Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN

PERUBAHAN AKUNTANSI PADA ASET LANCAR (PERSEDIAAN)

KELOMPOK 8

KELAS B

Michelle Evelyn 3203015068

Maychelie Vincent 3203015210

Yafet Aldo N. H 3203015240

Lewi Sugianto 3203015305

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS BISNIS

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA

SURABAYA

2018
BAB 1
KONSEP DAN TEORI ASET

1.1 Aset
Aset merupakan sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan dengan
tujuan untuk menghasilkan laba. Aset dapat pula diartikan sebagai segala kekayaan
yang dimiliki oleh suatu perusahaan, yang dimaksud dengan kekayaan ini adalah
sumber daya yang dapat berupa benda atau hak yang dikuasai dan yang sebelumnya
diperoleh perusahaan melalui transaksi atau kegiatan masa lalu. Untuk dapat diakui
sebegai aset, kekayaan atau sumber daya tersebut harus bisa diukur menggunakan
satuan mata uang, seperti Rupiah, Dollar, atau mata uang lainnya tergantung dengan
situasi dan kondisi yang menyertai. Banyak juga yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan aset adalah suatu manfaat ekonomik masa depan yang cukup
pasti, yang diperoleh atau dikendalikan oleh suatu perusahaan sebagai akibat
transaksi atau kejadian masa lalu. Dikatakan sebagai manfaat ekonomik masa depan
yang cukup pasti dikarenakan aset tersebut merupakan sumber daya perusahaan
yang nantinya akan digunakan untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya, seperti
operasional bisnis, pembiayaan, ataupun investasi. Kemudian, disebut akibat dari
transaksi atau kejadian masa lalu dikarenakan perusahaan dalam memperoleh dan
menguasai aset melalui transaksi-transaksi dan kejadian yang sebelumnya telah
dilakukan, seperti transaksi pinjam meminjam dengan Bank, pembelian, kontrak
piutang, penerbitan saham, investasi, dan transaksi lainnya.

Aset dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu aset lancar dan aset
tidak lancar. Aset lancar (current assets) merupakan sumber daya atau klaim atas
sumber daya yang dapat langsung diubah menjadi kas sepanjang siklus operasi
perusahaan masih berjalan. Aset lancar perusahaan pada umumnya terdiri atas kas,
setara kas, efek, piutang, derivatif, persediaan dan beban diterima di muka.
Sedangkan aset tidak lancar (non-current assets) merupakan sumber daya atau
klaim atas sumber daya yang diharapkan dapat memberikan manfaat pada
perusahaan selama periodenya melebihi periode saat ini. Aset tidak lancar sering
juga disebut sebagai aset tetap (fixed assets), dimana aset tidak lancar ini terdiri atas
properti, gedung atau bangunan, peralatan, aset tidak berwujud (paten, goodwill,
dll), investasi dan beban yang ditangguhkan. Ada beberapa perbedaan antara aset
tetap dan aset lancar:

1. Tidak seperti aset lancar, aset tetap biasanya mengalami depresiasi.


2. Berlawanan dengan aset lancar, aset tidak lancar tidak digunakan untuk
operasi sehari-hari dan tidak dapat dilikuidasi dengan mudah untuk
mendapatkan uang tunai untuk memenuhi biaya operasional atau investasi
jangka pendek. Aset tetap memiliki masa manfaat lebih dari 12 bulan atau
satu siklus operasi suatu perusahaan, sedangkan aset lancar diperkirakan
akan dilikuidasi dalam satu tahun anggaran atau satu siklus operasi.

Suatu perbedaan aset alternatif yang sering bermanfaat dalam analisis


adalah membagi aset menjadi aset keuangan atau aset operasi. Aset keuangan
(financial assets) terdiri atas efek (surat berharga atau sekuritas) dan investasi. Aset
ini dinilai pada nilai wajar (pasar) dan diharapkan dapat memberikan timbal balik
hasil yang setara dengan biaya modal yang telah disesuaikan dengan resiko mereka.
Sedangkan aset operasi (operating Assets) terdiri atas sebagian besar aset
perusahaan, baik aset lancar maupun aset tidak lancar. Aset ini dinilai pada
biayanya dan merupakan aset operasi produktif yang diharapkan dapat memberikan
timbal balik hasil di atas laba normal. Dalam makalah ini akan dibahas secara
mendalam mengenai aset lancar perusahaan khususnya terkait persediaan
perusahaan.

1.2 Aset Lancar


Aset lancar merupakan sumber daya atau klaim atas sumber daya yang
langsung dapat diubah manjadi kas, biasanya dalam jangka waktu siklus operasi
perusahaan. Maksud siklus operasi yakni mencakup pembelian bahan baku,
mengubah bahan baku menjadi produk jadi, dan kemudian menjual dan menagih
kas dari piutang. Kas mencerminkan titik awal dan titik akhir dari siklus operasi.
Aset lancar adalah aset yang diharapkan akan dijual, ditagih, atau digunakan selama
satu tahun atau siklus operasi, tergantung dari mana yang lebih panjang. Yang
tergolong aset lancar adalah kas, setara kas, piutang jangka pendek, efek jangka
pendek, persediaan, dan beban dibayar dimuka.
a. Kas, Kas adalah aset lancar yang paling likuid karena kas dapat digunakan
kapan saja dan merupakan alat pembayaran yang sah, sehingga ketika
perusahaan membutuhkannya perusahaan dapat mengambilnya sewaktu-
waktu. Uang tunai, cek (yang belum ditarik atau diuangkan) yang berada di
bank juga termasuk dalam kas.
b. Surat Berharga, pemilikan saham atau juga obligasi perusahaan lain yang
mempunyai sifat sementara, yang sewaktu-waktu bisa dijual kembali.
c. Piutang Dagang, tagihan perusahaan kepada debitur atau pelanggan
(perseorangan maupun badan usaha) sebagai akibat adanya transaksi
penjualan barang secara kredit. Piutang memiliki jangka waktu yang
ditetapkan oleh pihak perusahaan maupun kreditur. Pada umumnya, jatuh
tempo piutang usaha adalah dibawah satu tahun, sehingga dimasukkan ke
dalam aset lancar. Apabila piutang usaha ini sudah dilunasi oleh pelanggan
maka perusahaan akan memperoleh kas dari pelunasan tersebut.
d. Wesel tagih (notes receivable), adalah surat perintah penagihan dari
perusahaan kepada pihak lain yang namanya tercantum dalam surat, dan
pihak lain menyatakan janji (promes) mengenai kesanggupan membayar
pada tanggal tertentu.
e. Investasi jangka pendek, investasi jangka pendek sebenarnya masuk dalam
'setara kas', yaitu investasi jangka pendek yang siap dikonversikan atau
dijual dalam bentuk kas, dan yang sudah mendekati jatuh tempo untuk
dicairkan, umumnya paling lama adalah 3 bulan. Contohnya adalah efek
sekuritas, aset derivatif yang ditujukan untuk dijual kembali. Contoh lain
investasi jangka pendek adalah surat berharga, yaitu kepemilikan saham
atau obligasi perusahaan yang bersifat sementara dan dapat dijual sewaktu-
waktu.
f. Persediaan, adalah aset yang dimiliki perusahaan baik dengan tujuan untuk
digunakan oleh perusahaan itu sendiri (untuk produksi, bahan baku) atau
untuk dijual kembali (dalam hal ini adalah persediaan barang dagangan).
Persediaan merupakan aset lancar karena pada umumnya barang-barang
persediaan akan segera digunakan perusahaan untuk produksi atau untuk
dijual, terutama untuk bahan baku basah. Barang persediaan yang terlalu
lama di gudang umumnya diantisipasi perusahaan karena perusahaan akan
menambah stock barang jika perusahaan sedang membutuhkan.
g. Piutang pendapatan, pendapatan yang sudah menjadi hak namun belum
diterima pembayarannya.
h. Beban Dibayar di Muka, adalah aset yang diperoleh sebagai akibat dari
pembayaran yang manfaatnya tidak habis dipakai dalam satu periode
akuntansi. Contohnya adalah sewa bangunan yang pembayarannya
dilakukan dahulu dimuka untuk masa manfaat beberapa tahun mendatang,
asuransi dibayar dimuka dan lain-lain.
i. Perlengkapan kantor, adalah perlengkapan perusahaan yang digunakan
untuk mendukung operasional usaha dan bersifat habis pakai. Karena
sifatnya habis pakai inilah maka perlengkapan kantor termasuk dalam aset
lancar. Contoh perlengkapan kantor adalah: alat tulis kantor, amplop, kertas
dan lain sebagainya.

1.3 Persediaan
Persediaan (inventory) merupakan barang yang dijual dalam aktivitas
operasi normal perusahaan. Dalam prakteknya, persediaan harus diperhatikan
karena persediaan merupakan komponen utama dari aset operasi dan langsung
mempengaruhi perhitungan laba perusahaan. Menurut PSAK 14 (1994), persediaan
adalah:
a. Aktiva yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal;
b. Aktiva yang dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan;
c. Aktiva yang dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk
digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Persediaan merupakan barang yang dijual dalam aktivitas operasi normal
perusahaan dan persediaan harus dinilai berdasarkan biaya atau nilai realisasi
bersih.

1.4 Sistem Pencatatan Persediaan


Perusahaan menggunakan satu atau dua tipe sistem untuk mencatat nilai dari
persediaan. Yaitu sistem periodik dan sistem perpetual.
a. Sistem Perpetual
Dalam sistem persediaan perpetual, semua kenaikan dan penurunan barang
dagang dicatat dengan cara yang sama seperti mencatat kenaikan dan penurunan
kas. Akun persediaan barang dagang pada awal periode akuntansi mengindikasikan
stok pada tanggal tersebut. Pembelian dicatat dengan mencatat mendebit persediaan
barang dagang dengan mengkredit kas atau utang usaha. Pada tanggal penjualan,
harga pokok barang yang terjual dicatat dengan mendebit harga pokok penjualan
dan mengkredit persediaan barang dagang.
Penggunaan sistem perpetual memberikan sarana pengendalian yang paling
efektif atas aktiva tesebut, demikian juga adanya kekurangan dapat ditentukan
dengan mengadakan perhitungan periodik barang dan membandingkan perhitungan
tersebut dengan saldo buku tambahan. Pemesanan kembali barang secara tepat
waktu dan pencegahan kelebihan persediaan dapat dicapai dengan membandingkan
saldo buku tambahan dengan tingkat persediaan maksimum dan minimum yang
ditentukan terlebih dahulu.

b. Sistem Periodik
Dalam sistem persediaan periodic, rincian persediaan barang yang dimiliki
tidak disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga Pokok Penjualan
barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi. Untuk menentukan harga
pokok penjualan dalam sistem periodik, harus:
1. Menentukan harga pokok barang yang tersedia pada awal periode,
2. Menambahkannya pada harga pokok barang yang dibeli,
3. Mengurangkannya dengan harga pokok barang yang tersedia pada akhir
periode akuntansi.

1.5 Penilaian Persediaan


Persediaan memiliki karakterisik fisik dan finansial. Karakteristik fisik (arus
barang) bersifat faktual dan nyata, sedangkan karakterisitik finansial (arus biaya)
lebih bersifat subyektif. Finansial persediaan merupakan atribut yang diperlukan
dalam mengukur dan menganalisis posisi keuangan organisasi yang dibutuhkan
untuk menghitung kinerja operasi atau pendapatan selama periode waktu tertentu.
Persediaan dalam pengertian akuntansi menunjukkan nilai suatu barang yang
diproduksi untuk dijual atau dikonsumsi. Akun persediaan menunjukkan nilai total
kekayaan dalam bentuk persediaan di tangan atau persediaan dalam proses.
Besarnya persediaan tergantung pada prosedur akuntansi yang ditetapkan oleh
perusahaan dalam menilai persediaan. Prosedur akuntansi juga menentukan kapan
dan berapa perubahan dan nilai kekayaan yang ditransformasikan ke dalam biaya.
Berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP), ada 3 pilihan metode
bagi perusahaan untuk menentukan urutan biaya mana yang akan dipindahkan dari
neraca dan diakui sebagai HPP pada laporan laba rugi.
a. Metode First in, First out – FIFO
Metode ini mengasumsikan bahwa unit barang yang pertama dibeli
merupakan unit barang yang pertama dijual.

b. Metode Last in, First Out – LIFO


Metode ini mengasumsikan bahwa unit barang yang dibeli terakhir
merupakan unit yang dijual pertama kali.

c. Metode Average Cost (Biaya rata – rata)


Metode ini mengasumsikan bahwa unit barang dijual tanpa memperhatikan
urutan pembeliannya dan menghitung HPP serta persediaan akhir sebagai
rata – rata tertimbang.

Penilaian persediaan digunakan untuk proses penandingan antara


pendapatan dan biaya. Proses penandingan ini dilakukan dalam menentukan
besarnya biaya dari barang yang tersedia untuk dijual, untuk kemudian dikurangi
dengan pendapatan pada periode berjalan, sehingga dari proses penandingan ini
akan diperoleh besarnya laba perusahaan.

Dalam penilaian persediaan, metode akumulasi biaya menjadi faktor yang


penting karena nantinya akan berdampak pada laba bersih dan penilaian aset.
Metode akumulasi biaya persediaan ini digunakan untuk mengalokasikan biaya
barang yang tersedia untuk dijual (persediaan awal ditambah dengan pembelian)
pada harga pokok penjualan (pengurangan laba) atau persediaan akhir. Oleh karena
itu, alokasi biaya pada persediaan akan mempengaruhi baik pengukuran laba
maupun pengukuran aset.

Untuk memahami arus persediaan, dapat digunakan persamaan persediaan


pada perusahaan dagang, yaitu:

Pembelian Bersih = Pembelian + Biaya Angkut Pembelian + Retur


Pembelian + Potongan atau Diskon Pembelian
Persediaan Akhir = Persediaan Awal + Pembelian Bersih – Harga
Pokok Penjualan

Persamaan di atas menekankan arus biaya dalam perusahaan. Arus tersebut


secara alternatif dapat dinyatakan dalam diagram berikut:

Harga pokok penjualan yang tersedia untuk dijual

(= Persediaan awal + biaya yang didapat selama periode)

Akhir Persediaan Harga Pokok Penjualan

(Neraca) (Laporan Laba Rugi)

Biaya persediaan awalnya dicatat di dalam neraca. Saat persediaan terjual,


biaya tersebut dipindahkan dari neraca dan mengalir pada laporan laba rugi sebagai
harga pokok penjualan (HPP). Biaya tidak dapat berada pada dua tempat yang sama
di waktu yang bersamaan. Mereka dapat dicatat pada neraca sebagai beban masa
depan atau diakui saat ini pada laporan laba rugi dan mengurangi profitabilitas yang
kemudian dikatikan dengan pendapatan penjualan.

Konsep penting akuntansi persediaan terletak pada arus biaya. Jika seluruh
perusahaan diperoleh atau dibuat pada saat periode terjualnya, maka HPP akan
sama dengan biaya pembelian atau pembuatan barang. Akan tetapi, jika persediaan
tersisa di akhir periode akuntansi, penting untuk menentukan persediaan mana yang
telah terjual dan biaya mana yang tersisa pada neraca.
1.6 Biaya Angkut Persediaan

a. FOB Shipping Point


FOB Shipping Point mensyaratkan bahwa biaya angkut (ongkos kirim)
barang dari gudang penjual ke gudang pembeli menjadi tanggungjawab
pembeli, sehingga kepemilikan barang telah menjadi hak pembeli dari tempat
penjual. Apabila terjadi pembelian barang dari penjual dan seandain ya barang
terkait masih dalam perjalanan menuju tempat pembeli, barang dalam
perjalanan tersebut adalah barang milik pembeli meskipun pada saat tutup
buku barang tersebut belum diterima sudah harus dicatat sebagai persediaan.

b. FOB Destination Point


FOB Destination Point mensyaratkan bahwa biaya angkut (ongkos
kirim) barang dari gudang penjual ke gudang pembeli menjadi tanggungjawab
si penjual, sehingga kepemilikan menjadi hak pembeli saat sudah di tempat
pembeli. Apabila terjadi pembelian, dan barang tersebut masih dalam
perjalanan ke tempat pembeli, barang dalam perjalanan tersebut masih milik
penjual. Pada saat akhir tahun buku barang tersebut belum diterima, maka nilai
barang tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai persediaan oleh perusahaan
pembeli pada neraca akhir tahun.

1.7 Lower of Cost or Net Realizable Value (LCNRV)


Pencatatan persediaan dicatat berdasarkan biaya yang digunakan untuk
persediaan tersebut. Akan tetapi, biasanya persediaan mengalami penurunan nilai
karena kerusakan, keusangan, penurunan harga, dan lain-lain yang menyebabkan
nilai persediaan juga diturunkan. Oleh karena itu, persediaan dilaporkan pada
biaya/nilai terendah atau nilai realisasi bersih.
Nilai realisasi bersih (net realizable value) adalah estimasi harga jual dalam
keadaan bisnis normal dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya
untuk penjualan.
Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk mencatat efek pendapatan
dari penilaian pada nilai realisasi bersih. Metode pertama yaitu metode harga
pokok penjualan (COGS Method), dimana HPP didebitkan untuk penghapusan
persediaan. Metode kedua, yaitu metode kerugian (Loss Method), dimana kerugian
didebitkan untuk menghapus persediaan.
Contoh:

HPP (sebelum penyesuaian ke NRV) $ 108,000


Ending inventory (cost) 82,000
Ending inventory (at NRV) 70,000

COGS Method
HPP 12.000
Persediaan 12.000
Loss Method
Kerugian akibat penurunan NRV 12.000
Persediaan 12.000

Menggunakan Cadangan / Use of an Allowance


Pada umumnya perusahaan menggunakan akun allowance (cadangan)
untuk menyesuaikan nilai realisasi bersih persediaan.
Contoh jurnal:

Kerugian penurunan persediaan ke NRV 12.000


Cadangan pengurangan persediaan ke NRV 12.000

Recovery of Inventory Loss


Ilustrasi, Jerry Co mengsumsikan NRV meningkat $5.000 dari $80.0000.
Jerry Co. membuat jurnal menggunakan Loss Method:

Allowance pengurangan persediaan ke NRV 5.000


Recovery dari kerugian persediaan 5.000

1.8 Penurunan Nilai Persediaan


Impairment adalah penurunan nilai aset, baik aset berwujud maupun tidak
berwujud, termasuk aset berupa persediaan. Impairment aset terjadi jika nilai
tercatat aset melebihi nilai yang dapat dipulihkan. Aset yang mengalami penurunan
nilai akan disesuaikan dan dampak dari penyesuaian tersebut akan diakui sebagai
kerugian dalam laporan laba rugi. Semua akan memiliki potensi mengalami
penurunan nilai. Pada persediaan, penurunan nilai yang dimaksud adalah penurunan
harga pokok persediaan. Harga pokok persediaan bisa turun karena beberapa hal
yaitu:

a. Rusak / Ketinggalan Zaman


Persediaan bahan baku atau barang dagangan yang datang dari suplier
belum tentu langsung digunakan atau dijual habis. Bahan / barang belum terpakai /
terjual tersebut disimpan dalam gudang. Selama masa menunggu untuk digunakan
atau dujual bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, rusak misalnya atau
penurunan harga jual untuk barang dagangan. Hal ini menimbulkan kerugian bagi
perusahaan.Kerugian yang diakibatkan persediaan barang dagangan diukur dengan
selisih antara harga perolehan dengan taksiran nilai bersih yang bisa direalisasi.
Taksiran nilai bersih yang bisa direalisasi adalah teksiran harga jual dikurangi biaya
utnuk menjual barang dagangan tersebut termasuk biaya reparasi untuk menjual
barang tersebut.

b. Penurunan Harga
Terjadi karena stock di pasaran melimpah, daya beli masyarakat turun dan
karena adanya model baru yang lebih canggih. Contoh konkrit penurunan harga
adalah pada produk elektronik dan alat komunikasi handphone. Jika ada model baru
maka model lama ditinggalkan / tidak lagi diminati, hal ini menimbulkan penurunan
harga.

c. Hilang / Rusak Parah


Apabila ada satu atau beberapa produk yang rusak parah dan tidak bisa
diperbaiki lagi, atau ada produk yang hilang maka jurnal untuk mencatat hilang atau
produk rusak adalah:

Kerugian penurunan nilai persediaan 50.000


Persediaan 50.000

Produk yang hilang atau rusak tersebut dicatat sebesar harga perolehannya.
1.9 Biaya Persediaan Perusahaan Manufaktur Dan Dampak Peningkatan
Produksi
Biaya persediaan manufaktur pada umumnya terdiri atas tiga komponen:

a Bahan Baku merupakan biaya dari bahan dasar yang digunakan untuk
membuat produk.
b Tenaga Kerja merupakan biaya tenaga kerja langsung yang dibutuhkan
untuk membantu penyelesaian produk.
c Overhead merupakan biaya tidak langsung pada proses manufaktur
(penyusutan peralatan manufaktur, gaji penyelia, biaya prasarana).

Biaya bahan baku dan tenaga kerja dapat diestimasi secara akurat dari
spesifikasi rancangan dan penelitian atas waktu dan pergerakan selama proses
pembuatan. Berbeda dengan bahan baku dan tenaga kerja, overhead merupakan
komponen biaya produk terbesar dan sulit diukur untuk tingkat produk. Seluruh
total dari biaya overhead ini harus dialokasikan pada seluruh unit yang diproduksi
dan kemudian biayanya dimasukan pada biaya persediaan dengan tetap berada pada
neraca sampai persediaan tersebut telah laku terjual. Dan apabila persediaan
tersebut telah laku terjual maka biaya persediaan yang tadinya berada di neraca
harus dipindahkan pada laporan laba rugi dengan pengakuan sebagai harga pokok
penjualan.
Menurut PSAK No. 14 apabila suatu barang dalam persediaan di jual maka
nilai tercatat persediaan harus diakui sebagai beban pada periode diakuinya
pendapatan atas penjualan tersebut. Proses pengakuan nilai tercatat persediaan yang
telah dijual sebagai beban menghasilkan pengaitan (matching) beban dengan
pendapatan. Oleh karena itu dalam menentukan besarnya laba harus dihitung
terlebih dahulu besarnya harga pokok penjualan. Persediaan yang dibeli atau dibuat
selama suatu periode ditambahkan ke persediaan awal dan jumlah biaya persediaan
ini disebut dengan harga pokok barang tersedia untuk dijual. Pada akhir periode
akuntansi, jumlah biaya yang tersedia untuk dijual dialokasikan antara persediaan
yang masih tersisa (dicatat di neraca sebagai aktiva) dan persediaan yang dijual
selama periode (dilaporkan dalam laba rugi sebagai biaya, harga pokok
penjualan).Berbicara mengenai pengalokasian biaya overhead, produk yang
menggunakan sumber daya terbanyak harus menerima pengalokasian yang besar
dari biaya overhead.
Pada saat terjadi peningkatan produksi maka hal ini akan berpengaruh
terhadap persediaan akhir yang juga akan mengalami peningkatan dan oleh karena
itu hal ini akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan yang juga akan semakin
meningkat yang dikarenakan banyak biaya overhead yang ada pada biaya
persediaan yang tertinggal pada neraca. Sebaliknya, ketika jumlah persediaan
menurun, maka laporan laba rugi akan menjadi terbebani oleh biaya
overheadperiode berjalan dan juga terbebani oleh biaya overhead pada tahun
sebelumnya yang berakibat pada penurunan tingkat laba.
BAB 2
PERLAKUAN PERUBAHAN AKUNTANSI

2.1 Kebijakan Akuntansi


Kebijakan akuntansi adalah prinsip, dasar, konvensi, peraturan dan praktik
tertentu yang diterapkan entitas dalam penyusunan dan penyajian laporan
keuangan. Ketika suatu PSAK secara spesifik berlaku untuk suatu transaksi,
peristiwa atau kondisi lain, kebijakan akuntansi yang diterapkan pos tersebut
menggunakan PSAK tersebut. Dalam hal tidak ada PSAK yang secara spesifik
berlaku untuk transaksi, peristiwa atau kondisi lain, maka manajemen
menggunakan pertimbangannya dalam mengembangkan dan menerapkan suatu
kebijakan akuntansi yang menghasilkan informasi yang relevan dan andal.
Entitas memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi secara konsisten
untuk transaksi, peristiwa dan kondisi lain yang serupa, kecuali suatu PSAK secara
spesifik mengatur atau mengizinkan pengelompokkan pos-pos dengan kebijakan
akuntansi yang berbeda adalah hal yang tepat. Jika suatu PSAK mengatur atau
mengizinkan pengelompokkan tersebut, maka kebijakan akuntansi yang tepat
dipilih dan diterapkan secara konsisten untuk setiap kelompok.

2.2 Perubahan Akuntansi


Entitas mengubah suatu kebijakan akuntansi hanya jika perubahan tersebut:

1. Dipersyaratkan oleh suatu PSAK; atau


2. Menghasilkan laporan keuangan yang memberikan informasi yang andal
dan lebih relevan tentang dampak transaksi, peristiwa atau kondisi lainnya
terhadap posisi keuangan, kinerja keuangan atau arus kas entitas.

Entitas mencatat perubahan kebijakan akuntansi akibat dari penerapan awal


suatu PSAK sebagaimana yang diatur dalam ketentuan transisi dalam PSAK
tersebut, jika ada; dan jika entitas mengubah kebijakan akuntansi untuk penerapan
awal suatu PSAK yang tidak mengatur ketentuan transisi untuk perubahan tersebut,
atau perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela, maka entitas menerapkan
perubahan tersebut secara retrospektif.
IASB mengijinkan perusahaan untuk mengubah kebijakan akuntansinya,
jika:

a. Hal ini diperlukan oleh IFRS.


b. Di dalam laporan keuangan menghasilkan informasi atas posisi keuangan
perusahaan, kinerja perusahaan serta arus kas secara lebih andal dan
relevan.

IASB telah menetapkan kerangka kerja pelaporan yang mencakup tiga jenis
perubahan akuntansi. Tiga jenis perubahan akuntansi adalah:

1. Perubahan Prinsip Akuntansi. Perubahan dari satu prinsip akuntansi yang


berlaku umum ke prinsip akuntansi yang berlaku umum lainnya. Sebagai
contoh, perubahan metode penilaian persediaan dari FIFO menjadi biaya
rata-rata.
2. Perubahan Estimasi Akuntansi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
informasi baru atau diperolehnya pengalaman tambahan. Contohnya adalah
perubahan estimasi umur manfaat aktiva yang dapat disusutkan.
3. Perubahan Entitas Pelaporan. Perubahan dari pelaporan sebagai satu jenis
entitas ke jenis entitas lainnya. Sebagai contoh, perubahan anak perusahaan
spesifik dalam satu kelompok perusahaan di mana laporan keuangan
konsolidasi disusun.

Kategori keempat membutuhkan perubahan akuntansi, walaupun hal ini


tidak diklasifikasikan sebagai perubahan akuntansi:

4. Kesalahan-Kesalahan dalam Laporan Keuangan. Kesalahan yang terjadi


sebagai akibat dari kesalahan matematis, kesalahan penerapan prinsip
akuntansi, atau kelalaian atau penyalahgunaan fakta yang ada pada saat
laporan keuangan disusun. Contohnya adalah penerapan metode persediaan
eceran yang tidak tepat dalam menentukan persediaan akhir.
2.3 Perubahan Prinsip Akuntansi
Perubahan prinsip akuntansi melibatkan perubahan dari satu prinsip
ekonomi yang berlaku umum ke yang lainnya. Pengujian yang seksama harus
dilaksanakan dalam setiap situasi ini untuk memastikan bahwa perubahan prinsip
memang telah terjadi. Akhirnya, jika prinsip akuntansi yang sebelumnya diikuti
tidak dapat diterima atau jika prinsip itu diterapkan secara tidak benar, maka
perubahan ke prinsip akuntansi yang berlaku umum dianggap sebagai koreksi
kesalahan. Perpindahan dari akuntansi dasar kas atau pajak penghasilan ke dasar
akrual dianggap juga sebagai koreksi kesalahan.
Tiga pendekatan berikut telah disarankan untuk melaporkan perubahan
prinsip akuntansi:

1. Pelaporan Perubahan pada Periode Berjalan. Pengaruh kumulatif adalah


perbedaan laba tahun sebelumnya antara metide baru dan metode lama.
Penyesuaian ini kemudian dilaporkan hanya dalam laporan laba rugi tahun
berjalan. Perusahan tidak mengubah laporan keuangan tahun sebelumnya.
2. Pelaporan Perubahan Secara Retrospektif. Penyesuaian Retrospektif atas
laporan keuangan akan menyusun kembali laporan keuangan tahun
sebelumnya atas dasar yang konsisten dengan prinsip yang baru ditetapkan.
Perusahaan menyajikan pengaruh kumulatif dari perubahan sebagai
penyesuaian atas laba ditahan awal tahun paling awal yang disajikan dalam
laporannya.
3. Pelaporan Perubahan secara Prospektif (di masa depan). Pada pendekatan
ini, hasil yang telah dilaporkan sebelumnya biasanya tidak diubah. Saldo
awal tidak perlu disesuaikan. Pendukung pendekatan ini berargumen bahwa
setelah manajemen menyajikan laporan keuangan berdasarkan prinsip
akuntansi yang dapat diterima, maka laporan tersebut sudah final,
manajemen tidak dapat mengubah peirode sebelumnya dengan menerapkan
prinsip baru.

2.4 Perubahan Estimasi Akuntansi


Perubahan estimasi akuntansi adalah penyesuaian jumlah tercatat aset atau
liabilitas, atau jumlah pemakaian periodik aset yang berasal dari penilaian status
kini dan ekspektasi manfaat masa depan dan kewajiban yang terkait dengan aset
dan liabilitas. Perubahan estimasi akuntansi dihasilkan dari informasi baru atau
perkembangan baru dan sejalan dengan hal tersebut, bukan dari koreksi kesalahan.
Penyusunan laporan keuangan memerlukan estimasi dampak dari kondisi-kondisi
dan peristiwa di masa datang. Berikut ini adalah contoh pos-pos yang memerlukan
estimasi:

 Piutang tak tertagih


 Keusangan Persediaan
 Umur manfaat dan nilai sisa aktiva
 Periode yang menerima manfaat dari biaya yang ditangguhkan
 Kewajiban untuk biaya garansi dan pajak penghasilan
 Cadangan mineral yang dapat dipulihkan kembali
 Perubahan metode penyusutan

Perubahan estimasi harus ditangani secara prospektif. Yaitu, tidak ada


perubahan yang harus dibuat dalam hasil yang dilaporkan sebelumnya. Jadi,
pengaruh dari semua perubahan estimasi diperhitungkan pada (1) periode
perubahan jika perubahan itu hanya mempengaruhi periode bersangkutan; atau (2)
perubahan periode dan periode di masa datang jika perubahan tersebut
mempengaruhi keduanya. Akibatnya perubahan estimasi dipandang sebagai
koreksi atau penyesuaian normal yang berulang, hasil alami dari proses akuntansi
dan perlakuan retrospektif dilarang. Contoh terkait perubahan estimasi yang
dipengaruhi oleh perubahan prinsip akuntansi berupa perubahan metode
penyusutan (berikut amortisasi dan deplesi). Karena perusahaan mengubah metode
penyusutan berdasarkan perubahan estimasi laba masa depan aktiva berumur
panjang, tidaklah mungkin memisahkan pengaruh perubahan prinsip akuntansi dari
perubahan estimasi tersebut. Kesimpulannya, perusahaan memperhitungkan
perubahan metode penyusutan sebagai perubahan estimasi yang dipengaruhi oleh
perubahan prinsip akuntasi.
2.5 Perubahan Dalam Entitas Pelaporan
Suatu perubahan akuntansi yang terjadi pada laporan keuangan yang
sebenarnya merupakan laporan dari entitas berbeda harus dilaporkan dengan
menyatakan kembali laporan keuangan yang disajikan selama periode sebelumnya,
guna menunjukkan informasi keuangan bagi entitas pelaporan yang baru selama
semua periode.
Contoh perubahan dalam entitas pelaporan:

1. Menyajikan laporan konsolidasi untuk menggantikan laporan dari


kelompok perusahaan individual.
2. Mengubah anak perusahaan tertentu yang terdiri dari kelompok perusahaan
di mana laporan keuangan konsolidasi disajikan.
3. Mengubah perusahaan yang termasuk dalam laporan keuangan gabungan.
4. Perubahan metode akuntansi biaya, ekuitas atau konsolidasi untuk anak
perusahaan dan investasi. Perubahan dalam entitas pelaporan bukan berasal
dari penciptaan, pemutusan, pembelian, disposisi anak perusahaan atau unit
bisnis lainnya.

Laporan keuangan dari tahun dimana perubahan dalam entitas pelaporan


dilakukan harus mengungkapkan sifat perubahan itu serta alasannya. Pengaruh
perubahan ini terhadap laba sebelum pos-pos luar biasa, laba bersih, dan laba per
saham harus dilaporkan untuk semua periode yang disajikan. Pengungkapan ini
tidak perlu diulang pada laporan keuangan periode berikutnya.

2.6 Pelaporan Koreksi Kesalahan


Kesalahan tertentu, misalnya mengklasifikasikan neraca dalam laporan
keuangan tidak sesignifikan bagi investor dibanding kesalahan lain. Kesalahan
signifikan akan menyebabkan lebih saji atas aktiva atau laba. Namun para investor
perlu mengetahui potensi pengaruh dari semua kesalahan. Bahkan
mengklasifikasikan yang “tidak berbahaya” dapat berpengaruh pada rasio yang
penting. Dan juga kesalahan tertentu dapat menandakan kelemahan dalam kendali
internal yang dapat memicu kesalahan lain yang lebih signifikan.
Berikut ini merupakan contoh-contoh dari kesalahan akuntansi:

1. Perubahan dari prinsip akuntansi yang tidak berlaku umum ke prinsip


akuntansi yang berlaku umum. Dasar pemikiran dari hal ini adalah bahwa
periode sebelumnya telah disajikan secara tidak benar. Contoh, perubahan
dari akuntansi dasar kas atau pajak ke penghasilan dasar akrual.
2. Kesalahan matematis yang diakibatkan oleh penjumlahan, pengurangan,
dan sebagainya. Contoh, penjumlahan kartu perhitungan persediaan yang
salah dalam menentukan nilai persediaan.
3. Perubahan estimasi yang terjadi karena estimasi-estimasi itu tidak dibuat
dengan jujur. Contoh, penggunaan tarif penyusutan yang secara jelas tidak
realistis.
4. Kelalaian, seperti kegagalan untuk mengakrualkan atau menangguhkan
beban atau pendapatan tertentu di akhir periode.
5. Penggunaan fakta yang tidak benar, seperti kegagalan untuk menggunakan
nilai sisa dalam menghitung dasar penyusutan untuk pendekatan garis lurus.
6. Klasifikasi biaya yang tidak tepat sebagai beban dan bukan sebagai aktiva
serta sebaliknya.

2.7 Teori Prospektif


Perubahan kebijakan akuntansi dan pengakuan dampak perubahan estimasi
akuntansi diterapkan secara prospektif untuk:

a. Penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi


lain yang terjadi setelah tanggal perubahan kebijakan tersebut.
b. Pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi pada periode berjalan dan
periode mendatang yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut.

Pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi secara prospektif berarti


perubahan diterapkan untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lain sejak tanggal
perubahan estimasi. Perubahan estimasi akuntansi dapat berdampak hanya pada
laba rugi periode berjalan saja atau laba rugi periode berjalan dan periode
mendatang.
Perusahaan mengungkapkan sifat dan jumlah perubahan estimasi akuntansi
yang berdampak pada periode berjalan atau diperkirakan akan berdampak pada
periode mendatang, kecuali untuk pengungkapan dampak pada periode mendatang
ketika tidak praktis untuk mengestimasi tersebut. Jika jumlah dampak pada periode
mendatang tidak diungkapkan karena estimasinya yang tidak praktis maka
perusahaan mengungkapkan fakta tersebut.

2.8 Teori Retrospektif


Penerapan retrospektif merupakan penerapan kebijakan akuntansi baru
untuk transaksi, peristiwa, serta kondisi lain yang seolah-olah menunjukkan bahwa
kebijakan tersebut telah ditetapkan.
Perubahan kebijakan akuntansi dapat diterapkan secara retrospektif, jika
salah satu dari kondisi ini terjadi:

a. Perubahan kebijakan akuntansi yang dicatat oleh entitas merupakan akibat


dari penerapan awal PSAK yang telah diatur dalam ketentuan transisi yang
terdapat didalam PSAK tersebut.
b. Perubahan kebijakan akuntansi yang dilakukan oleh entitas bertujuan untuk
penerapan awal suatu PSAK yang tidak mengatur ketentuan transisi untuk
perubahan tersebut atau perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela.

Dalam pelaksanaannya, entitas juga diperkenankan untuk melakukan


penyajian kembali atas retrospektif tersebut. Yang dimaksudkan dengan penyajian
kembali retrospektif merupakan suatu koreksi yang dilakukan atas pengakuan,
pengukuran, serta pengungkapan jumlah unsur-unsur dari laporan keuangan. Hal
ini bertujuan untuk membuat kesalahan yang terjadi di periode sebelumnya tidak
pernah terjadi. Kesalahan periode sebelumnya adalah kelalaian untuk
mencantumkan, dan kesalahan dalam mencatat dalam laporan keuangan entitas
untuk satu atau lebih periode sebelumnya yang timbul dari kegagalan untuk
menggunakan, atau kesalahan penggunaan informasi andal yang (1) tersedia ketika
penyelesaian laporan keuangan untuk periode tersebut; dan (2) secara rasional
diharapkan dapat diperoleh dan dipergunakan dalam penyusunan dan penyajian
laporan keuangan tersebut.
Kesalahan tersebut termasuk dampak kesalahan perhitungan matematis,
kesalahan penerapan kebijakan akuntansi, kekeliruan atau kesalahan interpretasi
fakta, dan kecurangan.
Material kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat
pos-pos laporan keuangan adalah material jika, baik secara sendiri atau bersama,
dapat mempengaruhi keputusan ekonomik pengguna laporan keuangan.
Materialitas bergantung pada ukuran dan sifat dari kelalaian untuk mencantumkan
atau kesalahan dalam mencatat tersebut dengan memperhatikan keadaan terkait.
Ukuran atau sifat dari pos laporan keuangan atau gabungan dari keduanya, dapat
menjadi faktor penentu.
Ketika perubahan kebijakan akuntansi diterapkan secara retrospektif, maka
entitas menyesuaikan saldo awal setiap komponen ekuitas yang terpengaruh untuk
periode sajian paling awal dan jumlah komparatif lainnya diungkapkan untuk setiap
periode sajian seolah-olah kebijakan akuntansi baru tersebut sudah diterapkan
sebelumnya.
Saat perusahaan mengubah kebijakan akuntansinya, maka saat pelaporan
perubahan perusahaan harus menggunakan aplikasi retrospektif. Secara umum,
berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan:

a. Menyesuaikan penyajian atas laporan keuangan pada setiap periode.


Sehingga informasi atas laporan keuangan pada periode sebelumnya
menggunakan dasar yang sama sesuai dengan kebijakan akuntansi yang
baru.
b. Menyesuaikan pencatatan atas aset dan kewajiban dalam penyajian awal di
tahun pertama. Akun tersebut mencerminkan efek secara kumulatif pada
periode sebelumnya atas perubahan kebijakan akuntansi yang baru.
Perusahaan juga membuat penyesuaian offsetting saldo awal laba ditahan
atau komponen ekuitas lainnya yang sesuai atau aktiva bersih pada
penyajian awal tahun pertama.
Pelaporan Perubahan Kebijakan
Pengungkapan atas perubahan kebijakan akuntansi itu penting. Pengguna
laporan keuangan menginginkan adanya konsistensi informasi pada setiap periode,
maka ada beberapa persyaratan utama yang harus ada dalam pengungkapan
tersebut:

a. Dasar atas perubahan kebijakan akuntansi.


b. Alasan mengapa penggunaan kebijakan akuntansi yang baru maka
informasi akan lebih andal dan relevan.
c. Untuk periode saat ini dan penyajian atas setiap periode, untuk tingkat
kepraktisan, maka jumlah penyesuaian :

1. Berpengaruh pada setiap baris item pada laporan keuangan.


2. Dasar dan dilusi laba per saham.

d. Jumlah penyesuaian terkait penyajian atas periode sebelumnya atas tingkat


kepraktisannya.

Keterbatasan Penerapan Retrospektif


Penerapan retrospektif akan menjadi tidak praktis jika perusahaan tidak
dapat menentukan efek pada periode saat ini dengan menggunakan segala upaya
yang wajar. Perusahaan tidak seharusnya menerapkan retrospektif jika salah satu
kondisi dibawah ini terjadi, yaitu:

a. Perusahaan tidak dapat menentukan efek dari penerapan retrospektif.


b. Penerapan atas retrospektif membutuhkan asumsi atas maksud manajemen
pada periode saat ini.
c. Penerapan retrospektif membutuhkan estimasi yang signifikan atas periode
sebelumnya, dan perusahaan tidak dapat memverifikasi secara objektif
informasi mengenai estimasi-estimasi, seperti:

1. Menyediakan bukti atas keadaan yang terjadi pada tanggal di saat


jumlah tersebut harus diakui, diukur, atau diungkapkan.
2. Tersedia ketika laporan keuangan dari periode sebelumnya yang
diselesaikan dengan menggunakan informasi lain.
Penerapan retrospektif dapat dilakukan jika memenuhi kondisi yang telah
ditetapkan, kecuali penerapan tersebut dirasa tidak praktis untuk menentukan
beberapa dampak, seperti:

a. Dampak spesifik periode, yaitu dampak yang terjadi akibat perubahan


keijakan akuntansi dalam informasi komparatif untuk satu atau beberapa
periode. Penerapan retrospektif akan dianggap praktis jika entitas dapat
menerapkan kebijakan akuntansi baru untuk jumlah yang tercatat atas aset
dan liablitas pada awal periode. Entitas juga dapat membuat penyesuaian
atas saldo awal setiap komponen ekuitas pada periode tersebut yang
terpengaruh.
b. Dampak kumulatif, yaitu dampak yang terjadi di periode awal, perioe
berjalan serta untuk periode sebelumnya. Entitas harus menyesuaikan
informasi komparatif dengan menerapakan kebijakan akuntansi baru secara
prospektif mulai dari tanggal praktis paling awal.

Penerapan kebijakan akuntansi secara retrospektif akan dirasa praktis jika


entitas menerapkan kebijakan akuntansi yang baru untuk informasi komparatif
untuk periode kebelakang sejauh mungkin. Contoh: Pada periode sebelumnya
entitas belum memperoleh data walaupun telah dilakukan suatu usaha untuk dapat
menerapkan kebijakan akuntansi retrospektif serta penyajian kembali untuk
mengkoreksi kesalahan yang terjadi pada periode sebelumnya dan akan menjai hal
yang tidak praktis jika entitas menciptakan ulang informasi tersebut.
Penerapan atas periode sebelumnya dirasa praktis jika dapat menentukan
dampak kumulatif atas jumlah awal dan akhir laporan posisi keuangan pada periode
tersebut. Selain atas saldo laba, penyesuaian juga dapat dilakukan pada komponen
ekuitas lainnya.
Jika entitas merasa bahwa penerapan atas retrospektif tidak praktis
dikarenakan entitas tidak dapat menentukan dampak kumulatifnya untuk seluruh
periode sebelumnya, maka entitas dapat menerapkan kebijakan baru secara
retrospektif dari periode awal yang paling praktis. Hal ini menyebabkan
diabaikannya porsi penyelesaian kumulatif atas aset, liabilitas dan ekuitas yang
timbul sebelum tanggal tersebut.
Koreksi yang dilakukan atas kesalahan pada periode sebelumnya tidak
termasuk dari kesalahan yang ditemukan pada laporan laba rugi dalam periode
tersebut. Setiap informasi sajian serta ringkasan data keuangan historis atas periode
sebelumnya disajikan kembali sejauh mungkin ke belakang selama hal tersebut
dianggap praktis. Jika hal tersebut menjadi tidak praktis maka entitas menyajikan
kembali informasi komparatif secara prospektif dari tanggal praktis paling awal.

2.9 Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung atas Perubahan


a. Pengaruh secara langsung.
IASB menentukan bahwa perusahaan harus menerapkan retrospektif dari
efek langsung atas adanya perubahan akuntansi.
b. Pengaruh secara tidak langsung.
Perusahaan dapat memiliki efek secara tidak langsung terkait perubahan atas
kebijakan akuntansi. Pengaruh secara tidak langsung adalah segala
perubahaan arus kas saat ini atau masa depan dari perusahaan atas
perubahan akuntansi yang diterapkan secara retrospektif.

Untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi sering kali dibutuhkan


estimasi bersifat subyektif dan yang nantinya mungkin dapat dikembangkan setelah
periode pelaporan. Pengembangan estimasi ini lebih sulit untuk dilakukan karena
semakin panjang periode yang telah berlalu semenjak terjadinya transaksi,
peristiwa, atau kondisi lain. Estimasi yang dilakukan pada periode sebelumnya
memiliki tujuan yang sama dengan estimasi yang dilakukan selama periode berjalan
yaitu agar estimasi dapat mencerminkan keadaan yang terjadi pada saat terjadinya
transaksi, peristiwa, dan kondisi lain.

2.10 Motivasi Untuk Mengubah Metode Akuntansi


Suatu angka laba yang menguntungkan dapat mempengaruhi investor dan
posisi likuiditas yang kuat yang dapat mempengaruhi kreditor. Akan tetapi, angka
laba yang terlalu menguntungkan dapat memberi amunisi kepada para negosiator
serikat pekerja dan pembuat kebijakan pemerintah selama membicarakan tawar-
menawar. Oleh sebab itu, para manajer mungkin memiliki motif laba yang berbeda-
beda tergantung pada waktu dan siapa yang ingin mereka pengaruhi.
Penelitian yang dilakukan telah memberikan masukan tambahan tentang
mengapa perusahaan lebih memilih metode akuntansi tertentu. Beberapa alasannya
adalah sebagai berikut:

1. Biaya Politik. Semakin besar perusahaan dan terlihat lebih bersifat politis,
semakin besar para politis serta pembuat peraturan mencurahkan perhatian
kepada perusahaan tersebut.
2. Struktur Modal. Sejumlah studi telah mengindikasikan bahwa struktur
modal perusahaan dapat mempengaruhi pemilihan metode akuntansi.
Sebagai contoh, perusahaan dengan rasio hutang terhadap ekuitas yang
tinggi akan sangat tergantung pada perjanjian hutang.
3. Pembayaran Bonus. Jika pembayaran bonus dilakukan kepada manajemen
berkaitan dengan laba, maka dapat dikatakan bahwa manajemen akan
memilih metode akuntansi yang memaksimalkan pembayaran bonus
mereka.
4. Memperlancar Laba. Kenaikan laba yang substansial dapat mengundang
perhatian dari para politisi, pembuat peraturan, dan pesaing. Selain itu
kenaikan laba yang besar juga dapat menciptakan masalah bagi manajemen
karena hasil yang sama akan sulit dicapai pada tahun berikutnya.
BAB 3
PROFIL PERUSAHAAN PT CHAROEN POKPHAND INDONESIA TBK

3.1 Sejarah Singkat


PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (”Perseroan”) didirikan di Indonesia
dengan nama PT Charoen Pokphand Indonesia Animal Feedmill Co. Limited,
berdasarkan akta pendirian yang dimuat dalam Akta No. 6 tanggal 7 Januari 1972,
yang dibuat dihadapan Drs. Gde Ngurah Rai, SH, Notaris di Jakarta, sebagaimana
telah diubah dengan Akta No. 5 tanggal 7 Mei 1973 yang dibuat dihadapan Notaris
yang sama. Akta pendirian tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. Ya-5/197/21 tanggal 8 Juni 1973
dan telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di bawah
No. 2289 tanggal 26 Juni 1973, serta telah diumumkan dalam Berita Negara No. 65
tanggal 14 Agustus 1973, Tambahan No. 573.
Anggaran Dasar Perseroan tersebut telah diubah, terakhir dengan Akta
Notaris Fathiah Helmi, SH No. 43 tanggal 20 Desember 2010, sehubungan dengan
penarikan kembali modal ditempatkan dan disetor penuh melalui pembelian
kembali saham. Akta tersebut telah memperoleh persetujuan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. AHU-
61146. AH.01.02.Tahun 2010 tanggal 31 Desember 2010 dan telah diumumkan
dalam Berita Negara No. 63 tanggal 7 Agustus 2012, Tambahan No. 31796.

3.2 Kegiatan Usaha


Berdasarkan Anggaran Dasar terakhir, kegiatan usaha Perseroan adalah:
Kegiatan usaha utama adalah:
a. Industri makanan ternak, pembibitan dan budidaya ayam ras serta
pengolahannya, industri pengolahan makanan, pengawetan daging ayam
dan sapi, termasuk unit-unit cold storage.
b. Menjual makanan ternak, makanan, daging ayam dan sapi, bahan-bahan asal
hewan di wilayah Republik Indonesia, maupun ke luar negeri dengan sejauh
diizinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kegiatan penunjang adalah:
a. Mengimpor dan menjual bahan-bahan baku dan bahan-bahan farmasi.
b. Memproduksi dan menjual karung atau kemasan plastik, peralatan industri
dari plastik, alat-alat peternakan dan alat-alat rumah tangga dari plastik
sesuai dengan perizinan yang dimiliki dan tidak bertentangan dengan
peraturan di bidang penanaman modal.
c. Melakukan perdagangan besar pada umumnya, termasuk ekspor impor,
perdagangan interinsular atau antar pulau atau antar daerah.
d. Melakukan kegiatan pengangkutan barang-barang pada umumnya, baik
pengangkutan darat, perairan, laut dan udara.
e. Menjalankan usaha pergudangan dan pusat distribusi.

Produk utama yang dihasilkan oleh Perseroan dan entitas anaknya adalah
pakan ternak, anak ayam usia sehari komersial dan daging ayam olahan.

3.3 Struktur Organisasi


3.4 Visi dan Misi Organisasi
Visi
Menyediakan pangan bagi dunia yang berkembang.

Misi
Memproduksi dan menjual pakan, anak ayam usia sehari dan makanan
olahan yang memiliki kualitas tinggi dan berinovasi.

3.5 Identitas Perusahaan


Nama: PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk

Alamat: Jl. Ancol VIII/1, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan,


Jakarta Utara, DKI Jakarta, Indonesia.

Telepon: 62-21-6919999 Faksimili : 62-21-6907324

Alamat e-mail: investor.relations@cp.co.id Laman : www.cp.co.id

3.6 Profil Dewan Komisaris


1. Hadi Gunawan Tjoe, Presiden Komisaris
Warga Negara Indonesia. Lahir di Palembang pada tahun 1951. Lulus dari
Akademi Bahasa Jakarta, Jakarta, pada tahun 1973. Memulai karirnya di
Perseroan pada tahun 1973 dan diangkat menjadi Presiden Komisaris pada
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 27 Nopember 2008,
yang hasilnya diaktakan dengan Akta No. 26 tanggal 27 Nopember 2008
oleh Fathiah Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota Direksi atau
Dewan Komisaris pada Emiten atau Perusahaan Publik lain. Mengikuti
beberapa pelatihan di bidang ekonomi makro, peraturan terkait dengan
bidang usaha dan kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha. Memiliki
hubungan afiliasi dengan Ferdiansyah Gunawan Tjoe.
2. Rusmin Ryadi, Wakil Presiden Komisaris
Warga Negara Indonesia. Lahir di Sambas pada tahun 1948. Lulus dari
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1985.
Memulai karirnya di Perseroan dari tahun 1977 dan diangkat menjadi Wakil
Presiden Komisaris pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan tanggal
15 Juni 2016, yang hasilnya diaktakan dengan Akta No. 47 tanggal 15 Juni
2016 oleh Fathiah Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota Direksi atau
Dewan Komisaris pada Emiten atau Perusahaan Publik lain. Mengikuti
beberapa pelatihan di bidang ekonomi makro, peraturan terkait dengan
bidang usaha dan kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha. Tidak
memiliki afiliasi dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
lainnya.
3. Herman Sugianto, Komisaris Independen
Warga Negara Indonesia. Lahir di Pontianak pada tahun 1947. Memperoleh
gelar Sarjana Akuntansi dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, pada tahun
1976. Pernah bekerja di Perseroan dari tahun 1979 hingga tahun 2007.
Diangkat menjadi Komisaris Independen sebagai masa jabatan pertama
pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan tanggal 15 Mei 2013, yang
hasilnya diaktakan dengan Akta No. 36 tanggal 15 Mei 2013 oleh Fathiah
Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris
pada Emiten atau Perusahaan Publik lain. Tidak memiliki afiliasi dengan
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris lainnya.
4. Suparman S., Komisaris Independen
Warga Negara Indonesia. Lahir di Talaga pada tahun 1946. Lulus dari
Akademi Militer Nasional pada tahun 1967 dan memperoleh gelar Sarjana
Sosial Politik pada tahun 1995. Memiliki karier militer di TNI Angkatan
Darat dari tahun 1968 hingga tahun 2000 dengan pangkat terakhir sebagai
Mayor Jendral TNI Purnawirawan dan jabatan terakhir sebagai Asisten
Teritorial Markas Besar TNI Angkatan Darat serta Irjen Departemen
Pertanian Republik Indonesia. Diangkat menjadi Komisaris Independen
sebagai masa jabatan pertama pada Rapat Umum Pemegang Saham
Tahunan tanggal 15 Mei 2013, yang hasilnya diaktakan dengan Akta No. 36
tanggal 15 Mei 2013 oleh Fathiah Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai
anggota Direksi atau Dewan Komisaris pada Emiten atau Perusahaan Publik
lain. Tidak memiliki afiliasi dengan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris lainnya.
3.7 Profil Direksi
1. Tjiu Thomas Effendy, Presiden Direktur
Warga Negara Indonesia. Lahir di Pontianak pada tahun 1958. Memperoleh
gelar Master of Business Administration dari University of the City of
Manila, Filipina tahun 1994. Memulai karirnya di Perseroan pada tahun
1980 dan diangkat menjadi Presiden Direktur pada Rapat Umum Pemegang
Saham Tahunan tanggal 15 Juni 2016, yang hasilnya diaktakan dengan Akta
No. 47 tanggal 15 Juni 2016 oleh Fathiah Helmi, SH. Menjabat juga sebagai
Komisaris Utama PT BISI International Tbk. Mengikuti beberapa pelatihan
di bidang ekonomi makro, peraturan terkait dengan bidang usaha dan
kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha. Tidak memiliki afiliasi
dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris lainnya.
2. Peraphon Prayooravong, Wakil Presiden Direktur / Direktur
Independen
Warga Negara Thailand. Lahir di Bangkok pada tahun 1953. Memperoleh
gelar DVM dari Harvard University, Cambridge, Amerika Serikat, pada
tahun 2001. Memulai karirnya di Charoen Pokphand Group pada tahun 1993
dan diangkat menjadi Wakil Presiden Direktur Perseroan pada Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 27 Nopember 2008, yang hasilnya
diaktakan dengan Akta No. 26 tanggal 27 Nopember 2008 oleh Fathiah
Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris
pada Emiten atau Perusahaan Publik lain. Mengikuti beberapa pelatihan di
bidang ekonomi makro, peraturan terkait dengan bidang usaha dan
kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha. Tidak memiliki afiliasi
dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris lainnya.
3. Vinai Rakphongphairoj, Wakil Presiden Direktur
Warga Negara Amerika Serikat. Lahir di Thailand pada tahun 1956.
Memperoleh gelar PhD dari University of Southern California, California,
Amerika Serikat, pada tahun 1987. Memulai karirnya di Charoen Pokphand
Group pada tahun 1987 dan diangkat menjadi Wakil Presiden Direktur
Perseroan pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 31 Juli
2003, yang hasilnya diaktakan dengan Akta No. 40 tanggal 31 Juli 2003
oleh Fathiah Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota Direksi atau
Dewan Komisaris pada Emiten atau Perusahaan Publik lain. Mengikuti
beberapa pelatihan di bidang ekonomi makro, peraturan terkait dengan
bidang usaha dan kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha. Tidak
memiliki afiliasi dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
lainnya.
4. Ong Mei Sian, Direktur
Warga Negara Indonesia. Lahir di Denpasar pada tahun 1962. Lulus dari
Business Administration Universitas Parahyangan, Bandung. Memulai
karirnya di Perseroan pada tahun 1993 dan diangkat menjadi Direktur
Perseroan pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 27
Nopember 2008, yang hasilnya diaktakan dengan Akta No. 26 tanggal 27
Nopember 2008 oleh Fathiah Helmi, SH. Menjabat juga sebagai Komisaris
PT BISI International Tbk. Mengikuti beberapa pelatihan di bidang
ekonomi makro, peraturan terkait dengan bidang usaha dan kemampuan
teknis terkait dengan bidang usaha. Tidak memiliki afiliasi dengan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris lainnya.
5. Jemmy, Direktur
Warga Negara Indonesia. Lahir di Jakarta pada tahun 1976. Lulus dari Ohio
State University, Amerika Serikat, pada tahun 1997. Memulai karirnya di
Perseroan pada tahun 2002 dan diangkat menjadi Direktur Perseroan pada
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan tanggal 27 Juni 2007, yang
hasilnya diaktakan dengan Akta No. 58 tanggal 27 Juni 2007 oleh Fathiah
Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris
pada Emiten atau Perusahaan Publik lain. Mengikuti beberapa pelatihan di
bidang ekonomi makro, peraturan terkait dengan bidang usaha dan
kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha. Tidak memiliki afiliasi
dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris lainnya.
6. Eddy Dharmawan Mansjoer, Direktur
Warga Negara Indonesia. Lahir di Tanjung Karang pada tahun 1976.
Memperoleh gelar BSBA dari Ohio State University, Amerika Serikat, pada
tahun 1997. Memulai karirnya di Perseroan pada tahun 2003 dan diangkat
menjadi Direktur Perseroan pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan
tanggal 27 Juni 2007, yang hasilnya diaktakan dengan Akta No. 58 tanggal
27 Juni 2007 oleh Fathiah Helmi, SH. Tidak menjabat sebagai anggota
Direksi atau Dewan Komisaris pada Emiten atau Perusahaan Publik lain.
Mengikuti beberapa pelatihan di bidang ekonomi makro, peraturan terkait
dengan bidang usaha dan kemampuan teknis terkait dengan bidang usaha.
Tidak memiliki afiliasi dengan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris lainnya.
7. Ferdiansyah Gunawan Tjoe, Direktur
Warga Negara Indonesia. Lahir di Surabaya pada tahun 1980. Memperoleh
gelar Bachelor of Commerce dari Curtin University of Technology,
Australia pada tahun 2001. Memulai karirnya di Perseroan pada tahun 2003
dan diangkat menjadi Direktur Perseroan pada Rapat Umum Pemegang
Saham Tahunan tanggal 18 Mei 2010, yang hasilnya diaktakan dengan Akta
No. 24 tanggal 18 Mei 2010 oleh Fathiah Helmi, SH. Tidak menjabat
sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris pada Emiten atau
Perusahaan Publik lain. Mengikuti beberapa pelatihan di bidang ekonomi
makro, peraturan terkait dengan bidang usaha dan kemampuan teknis terkait
dengan bidang usaha. Memiliki hubungan afiliasi dengan Hadi Gunawan
Tjoe.
BAB 4
KASUS PERUBAHAN AKUNTANSI (ESTIMASI) PADA ASET LANCAR -
AKUN PERSEDIAAN PT CHAROEN POKPHAND INDONESIA TBK

Seperti yang telah dipaparkan pada Profil Perusahaan, PT Charoen


Pokphand Indonesia Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis
dengan kegiatan bisnis utamanya ialah industri makanan ternak, pembibitan dan
budidaya ayam ras serta pengolahannya, industri pengolahan makanan, pengawetan
daging ayam dan sapi, termasuk unit-unit cold storage, dan menjual makanan
ternak, makanan, daging ayam dan sapi, bahan-bahan asal hewan di wilayah
Republik Indonesia, maupun ke luar negeri dengan sejauh diizinkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentu memiliki jumlah persediaan
yang sangat banyak demi memenuhi berbagai macam permintaan konsumen dari
waktu ke waktu.
Dari fakta tersebut, dapat diketahui bahwa perusahaan memiliki risiko
bawaan pada persediaan yang dimiliki berupa kehilangan dan keusangan yang tidak
dapat dikendalikan sepenuhnya. Akibat timbulnya risiko tersebut, maka PT.
Charoen Pokphand Indonesia Tbk melakukan sebuah estimasi untuk menentukan
nilai dari “Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan Perusahaan” sebagai bentuk
alternatif dalam menilai persediaan perusahaan secara bersih apabila terjadi
kehilangan, keusangan, dan resiko lain yang timbul pada proses bisnis perusahaan.
Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan Perusahaan dapat dikategorikan
sebagai salah satu bentuk beban yang dapat diakui oleh perusahaan pada tahun
berjalannya siklus operasi perusahaan, di mana melalui mekanisme pengakuan
beban akan tercipta pula akun penyisihan penurunan nilai persediaan perusahaan.
Cadangan persediaan yang diestimasikan oleh perusahaan harus diakui dengan
penjurnalan agar Nilai Persediaan perusahaan dapat dikurangi dengan
Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan. Terdapat 2 metode yang dapat
digunakan oleh perusahaan (Menurut Kieso-Chapter 9, Inventories: Additional
Valuation Issues), yaitu :
Net Method
a. Cost-of-Goods-Sold Method
Cost of Goods Sold xxx
Inventory xxx
b. Loss Method
Loss Due to Decline of Inventory to Net Realizable Value xxx
Inventory xxx
Allowance Method
a. Cost-of-Goods-Sold Method
Cost of Goods Sold xxx
Allowance for Decline in Value of Inventories xxx
b. Loss Method
Loss Due to Decline of Inventory to Net Realizable Value xxx
Allowance for Decline in Value of Inventories xxx

Apabila perusahaan menggunakan metode (1) Cost-of-Goods-Sold Method,


maka COGS atau HPP perusahaan dapat ditambahkan dengan jumlah estimasi
Penurunan Nilai Persediaan (sebagai biaya di debit) untuk menyeimbangkan sisi
kredit yang mengurangi nilai persediaan secara keseluruhan.
Apabila perusahaan menggunakan metode (2) Loss Method, maka jumlah
estimasi Penurunan Nilai Persediaan yang ada di jurnal, tidak ditambahkan kepada
COGS / HPP, tetapi langsung mengurangi Gross Profit / Laba Kotor Perusahaan.
Kedua metode ini akan memberikan dampak yang sama bagi perusahaan, yaitu laba
perusahaan yang berkurang akibat dari adanya kenaikan COGS / HPP atau
kenaikan beban penurunan nilai persediaan pada Laporan Laba Rugi.
Dengan adanya pencadangan persediaan, maka ROA dan ROE perusahaan
akan mengalami penurunan dikarenakan return atau laba bersih perusahaan juga
akan berkurang sesuai dengan adanya pengakuan penurunan nilai persediaan yang
dimiliki. Sebagai bahan analisis, berikut merupakan data nilai persediaan dan
cadangan penurunan nilai persediaan milik PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk
pada tahun 2015 dan 2016:

Berdasarkan Catatan Atas Laporan Keuangan di atas, dapat dilihat bahwa


perusahaan mengalami kenaikan jumlah cadangan penurunan nilai persediaan pada
tahun 2016 yang semula pada tahun 2015 sempat mengalami penurunan signifikan
dari tahun awal 2014. Selain itu, Estimasi Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan
PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk ditentukan secara prospektif, dikarenakan
perusahaan selalu menyisihkan / mencadangkan sejumlah persediaanya untuk
periode mendatang berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh perusahaan
sendiri. Menurut analisis penulis, terindikasi pada tahun 2014 perusahaan
mengalami penurunan laba yang cukup tinggi namun frekuensi penjualan
mengalami kenaikan, sehingga pada tahun 2015 perusahaan menurunkan jumlah
estimasi terkait dengan cadangan penurunan nilai persediaan yang dimiliki
oleh sebab perusahaan merasa perlu untuk terus meningkatkan frekuensi penjualan
demi meningkatkan kembali jumlah laba di tahun berikutnya. Hal ini didukung
dengan pernyataan yang tertuang dalam CALK Laporan Tahunan Perusahaan pada
Laporan Dewan Komisaris di tahun 2014 yaitu “…mencatat penjualan sebesar Rp
29,2 triliun atau meningkat 13,59% dibandingkan penjualan tahun 2013 yang hanya
mencapai Rp 25,7 triliun. Laba bersih tahun berjalan turun 30,93% menjadi Rp 1,7
triliun dari Rp 2,5 triliun di tahun 2013.”.
Akan tetapi, pada tahun 2015 ekpektasi perusahaan untuk dapat
meningkatkan frekuensi penjualan guna meningkatkan laba dari periode
sebelumnya banyak mengalami kendala dari segi eksternal. Hal ini dibuktikan
dalam CALK Laporan Tahunan Perusahaan pada Laporan Dewan Komisaris di
tahun 2015 yaitu “Tahun 2015 masih manjadi tahun penuh tantangan bagi
Indonesia, yang mana masih dipengaruhi oleh penurunan pertumbuhan ekonomi
dan pelemahan rupiah. Perekonomian Indonesia tumbuh 4,8% di tahun 2015,
menjadi yang terendah selama 6 tahun, sebagai akibat dari menurunnya tingkat
konsumsi dan melemahnya harga komoditas ekspor.” Oleh sebab itu, frekuensi
penjualan perusahaan hanya mengalami peningkatan yang tidak signifikan pada
tahun berjalan, dibuktikan dengan pernyataan: “Penjualan untuk tahun yang
berakhir pada 31 Desember 2015 berasal dari tiga bidang usaha utama yaitu pakan
ternak, day-old-chicks (“DOC”) dan daging ayam olahan, meningkat 3,28% dari
Rp 29,15 triliun di tahun 2014 menjadi Rp 30,11 triliun di tahun 2015.”
Oleh sebab itu, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa peningkatan
estimasi cadangan penurunan nilai persediaan pada tahun 2016 di latar
belakangi oleh penerapan prinsip konservatisme perusahaan akan
ketidakmampuannya dalam meningkatkan frekuensi penjualan pada tahun 2016
yang secara langsung dapat berimbas pada bertambahnya waktu penyimpanan
persediaan yang dimiliki, hingga nantinya dapat menciptakan keusangan dan
kerugian pada persediaan yang dimiliki. Untuk meningkatkan keyakinan terkait
dengan analisis yang dilakukan penulis, maka penulis mencoba untuk menganalisis
tingkat perubahan estimasi penurunan nilai persediaan berdasarkan rasio.
Perhitungan rasio penulis dapatkan dengan membandingkan antara penyisihan
penurunan nilai persediaan dengan jumlah bahan baku secara keseluruhan,
dengan hasil sebagai berikut:

Tahun 2014: 28.237 / 4.362.586 = 0,647%


Tahun 2015: 704 / 5.483.906 = 0,013%
Tahun 2016: 5.318 / 5.109.719 = 0,104%

Di sisi lain, dengan adanya pencadangan penurunan nilai persediaan, maka


ROA, ROE, dan rasio lainnya yang dimiliki perusahaan akan mengalami penurunan
oleh sebab turunnya tingkat return atau laba bersih yang dimiliki atau dihasilkan
perusahaan pada periode atau tahun berjalan. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

Laporan Keuangan tahun 2016


Keterangan
Tanpa Penyisihan Dengan Penyisihan

Current Ratio 217.37% 217.28%

ROA 9.08% 9.06%

ROE 16.56% 16.52%

Gross Profit Margin


(COGS Method) 17.04% 17.03%

Net Profit Margin 5.83% 5.82%


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai