Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311545199

MEMBACA TEKS PERADABAN BESAR BANGSA NUSANTARA: PERSPEKTIF


SEJARAH DAN LINGUISTIK

Conference Paper · August 2016

CITATIONS READS

0 3,077

2 authors, including:

Karya Ilmiah Prodi Tadris Bahasa Inggris


IAIN Palangka Raya, Indonesia
29 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

article View project

Conference Paper View project

All content following this page was uploaded by Karya Ilmiah Prodi Tadris Bahasa Inggris on 10 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MEMBACA TEKS PERADABAN BESAR BANGSA NUSANTARA:
PERSPEKTIF SEJARAH dan LINGUISTIK1
Oleh:
Imam Qalyubi
ABSTRAK

Bangsa Nusantara adalah sebuah entitas bangsa besar yang telah


eksis sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Berdiam di sebuah wilayah
yang dikenal dengan berbagai sebutan antara lain: Nusantara, Melayu,
Austronesia/Polynesia. Bangsa Nusantara dikenal sebagai pelaut
tangguh dengan keahlian navigasi yang baik dan didukung oleh
teknologi kapal yang canggih sehingga mampu menyentuh sebagian
besar tanah Afrika, Amerika dan benua Oseania asumsi ini
didasarkan pada temuan unsur kesamaan bahasa bertipe aglutinatif
yang tersebar di benua-benua tersebut.
Kritik pedas datang dari Oppenheimer (2010) terkait subordinasi
Nusantara oleh Cina dan India, ia menilai bahwa para ahli selama ini
telah lalai menganggap bahwa budaya Asia Tenggara hanyalah cabang
sekunder dari peradaban Asia daratan di Cina dan India. Pandangan
yang cenderung meremehkan data-data kuno itu tentu telah
menghilangkan khazanah kesejarahan suatu bangsa besar yang selama
ini ditenggelamkan oleh feodalisme akademik.
Terdapat beberapa temuan mutkahir yang meruntuhkan asumsi-
asumsi sesat tentang adanya klaim mulai yang bersifat sederhana
sampai pada klaim yang bersifat prinsip. Klaim lainnya juga terkait
dengan budaya pembuatan kapal di Nusantara yang selama ini
diasumsikan beberapa sejarawan amatiran diduga dipengaruhi oleh
bangsa India. Asumsi ini telah terbantahkan oleh Tom Hoogervosrt
(2013) berdasarkan kajian arkeologi dan linguistic. Hoogervorst
seorang pakar sejarah bidang arkeologi kelautan di University Oxford
Inggris dan Leiden University Belanda.
Klaim lainnya terkait dengan pernyataan bahwa asal beras di
wilayah Nusantara pada masa lalu dibawa dari Cina. Klaim itu telah
terbantahkan oleh Openheimer (2010) dan menemukan fakta
sebaliknya bahwa ternyata bangsa Melayu Nusantara telah
mengkonsumsi beras sejak 9000 tahun yang lalu, sementara bangsa
Cina pada masa itu masih mengkonsumsi talas dan umbi-umbian dan
baru mengkonsumsi beras 3000 tahun kemudian dan 2000 tahun
kemudian disusul oleh bangsa India.
Key Words : Bangsa Nusantara, Austronesia, Melayu, Suku Laut.

1
Dipresentasikan dalam Leadership Advance Training Pelajar Islam Indonesia di Youth Center Sleman Yogyakarta 15 Agustus 2016.

Staf pengajar linguistik pada prodi. Bahasa Inggris dan MK metode penelitian multikultural di Pasca Sarjana IAIN Palangka Raya
Kalimantan Tengah.
1. Pendahuluan

Penulisan artikel ini diawali dengan uraian istilah-istilah yang digunakan dalam judul
sebagaimana penggunaan istilah teks, Nusantara dan bangsa Nusantara di atas. Uraian
selanjutnya perihal kebesaran bangsa Nusantara dan aspek-aspek lain yang terkait dengan
peradaban Nusantara.
Sebuah proposisi sederhana Ernest Cassier yang menyatakan bahwa manusia adalah
“Homo simbolikum” menyiratkan sebuah pesan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk
simbol. Dalam kajian ilmu simbol atau semiotika diri kita dan alam adalah bagian dari
seperangkat simbol itu sendiri. Terdapat beragam istilah digunakan dalam kajian semiotika yang
merujuk pada simbol antara lain: tanda, kode, lambang, pesan, isyarat, ikon, indeks dan teks.
Sebagaimana Ernest Cassier cenderung menggunakan istilah simbol, Umberto Uco
menggunakan istilah kode, Ferdinand de Saussure menggunakan istilah tanda sementara Jaques
Derrida lebih terfokus pada penggunaan istilah teks. Teks dalam pembahasan ini mengacu pada
objek seperti visual, tuturan, prilaku budaya, patung yang kesemuanya merupakan objek utama
dalam kajian semiotika.
Di Nusantara tradisi semiotika telah dikenal sejak jaman purba dan berkembang pada
peradaban klasik hingga modern. Beberapa simbol purba memiliki berbagai bentuk mulai dari
yang sederhana sampai pada simbol-simbol yang bersifat rumit. Beberapa simbol yang umum
ditemukan berupa lingga/pallus, yoni, kura-kura, dan burung. Sebaran simbol purba berupa
tinggalan megalitik terdapat di beberapa tempat di Nusantara seperti di Palu Sulawesi Barat,
Padang Sumatera Barat, Gunung Padang Jawa Barat, Bondowoso Jawa Timur dan beberapa
tempat lainnya yang tersebar cukup merata. Sementara tradisi simbol pada peradaban klasik
modern di Nusantara berupa tulisan dan tuturan seperti prasasti, naskah-naskah sastra dan
petatah-petitih sebagaimana yang banyak ditemukan dalam tradisi Melayu3 dan Jawa4.

3
Prasasti berbahasa Melayu di Trengganu Malaysia, Prasasti Melayu Bukit Batu Sumatera, Prasasti Melayu di Vietnam Utara (Periksa, Lombard
1981 dan Collins 2005)

4
Semiotka dalam tradisi jawa memiliki kategorisasi seperti sesanti, pasemon, sanepan, piwulang kautaman, dan isbat. Sesanti lebih dikenal
masyarakat sebagai semboyan. Sesanti umumnya berbentuk frasa yang berisi tentang seruan, motivasi, pembakar semangat, penunjukan
Penggunaan istilah Nusantara pada judul di atas memiliki cakupan yang sangat luas.
Beberapa diantaranya adalah Nusantara yang diasosiasikan pada wilayah kekuasaan Majapahit
pada abad ke-14 sebagaimana yang tercatat dalam Naskah Negara Kertagama khususnya pada
peristiwa sumpah palapa Mahapatih Gadjah Mada sebagai upaya untuk mempersatukan
“Wilayah Nusantara5”.
Istilah Nusantara selain mengacu pada ikrar Gadjahmada dalam sumpah palapa juga
mengacu pada pengelompokan wilayah berdasarkan pada kajian antardisiplin arkeologi dan
antropologi. Dalam kajian antardisiplin tersebut terdapat sebuah klasifikasi teoritis yang
disepakati oleh para ahli sebagai masyarakat berbudaya Dongson6 yang mencakup wilayah-
wilayah Nusantara. Masyarakat berbudaya Dongson memiliki kemiripan wilayah sebagaimana
yang diasumsikan dalam Negara Kertagama dimana kebudayaan pembuatan perunggu tersebut
berpusat di wilayah Dongson yaitu nama salah satu wilayah di Vietnam7.
Istilah Nusantara selain mengacu pada peristiwa sumpah palapa, masyarakat berbudaya
Dongson, juga terdapat penggunaan istilah Nusantara yang juga seringkali tumpang tindih
dengan penggunaan istilah Melayu8.
Selain penggunaan kata Melayu dan Nusantara juga terdapat penggunaan istilah lain
khususnya dalam kajian linguistik yaitu Austronesia dan Polinesia yang keduanya juga sama-
sama mengacu pada entitas Nusantara. Istilah Austronesia9 sendiri mengacu pada wilayah yang

identaitas, doa, harapan, kebanggan semangat sebagai bentuk kesatuan, kebersamaan dalam membangun solidaritas. Beberapa daerah di
Indoensia memiliki sesanti yang amat terkenal seperti Yogyakarta “Hamemayu Hayuning Bawana”. Pasemon adalah sebuah bentuk sindiran
halus rakyat kecil yang ditujukan kepada para petinggi seperti wedana, bupati, atau pada seorang raja pada masa kerajaan Demak Bintoro dan
Mataram Islam Jogja dan Solo. Sanepan juga merupakan bentuk sindiran dan umumnya berlaku di sesama atau di kalangan rakyat biasa.
Piwulang Kautamaan adalah sebuah bentuk pesan spiritual. Isbat adalah semacam gambaran kata yang berisi tentang gambaran kedalaman rasa
(baca Hariwijaya 2013).
5
Jika mengacu pada sumpah palapa bahwa wilayah kekuasaan Majapahit yang dikenal sebagai Nusantara meliputi Indonesia, Malaysia, Brunai
Darussalam, Manila Philipina, Tumasik Singapura, Vietnam, Kamboja dan sebuah Ayodya yang dapat mengacu pada wilayah kecil kuno di
wilayah India.
6
Nama Dongson mengacu pada nama wilayah yang terletak di wilayah Vietnam. Budaya Dongson sendiri adalah budaya pembuatan perunggu
seperti nekara, kapak, bejana dan alat-alat yang menyokong kehidupan masyarkat Dongson saat itu.
7
Hipotesis yang menyatakan bahwa budaya Dongson sebagai pusat budaya Nusantara bisa saja benar karena fakta lain yang mendukung seperti
adanya prasasti berbahasa Melayu tertua justru terdapat di sini tepatnya di wilayah Dong-yen chau di sebelah selatan teluk Tourane yang
berasal dari abad ke-4 M yaitu tiga abad lebih tua dari prasasti Melayu yang terdapat di Sumatera 683 M maupun prasasti-prasasti Melayu–
Jawa kuno yang terdapat di pulau Jawa. (Periksa Lombard 1981:286).
8
Penggunaan yang bersifat tumpang tindih antara Nusantara dan wilayah Melayu karena dalam kenyataannya memang semua wilayah Nusantara
tersebut berpenutur bahasa Melayu. Secara etimologis kata Melayu berasal dari proto Melayu Javanic yang bermakna gesit, pergi, rantau, lari
atau hijrah (baca, Saidi: 2003). Dengan demikian Melayu dapat dimaknai sebagai sebuah simbol yang bergerak, berdinamika dan ber-
organisme dan tidak berhenti pada satu ruang dan waktu. Melayu sejalan dengan namanya yang bersifat bergerak, berdinamika atau berhijrah
dari satu tempat ke tempat yang lain dari satu peradaban ke peradaban yang lain.

9
Istilah Austronesia secara etimologis berasal dari bahasa yunani austro ‘pulau’ dan nesos ‘selatan’. Istilah Austronesia umum digunakan dalam
kajian-kajian linguistik terutama lingustic historis comparatives/diakronis.
terdapat di wilayah selatan dengan India dan Cina di wilayah Utaranya. Dengan demikian bahwa
Austronesia yang dimaksud adalah Asia Tenggara yang sebagian besar merupakan penutur
bahasa Melayu.
Dalam kajian linguistik dikatakan bahwa bangsa yang berdiam di wilayah Austronesia
atau bangsa Austronesia adalah bangsa besar yang bergerak dinamis dan berdiaspora di berbagai
tempat di belahan dunia. Episentrum atau the homeland bangsa Austronesia adalah Asia
Tenggara. Kekuasaan bangsa Austronesia dalam kajian linguistik dikatakan melampaui batas-
batas Asia Tenggara seperti di Madagaskar, Okinawa di Jepang Selatan, Selandia Baru, Hawai di
Amerika dan Pulau Paskah Chile. Gugusan tanah bangsa Austronesia merata di wilayah Asia
Tenggara dan sebagian tercecer di benua Afrika dan Australia. Bahkan Belwood menyebut
bangsa Austronesia telah menempati separuh dunia (Belwood, 2000: 142).

2. Asal Bangsa Nusantara

Terkait dengan tanah asal bangsa Nusantara terdapat beberapa pandangan atau perspektif
dari berbagai kajian keilmuan. Beberapa pandangan tersebut berasal dari kajian linguistik,
antropologi, arkeologi dan genetika atau bahkan pandangan gabungan dari dua kajian keilmuan
seperti kajian antropolinguistik, genolinguistik, linguistik historis komparatif dll.
Dari perspektif linguistik dikatakan bahwa orang Nusantara / Austronesia atau Melayu
Polynesia berasal dari beberapa kemungkinan tempat seperti: Papua Timur Sebelah Barat Papua,
Formosa, Mentawai dan sekitarnya (Dyen dalam Soepomo: TT). Sementara Blust via Belwood
(2000) menyebut Melayu purba berasal dari Cina selatan dan Belwood (2000) menyebut Melayu
berasal dari Formosa (Taiwan). Penyebutan Formosa atau Taiwan seringkali menimbulkan
sebuah persepsi yang salah bahwa orang Melayu itu berasal dari Cina karena sejatinya wilayah
Formosa (Taiwan) yang kini menjadi wilayah Cina tersebut dulunya merupakan wilayah Melayu
yang kini dalam kekuasaan bangsa Cina.
Adanya anggapan yang salah terkait bangsa Nusantara berasal dari Cina semakin
menyuburkan klaim-klaim yang menyatakan bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari Cina.
Anggapan tersebut tentu menyesatkan karena dikaji dari aspek bahasa10 antara orang Nusantara

10
Tipe pembeda antara Melayu, Cina dan India dapat dibedakan pada aspek bahasa. Bahasa Melayu temasuk dalam tipe bahasa aglutinatif yaitu
tipe bahasa yang hubungan gramatikalnya dan struktur katanya dinyatakan dengan kombinasi unsur-unsur bahasa secara bebas. Dalam bahasa
aglutinasi pembentukan kata dibentuk melaui pengimbuhan, pemajemukan, pengulangan dll. Sementara bahasa Cina bertipe Isolatif/ Tone
language atau bahasa bernada pembeda dimna struktur kalimatnya dibentuk berdasarkan urutan kata sedangkan bentuk katanaya tidak
mengalami peberubahan secara morfologis akan tetapi perubahan karena adanya perbedaan nada itulah mengapa bahasa Cina disebut sebagai
bahasa tone language atau bahasa bernada. Sementara bahasa India memiliki tipe bahasa Fleksi yaitu tipe bahasa yang susunan gramatiknya
dengan orang Cina tidak memiliki kaitan apapapun selain hanya sebagai hubungan sosial
kemanusiaan.
Lebih lanjut terkait dengan wilayah asal bangsa Nusantara jika mengacu pada temuan
mutakhir yang cukup fenomenal sebagaimana yang diutarakan oleh Nothofer via Collins (2005)
menyebutkan bahwa bahasa atau penutur Melayu berasal dari Kalimantan Barat. Diperkirakan
bahwa Melayu purba tersebut telah berusia dua juta tahun. Penutur bahasa Melayu memiliki
ciri-ciri ekologis rawa-rawa, tanah basah, delta dan pantai. Dari ciri-ciri ekologis tersebut
dimungkinkan bangsa Melayu purba memiliki teknologi pelayaran yang dahsyat. Fakta-fakta ini
sejalan dengan asumsi Reid (2008) Hoogervorst (2013) yang menyiratkan pesan bahwa tidak ada
dunia pelayaran yang lebih dahsyat di Asia Tenggara kecuali bangsa Melayu Nusantara, bahkan
jika dibandingkan dengan teknologi perkapalan bangsa Cina dan India sekalipun. Jika kemudian
Belwood (2000) berpendapat bahwa Melayu berasal dari Taiwan dan Formosa itupun juga benar
karena Melayu yang terdapat di Formosa atau Taiwan pada awalnya memang orang-orang
Melayu yang sebelumnya hijrah dari tempat asalnya di Kalimatan Barat dan bergerak ke arah
utara menuju wilayah Formosa atau Taiwan sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Orang Melayu purba
yang terdapat di Kalimantan tersebut kemudian berpencar dengan pola perjalanan searah jarum
jam.
Kajian tentang tanah asal orang Nusantara juga disokong oleh penelitian arkeologis
William Meacham dan Willheim Solheim yang mempromosikan idenya bahwa leluhur orang-
orang Polinesia dan Indonesia masa kini dulunya tinggal di benua Asia Tenggara yang
tenggelam dan tidak berasal dari Cina (Oppenheimer 2010: xxii).

3. Hantu Laut dari Timur dan Keandalan Teknologi Navigasi Bangsa Nusantara

Dari sekian banyak catatan tentang Nusantara baik Lombard, Oppenheimer, Pires
maupun Reid menggambarkan secara gamblang bagaimana bangsa Nusantara baik pra-Masehi
maupun Pasca-Masehi telah menyentuh sebagian besar tanah Afrika, Amerika, dan benua
Oseania hal tersebut berdasarkan adanya temuan unsur kesamaan bahasa bertipe aglutinatif yang
terdapat di benua-benua tersebut. Tanpa keahlian navigasi yang baik dan tanpa didukung oleh
tehnologi pembuatan kapal sangat mustahil bangsa Nusantara akan mampu menjelajahi ribuan

dibentuk bukan dengan urutna katanya tapi dibentuk dengan infleksi. Bahasa yang bertipe fleksi struktur katanaya dibentuk oleh perubahan
katanya. Bahasa yang masuk dalam katagori fleksi selain India adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Dari aspek kebahasan saja jelas bahasa
Nusantara tidak mememiliki kaitan erat dengan Cina maupun India.
mil lautan dan melewati beberapa benua. Tidak salah jika kemudian Hoogervorst (2013)
membuat thesis bahwa ternyata tekhnologi perkapalan India mengadopsi dari pembuatan kapal
Nusantara.
Sebagai bangsa yang sebagian besar hidupnya dipertaruhkan di laut sehingga kemudian
bangsa Nusantara memiliki banyak suku yang menyandang sebutan sebagai orang atau suku laut.
Tercatat beberapa suku laut yang ada di Nusantara antara lain : Suku laut Moken di Thailand
Selatan, Myanmar, Malaysia, Suku Laut Dayak Iban di Kalimantan, Suku Laut Bajau di
Sulawesi, dan Suku Laut atau Orang selat di Riau Kalimantan dan masih banyak lagi. Penamaan
suku laut semacam ini sulit ditemukan di tempat manapun di dunia ini.
Dalam catatan para ahli sejarah dan berdasarkan naskah-naskah kuno terdapat beberapa
penyebutan yang ditujukan pada pelaut bangsa Nusantara antara lain: “ pengelana dari timur,
“hantu dari timur”, “pengembara laut”, “Dewa Ra dari timur ”, dan “setan dari timur” (periksa,
Oppenheiemer 2010, Reid 2008, Lombard 1981, Collins 2005, dan Pires 2015)
Ungkapan-ungkapan setan11 atau hantu dari timur pada konteks masa lalu bukan sebuah
bentuk penghinaan pada bangsa timur justru sebagai bentuk penghormatan tinggi. Sebutan hantu
itulah yang kemudian diabadikan secara cerdas oleh angkatan laut Tentara Nasional Indonesia
sebagai motornya yaitu “hantu laut”. Motto itu seakan menjadi sebuah bentuk reinkarnasi atau
lahirnya kembali orang Nusantara sebagai penguasa atau hantu laut dunia dari timur. Inilah
siklus kehidupan dunia bahwa anak laut akan kembali melahirkan anak laut dan anak agraris
akan melahirkan anak agraris dan anak gurun akan melahirkan anak gurun.
Lebih jauh membaca karya Lafont, Lombard, Robert Dick Reid, Stephen Oppenheimer,
Tom Hoogervorst pasti kita akan larut dalam keharu biruan karena ternyata bangsa Nusantara
pada masa lalu adalah sebuah entitas bangsa besar atau Maha Wangsa. Lafont mencatat bahwa
pada abad VIII Masehi pada masa pemerintahan Setyawarman di Vietnam dan Kamboja
mendapat serangan dari Jawa. Hal yang menarik dalam cacatan ini adalah bahwa invasi Jawa ke
wilayah Vietnam dan Kamboja ini merupakan perang internal dalam satu dinasti “Warman”.

11
Istilah setan maupun hantu dalam sejarahnya bukan merupakan bentuk penghinaan justru kata itu bersinonim
dengan ksatria, raja, penguasa namun pada masa kolonialisme barat terhadap timur menempatkan kata hantu dan
setan sebagai makna yang negatif karenan kolonialisme berupaya menghancurkan simbol-simbol kelautan bangsa
Nusantara agar dunia perdagangan mereka di laut aman oleh penguasa laut yang tidak lain adalah bangsa pribumi
Nusantara.
Harus dipahami bersama bahwa Jawa dan Vietnam12 kemudian kamboja berasal dari dinasti yang
sama yaitu dinasti “Warman”. Dinasti “Warman di Jawa menganggap bahwa merekalah yang
berhak menjadi junjungan dari semua dinasti ‘Warman” di Nusantara. Diceritakan bahwa ribuan
pasukan Jawa menggunakan kapal laut dilengkapi dengan peralatan navigasi yang canggih
menuju ke arah utara untuk menyerang Vietnam dan Kamboja. Setelah sampai di wilayah
Indochina tersebut pasukan Jawa secara membabi buta menyerang kuil-kuil hindu yang berada di
sekitarnya. Tidak ada alasan yang pasti mengapa balatentara Jawa tersebut menyerang kuil
tersebut.
Serangan balatentara Jawa ke wilayah Vietnam dan Kamboja dalam cacatan tersebut
digambarkan secara sarkastik13 oleh saudara serumpun bangsa Campa sebagai tindakan brutal,
kejam dan menjijikan. Hal ini dimungkinkan karena invasi orang Jawa telah berulang kali terjadi
di tanah Campa, sehingga amarah orang Campa memuncak pada orang-orang Jawa (baca Coedes
1981: 42).
Invasi Jawa pada periode berikutnya pada masa pemerintahan Indrawarman pada tahun
787. Dalam invasi itu orang-orang Jawa merusak candi Bhadradihipaticvara yang terletak di
sebelah barat ibukota Virapura, di dekat Phanrang sekarang kemudian Campa meminta bantuan
Cina untuk menghalau serangan Jawa tersebut. Invasi besar Jawa terhadap wilayah-wilayah
Indochina diperkirakan telah meruntuhkan kerajaan Tchen-la sehingga wajarlah kemudian jika
Jajawarman II waktu mendirikan Angkorwat pada tahun 802 dengan geram bersumpah “negeri
orang Kambuja tidak lagi takluk pada Jawa” (Lombard, 1981:287).
Keberanian orang Nusantara ternyata tidak hanya terjadi pada masa kerajaan-kerajaan
kuno pada abad-abad kolonialisme awal juga begitu disegani dan ditakuti oleh bangsa-bangsa
lain. Teringat sebuah kabar tentang raja Banten bernama Kiyai Senopati pada tahun 1619 pernah
mengirim surat kepada Raja Inggris James I dan Gubernur Hindia di tanah jajahan Belanda J.P
Coen. Dalam suratnya kepada raja Inggris dan petinggi Belanda tersebut Kiyai Senopati tanpa
kata pemanis sedikitpun dengan tegas menolak upaya pemerintah Belanda dan Inggris yang
12
Sebagai bentuk satu kesatuan antara Jawa dan Vietnam sehingga istilah Jawa pada masa lalu sering tumpang tindih penggunaannya dengan
nama Vietnam seperti penggunaan kata Yavana (bangsa Vietnam) dan Yavadwipapura (negeri orang Jawa)
13
Gambaran buruk orang Campa yang tertulis pada prasasti berbahasa Sanskerta dari Po Nagar di Na-thrang terhadap orang Jawa berbunyi: “
Orang-orang yang lahir di negeri lain. Orang-orang yang hidup dari makanan yang lebih menjijikkan dari bangkai, orang-orang yang
menakutkan, sama sekali hitam lagi kurus, mengerikan lagi jahat seperti maut, yang datangnya naik kapal” menghancurkan candi Po Nagar yang
pertama, yang pembuatannya pelaksanaan raja Vichitrasagara. Mereka dikejar dengan kapal-kapal yang baik dan dikalahkan di laut”. Pandangan
orang Vietnam terhadap orang Jawa memiliki kesamaan dengan catatan Oppenheimer yang mengutip buku Book of The Dead dengan setting
3000 SM yang dalam catatan tersebut menyebut kata timur 16 kali. Timur diuraikan sebagai tempat penjagal di seberang lautan yang dari mana
jiwa kita harus dilindungi. Dalam catatan itu juga disebutkan “daerah kekuasaan Manu di seberang air…di mana Ra kembali”. Dalam mitologi
Hindu Manu adalah leluhur umat manusia, sosok reinkarnasinya adalah “Manu sang nelayan”. Manu dalam tradisi India disebut sebagai Nuh.
berencana membangun sebuah benteng di Jayakarta/Jakarta. Begitu tegasnya isi dari surat
tersebut sehingga para ahli bahasa barat menyebut surat tersebut sebagai “Surat Berbisa dari
Timur”.

4. Persebaran Budaya Nusantara di Afrika, Benua, Australia, Amerika, Arab, Vietnam


dan Cina

Dalam cacatan Reid (2008), Oppenheimer (2010) yang diulas dari sumber data yang
berlimpah sepakat menyebutkan bagaimana kapal-kapal bercadik orang-orang Nusantara dengan
ilmu navigasi14 yang canggih dan didukung oleh tubuh yang kuat dengan perawakan langsing
berisi dengan tatapan mata tajam, mereka orang-orang Nusantara tegar melawan badai dan
ombak besar berlayar mengarungi ribuan mil samudera sehingga sampai menyentuh dan menjadi
pemberi pengaruh primer dalam kebudayaan afrika yang dapat dilihat pada masa kini. Reid
menyebutkan bahwa persebaran budaya tangible Nusantara terlihat dari penggunaan bahasa
bantu yang telah mencapai wilayah afrika Timur, Tengah, dan Selatan seperti di Kamerun,
Mozambik, Uganda, Sudan Selatan, Somalia, Burundi, Kongo, Angola, Tanzania, Oman,
Republik Afrika Tengah dan Afrika Selatan. Walaupun antara Reid dan Oppenheimer tidak
bersintesis dalam penelitiannya terkait dengan bahasa Bantu tersebut namun keduanya
menyepakati bahwa bahasa bantu memiliki tipe bahasa aglutinatif sebagaimana bahasa-bahasa
Nusantara, dimana bahasa tersebut berdiaspora secara masif sejak ribuan tahun yang lalu di Horn
of Afrika.
Pengaruh bahasa oleh Oppenheimer kemudian ditegaskan kembali dengan adanya
pengelompokan dan penentuan status bahasa-bahasa yang tersebar di wilayah Pulau Paskah,
Taiwan, Hawai, dan Selandia Baru merupakan rumpun keluarga dengan bahasa-bahasa di Asia
Tenggara. Para penutur bahasa Austronesia itu menyebar dengan menyeberangi pasifik,
Samudera Hindia sebelum agama Budha dan Hindu dilahirkan.
Selain budaya-budaya Nusantara yang bersifat tangible masuk dalam relung-relung
kebudayaan inti dalam masyarakat Afrika di wilayah tersebut juga dikuatkan dengan temuan

14
Keahlian navigasi bangsa Asia Tenggara canggih karena hal itu menjadi modal dasar untuk menjadi raja samudera ketika bermigrasi ke pulau-
pulau. Konsep kerajaan, sihir, agama, dan astronomi adalah ciri khas yang dimiliki oleh orang-orang Austronesia yang dikenal umum sebagai
bangsa maritim.
budaya intangible berupa temuan-temuan bersifat materi seperti phallus atau lingga yaitu alat
bentuk kemaluan manusia yang merupakan simbol asal-asul manusia. Phallus di kalangan
bangsa Nusantara adalah barang keramat yang dimuliakan karena merupakan representasi dari
tuhan. Kebudayaan Phallus di Afrika dan sebagian di wilayah Arab tersebar bersamaan dengan
persebaran bangsa Nusantara di Madagaskar. Beberapa phallus ditemukan di beberapa daerah di
Afrika seperti di Madagaskar sendiri, Kenya, Zimbabwe dan Ethiopia.
Masih dalam cacatan Reid (2008) dikatakan bahwa jejak peradaban bangsa Nusantara di
Afrika tidak hanya jejak bahasa, dan jejak budaya materi akan tetapi jejak seni berupa alat musik
juga dapat ditemui sampai saat ini di benua hitam tersebut. Adalah musik Xilofon yang banyak
ditemui dan tersebar hampir merata di wilayah Afrika seperti di Mozambik, Uganda, Kongo,
Gambia dan Afrika selatan sehingga Jaap Kunst seorang etnomusikolog sekaligus kurator
Museum Nasional di Jakarta pada tahun 1935 menyatakan “ alat musik xilofon itu berasal dari
Jawa, lalu masuk ke benua Afrika” sebagaimana yang dikutip Reid (2008). Semua fakta-fakta
tentang alat musik Xilofon ini terpampang pada dinding candi Borobudur. Pernyataan alat
Xilofon sebagai alat musik asli Jawa kuno juga didukung oleh Ferninandus (2003) yang khusus
membahasa alat musik Jawa kuno walaupun dalam uraiannya tersebut kurang mendalam dan
hanya bersifat deskriptif .
Sebagaimana yang telah uraikan sebelumnya bahwa Jawa memiliki peran penting dalam
mewarnai budaya-budaya yang terdapat di wilayah Indochina. Dalam cacatan Lombard
dikatakan bahwa pada abad ke-8 terdapat sejumlah kesamaan dibidang ikonografi, seni, arca, dan
gaya bangunan di Vietnam sebagai pengaruh dari Jawa. Seperti model pemujaan anumerta
seorang raja, dan beberapa unsur gaya Preah ko yang meniru gaya Jawa, demikian halnya
bangunan-bangunan baru di ibukota Indrapura yang dibangun oleh Raja Indrawarman II (875)
juga memiliki aroma Jawa (Lombard 1981: 287).
Dalam perspektif linguistik orang Melayu Nusantara jauh sebelum masehi telah eksis
sebagai sebuah bangsa. Beberapa catatan penting eksistensi bangsa Melayu Nusantara di Asia
Tenggara dan dunia dapat dilihat pada aspek filologis linguistis yaitu adanya unsur bahasa
Melayu pada naskah Al-Qur’an yang ada sejak abad ke- 6 M tersebut. Terdapat penyebutan kata
kaafuura dalam Al-Qur’an surah Al-Insan ayat 5 “innal abrara yasrabuna min ka’sin kaana
mizajuha kaafuura” (sesungguhnya orang-orang baik akan minum dari bejana/piala yang
campurannya adalah kapur/kamfer) (Hamka, 1971). Fakta linguistik ini jelas memberikan
gambaran pada kita bahwa kata kaafuura yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut merupakan
kata serapan dari bahasa Melayu. Indikasi ini jelas karena kapur Barus dalam sejarahnya
memang hanya di temukan di wilayah Nusantara Indonesia tepatnya Barus, Wilayah Kabupaten
Tapanuli Tengah Sumatera Utara. Pada masa lalu merupakan sebuah imperium besar yang telah
dikenal sejak abad 1 sampai 17. Nama lain dari Barus adalah Fanshur sebuah sebutan yang
digunakan oleh para pedagang Parsi dan Arab sehingga Hamzah yang berasal dari Barus
menamakan dirinya sebagai Hamzah Al-Fanshuri yang artinya Hamzah berasal dari
Barus/Fanshuri.
Pengelana Arab dan Parsi secara jelas juga menyebutkan bahwa pada masa sebelum
Majapahit perdagangan antara Nusantara dengan dunia luar telah berlangsung lama. Para
pengelana seperti Ibn Al Wardi (1340) Ibn Batutah (1345) Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh
(903), dan Al Biruni (1030) secara gamblang menyebutkan wilayah-wilayah Nusantara yang
pernah mereka singgahi seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Penyebutan Jawa
atau zabag dalam hal ini adalah merupakan wilayah yang memiliki bandar-bandar besar seperti
Tuban, Sedayu, dan Gresik yang merupakan bandar dalam kuasa Majapahit (Kroom,1931 dan
Graaf. 1949).
Bukti eksistensi Nusantara yang lain yang lebih muda usianya berupa temuan leksikon-
leksikon Melayu yang dikumpulkan oleh Yang Lin sebagaimana yang terlihat pada daftar kata
berikut:
Kosakata Melayu dalam Inventarisir Yang Lin Era Dinasti Ming
Bahasa Cina Bahasa Melayu Nusantara Modern
chia pu erh kapur
ta ma erh damar
yin tan intan
cheng tan jintan
Melihat beberapa fakta linguistik di atas jelas bahwa terdapat kontak intensif budaya dan
bahasa antara bangsa Melayu dengan Cina yang nampak pada pengaruh bahasa Melayu pada
bahasa Cina. Anggapan umum bahwa masyarakat Nusantara dalam berbagai aspek banyak
dipengaruhi oleh budaya Cina jelas tidak benar karena orang Nusantarapun juga banyak
memberikan pengaruh yang besar bagi orang-orang Cina. Dengan demikian tanggalkan
anggapan bahwa Nusantara pada masa lalu dalam subordinasi Cina.
4. Meruntuhkan Teori Klasik Cinaisasi dan Indianisasi

Selama ini para ahli telah lalai beranggapan bahwa budaya Asia Tenggara hanyalah
cabang sekunder dari peradaban Asia daratan di Cina dan India. Pandangan yang cenderung
meremehkan data-data kuno itu tentu secara tidak langsung telah menghilangkan khazanah
kesejarahan suatu bangsa besar yang selama ini ditenggelamkan oleh feodalisme akademik.
Asumsi-asumsi tentang peradaban awal dunia seringkali mengacuhkan Asia Tenggara.
Sejarah Asia biasanya melompati periode prasejarah dalam beberapa baris dan paragrap dan
sehingga hanya berkonsentrasi pada pada budaya-budaya seperti Cina dan India yang hanya
berkisar 2000 tahun terakhir tanpa menggali pertanyaan-pertanyaan besar peradaban yang
sebelumnya yang diklaim sebagai prasejarah, prehistoris yang memiliki makna penghinaan
terhadap budaya sebelumnya. Kegagalan dalam memahami data yang rumit tersebut kemudian
dengan mudah diklasifikasikan sebagai prasejarah untuk menghindari dari keruwetan objek yang
diteliti. Sampai kemudian baru tercetus hipotesis tentang budaya Dong-Son atau Zaman
Perunggu yang terpusat di Dong Son Vietnam.
Begitu banyak klaim sejarah, arkeologis, budaya dan bahasa yang dimunculkan berbagai
pihak terutama orang-orang Cina dan India konservatif di Indonesia. Beberapa klaim identitas
Nusantara mulai dari hal yang kecil sampai kepada pengklaiman yang sangat fundamental yang
dapat menghancurkan nilai fundamental seperti genetis, ideologi, budaya, sejarah dll. Klaim-
klaim tersebut bahkan lebih ironi menjangkiti orang-orang akademik pribumi Indonesia yang
seharusnya lebih ketat dalam menganalisis sebuah data yang berasal dari luar.
Pada tahun 1971 heboh kontroversi buku karangan Slamet Mulyana yang diduga
didukung oleh tokoh-tokoh Cina totok yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu di Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”. Dalam bukunya tersebut Mulyana menyatakan
bahwa sebagian besar Wali Songo itu adalah keturunan Cina. Sontak pernyataan ini mendapat
reaksi keras di masyarakat, hingga pemerintah melalui Keputusan Jaksa Agung melakukan
pelarangan peredaran atas buku tersebut dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep.
043/DA/1971/. (Budiman 1979 : 16).
Dalam pandangan akademik bahwa apa yang ditulis oleh Slamet Mulyana tersebut
sebagai sebuah “kecelakaan akademik” karena tidak bersandarkan data sahih dan justru
berdasarkan pada data tersier yang sangat ditabukan dalam penulisan karya ilmiah. Keterangan
ketidaksahihan tersebut justru diperoleh dari Slamet Mulyana sendiri setelah dicecar oleh
beberapa sejarawan yang tidak terima dengan kesimpulan “ngawur’ tersebut. Slamet Mulyana
mengatakan bahwa ia menulis berdasarkan pernyataan dari Mangaraja Onggang Parlindungan15.
Sementara Mangaraja Onggang Parlindungan sendiri mengaku mendapatkan datanya dari
Resident Poortman16. Menurut sumber yang tidak jelas itu dikaitkan bahwa pernyataan itu
berasal dari sebuah buku yang tersimpan di Klenteng Sampo Khong Semarang. Berdasarkan
pernyataan itu banyak sejarawan yang kemudian melacak tempat yang dimaksud dan di sana
tidak diketemukan apa-apa. Padahal data primer yang digunakan oleh Slamet Mulyana tersebut
merupakan basis asumsi yang digunakannya dalam mengembangkan tulisan tersebut. Anehnya
Slamet Mulyana juga tidak pernah melihat buku aslinya tersebut.
Asumsi Slamet Mulyana ini juga memancing penasaran sejarawan luar yang telah lama
berkecimpung pada sejarah Nusantara yaitu Dannys Lombard untuk melacak kesahihan data
tersebut sehingga iapun pergi ke perpustakaan Belanda bahkan datang khsusus ke gedung di
mana dokumen-dokumen Poortman disimpan, tapi ia tidak menemukan apa yang dicarinya alias
nihil, sehingga iapun berkesimpulan bahwa asumsi Slamet Mulyana tidak layak dipercaya secara
akademik. Demikian halnya sejarawan Sartono Kartodirdjo sangat menyangsikan sumber data
yang dikatakan oleh Salmet Mulyana tersebut. Dalam pelacakannya di Klenteng Sampo Kong
Semarang Sartono Kartodirdjo mengatakan, bahwa ia samasekali tidak menemukan ruang atau
tempat yang layak sebagai tempat buku di Klenteng Sampo Kong sehingga ia berkesimpulan
bahwa asumsi Slamet Mulyana tersebut sangat lemah alias “althans” .
Klaim-klaim orang Cina atas berbagai aspek identitas Nusantara sampai saat ini masih
tetap bergulir ditambah dengan dukungan dari media TV yang tidak mau tahu atas kesahihan
data yang diacu. Bahkan orang-orang seperti Remy Silado secara “latah” mengasumsikan
beberapa kosa-kata bahasa Sunda dan Betawi menyerap dari bahasa Cina. Ia menyebutkan
bahwa kata guwa, guwe pada bahasa Betawi sebagai kata serapan dari bahasa Cina uwe “saya’.

15
Mangaraja Onggang Parlindungan pengarang buku Tuanku Rao adalah seorang pribumi Batak yang sangat dekat dengan penjajah Belanda.
Dalam bukunya Tuanku Rao yang sekarang diterbitkan kembali oleh LKiS Yogyakarta tersebut jelas sekali bahwa Mangaraja Onggang
Parlindungan memandang Rao itu sebagai Imam Bonjol yang digambarkannya sebagai orang yang kejam. Dengan melihat sosok Mangaraja
Onggang Parlindungan tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa asumsi yang dibangun soal Wali tersebut sebagai usaha untuk
menghancurkan kebanggaan pribumi Islam Indonesia terhadap sosok Wali Songo.
16
Poortman adalah seorang Residen pada tahun 1928. Menjabat sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken van het Binnendlandsche Bestuur
(Pejabat Penasehat untuk Masalah Pribumi Departemen Pemerintahan Dalam Negeri).
Syilado tidak sadar bahwa Betawi itu bertipe bahasa aglutinatif yang sama sekali tidak memiliki
pertalian kebahasaan dengan bahasa Cina yang bertipe isolatif yaitu bahasa bernada pembeda
atau tone language
Untuk menggugurkan asumsi Syilado tersebut sangat mudah karena kata guwa dan guwe
dalam bahasa Betawi secara linguistik merupakan kata hasil morfologi dari kata awak ‘atau
uwak (panggilan sopan utk orang yang lebih tua) yang kata itu dapat dengan mudah ditemukan
di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi dan bukan dari kata “uwe” yang konon dari bahasa
Cina yang secara kebahasaan tidak memiliki pertalian rumpun kebahasaan dengan bahasa
tersebut.
Klaim terhadap wilayah tanah asal atau the home land/ the place of origin di kalangan
para ilmuwan sampai saat ini terus menerus berdinamika sejalan dengan dinamika social itu
sendiri. Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Sangkot Marzuki17 salah seorang ahli
genetika Indonesia tentang peta genetik manusia di Asia menelurkan kesimpulan yang berbeda
dari teori yang diyakini para ilmuwan selama ini yaitu teori “Out of Taiwan”. Dalam temuan
terbarunya tersebut terlihat adanya jalur migrasi bangsa Austronesia yang berbeda dari
sebelumnya yaitu hanya ada satu jalur migrasi tunggal ke Asia.
Lebih lanjut Sangkot mengatakan bahwa berdasarkan analisis deoxyribonucleic acid
(DNA) Asia Tenggara merupakan pusat penyebaran bangsa dengan penutur bahasa Austronesia
diAsia.” Temuan ini sekaligus menggugurkan teori sebelumnya yaitu “Out of Taiwan” yang
menyatakan jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan
jalur selatan. Sementara menurut Sangkot, Keanekaragaman genetik yang makin ke selatan
semakin tinggi, sedangkan etnik-etnik di kawasan utara Asia lebih homogen.
Sangkot hanya memperkirakan pusat peradaban terletak di Laut Cina Selatan (Sundaland) yang
sudah tenggelam sekitar 12 ribu hingga 8.000 tahun lalu.
Klaim-klaim lainnya terkait dengan pernyataan bahwa asal beras di wilayah Nusantara
pada masa lalu merupakan hasil persebaran tumbuhan yang dibawa dari Cina. Pernyataan itu
akhir-akhir ini terbantahkan oleh temuan mutakhir Oppenheimer (2010) yang fenomenal dalam
bukunya Eden in The East yang menemukan bahwa pembudidayaan ketela rambat liar dan talas

17
Adalah seorang Direktur Lembaga Biomolekul Eijkman Indonesia. Lembaga ini dibangun pada masa kolonial tepatnya pada tahun 1888 di
Salemba. Dalam kepemimpinan Sangkot lembaga tersebut kembali menjadi lembaga yang berwibawa dan berprestise karena banyaknya temuan-
temuan spektakuler salahsatu diantaranya Sangkot mampu membangun sebuah penelitian kolaboratif antar ilmuwan negara
Asia yang tergabung dalam Konsorsium Pan Asia Single Nucleotide Polymorphism, dalam naungan Human Genome Organization (Hugo)
menghasilkan temuan yang secara otamatis menggugurkan “Teori of Taiwan” yang selama ini menjadi teori yang tak terbantahkan selama ini.
telah ditemukan di Indonesia berpenanggalan 15.000 dan 10.000 SM. Lebih jauh lagi
pembudidayaan beras telah dipraktekkan pada 6000-7000 SM di semenanjung Thailand jauh
lebih awal dari fakta-fakta arkeologis beras yang ditemukan di wilayah Cina. Temuan-temuan
tersebut berdasarkan tes karbon tanpa cela pada temuan sekam beras dari periuk berpenanggalan
zaman perunggu pada awal milenium kedua SM di Ban Chiang Thailand Selatan dan di Phung
Nguyen di Vietnam Utara (Oppenheimer 2010;xxxi). Jika melihat fakta-fakta mutakhir di atas
bahwa bangsa Melayu Nusantara telah mengkonsumsi beras sejak 9000 tahun yang lalu,
sementara bangsa Cina pada masa itu masih mengkonsumsi talas dan umbi-umbian dan baru
mengkonsumsi beras 3000 tahun kemudian. 2000 tahun kemudian disusul oleh bangsa India.
Terdapat sebuah pertanyaan besar para ahli sejarah, jika Asia Tenggara telah lebih dahulu
mengkonsumsi ketela dan beras asumsi kemudian siapa yang mengajari orang Nusantara tentang
tekhnologi pertanian dan tekhnologi metalurgi sebagai pendukung pertanian sementara
peradaban pertanian India masih di bawah Nusantara. Dalam cacatan Oppenheimer bahwa
peradaban Asia Tenggara dalam periode yang bersamaan memiliki keahlian yang sama dengan
peradaban Sumeria18, Mesir, dan Lembah Indus bahkan menurutnya bisa lebih awal.
Klaim lainnya juga terkait dengan budaya pembuatan kapal di Nusantara yang selama ini
diasumsikan beberapa sejarawan amatiran diduga dipengaruhi oleh bangsa India. Asumsi ini
telah terbantahkan oleh Tom Hoogervosrt (2013) seorang pakar sejarah bidang arkeologi
kelautan di University Oxford Inggris dan Leiden University Belanda dengan judul penelitiannya
“Southeast Asia in the ancient Indian ocean world combining historical linguistic and
archaeological approaches”. Penelitian antardisiplin antara arkeologi dan linguistik ini
menyimpulkan bahwa tekhnologi kapal di India mengadopsi dari teknologi bangsa Nusantara.
Fakta-kata tersebut berdasarkan atas ditemukannya banyak leksikon atau kosakata Nusantara
yang diserap dalam tatacara tekhnologi pembuatan kapal yang terdapat di India. Asumsi ini tentu
meruntuhkan anggapan kita selama ini yang menganggap bahwa kapal-kapal Nusantara pada
masa lalu sebagai hasil dari alih teknologi dari India. Bahkan kapal bercadik yang terdapat di
relief candi Borobudur secara gegabah dianggap sebagian ahli sejarah sebagai kapal Nusantara
hasil adopsi dari tekhnologi India. Anggapan ini tentu merupakan sebuah ironi bagi bangsa

18
Secara linguistik, Sumeria adalah orang-orang yang aneh di daerah tersebut. Mereka menuturkan bahasa yang disebut aglutinasi yang tidak
terhubung dengan bahasa-bahasa para tetangga mereka yang berumpun Indo-Eropa atau Semitik. Bahasa Aglutinatif lain yang digunakan di
daerah tersebut, Elamite juga sebatang kara. Sebagian besar ahli setuju bahwa orang-orang Sumeria datang dari suatu tempat di Timur, dan juga
telah menguasai pelayaran tapi lokasi tepat dari timur tersebut masih berupa dugaan (Oppenheimer 2010;xxxviii)
Melayu Nusantara sendiri yang menunjukkan bahwa kita telah kehilangan kepercayaan diri
sebagai sebuah bangsa besar yang tentu berdampak berat terhadap pembangunan jati diri bangsa
sebagai Melayu Nusantara Mahawangsa!

Daftar Pustaka
Belwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia: Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Tanjung Sari: Semarang
Coedes. 1981. “Sejarah Campa, dari Awal Sampai Tahun 1471”: dalam Kerajaan Campa.
KITLV: Jakarta.
Ferdinandus, Pieter Eduard Johannes, 2003. Alat Musik Jawa Kuno. Yayasan Mahardika:
Yogyakarta.
Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. KITLV: Jakarta.
Graaf, H.J. De. T.T. Geschiedenis Van Indonesie. N.V. Uitgeverij W. Van Hoeve-Gravenhage:
Bandung.
Hamka.1971. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao .Bulan Bintang: Jakarta.
Hariwijaya, M. 2013. Semiotika Jawa. Paradigma: Yogyakarta.
Hoogervosrt, Tom. 2013. “Southeast Asia in the ancient Indian ocean world combining
historical linguistic and archaeological approaches”. Archaeopress: Oxford
Kroom.N.J.1931. Hindoe – Javaansche Geschiedenis.Martinus Nijhoff: Leiden.
Lombard. D. 1981. “Campa Dipandang dari Selatan”: dalam Kerajaan Campa. KITLV: Jakarta.
Mulyana,Slamet.1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Nothofer, Bernd.1975. The Reconstruction of Proto-Malayo-Javanic. Verhandelingen van het
KITLV 73’s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Oppenheimer. Stephen. 2010. Eden In The East: Benua yang Hilang di Asia Tenggara. Ufuk
Press. Yogyakarta
Poedjosoedarmo, Soepomo. TT. Keluarga Besar Bahasa Austronesia. Yogyakarta: Handout.
Pires, Tome. 2015. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco
Rodrigues. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Reid, Robert Dick .2008.Penjelajah Bahari :Bukti-Bukti Mutakhir tentang Penjelajahan Pelaut
Indonesia Abad ke-5. Bandung: Penerbit
Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik : Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama. Larasan :
Yogyakarta
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai