Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan alam yang bermanfaat baik sumber daya hayati

maupun non hayati, salah satunya adalah minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan salah

satu produk yang dibutuhkan oleh industri kosmetik, obat-obatan, makanan, dan

minuman. Minyak atsiri juga digunakan sebagai aroma terapi (Nurdjadannah, 2004).

Beberapa tanaman penghasil minyak atsiri adalah nilam, akar wangi, sereh wangi, kayu

putih, pala, jahe, kenanga, cendana, masoi, kayu manis, adas, melati, dan cengkeh.

Minyak atsiri biasanya terdiri dari senyawa organik dengan gugus alkohol, aldehid, dan

keton yang berantai pendek (Guenther, 1987).

Salah satu minyak atsiri khas Maluku adalah minyak cengkeh. Cengkeh dapat

digunakan sebagai bumbu masak, bahan dupa aromaterapi, mengobati sakit gigi,

peptisida nabati, dan pengendali penyakit busuk batang fusarium (Sudarmo, 2005).

Minyak gagang cengkeh diperoleh dengan cara destilasi uap dari gagang, buah, bunga,

daun, dan biji cengkeh. Minyak gagang cengkeh mengandung eugenol dan flavanoid

(Guenther, 1950).

Salah satu potensi alam yang ada di laut adalah ikan. Umumnya ikan dan produk

perikanan merupakan bahan pangan yang mudah rusak karena mengandung protein dan

air yang cukup tinggi (Winarni dkk., 2003). Upaya mempertahankan tingkat kesegaran

ikan merupakan hal yang sangat penting. Ikan merupakan kelompok bahan pangan yang

sangat mudah mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu ikan yang cepat

berlangsung setelah ikan mati disebabkan karena beberapa faktor antara lain terjadinya

proses enzimatis, atau adanya mikroorganisme pembusuk yang berkembang pada bagian

1
tubuh ikan. Perubahan biokimia dan mikroba pascapanen dalam jaringan ikan sangat

tergantung secara signifikan pada faktor-faktor yang mengontrol konsentrasi substrat dan

metabolit yang berhubungan dengan kontaminasi mikroba dan kondisi setelah

penangkapan (Duran dkk., 2008). Penanganan ikan segar yang baik perlu dilakukan untuk

mempertahankan tingkat kesegaran ikan serta memperpanjang umur simpannya.

Peran utama kemasan dalam industri makanan adalah mengawetkan dan

melindungi produk dari kontaminasi eksternal, termasuk keamanan makanan, memelihara

kualitas, dan meningkatkan masa simpan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen untuk

makanan yang lebih aman, banyak penelitian saat ini berfokus pada menggunakan bahan-

bahan alami untuk meningkatkan kualitas makanan dan umur simpan untuk menghindari

penggunaan pengawet sintesis (Sathivel, 2005). Edible film dan coating serta bahan

biodegradable menawarkan sistem kemasan alternatif yang dapat mengurangi atau

mengganti beberapa bahan kemasan sintesis (Regalado dkk., 2006).

Edible film dan coating secara umum didefenisikan sebagai lapisan tipis bahan

yang dapat dimakan, terbentuk pada makanan sebagai pelapis atau ditempatkan pada atau

di antara komponen makanan. Edible film dapat diterapkan dengan cara pencelupan,

penyemprotan, dan penuangan (Regalado dkk., 2006). Edible film dan coating

dimaksudkan untuk membantu menjaga kualitas dan umur simpan produk makanan

dengan mengendalikan transfer kelembaban, oksigen, karbondioksida, lipid, aroma, rasa,

dan makanan tambahan (Sothornvit dan Krochta, 2005).

Kitosan merupakan polimer alam kedua yang paling berlimpah di alam setelah

selulosa (Shahidi dkk., 1999), sifatnya yang tidak beracun, antibakteri, antioksidan,

pembentuk film, biokompatibilitas, dan biodegradabilitas, kitosan telah menarik

perhatian sebagai bahan tambahan alami. Selain itu, kitosan juga memiliki potensi yang

diterapkan untuk kemasan makanan, terutama dalam edible film dan coating (Casariego

2
dkk., 2008). Renur (2014) mengaplikasi edible coating berbahan kitosan dan ekstrak

lemon cina (Citrus mitis) pada fillet ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan

konsentrasi kitosan (1, 2, 3, dan 4%) menghasilkan daya antibakteri tertinggi pada

konsentrasi 1% berdasarkan nilai TPC. Sementara lemon cina sebagai edible coating

menunjukkan dengan peningkatan konsentrasi, daya antibakteri semakin meningkat.

Nilai TPC terendah dicapai pada penambahan konsentrasi ekstrak lemon cina 40%.

Pemberian bahan aditif dalam kemasan telah dilakukan, namun penggunaan

minyak cengkeh sebagai bahan aditif untuk matriks edible perlu diteliti, sehingga penulis

tertarik melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Minyak Cengkeh dalam

Pembuatan Edible Coating dan Film pada Fillet Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis).

Dalam penelitian ini akan dilakukan variasi konsentrasi minyak cengkeh.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh TPC pada larutan edible coating dan edible film yang

menggunakan dan tidak menggunakan minyak cengkeh?

2. Berapa konsentrasi minyak cengkeh yang terbaik pada pembuatan edible coating dan

edible film pada fillet ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)?

3. Bagaimana perbandingan nilai TPC yang terbaik antara edible coating dan edible film?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh TPC pada larutan edible coating dan edible film yang

menggunakan dan tidak menggunakan minyak cengkeh.

3
2. Menentukkan konsentrasi minyak cengkeh yang terbaik pada pembuatan edible

coating dan edible film pada fillet ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

3. Mengetahui perbandingan nilai TPC yang terbaik antara edible coating dan edible

film?

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif baru dalam pemanfaatan

minyak cengkeh yang terbaik pada edible coating dan film yang diaplikasikan pada fillet

ikan cakalang.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Menurut Matsumoto dkk., (1984), klasifikasi ikan cakalang adalah sebagai

berikut :

Filum : Vetebrata

Sub filum : Craniata

Series : Pisces

Kelas : Teleostomi

Sub kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Sub ordo : Scombroidei

Famili : Scombridae

Sub Famili : Scrombrinae

Tribe : Thunnini

Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis L.

Ikan cakalang adalah ikan pelagis yang merupakan perenang cepat dan

mempunyai sifat rakus. Ikan cakalang atau skipjacktuna (Katsuwonus pelamis) dapat

mencapai panjang 1m dengan berat 25 kg. Ikan ini juga terdapat di tiga samudera dunia

tetapi menghendaki kondisi tertentu. Faktor pembatasannya yang penting ialah suhu dan

salinitas. Ikan cakalang lebih banyak hidup di perairan lapisan permukaan dengan

suhu16–30 °C dan salinitas 32–36%. Penangkapan cakalang banyak di perairan sekitar

Bitung, Ambon, Ternate, Sorong, dan Waigeo (Nontji, 2007). Bentuk ikan cakalang

5
ditunjukkan pada Gambar 1 (Matsumoto dkk., 1984)

Gambar1. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Daerah penyebar ikan cakalang adalah pada perairan tropis dan subtropis. Ciri-

ciri morfologi cakalang, yaitu tubuh berbentuk fusifrom, memanjang, dan agak bulat,

tipis insang (gillrakes) berjumlah 53–63 pada helai pertama, mempunyai dua sirip

punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14–16 jari-jari

keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7–9 finlet. Sirip dada

pendek, terhadap dua flop di antara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet.

Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-

titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) di sisi bawah dan perut

keperakan, dengan 4–6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian

samping badan (Matsumoto dkk., 1984).

II.2 Penurunan Mutu Ikan Segar

Dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan sebagai

bahan baku sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses pengolahannya tidak akan

menghasilkan produk yang baik. Segera setelah ditangkap, ikan dengan cepat akan

mengalami penurunan mutu bila disimpan pada suhu ruang. Pada suhu dingin sekalipun,

mutu ikan akan mengalami penurunan, kecepatannya lebih lambat dari penurunan mutu

ikan yang disimpan pada suhu ruang. Penurunan mutu ikan ditunjukkan oleh banyak

parameter, yaitu parameter-parameter kimia, mikrobiologis, dan organoleptik. Parameter


6
kimia ikan antara lain adalah pH dan nilai Total Volatile Base (TVB). Parameter

mikrobiologis adalah TPC. Parameter organoleptika adalah warna, kekenyalan, dan bau.

(Pratiwi, 2012). Poernomo (2009) menyatakan bahwa kesegaran ikan berpengaruh

terhadap keamanan konsumsinya. Setelah ikan mati, seluruh otot ikan mengalami

relaksasi dan kekenyalan menjadi elastis serta lemas yang bertahan dalam beberapa jam

setelah otot berkontraksi. Otot ikan kemudian menjadi keras dan kaku, seluruh tubuh

ikan menjadi tidak fleksibel dan ikan berada dalam kondisi rigormortis. Selesainya

rigormortis membuat otot kembali rileks dan menjadi lemas, tapi tidak lebih elastis

seperti sebelum rigor. Kecepatan permulaan dan akhir rigorbervariasi dari spesies ke

spesies dan dipengaruhi oleh suhu, penanganan, ukuran dan kondisi fisik pada ikan

(FAO, 1995). Mutu ikan setelah mati sangat dipengaruhi oleh keadaan pasar, geografis,

dan budaya (Pacquit dkk., 2008).

Aspek keamanan pada produk pangan berkaitan dengan keberadaan bakteri

patogen berbahaya seperti C. botulinum dan Vibrio spp. Bakteri patogen ini

menghasilkan biotoksin yang berbahaya bahkan menyebabkan penyakit pada manusia.

Bakteri patogen ini dapat berasal dari mikroba flora alami daging ikan untuk dapat juga

dari luar daging ikan akibat proses pengolahan, penyimpanan ataupun transpostasi.

Aspek kesegaran pada produk pangan berkaitan dengan pertumbuhan mikroba pembusuk

seperti Pseudomonas spp, Shewarella putrefaciens dan Photobacterium phosphoreum.

Mikroba pembusuk ini mendegradasi komponen metabolik pada daging ikan, sehingga

menyebabkan bau amis dan hilangnya flavor khas pada daging ikan (Huss dkk., 1997).

Lipid pada ikan mengalami degradasi melalui proses oksidasi dan hidrolisis.

Hasil dari kedua proses tersebut menghasilkan produk dengan rasa dan bau. Lemak ikan

sangat mudah mengalami degradasi lipid yang menimbulkan beberapa masalah pada

mutu ikan yang disimpan pada temperatur di bawah 0 °C. Jumlah yang besar dari asam

7
lemak yang tak jenuh ditemukan dalam lipid ikan dan sangat mudah mengalami oksidasi

oleh mekanisme autokatalitik. Proses autokatalitik menghasilkan produk autooksidasi

dengan rantai karbon yang lebih pendek seperti aldehid, keton, alkohol, asam

karboksilat, alkana, dan asam tiobarbiturik. Hubungan antara aktivitas enzim-enzim ini

dengan kehadiran asam lemak bebas belum begitu stabil. Akan tetapi, hidrolisis

membantu proses oksidasi dengan baik (FAO, 1995).

II.3 Tanaman Cengkeh

Menurut Bulan (2004) klasifikasi dari tumbuhan cengkeh adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub Kelas : Choripetalae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Syzygium

Spesies : S. aromaticum

Thomas (2007), menyatakan bahwa cengkeh termasuk jenis tumbuhan perdu yang

memiliki batang pohon besar dan berkayu keras. Cengkeh mampu bertahan hidup

puluhan bahkan sampai ratusan tahun, tingginya dapat mencapai 20-30 meter dan

cabang-cabangnya cukup lebar.

Tanaman cengkeh memiliki daun tunggal bertangkai, tebal, berbentuk bulat telur

sampai langset memanjang, ujungnya runcing, pangkal meruncing, tepi merata, tulang

daun menyirip, permukaan atas mengkilap, panjang 6-13,5 cm, lebar 3-5 cm, warna

hijau muda atau coklat muda saat masih muda, dan hijau tua ketika tua. Perbanyakan

8
tanaman cengkeh dapat dilakukan secara vegetatif dan generatif. Tanaman ini tumbuh

baik di daerah tropis di ketinggian 600-1.100 m di atas permukaan laut (dpl) di tanah

yang berdrainase baik (Kardinan, 2003).

II.4 Kandungan Kimia Cengkeh

Nurdjannah (2004) menyatakan bahwa daun cengkeh mengandung eugenol,

saponin, flavanoid, dan tanin. Eugenol (C10H12O2), merupakan turunan guaiakol yang

mendapat mendapat tambahan rantai alkil, dikenal dengan nama IUPAC 2-metil-4-(2-

propenil) fenol. Eugenol dapat dikelompokkan dalam keluarga alkil benzena dari

senyawa-senyawa fenol.

Gambar 2. Struktur kimia eugenol (Sumber: Iswari, 2007)

Flavanoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat racun atau alelopati,

merupakan persenyawaan dari gula yang terikat dengan flavon. Flavanoid mempunyai

sifat khas yaitu bau yang sangat tajam, rasanya pahit, dapat larut dalam air dan pelarut

organik, serta mudah terurai pada temperatur tinggi.

Gambar 3. Struktur kimia flavanoid (Sumber: Djojosumarto, 2008)

Dinata (2008) menambahkan bahwa flavanoid merupakan senyawa pertahanan

tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik.

Manfaat falavanoid bagi tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur

fotosintesis, serta sebagai pengatur kerja antimikroba dan antivirus. Bagi manusia

flavanoid bermanfaat sebagai antioksi dan penyakit kanker serta ginjal.

9
II.5 Edible Coating dan Edible Film

Edible coating atau film merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang

dapat dimakan. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang jelas antara edible coating dengan

edible film. Biasanya edible coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung pada

permukaan bahan pangan, sedangkan edible film adalah lapisan tipis yang diaplikasikan

setelah sebelum dicetak dalam bentuk lembaran. Edible coating adalah produk yang

ramah lingkungan tanpa efek negatif, tidak seperti bahan pengemas sintesis yang tidak

dapat didegradasi. Edible coating dan film merupakan suatu terobosan baru yang dapat

menjawab tantangan yang berkembang dalam pemasaran makanan yang bergizi, aman,

berkualitas tinggi, stabil dan ekonomis (Krocthta, 1992).

Pengawet sebagai senyawa antimikroba dapat dibuat dalam bentuk lapisan atau

film pada permukaan makanan untuk menjaga keawetan makanan lebih lama selama

penyimpanan (Guilbert, 2000). Penggunaan bahan antimikroba alami cenderung

meningkat karena konsumen peduli terhadap kesehatan dan potensi bahaya dari

pengawet sintesis (Suppakul dkk., 2003). Edible coating atau film yang bersifat

antimikroba berpotensi dapat mencegah kontaminasi patogen pada berbagai bahan

pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan, dan sayuran). Kombinasi

antimikroba dengan pengemas coating atau film untuk mengendalikan pertumbuhan

mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan memperbaiki mutu

pangan (Quintavalla dan Vicini, 2002). Beberapa jenis bahan antimikroba yang dapat

ditambahkan ke dalam pengemas edible antara lain adalah rempah-rempah dalam bentuk

bubuk maupun minyak atsiri seperti kayu manis, lada, cengkeh, oregano (Rojas-Grau

dkk., 2006; Kechichian dkk., 2010), minyak basil (Suppakul dkk., 2003), minyak serai

(Maizura dkk., 2007), bawang putih (Pranoto dkk., 2005), dan komponen minyak atsiri

(Rojas-Grau dkk., 2006).

10
Edible coating atau film telah diselidiki mampu untuk menghambat kelembaban,

oksigen, aroma, dan pengangkutan zat terlarut (Quattara dkk., 2000). Selain itu, edible

coating atau film adalah salah satu metode yang paling efektif untuk menjaga kualitas

makanan (Pranoto dkk., 2005), sebagai pengikat warna, sumber gizi, dan bahan

antioksidan (Casariego dkk., 2007). Masalah lingkungan, pelapis dibuat dari biopolimer

yaitu protein, polisakarisa, dan lipid yang biasanya digunakan sebagai antimikroba

(Quattara dkk., 2000).

II.6 Total Plate Count (TPC)

Total Plate Count (TPC) adalah uji mikrobiologi yang digunakan untuk

mengetahui jumlah sel hidup atau Colony Forming Unit (CFU) yang ada pada makanan

khususnya mikrobia mesofilik aerob. Analisis TPC menggunakan medium plate count

agar dengan 0,1 mL sampel yang telah diencerkan ke dalam cawan petri. Perhitungan

dilakukan hanya untuk pengenceran dengan jumlah koloni 30-300 lalu dirata-ratakan.

Fungsi dari medium plate count agar adalah sebagai tempat isolasi atau tempat

pertumbuhan mikrobia khususnya mikrobia yang bersifat mesofilik aerob (Fardiaz,

1987). Jumlah TPC standar mutu SNI 01-2733.1-2006, adalah sebesar 5.0 x 105

koloni/gram atau 5.7 log CFU/gram.

11
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan direncanakan pada bulan Januari – Juni 2019 di Laboratorium

Kimia Organik FMIPA Universitas Pattimura Ambon.

III.2 Alat dan Bahan

III.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian:

1. Seperangkat alat gelas (Pyrex)

2. Pisau

3. pH meter (Hanna)

4. Spektrometer GC, (Shimadzu)

5. Timbangan analitik (Denver Instrument XP-300)

6. Hot plate (Cimarec 2)

7. Magnetik stirrer

8. Plat kaca

9. Pipet volumetrik

10. Inkubator

11. Digital coloni counter

12. Homogenizer

13. Blender

12
III.2.2 Bahan-bahan

Bahan yang digunakan dalam ini penelitian ini antara lain:

1 . Minyak cengkeh

2. Petroleum eter 100 mL

3. Kitosan

4. Asam asetat

5. Gliserol

6. Fillet ikan cakalang

7. Agarbacto

8. Aquades

9. Kertas saring

III.3 Prosedur Kerja

III.3.1 Preparasi sampel (Renur dkk, 2014)

Minyak cengkeh 100 mL ditambahkan petroleum eter 100 mL, dicuci hingga pH

netral, dan diuapkan pelarut. Hasil minyak cengkeh kemudian diuji dengan GC.

III.3.2 Pembuatan larutan edible (Renur dkk, 2014)

Kitosan ditimbang 1 g kemudian dilarutkan dengan larutan asam asetat 1% dan

diaduk, ditambahkan minyak cengkeh dengan variasi konsentrasi (0, 1, 2, 3, 5%)

campuran kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu 50 oC selama 60 menit sampai

larutan homogen dan kental. Kemudian gliserol dengan konsentrasi 0,5% (v/v)

ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan edible coating sambil terus diaduk

hingga homogen selama 5-10 menit.

13
III.3.3 Aplikasi edible coating pada fillet ikan cakalang (Renur dkk, 2014)

Ikan cakalang di iris dengan ukuran 3x5 cm dengan ketebalan 1 cm, selanjutnya

dicelupkan dalam larutan edible dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu: 0, 1, 2, 3, 5%.

Lama pencelupan adalah 2 menit kemudian ditiriskan. Fillet ikan cakalang disimpan

selama 24 jam pada suhu ruang kemudian dilakukan penentuan TPC dan masing-masing

konsentrasi diukur pH.

III.3.4 Aplikasi edible film pada fillet ikan cakalang (Renur dkk, 2014)

Larutan edible yang diperoleh kemudian dikocok (80 kPa, 15 menit) untuk

menghilangkan gas terlarut dan campuran dituangkan dalam plat kaca. Film dibiarkan

kering pada suhu kamar 5 jam dalam kotak steril, kemudian dimasukkan dalam oven pada

suhu 50 °C selama 7 jam. Edible film yang diperoleh kemudian diaplikasikan dalam fillet

ikan. Fillet ikan ukuran 3x5 cm dengan tebal 1 cm dibungkus dengan edible film dengan

variasi konsentrasi (0, 1, 2, 3, 5%). Sebelum dilakukan pengujian aktivitas mikroba, fillet

ikan disimpan 24 jam pada suhu ruang kemudian dilakukan penentuan TPC dan masing-

masing konsentrasi diukur pH.

III.3.5 Uji aktivitas mikroba Total Plate Count (TPC) (Fardiaz, 1987)

Pembuatan dengan cara mencampur 10 g sampel ke dalam 90 mL larutan

pengencer sampai larutan homogen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1

mL larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi yang telah berisi larutan pengencer sebanyak 9 mL sehingga terbentuk

pengenceran 10-1, setelah itu dikocok agar homogen.

Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya

sampel diencerkan hingga pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing

14
tabung pengeceran sebanyak 1 mL larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan steril

secara triplo dengan menggunakan pipet steril.

Media agar (natrium agar) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 mL

dan digoyang sampai permukaan merata (metode cawan tuang), kemudian didiamkan

beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan

larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik, yaitu tutup cawan

diletakkan di bagian bawah cawan petri. Suhu inkubator yang digunakan adalah ± 30 oC

dan diinkubasi selama 2 hari, selanjutnya dilakukan pengamatan dihitung jumlah koloni

yang ada di dalam cawan petri.

Pengamatan secara triplo dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi

yang tidak diinginkan. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri

yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Dalam penentuan Standart Plate

Count (SPC), jika hasil bagi antara jumlah koloni bakteri pada pengenceran besar

(terpilih) dengan jumlah koloni pada pengenceran kecil (terpilih), lebih kecil dan atau

sama dengan 2, maka nilai SPC yang diperoleh dirata-ratakan jumlah koloni bakteri dari

kedua pengenceran tersebut. Apabila hasil bagi tersebut lebih besar dari 2 maka nilai

SPC diperoleh dan dipilih jumlah kaloni bakteri terkecil di antara dua pengenceran

15
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IIV.1 Tabel Hasil Analisa pH

No Sampel/Kode Macam Hasil Analisa (%)

Analisa U1 U2 U3 U4 U5 U6

1 Kontrol 6,2 6,2 6,3

2 0% 5,7 5,8 5,7

3 1% pH 5,7 5,7 5,7

4 2% 5,6 5,6 5,6

5 3% 5,5 5,5 5,5

6 5% 5,5 5,5 5,4

1
IIV.2 Tabel Analisis Total Koloni Bakteri (TPC)]

Jumlah Koloni/Pengenceran Ket


No Kode 101 102 103 104 105 ALT
Sampel
(CFU/gr)

1 Kontrol U 1 TBUD : TBUD TBUD : TBUD ̴ : ̴

U2 TBUD : TBUD TBUD : TBUD ̴ : ̴

U3 TBUD : TBUD ̴ : ̴ ̴ : ̴

2 0% U 1 117 : 148 35 : 36 12 : 33

U2 162 : 194 44 : 31 15 : 9

U3 240 : 272 51 : 48 12 : 12

3 1% U 1 220 : 256 152 : 108 42 : 48

U2 192 : 204 104 : 94 17 : 13

U3 224 : 248 82 : 100 14 : 19

4 2% U 1 ̴ : ̴ 136 : 184 36 : 32

U2 ̴ : ̴ 160 : 108 21 : 31

U3 ̴ : ̴ 204 : 124 28 : 18

5 3% U 1 ̴ : ̴ 228 : 268 52 : 76

U2 ̴ : ̴ 228 : 248 15 : 37

U3 ̴ : ̴ 200 : 264 18 : 21

6 5% U 1 ̴ : ̴ 176 : ̴ 90 : 102

U2 ̴ : ̴ ̴ : 232 37 : 31

U3 ̴ : ̴ 128 : 88 28 : 29

Anda mungkin juga menyukai