedangkan pada pasien Hemodialisa Kalsium diberikan tinggi yaitu
1000 mg/ hari bila perlu diberikan suplemen kalsium, dan pembatasan pada
fosfor yaitu < 17 mg/ kg BB ideal/ hari.
f) Cairan
Untuk membatasi kelebihan cairan tubuh sekurang- kurangnya 1,2 ml
setiap hari. Konsumsi cairan baik yang berasal dari makanan maupun
minuman diberikan sesuai dengan air seni yang dikeluarkan ditambah 500 cc.
3) Asupan Protein
Terapi konservatif dapat diterapkan kepada penderita gagal ginjal kronik
dengan tujuan untuk menghilangkan gejala yang mengganggu penderita.
Komponen utama terapi konservatif adalah diet, yaitu dengan mengatur asupan
protein. Selain itu juga harus mengatur air dan garam, vitamin, elektrolit, dan
asam amino essensial.
Asupan protein bagi penderita gagal ginjal kronik dibedakan menjadi dua
yaitu Asupan protein rendah 0,6-0,75 gr/kgBB/hari. Sekurang- kurangnya 50 %
asupan protein berasal dari protein bernilai biologi tinggi, yang lebih lengkap
kandungan asam amino esensialnya biasanya dari golongan hewani, misalnya
telur, daging ayam, ikan, susu, dan kerang dalam jumlah yang sesuai anjuran.
Asupan protein rendah ini diberikan untuk memperlambat progresi menuju gagal
ginjal digunakan untuk pasien gagal ginjal yang belum menjalani hemodialisa
secara rutin (Rubeinstein, 2005).
Asupan protein cukup 1-1,2 gr/kgBB/hari diperlukan untuk menjaga
keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama proses dialisis. Sekitar 50
% asupan protein berasal dari protein bernilai biologi tinggi, yang mengandung
asam amino essensial lebih lengkap. Protein ini biasanya dari golongan hewani
misalnya telur, daging, ayam, ikan, susu, dan kerang dalam jumlah sesuai anjuran
(Roesma, 1992 ).
4) Kadar ureum
10
Ureum merupakan produk sisa 11lindness11 pembakaran protein. Dalam
keadaan normal, kadar ureum darah selalu konstan. Jika terjadi produksi yang
berlebihan, misalnya makanan yang kita konsumsi terlalu tinggi kadar proteinnya
maka ginjal akan bekerja keras untuk mengeluarkannya dari tubuh. Namun,
apabila terjadi kerusakan pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum
didalam darah, sehingga ginjal tidak mampu membuang ureum tersebut dan
menjadikannya semakin tinggi. Keadaan lain seperti terjadinya dehidrasi
(kekurangan cairan tubuh akibat diare, keringat berlebih, dan kurang minum) juga
akan menyebabkan tingginya kadar ureum dalam darah. Kelebihan kadar ureum
dalam jumlah yang sangat tinggi dapat menyebabkan seseorang mengalami koma
(Bastiansyah, 2008).
Ureum berasal dari asam amino yang telah diserap amoniaknya didalam
hati dan diekskresikan rata- rata 30 gram setiap hari. Kadar ureum yang normal
dalam darah ialah 15- 40 (mg/dl). Kadar ureum bergantung pada jumlah protein
yang dimakan dan fungsi hati dalam pembentukan ureum (Setiowati & furqonita,
2007).
5) Kadar kreatinin
Kreatinin adalah hasil 11lindness11 sel otot yang terdapat didalam darah
setelah melakukan kegiatan. Ginjal akan membuang kreatinin dari darah ke urin.
Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin didalam darah akan meningkat (IKAPI,
2007). Nilai rujukan untuk pria adalah 0,6 – 1,3 mg/dl dan untuk wanita 0,5-1
mg/dl serum. Jumlah kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari lebih
bergantung pada masa otot dari pada aktivitas otot atau tingkat 11lindness11
protein hal ini menyebabkan nilai kreatinin pada pria lebih tinggi karena jumlah
massa otot pria lebih besar dibandingkan jumlah massa otot wanita. Massa otot
dan Metabolisme protein pada umumnya sama- sama menimbulkan efek
pembentukan kreatinin yang tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik yang berat atau
penyakit 11lindness11es yang menyebabkan kerusakan pada otot (Mark, 2005).
Kreatinin darah yang meningkat menujukkan menurunnya fungsi ginjal.
Kadar kreatinin dianggap lebih 11lindness dan merupakan indikator khusus pada
penyakit ginjal 11lindness11 dengan kadar ureum. Sedikit peningkatan ureum
dapat menandakan terjadinya hipovelemia (kekurangan cairan), namun kadar
kreatinin sebesar 2,5 mg/dl dapat menjadi indiksi kerusakan ginjal. Kreatinin
serum sangat berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus (IKAPI, 2007).
6) Kadar Hemoglobin
11
Menurut Corwin (2009), Hemoglobin merupakan molekul didalam eritrosit
(sel darah merah) terdiri dari materi yang mengandung besi yang disebut hem
(heme) dan protein globulin. Terdapat 300 molekul hemoglobin dalam satu sel
darah merah. Hemoglobin bertugas menyerap karbon dioksida dan ion 12lindnes
serta membawanya ke paru tempat zat- zat tersebut dilepaskan ke udara.
Hemoglobin didalam darah yang berada dalam keadaan lebih rendah dari
keadaan nilai normal dapat didefinisikan sebagai anemia. Nilai batasan anemia ini
ditentukan berdasarkan umur, misalnya nilai Hb normal untuk balita adalah 11 g/
100 ml, wanita dewasa 12 g/100 ml dan untuk laki- laki dewasa adalah 13 g/100
ml. Mereka dikatakan mengalami anemia apabila nilai HB berada di bawah nilai
normal tersebut ( Faisal & komsan, 2009).World Health Organization (WHO)
mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin 11,0 g/dl pada bayi atau
balita, 12,0 g/dl pada usia sekolah, 11,0 g/ dl pada ibu hamil, 13,0 g/dl pada laki-
laki dewasa dan 12,0 g/dl pada wanita dewasa (Supariasa, 2002).
The European Best Practice Guidelines dalam Repository Usu
menyebutkan bahwa penatalaksanaan anemia pada pasien- pasien penyakit
gagal ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah
11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki- laki dibawah atau sama dengan 70
tahun dan 12,0 gr/dl pada laki- laki diatas 70 tahun. Pembentukan Hemoglobin
dalam darah juga dipengaruhi oleh zat besi. Dalam bahan makanan zat besi
berbentuk besi heme dan non heme yaitu senyawa besi yang berikatan dengan
protein. Besi heme dapat diperoleh dari bahan makanan protein hewani dan besi
non heme dari bahan makanan nabati. Seseorang dengan kondisi yang sehat dan
bergizi baik pada umumnya mempunyai persediaan atau simpanan zat gizi yang
cukup didalam tubuh namun, jika persediaan besi terus menerus menurun dan
keseimbangan zat besi terganggu, hal tersebut dapat menyebabkan persediaan
zat besi tubuh berkurang. Berkurangnya persediaan zat besi ini juga
menyebabkan terganggunya pembentukan hemoglobin dan pembentukan
hemoglobin yang terus menerus terjadi juga akan menyebabkan terjadinya
anemia.
8. Hubungan Asupan Protein dengan Kadar Ureum, Kreatinin dan Kadar Hb
Salah satu cara untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal adalah dengan
menilai kadar ureum dan kreatinin serum, karena kedua senyawa ini hanya dapat
diekskresikan oleh ginjal. Kreatinin adalah hasil perombakan keatinin, semacam
senyawa berisi Nitrogen yang terutama ada dalam otot.
12
Kadar Ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara produksi dan
eksresi. Metode penetapannya adalah dengan mengukur nitrogen atau sering disebut
Blood Urea Nitrogen ( BUN ). Nilai BUN akan meningkat apabila seseorang
mengkonsumsi protein dalam jumlah banyak, namun pangan yang baru disantap
tidak akan berpengaruh terhadap nilai ureum pada saat manapun. Konsentrasi BUN
juga dapat digunakan sebagai petunjuk Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Pada
penderita gagal ginjal kronik LFG akan menurun, namun BUN dan kreatinin
meningkat. Kadar kreatinin merupakan indeks LFG yang lebih cermat dibandigkan
BUN. Hal ini terutama karena BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan
katabolisme protein tubuh ( Benez, 2008).
Menurut Martini ( 2010 ), tidak ada hubungan antara tingkat asupan protein
dengan kadar kreatinin darah pada penderita gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan
karena ada faktor lain yang mempengaruhi kadar kreatinin darah. Sedangkan
menurut Noer, 2006 Kenaikan kadar Kreatinin serum menunjukkan menurunnya
klirens kreatinin dan penurunan LFG. Asupan daging matang dalam jumlah banyak
akan meningkatkan kadar kreatinin serum, karena terjadi penambahan kreatinin
eksogen. Setiap 1 gram daging yang dimakan akan menghasilkan 3,5 sampai 5,0 mg
kreatinin. Menurut Sumiasih 2012, terdapat hubungan antara asupan protein hewani
dan nabati dengan kadar ureum dan kreatitin pada penderita gagal ginjal kronik
dengan nilai 13lindness rasio 0,912 dan prevalue 0,001. Hemodialisa merupakan
salah satu terapi pengganti ginjal yang dilakukan oleh pasien gagal ginjal kronik.
Namun seringkali pada pasien hemodialisa dijumpai adanya penurunan kadar
hemoglobin ( anemia ).
Anemia pada pasien gagal ginjal kronik, bisa terjadi karena produksi 13lindne
eritroprotein berkurang seiring dengan penurunan fungsi ginjal yang berfungsi
menghasilkan 13lindne tersebut sebagai produksi sel- sel darah merah dan menjaga
keseimbangan kadar oksigen dalam darah. Selain itu, terapi hemodialisa dan asupan
penderita yang buruk juga dapat memperburuk status anemia. Makanan bersumber
protein dengan nilai biologis tinggi dapat membantu meringankan fungsi ginjal serta
membantu mempertahankan ataupun menaikkan kadar Hb.
9. Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronik
Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan
antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang
dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan
(Depkes,2002). Status Gizi dapat dilakukan dengan cara:
a. Penilaian Gizi Secara Langsung
1) Antropometri
13
Antropometri dapat berarti ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur
dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan 14lindn. Ketidakseimbangan ini
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,
otot dan jumlah air dalam tubuh. Bentuk aplikasi penilaian status gizi dengan
antropometri antara lain dengan penggunaan teknik Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau Body Mass Index (BMI). IMT ini merupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Dengan IMT ini
antara lain dapat ditentukan berat badan beserta resikonya. Misalnya berat
badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi,
sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit
14lindness14es.
Berikut contoh penggunaan metode IMT ini untuk mementukan kondisi
berat badan kita. Pada contoh ini akan disampaikan penjelasan tentang cara-
cara yang dianjurkan untuk mencapai berat badan normal berdasarkan IMT
yang kemudian disesuaikan dengan keseimbangan konsumsi sehari-hari.
Untuk memantau indeks masa tubuh orang dewasa digunakan
timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan. Penggunaan IMT hanya
untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada
bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Untuk mengetahui nilai IMT
ini, dipergunakan formula sebagai berikut :
Normal 18.5-22.9
Overweight 23-24.9
Obesias I 25.0-30.0
Obesitas II >30.0
14
2) Klinis
Teknik penilaian status gizi juga dapat dilakukan secara klinis.
Pemeriksaan secra klinis penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode
ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau
pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
3) Biokimia
Penilaian status gizi secara biokimia dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan 15lindnes yang diuji secara 15lindness15es yang dilakukan pada
berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja, jaringan otot, hati.
4) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan. Metode ini secara umum digunaakan dalam
situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemic (epidemic of night
15lindness).
B. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari jantung
dan memompa keseluruh jaringan dan organ–organ tubuh secara terus–menerus
lebih dari suatu periode (Irianto, 2014). Hal ini terjadi bila arteriol–arteriol
konstriksi. Konstriksi arterioli membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan
tekanan melawan dinding arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan
arteri yang bila berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh
darah (Udjianti, 2010). Hipertensi dapat didifinisikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya
di atas 90 mmHg (Syamsudin, 2011).
Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hipertensi merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke, infak miokard,
diabetes dan gagal ginjal (Corwin, 2009). Hipertensi disebut juga sebagai
“pembunuh diam–diam” karena orang dengan hipertensi sering tidak
menampakan gejala, Institut Nasional Jantung, Paru dan Darah memperkirakan
separuh orang yang menderita hipertensi tidak sadar akan kondisinya. Penyakit
hipertensi ini diderita, tekanan darah pasien 13 harus dipantau dengan interval
15
teratur karena hipertensi merupakan kondisi seumur hidup (Smeltzer dan Bare,
2002).
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan
menurut Corwin (2009), Irianto (2014), Padila (2013), Price dan Wilson (2006),
Syamsudin (2011), Udjianti (2010) :
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi
esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak
diketahui penyebabnya (Idiopatik). Beberapa faktor diduga berkaitan dengan
berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini:
1) Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini
tidak dapat dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga yang memliki tekanan
darah tinggi.
2) Jenis kelamin dan usia: laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita
menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia bertambah
maka tekanan darah meningkat faktor ini tidak dapat dikendalikan serta jenis
kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada perempuan.
3) Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung
berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa 14
dikendalikan oleh penderita dengan mengurangi konsumsinya karena dengan
mengkonsumsi banyak garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan
cepat pada beberapa orang, khususnya dengan pendeita hipertensi,
diabetes, serta orang dengan usia yang tua karena jika garam yang
dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah garam akan
menahan cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya didalam tubuh.
Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada volume
darah seseorang atau dengan kata lain pembuluh darah membawa lebih
banyak cairan. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang
menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan
tekanan darah didalam dinding pembuluh darah. Kelenjar adrenal
memproduksi suatu hormon yang dinamakan Ouobain. Kelenjar ini akan lebih
banyak memproduksi hormon tersebut ketika seseorang mengkonsumsi
terlalu banyak garam. Hormon ouobain ini berfungsi untuk menghadirkan
protein yang menyeimbangkan kadar garam dan kalsium dalam pembuluh
darah, namun ketika konsumsi garam meningkat produksi hormon ouobain
menganggu kesimbangan kalsium dan garam dalam pembuluh darah.
Kalsium dikirim kepembuluh darah untuk menyeimbangkan kembali, kalsium
16
dan garam yang banyak inilah yang menyebabkan penyempitan pembuluh
darah dan tekanan darah tinggi. Konsumsi 15 garam berlebih membuat
pembuluh darah pada ginjal menyempit dan menahan aliran darah. Ginjal
memproduksi hormone rennin dan angiostenin agar pembuluh darah utama
mengeluarkan tekanan darah yang besar sehingga pembuluh darah pada
ginjal bisa mengalirkan darah seperti biasanya. Tekanan darah yang besar
dan kuat ini menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Konsumsi garam
per hari yang dianjurkan adalah sebesar 1500 – 2000 mg atau setara dengan
satu sendok teh. Perlu diingat bahwa sebagian orang sensitif terhadap garam
sehingga mengkonsumsi garam sedikit saja dapat menaikan tekanan darah.
Membatasi konsumsi garam sejak dini akan membebaskan anda dari
komplikasi yang bisa terjadi.
4) Berat badan: Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga
berat badan dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB
ideal) dikaitkan dengan berkembangnya peningkatan tekanan darah atau
hipertensi.
5) Gaya hidup: Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup
dengan pola hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi itu
terjadi yaitu merokok, dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang
dihisap dalam waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa putung rokok
dan lama merokok berpengaruh dengan tekanan darah pasien. Konsumsi
alkohol yang sering, atau berlebihan dan terus menerus dapat meningkatkan
tekanan darah pasien sebaiknya jika 16 memiliki tekanan darah tinggi pasien
diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan darah pasien dalam batas
stabil dan pelihara gaya hidup sehat penting agar terhindar dari komplikasi
yang bisa terjadi.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi
adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal
atau gangguan tiroid, hipertensi endokrin, hipertensi renal, kelainan saraf
pusat yang dapat mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut karena
hipertensi sekunder yang terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal (renal
hypertension). Gangguan ginjal yang paling banyak menyebabkan tekanan
darah tinggi karena adanya penyempitan pada arteri ginjal, yang merupakan
pembuluh darah utama penyuplai darah ke kedua organ ginjal. Bila pasokan
darah menurun maka ginjal akan memproduksi berbagai zat yang
meningkatkan tekanan darah serta ganguuan yang terjadi pada tiroid juga
17
merangsang aktivitas jantung, meningkatkan produksi darah yang
mengakibtkan meningkatnya resistensi pembuluh darah sehingga
mengakibtkan hipertensi. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder
antara lain: penggunaan kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik
(tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume
intravaskuler, luka bakar, dan 17 stress karena stres bisa memicu sistem
saraf simapatis sehingga meningkatkan aktivitas jantung dan tekanan pada
pembuluh darah.
3. Klasifikasi
Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah tekanan darah
sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari 80
mmHg. Seseorang yang dikatakan hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Berdasarkan The Joint
National Commite VIII (2014) tekanan darah dapat diklasifikasikan berdasarkan
usia dan penyakit tertentu. Diantaranya adalah:
Batasan Hipertensi Berdasarkan The Joint National Commite VIII
Tahun 2014
Batasan tekanan darah (mmHg) Kategori
≥150/90 mmHg Usia ≥60 tahun tanpa penyakit diabetes
dan cronic kidney disease
≥140/90 mmHg Usia 19-59 tahun tanpa penyakit
penyerta
≥140/90 mmHg Usia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal
≥140/90 mmHg Usia ≥18 tahun dengan penyakit
diabetes
Sumber: The Joint National Commite VIII (2014).
4. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah
jantung) dengan total tahanan prifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh
dari perkalian antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantung).
Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi
hormon. Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan
darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh,
sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2010).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di vasomotor, pada medulla diotak. Pusat vasomotor ini bermula jaras 19
saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna
medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak kebawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Titik neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh
darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah (Padila, 2013).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Padila, 2013). Meski etiologi hipertensi
masih belum jelas, banyak faktor diduga memegang peranan dalam genesis
hiepertensi seperti yang sudah dijelaskan dan faktor psikis, sistem saraf, ginjal,
jantung pembuluh darah, kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, sodium, dan
air (Syamsudin, 2011).
Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah (Padila,
2013). Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran keginjal,
menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
19
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cendrung mencetuskan
keadaan hipertensi (Padila, 2013).
5. Penatalaksanaan Diet
a) Pengaturan diet
Mengkonsumsi gizi yang seimbang dengan diet rendah garam dan rendah
lemak sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk dapat
mengendalikan tekanan darahnya dan secara tidak langsung menurunkan
resiko terjadinya komplikasi hipertensi. Selain itu juga perlu mengkonsumsi
buah-buahan segar sepeti pisang, sari jeruk dan 22 sebagainya yang tinggi
kalium dan menghindari konsumsi makanan awetan dalam kaleng karena
meningkatkan kadar natrium dalam makanan (Vitahealth, 2005). Modifikasi
gaya hidup yang dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.
Mengurangi asupan lemak jenuh dan mengantinya dangan lemak
polyunsaturated atau monounsaturated dapat menurunkan resiko tersebut.
Meningkatkan konsumsi ikan, terutama ikan yang masih segar yang belum
diawetkan dan tidak diberi kandungan garam yang berlebih (Syamsudin,
2011).
b) Perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat
Gaya hidup dapat merugikan kesehatan dan meningkatkan resiko komplikasi
hipertensi seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, minum kopi,
mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food), malas berolahraga (Junaidi,
2002), makanan yang diawetkan didalam kaleng memiliki kadar natrium yang
tinggi didalamnya. Gaya hidup itulah yang meningkatkan resiko terjadinya
komplikasi hipertensi karena jika pasien memiliki tekanan darah tinggi tetapi
tidak mengontrol dan merubah gaya hidup menjadi lebih baik maka akan
banyak komplikasi yang akan terjadi (Vitahealth, 2005). Penurunan berat
badan merupakan modifikasi gaya hidup yang baik bagi penderita penyakit
hipertensi. Menurunkan berat badan hingga berat badan ideal dengan
munggurangi asupan lemak berlebih atau kalori total. 23 Kurangi konsumsi
garam dalam konsumsi harian juga dapat mengontrol tekanan darah dalam
batas normal. Perbanyak buah dan sayuran yang masih segar dalam
konsumsi harian (Syamsudin, 2011).
20
Immunodeficiency Virus menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih, yaitu
limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang
dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu nilai CD4
semakin lama akan semakin menurun, bahkan dapat mencapai nol (Komisi
penanggulangan AIDS, 2007).
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,
semen dan sekret vagina (Daili et al., 2009). Setelah memasuki tubuh manusia
maka target utama HIV adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan 8 mengubah informasi
genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel
yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi DNA
(deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA pro-
virus tersebut kemudian diintregasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki
retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan. Human
Immunodeficiency Virus menyerang CD4 baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan
menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang
disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian
akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen. Hilangnya
fungsi CD4 menyebabkan gangguan imunologis yang progresif (Daili et al., 2009;
Djoerban, 2001).
2. Anemia
Anemia merupakan salah satu komplikasi hematologi yang paling sering
pada orang dengan infeksi HIV/AIDS, dan diasosiasikan dengan progresifitas
penyakit dan morbiditas serta mortilitas (Ndlovu et al., 2014). Menurut WHO,
Anemia merupakan keadaan dimana jumlah sel darah merah tidak mencukupi
kebutuhan fisiologis tubuh, dimana konsekuensinya adalah penurunan kapasitas
angkut oksigen. Seseorang dikatakan anemia apabila Hb < 13,5 g/dl (WHO,
2011)
Menurut Volberding et al., patofisiologi anemia terasosiasi HIV dibagi
menjadi 3 mekanisme dasar: penurunan produksi sel darah merah, peningkatan
destruksi sel darah merah, dan prosuksi sel darah merah yang infektif
21
(Volberding et al., 2004). Penurunan produksi eritrosit kemungkinan disebabkan
oleh infiltrasi sum-sum tulang oleh neoplasma, atau infeksi pengobatan
mielosupresif, infeksi HIV itu sendiri, penurunan produksi eritropoeiitin endogen,
tidak adanya respon terhadap eritropoeitin, atau hipogonadisme.
Peningkatan destruksi atau destruksi imatur dari eritrosit di lien sering
terjadi pada infeksi HIV. Anemia Hemolitik dapat disebabkan oleh auto antibodi
eritrosit, hemophagocytic synome, disseminated intravascular coagulation,
thromboticthrombocytopenic purpura, atau defisiensi glucose- 16 6-phosphate
dehydrogenase. Hemolisis juga mungkin berkembang dari obat-obatan yang
dikonsumsi. Produksi eritrosit yang inefektif dapat membawa kepada keadaan
anemia. Anemia dapat disebabkan oleh defisiensi nutrisional paling sering adalah
defisiensi zat besi, asam folat dan vitamin B12.
Pada pasien dengan infeksi HIV, defisiensi asam folat secara umum
disebabkan oleh baik defisiensi dalam diet maupun oleh keadaan patologis dari
jejunum. Defisiensi vitamin B12 kemungkinan diakibatkan oleh malabsorpsi pada
ileum atau dari kerusakan lambung yang disebabkan infeksi oportunistik pada
mukosa lambung. Faktor risiko yang hingga saat ini diasosiasikan dengan
anemia pada infeksi HIV adalah perjalanan klinis AIDS, CD4 < 200 g/dl, viral
load, ras hitam, wanita, penggunaan Zidovudin, peningkatan umur, indeks masa
tubuh, riwayat pneumonia bakterial, kandidiasis oral, dan riwayat demam
(Volberding et al., 2010).
22
BAB III
GAMBARAN UMUM PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Tanggal Lahir : 22 Februari 1960
Usia : 59 tahun
Nomor RM : 01465776
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ruang/Kamar : Flamboyan 8/ 803-B
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Alamat : Gagakan, Sambong, Blora
Tanggal Masuk : 25 Juni 2019
23
Karbohidrat : 60,9 gram
Pengetahuan Terkait Gizi : Pasien dan keluarga belum pernah
mendapat edukasi gizi.
Tabel 3. Persentase Asupan Berdasarkan FFQ Semi Kuantitatif
LILA = 32 cm
24
ULNA = 24 cm
Estimasi tinggi badan dengan = 97,252 + (2,645 x ULNA)
= 97,252 + (3,536 x 24)
ULNA
= 160,7 cm
Estimasi berat badan dengan =
LILA
= 32 / 31,7 x (160,7 – 100)
= 32 / 31,7 x (60,7)
=
61,27kg
BBI = (TB-100) x 10% (TB-100)
= (60,7-100) x 10% (60,7-100)
= 54,6 kg
% percentile LILA =
= 32 x 100 / 31,7
= 100% (Gizi Baik)
25
2) Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 5. Data Pemeriksaan Laboratorium Pasien
Sumber: Catatan Rekam Medis pasien bangsal Flamboyan RSUD Dr. Moewardi
tanggal 27 Juni 2019.
= 21,9
4) Pemeriksaan fisik
26
Tanggal 26 Juli 2019 Keadaan umum pasien lemah dan kesadaran
composmentis.
5) Pemeriksaan Penunjang
USG
6) Diagnosis Medis (Medical Diagnosis)
Pasien Tn.K di diagnosis mengalami CKD dan B20
7) Terapi umum/medis (General Treatmentimedis)
D. Assesment Gizi
Dietary History
Hasil FFQ
-kualitatif : Pasien makan 2 kali sehari dengan nasi
1,5 sendok setiap kali makan, sayur
bening 4 kali/minggu @ 1 irus. Memiliki
kebiasaan minum teh 1 kali/hari @ 1 sdm,
sering mengonsumsi buah semangka 2
kali/hari @ 2 potong. Setiap hari
27
mengkonsumsi tahu dan tempe setiap hari
1 atau 2 kali/hari @ 1 potong, dan
konsumsi daging ayam 1 kali/minggu @1
potong.
-kuantitatif : Asupan FFQ
Energi : 515 kkal
Protein : 32,2 gram
Lemak : 16,5 gram
Karbohidrat : 60,9 gram
Pengetahuan Terkait Gizi : Pasien dan keluarga belum pernah
mendapat edukasi gizi.
Tabel 7. Persentase Asupan Berdasarkan FFQ Semi Kuantitatif
29
Frekuensi makan = 3 kali makan utama, 3 kali snack.
4. Perhitungan kebutuhan zat gizi
= 53,1 gram
karbohidrat = 1912 – (262 + 478)
= 1172 / 4
= 293 gram
5. Bahan makanan yang boleh diberikan dan yang tidak boleh diberikan
a) Bahan makanan yang boleh dikonsumsi
30
6. Penyuluhan dan konseling gizi
7. Perkembangan Diet
Tabel 9. Perkembangan Diet
31
8. Monitoring dan evaluasi keberhasilan terapi diet
a. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Tabel 10. Perencanaan Monitoring dan Evaluasi
32
b. Monitoring dan Evaluasi
Tabel 11. Monitoring Antrophometri
Tanggal Pemeriksaan Antrophometri Hasil Pemeriksaan
Kreatinin 28 mg/dl
Kreatinin 26 mg/dl
Respirasi 22x/menit
Nadi 92x/menit
Suhu 36,8˚C
Respirasi 20x/menit
Nadi 88x/menit
Suhu 36,1˚C
Respirasi 22x/menit
Nadi 88x/menit
Suhu 36,4˚C
Respirasi 20x/menit
33
Tanggal Pemeriksaan Klinis Hasil Pemeriksaan
Nadi 88
Suhu 37 ˚C
Kesadaran Composmentis
Kesadaran Composmentis
Kesadaran Composmentis
Kesadaran Composmentis
34
Tabel 16. Monitoring Asupan Pasien
Tgl Zat Gizi Hitu- Perenca- Asupan % Kategori
ngan naan 80% Luar RS Asupan Asupan
27 Mei E (kkal) 1912 1529,6 0 - -
2019 P(gr) 262 209,6 0 - -
L(gr) 53,1 42,4 0 - -
KH(gr) 293 234 0 - -
28 Mei E (kkal) 1912 1529,6 0 - -
2019 P(gr) 262 209,6 0 - -
L(gr) 53,1 42,4 0 - -
KH(gr) 293 234 0 - -
29 Mei E (kkal) 1912 1529,6 0 - -
2019 P(gr) 262 209,6 0 - -
L(gr) 53,1 42,4 0 - -
KH(gr) 293 234 0 - -
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
37
Data fisik merupakan data yang diperoleh dari pengamatan atau yang dapat dilihat
secara langsung oleh pasien ataupun dokter termasuk apa yang dirasakan oleh pasien
namun tidak dapat diukur. Berdasarkan data fisik pasien selama 2 hari diperoleh hasil
pasien masih tampak lemah, kesadaran composmentis. Pemeriksaan fisik pasien
diketahui pasien mengalami gangguan menelan yang semakin berkurang.
38
BAB V
RINGKASAN PELAYANAN GIZI
Pengukuran biokimia
meliputi kadar kreatinin
dan ureum dilakukan 2
kali pada tanggal 27 Juni
2019 dengan hasil kadar
kreatinin 28 mg/dl dan
kadar ureum 314 mg/dl,
Gangguan fungsi tanggal 29 Juni 2019 hasil
1. Kreatinin
ginjal stage IV 2. Ureum kadar kreatinin 26 mg/dl
dan kadar ureum 276
mg/dl. Sehingga dapat
disimpulkan ada
penurunan kadar kreatinin
sebanyak 2 mg/dl dan
kadar ureum sebesar 38
mg/dl.
Pengukuran biokimia
dilakukan 2 kali pada
tanggal 27 Juni 2019
dengan hasil kadar Hb 6,8
gr/dl, tanggal 29 Juni
Anemia Hb
2019 hasil kadar Hb 6,1
gr/dl. Sehingga
disimpulkan ada
penurunan kadar Hb 0,7
gr/dl.
39
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data dari hasil pengamatan kasus mendalam selama 3 hari di
bangsal Flamboyan 8 ruang 803-B dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil anamnesis pada Tn. K dengan diagnosis medis CKD
2. Assesmen gizi pada Tn. K yaitu:
a. LILA pasien 32 cm dengan dengan kategori status gizi baik (100%)
b. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kadar Hb Tn. K mengalami penurunan
dengan kadar Hb terakhir 0,8 g/dl.
c. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kadar kreatinin Tn. K mengalami
penurunan menuju normal dengan kadar kreatinin terakhir 26 mg/dl.
d. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kadar ureum Tn. K mengalami
penurunan menuju normal dengan kadar ureum terakhir 276 mg/dl.
e. Pemeriksaan klinik selama tiga hari intervensi adalah normal dan stabil.
f. Pemeriksaan fisik selama tiga hari intervensi berangsur membaik.
3. Terapi diit yang diberikan adalah diet RGRP 1700 kkal dengan frekuensi makan 3
kali makan utama dan 3 kali snack.
4. Asupan makan selama 3 hari dilakukan implementasi didapatkan peningkatan
asupan makan pasien.
5. Rekomendasi diet yang diberikan adalah diet RGRP.
B. Saran
1. Keluarga pasien sebaiknya dapat memberikan atau menyiapkan makanan diet yang
tepat saat sudah dirumah.
2. Instalasi Gizi
Perlunya pemantauan diet kepada pasien agar diet yang diberikan sesuai dengan
keadaan pasien.
40
DAFTAR PUSTAKA
41