Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk membuat
masyarakat dapat mengembangkan potensi manusia agar memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan,
berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat dan warga negara. Di samping itu pendidikan merupakan usaha untuk
membentuk manusia yang utuh lahir dan batin cerdas, sehat, dan berbudi pekerti
luhur. Pendidikan mampu membentuk kepribadian melalui pendidikan lingkungan
yang bisa dipelajari baik secara sengaja maupun tidak. Pendidikan juga mampu
membentuk manusia itu memiliki disiplin, pantang menyerah, tidak sombong,
menghargai orang lain, bertaqwa, dan kreatif, serta mandiri. 1
Secara Nasional agar terlaksananya Program Pemerintah yakni Program
Indonesia Pintar (PIP) melalui penerbitan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan
Permen Dikbud No 19 tahun 2016 Pasal 2 huruf a usia wajib belajar adalah 6 (enam)
tahun sampai dengan 21 (duapuluh satu) tahun atau tamat satuan pendidikan
menengah sebagai rintisan wajib belajar 12 tahun.
Pendidikan juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar 1945, Amandemen Bab X A Hak Asasi Manusia Pasal 28C yang
berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Indonesia juga merupakan salah satu Negara di asia yang mengutamakan
pendidikan untuk perkembangan rakyat dan negaranya. Berbagai macam bentuk
lembaga pendidikan telah berdiri di Indonesia sejak zaman penjajahan baik sekolah
negeri, swasta, yayasan-yayasan, hingga pondok pesantren. Sekalipun jenis sekolah
yang diterapkan juga bervariasi macamnya anatara lain adalah sekolah homogen
maupun sekolah heterogen. Maka karena itu, tentu kedua variasi sekolah memiliki
kekurangan dan kelebihan, sehingga dibuat karya tulis berjudul “perbedaan sekolah
homogen dan sekolah heterogen terhadap karakter siswa” untuk mengetahui
perbedaan karakter antara siswa yang bersekolah di sekolah heterogen dan
homogen jenis kelamin.

B. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis membahas mengenai perbedaan
sekolah homogen dan sekolah heterogen terhadap karakter siswa. Responden akan
diambil dari sekolah ……… sebagai sampel sekolah homogen dan sekolah
……….sebagai sampel sekolah heterogen. Sekolah heterogen dan sekolah
homogen yang penulis maksud adalah dalam bidang jenis kelamin. Maka karena
itu, penulis membatasi masalah yang di bahas pada respon masyarakat terhadap
perilaku maupun karakter siswa, perkembangan karakter yang dirasakan sendiri
oleh siswa, dan perubahan karakter yang dikarenakan faktor ruang lingkup
pergaulan pada jenis sekolah homogen maupun heterogen saja.

C. Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh sekolah homogen atau heterogen terhadap karakter
siswa?
2. Bagaimana cara sekolah heterogen dan homogen menangani masalah
pendidikan karakter?
3. Bagaiaman pengaruh karakter siswa heterogen dan homogen terhadap
masyarakat?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari karya tulis ini adalah :
1. Dapat mengetahui perbedaan karakter siswa sekolah homogen dan
heterogen.
2. Mengetahui cara masing-masing sekolah homogeny maupun heterogen
membantu perkembangan pendidikan karakter.
3. Mengetahui respons masyrakat terhadap perbedaan karakter siswa sekolah
homogeny dan heterogen.

E. Manfaat Penelitian
Atas dasar rumusan masalah di atas, terdapat beberapa manfaat dari
penulisan karya tulis sebagai berikut :
Manfaat bagi sekolah :
1. Memberikan informasi kepada sekolah mengenai perbedaan pendidikan
karakter sekolah homogen dan heterogen.
2. Memberikan informasi mengenai kekurangan dan kelebihan sekolah
homogen maupun heterogen untuk mengembangkan pendidikan karakter
siswa dalam sekolah.
Manfaat bagi masyarakat :
1. Mengetahui perbedaan pendidikan karakter sekolah homogen dan
heterogen.
2. Memberi pengetahuan mengenai kekurangan dan kelebihan sekolah
homogen dan heterogen.
Manfaat bagi penulis :
1. Mengembangkan keterampilan penulis dalam mengelolah data secara
sistematis dan logis.
2. Sebagai wadah untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai siswa SMA
Pangudi Luhur Van Lith Muntilan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu
menuntun anak.Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu
mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa
waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung
yang setara dengan educare, yakni: membangkitkan kekuatan terpendam atau
mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti
panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan
perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
(Pendidikan dalam Upaya Memajukan Teknologi Jurnal Kependidikan, Vol. 1 No.
1 Nopember 2013 ). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan
berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan
mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan
pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta
jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari pengertian-
pengertian dan analisis yang ada maka bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah
upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani,
dalam interaksi alam beserta lingkungannya. Dalam pendidikan terdapat dua hal
penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi,
saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang
ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti
semangat, suka dan lain-lain. Substansi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya adalah memanusiakan
manusia.Ini menunjukan bahwa para pakar pun menilai bahwa pendidikan tidak
hanya sekedar memperhatikan aspek kognitif saja tapi cakupannya harus lebih
luas.(Nurkholis, 2013).
Dalam Pasal 31 UUD 1945 disebutkan bahwa
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Dan dalam UU no 20 tahun 2003 tentang pendidikan disebutkan pada bab 1 pasal
1 yaitu:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.

3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang


saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu.

5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri


dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,


dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi
dalam menyelenggarakan pendidikan.

7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk


mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai
dengan tujuan pendidikan.

8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan


tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang dikembangkan.

9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan


pendidikan suatu satuan pendidikan.

10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang


menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal
pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut.

15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari
pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar
melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan


berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk
masyarakat.

17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem


pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh
Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.

19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,


isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.

20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

2.2.Pengertian Sekolah
Menurut KBBI sekolah/se·ko·lah/ n 1 bangunan atau lembaga untuk belajar
dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut
tingkatannya, ada) -- dasar, -- lanjutan, -- tinggi; (menurut jurusannya, ada)
-- dagang, -- guru, -- teknik, -- pertanian, dan sebagainya: keluar -- , sudah
tidak belajar di sekolah lagi; pernah duduk di bangku -- , pernah belajar di
sekolah; tidak makan -- , cak tidak mendapat pendidikan di sekolah; tidak
terpelajar; 2 waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran: -- mulai
pukul setengah delapan pagi; 3 usaha menuntut kepandaian (ilmu
pengetahuan); pelajaran; pengajaran: ia hendak melanjutkan -- nya ke
Jakarta; -- nya tinggi, sudah banyak mendapat pelajaran; sudah masak --
nya, sudah pandai benar.
Sekolah adalah sistem interaksi sosial suatu organisasi keseluruhan
terdiri atas interaksi pribadi terkait bersama dalam suatu hubungan organic
(Wayne dalam buku Soebagio Atmodiwiro, 2000:37). Sedangkan
berdasarkan undang-undang no 2 tahun 1989 sekolah adalah satuan
pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan untuk
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Menurut Daryanto
(1997:544), sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar serta
tempat menerima dan memberi pelajaran Dari definisi tersebut bahwa
sekolah adalah suatu lembaga atau organisasi yang diberi wewenang untuk
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Sebagai suatu organisasi
sekolah memiliki persyaratan tertentu. Sekolah adalah suatu lembaga atau
tempat untuk belajar seperti membaca, menulis dan belajar untuk
berperilaku yang baik. Sekolah juga merupakan bagian integral dari suatu
masyarakat yang berhadapan dengan kondisi nyata yang terdapat dalam
masyarakat pada masa sekarang. Sekolah juga merupakan lingkungan
kedua tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiannya. (Zanti
Arbi dalam buku Made Pidarta, 1997:171). Pada tanggal 16 mei 2005
diterbitkan peraturan pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan. Dengan PP 19/2005 itu, semua sekolah di Indonesia
diarahkan dapat menyelenggarakan pendidikan yang memenuhi standar
nasional. pendidikan standar wajib dilakukan oleh sekolah, delapan standar
tersebut setahap demi setahap harus bisa dipenuhi oleh sekolah. Secara
berkala sekolah pun diukur pelaksanaan delapan standar itu melalui
akreditasi sekolah.
2.3 Pengertian Siswa
Menurut KBBI siswa [sis·wa] adalah:
Arti: murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah); pelajar
contoh: 'siswa SMU'
Pengertian Siswa. Menurut Tim Penyusun Departemen Pendidikan
Nasional (2008:1477) dalam Novitasari 2014, “siswa adalah murid
(terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah serta sekolah menengah
atas)”. Selanjutnya menurut Djamarah dan Aswan (2010:113) dalam
Novitasari (2014), “siswa adalah orang yang dengan sengaja datang ke
sekolah”. Berdasarkan uraian mengenai pengertian siswa di atas dapat
disimpulkan bahwa siswa adalah orang yang dengan sengaja belajar di
sekolah untuk mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran
pada suatu jalur pendidikan baik pendidikan formal (dari tingkat sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas), maupun
pendidikan nonformal.
2.4.Pengertian Pendidikan Karakter
Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari
bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan
and Bohlin, 1999: 5) dalam Marzugi (2008). Kata “to engrave” bisa
diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan
(Echols dan Shadily, 1987: 214) dalam Maezugi 2008.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf,
angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan
papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682).
Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter
identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau
karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada
masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80) dalam
Marzugi 2008.
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas
Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to
respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona
menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral
knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51) dalam
Marzugi 2008.
Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi
pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap
kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain,
karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap
(attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan
keterampilan (skills). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter
identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam
rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama
manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, 4 hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter
ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Pendidikan
karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah
kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham,
mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan karakter ini
membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan
moral.
Untuk melengkapi pengertian tentang karakter ini akan
dikemukakan juga pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata akhlak berasal
dari bahasa Arab “al-akhlaq” yang merupakan bentuk jamak dari kata “al-
khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat
(Hamzah Ya’qub, 1988: 11) dalam Marzugi 2008. Sedangkan secara
terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat
yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali
mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak
membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27) dalam Marzugi
2008. Etika lebih memandang perilaku secara universal, sedang moral
memandangnya 5 secara lokal. Untuk mengaplikasikan akhlak, etika, atau
moral dalam diri seseorang dimunculkan bidang ilmu yang disebut
Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, atau Pendidikan Moral.
2.5 Pengertian Heterogen dan Homogen
Menurut KBBI heterogen/he·te·ro·gen/ /héterogén/ a terdiri atas
berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam.
Anita Lie mengemukakan ada dua jenis pengelompokan yaitu
pengelompokan homogen dan heterogen.13 Pengelompokan homogen yaitu
mengelompokkan siswa yang memiliki kemampuan setara dalam suatu
kelompok. Kelompok ini memiliki kemudahan secara administratif dan
sangat praktis serta mudah untuk mengelompokan. Namun mempunyai
kelemahan. Pengelompokan ini bertentangan dengan pendidikan.
Pengelompokan berdasarkan kemampuan akan memberikan cap atau label
pada tiap-tiap peserta didik. Anita lie, Cooperative Learning, (Jakarta:
Grasindo, 2007), dalam Salvin,2008 pengelompokan adalah memberikan
vonis yang terlalu dini terutama kepada kelompok yang lemah
kemampuannya. Selain itu juga pengelompokan semacam ini
menghilangkan kesempatan anggota kelompok untuk memperluas wawasan
dan memperkaya diri, karena dalam kelompok homogen tidak terdapat
banyak perbedaan yang mengasah proses berfikir,bernegosiasi,
berargumentasi dan berkembang.
Kedua pengelompokan heterogen adalah pengelompokan yang
dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang,
agama sosio- ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Ditinjau dari
kemampuan akademis dalam satu kelompok terdapat anggota dengan
kemampuan akademis tinggi, sedang dan lemah.14 Secara umum guru
menyukai pengelompokan heterogen. Karena manfaatnya pengelompokan
ini memberikan kesempatan pada siswa untuk saling mengejar dan saling
mendukung. Kemudian pengelompokan ini akan meningkatkan relasi dan
interaksi antar ras, agama, etnik, dan gender. Yang terakhir pengelompokan
heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang
yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten dalam
setiap kelompok. Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa salah satu
kelebihan pembelajaran kooperatif adalah meningkatkan prestasi akademik
siswa. Karena dengan pembelajaran kooperatif ini siswa bekerja sama dan
saling membantu antara yang pintar dan yang kurang pintar. (Salvin,2008)
2.6 Pengertian Jenis Kelamin
Menurut KBBI kelamin/ke·la·min/ n 1 jodoh (laki-laki dan
perempuan atau jantan dan betina); sepasang; 2 sifat jasmani atau rohani
yang membedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan atau wanita dan
pria; 3 jenis laki-laki atau perempuan; genus; 4 alat pada tubuh manusia,
binatang, dan sebagainya untuk mengadakan keturunan; kemaluan;
genitalia.
Menurut Puspitawati (2012), Istilah gender diperkenalkan oleh para
ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang
bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya
yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat
penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri
manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender).
Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan
kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat
pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi
gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada
dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan
perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara
umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab,
fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. Sedemikian
rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita
sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan
abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh
perempuan dan laki-laki. Kata „gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan
peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan
sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat
proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat
kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain
dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati,
dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia
lainnya tergantung waktu dan budaya setempat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field ressearch) yakni
pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti guna mendapatkan
data yang relevan.
3.2 Sumber Data
Ada saty jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data
primer .
3.2.1 Data Primer
Data primer adalah data yang didapat peneliti dari sumber
pertama baik individu atau perseorangan seperti hasil
wawancara atau pengisian kuesioner yang biasa dilakukan oleh
peneliti. s Dalam penelitian ini yang menjadi data primer
adalah data yang berkaitan dengan promosi, diferensiasi citra
serta minat. Untuk memperoleh data tersebut, peneliti
melakukan wawancara dengan ...........peneliti juga memperoleh
data dari para muzzaki dengan cara menyebarkan kuesioner
yang telah disediakan oleh peneliti. Kuesioner tersebut di
design dengan menggunakan…......

Anda mungkin juga menyukai