Contih 1
Contih 1
13 Tatalaksana
Tatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi
pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa, tatalaksana
psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam kepatuhan program pemantauan
dan terapi. Pemberian imunisasi harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta
panduan yang berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah,
selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila
simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi
oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan
dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang
berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan
bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid
(INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan
yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat,
dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak
menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi.
Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan
dan yang tidak.
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk
toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis
yang ditemukan pada penderita. Untuk ini banyak panduan yang cukup baik dijadikan bahan
bacaan.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat
ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk
DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS
sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana
tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine
(AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim
transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar
RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak
dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk
mutan yang resisten terhadap obat.
Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk
menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup
penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang
terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan
memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV
dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan
kualitas hidupnya.
Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada
dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), PI
(protease Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan Anti-Integrase. Pemakaian kombinasi NRTI dengan
NNRTI dan PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART).
Penamaan ini didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan infeksi
oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fugnsi neurokognitif dan
peningkatan kualitas hidup penderita HIV.
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+ yang terinfeksi dan sebagian kecil
oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV
yang terdeteksi untuk beberapa tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi
dalam 3 fase. Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan
waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel
yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T CD4+ yang merupakan reservoir utama (93 –
97% dari seluruh sel T) dan sumber virus.
Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu menyebabkan jumlah
virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi. Hal ini menunjukkan
berkurangnya reservoir virus dalam makrofag.
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T
memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori,
diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.
a. Prinsip ARV
ARV adalah bagian dari pelayanan HIV komprehensif. Sebelum memutuskan untuk
memberi ARV perlu diperhatikan bahwa:
a) Jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika hitung CD4 masih normal, atau terlambat
ketika sistim imun sudah terlanjur rusak
b) Pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti efikasi, sedikit efek samping dan
kemudahan pemberian
c) Pertimbangkan kemampuan daya beli dan ketersediaan obat
d) Harus ada pemantauan dan dukungan pada pasien dan keluarganya untuk meningkatkan
kepatuhan berobat (adherence)
Kelemahan dari ARV adalah karena digunakan obat multipel, juga dengan obat bukan
ARV, maka bahaya interaksi obat dan resistensi akan menurunkan potensi ARV. Selain itu
mungkin timbul reaksi simpang serius. Karena dirancang untuk digunakan seumur hidup, maka
kepatuhan berobat (95% jumlah obat yang diminum) akan menghalangi timbulnya resistensi, dan
ini penting ditekankan pada keluarga pasien.
Keputusan untuk memulai terapi ARV pada bayi dan anak bergantung pada penilaian
klinis dan imunologis, serta penilaian situasi sosial seperti siapa yang akan menjadi pemberi
obat, asupan nutrisi, dan kelompok pendukung keluarga, bila seandainya si pemberi obat yang
bertanggung jawab lalai. Dalam hal penilaian klinis memungkinkan ARV diberikan pada anak
yang didiagnosis secara presumtif melalui gejala klinis. Bila mungkin digunakan parameter nilai
hitung CD4 sebelum mempertimbangkan pengobatan, terutama pada anak yang sakitnya lebih
ringan. Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah pengobatan ARV
diperlukan:
a) Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL
b) Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang defisiensi imun
berat
c) Munculnya gejala klinis
d) Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian ARV
Klasifikasi klinis HIV Pediatrik WHO yang diluncurkan tahun 2006 adalah sebagai berikut:
Stadium klinis ditetapkan setelah infeksi ditegakkan melalui bukti serologis atau
virologis. Penggunaan stadium ini berguna sebagai data dasar dan untuk digunakan sebagai
penuntun apakah obat profilaksis infeksi oportunistik perlu diberikan pada anak yang berumur
lebih dari 1 tahun. Sedangkan pada anak kurang dari 1 tahun yang terinfeksi atau terpapar HIV
harus mendapatkan profilaksis ini.1
Bila digunakan sebagai dasar untuk memulai pengobatan ARV, prinsip umum yang bisa
digunakan sebagai patokan adalah:
a) Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang memiliki gejala infeksi
HIV(klasifikasi A, B, C menurut CDC atau II, III dan IV menurut WHO), tanpa melihat
stadium klinis, jumlah virus maupun nilai CD4
b) Terapi ARV juga direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang tergolong stadium klinis
N atau I yang memiliki kadar CD4 < 25%
Terapi ARV dipertimbangkan untuk bayi < 12 bulan yang asimtomatik dan memiliki kadar CD4
> 25%.
Nilai absolut CD4 dapat naik atau turun bergantung pada penyakit yang sedang diderita,
perubahan fisiologis atau variabilitas tes. Pengukuran serial lebih informatif daripada informasi
tunggal. Seperti juga status klinis, perbaikan imunologis terjadi dengan pemberian ARV. Bila
mungkin ada 2 kali pengukuran di bawah ambang batas sebelum mulai pemberian ARV,
terutama pada stadium klinis 1 dan 2. Hasil CD4 juga berguna untuk memantau respons terhadap
terapi.
Tabel 6. Rekomendasi untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak HIV positif
sesuai stadium klinis dan ketersediaan pemeriksaan imunologis
Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4, pemeriksaan hitung total limfosit dapat
digunakan untuk memulai pemberian ARV. Kriteria total limfosit ini sebaiknya digunakan pada
stadium klinis 2. Hitung total limfosit tidak dapat digunakan untuk memantau keberhasilan
pemberian ARV
Pengukuran viral load (dengan menggunakan PCR RNA) belum diperlukan menjadi standar
penilaian memulai ARV. Bila mungkin dilakukan maka kriteria CDC akan lebih tepat
digunakan.
Penegakan diagnosis presumtif hanya dilakukan oleh dokter yang sudah terlatih dalam
penanganan HIV.
Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV memungkinkan seorang dokter memberi tata
laksana penyakit akut secara memadai, merawat pasien yang diduga HIV, dan menjadi dasar
memulai pemberian ARV. Penggunaan cara ini pada anak usia < 18 bulan harus disertai upaya
menegakkan diagnosis HIV, dan dilakukan pemantauan dengan ketat. Bila terdapat bukti baru
bahwa ternyata bayi atau anak ini terbukti negatif, maka ARV harus dihentikan.
Antiretroviral untuk anak harus memenuhi syarat farmakokinetik, formulasi yang tepat
untuk anak dan pembuatan dosis yang tepat menurut umur. Selain itu juga faktor yang
berpengaruh dalam pemberian ARV adalah potensi obat, kompleksitas pemberian (frekuensi
dosis, hubungannya dengan makanan dan minuman), dan efek samping. Terdapat 5 kelas obat
ARV hingga saat ini, yaitu yang tergolong Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI),
Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), Protease Inhibitor (PI), Antiintegrase,
dan Fusion Entry Inhibitor. Umumnya rekomendasi pemakaian ARV untuk anak didasarkan
pada studi efikasi pada orang dewasa, dan didukung oleh data penelitian keamanan dan
farmakokinetik tahap I dan II.
Pemberian ARV terpilih untuk anak adalah penggunaan paling tidak 3 obat, dan minimal
digunakan 2 kelas obat yang berbeda. Kombinasi ARV yang sudah dicobakan pada anak
bermacam-macam, tetapi untuk negara berkembang dibuat panduan yang memudahkan dokter
untuk memilih ARV. Panduan yang banyak dianut adalah WHO, meskipun di dunia banyak
panduan pengobatan yang dibuat oleh masing-masing tempat penelitian. Hal ini diambil karena
di negara berkembang pengambilan keputusan yang didukung data laboratorium lengkap adalah
langka.
Bila terapi ARV sudah dimulai maka pemantauan berkala pada kepatuhan berobat,
indikator laboratorium dan kondisi klinis harus dilakukan. Pada setiap kesempatan pengasuh atau
orangtua pasien perlu ditanya mengenai aktivitas pemberian obat, penerimaan obat oleh anak,
hambatan dalam pemberian obat tepat waktu dan melakukan konsultasi secara rutin.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dipantau adalah terutama darah tepi, enzim transaminase
hati, dan kadar CD4 yang dilakukan paling tidak 3 bulan sekali. Bila perlu ditambahkan
pemeriksaan kadar RNA virus, pemeriksaan spesimen infeksi dan pemeriksaan pencitraan.
Pemantauan klinis perlu dilakukan untuk mencari adakah infeksi oportunistik baru yang muncul
atau kemungkinan penyakit pulih imun (immune reconstitution disease).
Kegagalan pemberian ARV perlu dipikirkan bila pada pemantauan didapatkan tidak ada
penurunan kadar virus dalam plasma, tidak ada peningkatan jumlah dan persentase CD4, gejala
klinis bertambah atau memburuk, timbul toksisitas atau intoleransi ARV, disertai masalah tidak
patuh berobat.
Kegagalan supresi virus dapat bersifat komplit atau parsial. Untuk melihat apakah terapi
ARV berhasil diperlukan waktu 6 bulan. Kegagalan supresi ini mungkin memiliki pola (1)
jumlah virus yang tidak bisa diturunkan, atau (2) virus yang kembali bertambah banyak setelah
sebelumnya berhasil ditekan (viral rebound).
Kegagalan supresi imun adalah tidak tercapainya jumlah CD4 normal menurut umur.
Kriteria kenormalan menurut umur ini mutlak karena secara fisiologis parameter CD4 menurut
umur akan menurun. Tetapi persentase CD4 variasinya sedikit, karena itu nilai persentasenya
dipakai untuk penilaian keberhasilan terapi ARV. Lama penilaian keberhasilan terapi ini juga 6
bulan, dan bila terdapat hasil pemeriksaan CD4 sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang paling
tidak 1 minggu sesudahnya untuk konfirmasi sebelum menyimpulkan terdapat respons imun
suboptimal.
Kondisi klinis harus selalu dihubungkan dengan respon imun dan virologik terhadap
pemberian ARV. Pada pasien yang parameter imun dan virologiknya stabil, terdapatnya gejala
simtomatik HIV yang baru tidak berarti ARV perlu diganti. Tetapi bila timbul pada infeksi
oportunistik baru pada kasus imunosupresi berat pada awal pemberian terapi ARV, maka hal
tersebut menunjukkan disfungsi imun presisten meskipun jumlah virus sudah berkurang.
Kemungkinan sindrom pulih imun juga harus dipikirkan sebelum satu infeksi oportunistik baru
dikategorikan sebagai kegagalan klinis. Kegagalan klinis juga harus dipikirkan bila tidak ada
perbaikan perkembangan neurologik meskipun terapi adekuat sudah diberikan.
Bila terdapat kondisi yang mengarah ke kegagalan terapi ARV lini pertama, maka
diperlukan evaluasi ke arah kepatuhan berobat, dosis dan infeksi oportunistik yang belum
berhasil diatasi. Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan diputuskan untuk melakukan
penggantian obat, maka opsi pilihan lini kedua dipertimbangkan.
Faktor yang harus diperhatikan adalah bahwa resistensi silang dalam kelas ART yang
sama terjadi pada mereka yang mengalami kegagalan terapi (berdasarkan penilaian klinis atau
CD4+). Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam pengobatan ART. Jika
kegagalan terapi terjadi dengan rejimen NNRTI atau 3TC (lihat pengkoean obat), hampir pasti
terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Memilih meneruskan NNRTI pada kondisi
ini tidak ada gunanya, tetapi meneruskan pemberian 3TC mungkin dapat menurunkan ketahanan
virus HIV.AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai pola resistensi yang
sama, sehingga tidak dianjurkan mengganti satu dengan yang lainnya.
Prinsip pemilihan rejimen lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin.
Bila kelas yang sama akan digunakan, pilih obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya.
Tujuan pemberian rejimen lini kedua adalah untuk mencapai respons klinis dan imunologis
(CD4+), tetapi responsnya tidak sebaik pada rejimen lini pertama karena sudah terjadi resistensi
silang di antara obat ARV.
Sebelum pindah ke rejimen lini kedua, kepatuhan berobat harus benar-benar dinilai. Anak
yang dengan rejimen lini kedua pun gagal, terapi penyelamatan yang efektif masih sulit
dilakukan. Konsultasi dengan panel ahli diperlukan. Untuk rejimen berbasis ritonavir-boosted
PI, pemeriksaan lipid (trigliserida dan kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL) dilakukan setiap
6-12 bulan.
Tabel 8. 2 NRTI
NRTI lini pertama NRTI lini kedua
AZT atau d4T + 3TC ddI + ABC
ABC + 3TC ddI + AZT
*Meneruskan penggunaan 3TC pada rejimen lini kedua dapat dipertimbangkan karena 3TC
dihubungkan dengan berkurangnya ketahanan virus HIV
Tabel 9. 1 PI
PI terpilih Keuntungan Kerugian
Lopinavir/ritonavirLPV/r - Efikasi sangat baik, khususnya anak yang - Membutuhkan penyimpanan
belum pernah mendapat PI dalam lemari pendingin
- Ambang terhadap resistensi tinggi karena - Kapsul gel ukurannya besar
kadar obat tinggi dengan penambahan ritonavir - Harganya mahal
- Tersedia dalam bentuk sirup, pil dan tablet - Rasa tidak enak
- Dosis anak sudah tersedia - Sirup mengandung 43%
alkohol, dan kapsul mengandung
12% alkohol
- Tidak bisa dibagi
Saquinavir/ - Dapat digunakan bersama ritonavir boosting - Untuk anak > 25 kg dan
Ritonavir SQV/r - Efiaksi baik mampu menelan kapsul
- Ukuran kapsul besar dan
memerlukan penyimpanan di
lemari pendingin
- Beban pil banyak
- Sering ditemukan efek
samping saluran cerna
PI alternatif Keuntungan Kerugian
NFV - Data jangka panjang menunjukkan efikasi - Pada orang dewasa data
dan keamanan yang baik efikasi lebih rendah dari boosted
- Sedikit sekali menimbulkan hiperlipidemia PI dan EFV
dan lipodistrofi dibandingkan ritonavir-boosted - Beban pil banyak
PI - Sering ditemukan efek
samping saluran cerna
2. Pemeriksaan laboratorium
II.15 Prognosis
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan terutama
persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum tercapainya stadium
ADIS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada orang dewasa ada sejumlah pengidap
HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada
anak belum didapatkan studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan
anak-anak yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung
CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak
yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel Limfosit sitotoksik
terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak terinfeksi HIV yang sebelum usia
1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak
dan keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka
keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang.