PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayaan alam yang bermanfaat baik sumber daya hayati
maupun non hayati, salah satunya adalah minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan salah
satu produk yang dibutuhkan oleh industri kosmetik, obat-obatan, makanan, dan
minuman. Minyak atsiri juga digunakan sebagai aroma terapi (Nurdjadannah, 2004).
Beberapa tanaman penghasil minyak atsiri adalah nilam, akar wangi, sereh wangi, kayu
putih, pala, jahe, kenanga, cendana, masoi, kayu manis, adas, melati, dan cengkeh.
Minyak atsiri biasanya terdiri dari senyawa organik dengan gugus alkohol, aldehid, dan
Salah satu minyak atsiri khas Maluku adalah minyak cengkeh. Cengkeh dapat
digunakan sebagai bumbu masak, bahan dupa aromaterapi, mengobati sakit gigi,
peptisida nabati, dan pengendali penyakit busuk batang fusarium (Sudarmo, 2005).
Minyak gagang cengkeh diperoleh dengan cara destilasi uap dari gagang, buah, bunga,
daun, dan biji cengkeh. Minyak gagang cengkeh mengandung eugenol dan flavanoid
(Guenther, 1950).
Salah satu potensi alam yang ada di laut adalah ikan. Umumnya ikan dan produk
perikanan merupakan bahan pangan yang mudah rusak karena mengandung protein dan
air yang cukup tinggi (Winarni dkk., 2003). Upaya mempertahankan tingkat kesegaran
ikan merupakan hal yang sangat penting. Ikan merupakan kelompok bahan pangan yang
sangat mudah mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu ikan yang cepat
berlangsung setelah ikan mati disebabkan karena beberapa faktor antara lain terjadinya
proses enzimatis, atau adanya mikroorganisme pembusuk yang berkembang pada bagian
1
tubuh ikan. Perubahan biokimia dan mikroba pascapanen dalam jaringan ikan sangat
tergantung secara signifikan pada faktor-faktor yang mengontrol konsentrasi substrat dan
penangkapan (Duran dkk., 2008). Penanganan ikan segar yang baik perlu dilakukan untuk
kualitas, dan meningkatkan masa simpan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen untuk
makanan yang lebih aman, banyak penelitian saat ini berfokus pada menggunakan bahan-
bahan alami untuk meningkatkan kualitas makanan dan umur simpan untuk menghindari
penggunaan pengawet sintesis (Sathivel, 2005). Edible film dan coating serta bahan
Edible film dan coating secara umum didefenisikan sebagai lapisan tipis bahan
yang dapat dimakan, terbentuk pada makanan sebagai pelapis atau ditempatkan pada atau
di antara komponen makanan. Edible film dapat diterapkan dengan cara pencelupan,
penyemprotan, dan penuangan (Regalado dkk., 2006). Edible film dan coating
dimaksudkan untuk membantu menjaga kualitas dan umur simpan produk makanan
Kitosan merupakan polimer alam kedua yang paling berlimpah di alam setelah
selulosa (Shahidi dkk., 1999), sifatnya yang tidak beracun, antibakteri, antioksidan,
perhatian sebagai bahan tambahan alami. Selain itu, kitosan juga memiliki potensi yang
diterapkan untuk kemasan makanan, terutama dalam edible film dan coating (Casariego
2
dkk., 2008). Renur (2014) mengaplikasi edible coating berbahan kitosan dan ekstrak
lemon cina (Citrus mitis) pada fillet ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan
konsentrasi kitosan (1, 2, 3, dan 4%) menghasilkan daya antibakteri tertinggi pada
konsentrasi 1% berdasarkan nilai TPC. Sementara lemon cina sebagai edible coating
Nilai TPC terendah dicapai pada penambahan konsentrasi ekstrak lemon cina 40%.
minyak cengkeh sebagai bahan aditif untuk matriks edible perlu diteliti, sehingga penulis
Pembuatan Edible Coating dan Film pada Fillet Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis).
1. Bagaimana pengaruh TPC pada larutan edible coating dan edible film yang
2. Berapa konsentrasi minyak cengkeh yang terbaik pada pembuatan edible coating dan
3. Bagaimana perbandingan nilai TPC yang terbaik antara edible coating dan edible film?
1. Mengetahui pengaruh TPC pada larutan edible coating dan edible film yang
3
2. Menentukkan konsentrasi minyak cengkeh yang terbaik pada pembuatan edible
coating dan edible film pada fillet ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
3. Mengetahui perbandingan nilai TPC yang terbaik antara edible coating dan edible
film?
minyak cengkeh yang terbaik pada edible coating dan film yang diaplikasikan pada fillet
ikan cakalang.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
berikut :
Filum : Vetebrata
Series : Pisces
Kelas : Teleostomi
Ordo : Perciformes
Famili : Scombridae
Tribe : Thunnini
Genus : Katsuwonus
Ikan cakalang adalah ikan pelagis yang merupakan perenang cepat dan
mempunyai sifat rakus. Ikan cakalang atau skipjacktuna (Katsuwonus pelamis) dapat
mencapai panjang 1m dengan berat 25 kg. Ikan ini juga terdapat di tiga samudera dunia
tetapi menghendaki kondisi tertentu. Faktor pembatasannya yang penting ialah suhu dan
salinitas. Ikan cakalang lebih banyak hidup di perairan lapisan permukaan dengan
Bitung, Ambon, Ternate, Sorong, dan Waigeo (Nontji, 2007). Bentuk ikan cakalang
5
ditunjukkan pada Gambar 1 (Matsumoto dkk., 1984)
Daerah penyebar ikan cakalang adalah pada perairan tropis dan subtropis. Ciri-
ciri morfologi cakalang, yaitu tubuh berbentuk fusifrom, memanjang, dan agak bulat,
tipis insang (gillrakes) berjumlah 53–63 pada helai pertama, mempunyai dua sirip
punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14–16 jari-jari
keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7–9 finlet. Sirip dada
pendek, terhadap dua flop di antara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet.
Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-
titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) di sisi bawah dan perut
keperakan, dengan 4–6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian
Dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan sebagai
bahan baku sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses pengolahannya tidak akan
menghasilkan produk yang baik. Segera setelah ditangkap, ikan dengan cepat akan
mengalami penurunan mutu bila disimpan pada suhu ruang. Pada suhu dingin sekalipun,
mutu ikan akan mengalami penurunan, kecepatannya lebih lambat dari penurunan mutu
ikan yang disimpan pada suhu ruang. Penurunan mutu ikan ditunjukkan oleh banyak
mikrobiologis adalah TPC. Parameter organoleptika adalah warna, kekenyalan, dan bau.
terhadap keamanan konsumsinya. Setelah ikan mati, seluruh otot ikan mengalami
relaksasi dan kekenyalan menjadi elastis serta lemas yang bertahan dalam beberapa jam
setelah otot berkontraksi. Otot ikan kemudian menjadi keras dan kaku, seluruh tubuh
ikan menjadi tidak fleksibel dan ikan berada dalam kondisi rigormortis. Selesainya
rigormortis membuat otot kembali rileks dan menjadi lemas, tapi tidak lebih elastis
seperti sebelum rigor. Kecepatan permulaan dan akhir rigorbervariasi dari spesies ke
spesies dan dipengaruhi oleh suhu, penanganan, ukuran dan kondisi fisik pada ikan
(FAO, 1995). Mutu ikan setelah mati sangat dipengaruhi oleh keadaan pasar, geografis,
patogen berbahaya seperti C. botulinum dan Vibrio spp. Bakteri patogen ini
Bakteri patogen ini dapat berasal dari mikroba flora alami daging ikan untuk dapat juga
dari luar daging ikan akibat proses pengolahan, penyimpanan ataupun transpostasi.
Aspek kesegaran pada produk pangan berkaitan dengan pertumbuhan mikroba pembusuk
Mikroba pembusuk ini mendegradasi komponen metabolik pada daging ikan, sehingga
menyebabkan bau amis dan hilangnya flavor khas pada daging ikan (Huss dkk., 1997).
Lipid pada ikan mengalami degradasi melalui proses oksidasi dan hidrolisis.
Hasil dari kedua proses tersebut menghasilkan produk dengan rasa dan bau. Lemak ikan
sangat mudah mengalami degradasi lipid yang menimbulkan beberapa masalah pada
mutu ikan yang disimpan pada temperatur di bawah 0 °C. Jumlah yang besar dari asam
7
lemak yang tak jenuh ditemukan dalam lipid ikan dan sangat mudah mengalami oksidasi
dengan rantai karbon yang lebih pendek seperti aldehid, keton, alkohol, asam
karboksilat, alkana, dan asam tiobarbiturik. Hubungan antara aktivitas enzim-enzim ini
dengan kehadiran asam lemak bebas belum begitu stabil. Akan tetapi, hidrolisis
Menurut Bulan (2004) klasifikasi dari tumbuhan cengkeh adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Spesies : S. aromaticum
Thomas (2007), menyatakan bahwa cengkeh termasuk jenis tumbuhan perdu yang
memiliki batang pohon besar dan berkayu keras. Cengkeh mampu bertahan hidup
puluhan bahkan sampai ratusan tahun, tingginya dapat mencapai 20-30 meter dan
Tanaman cengkeh memiliki daun tunggal bertangkai, tebal, berbentuk bulat telur
sampai langset memanjang, ujungnya runcing, pangkal meruncing, tepi merata, tulang
daun menyirip, permukaan atas mengkilap, panjang 6-13,5 cm, lebar 3-5 cm, warna
hijau muda atau coklat muda saat masih muda, dan hijau tua ketika tua. Perbanyakan
8
tanaman cengkeh dapat dilakukan secara vegetatif dan generatif. Tanaman ini tumbuh
baik di daerah tropis di ketinggian 600-1.100 m di atas permukaan laut (dpl) di tanah
saponin, flavanoid, dan tanin. Eugenol (C10H12O2), merupakan turunan guaiakol yang
mendapat mendapat tambahan rantai alkil, dikenal dengan nama IUPAC 2-metil-4-(2-
propenil) fenol. Eugenol dapat dikelompokkan dalam keluarga alkil benzena dari
senyawa-senyawa fenol.
Flavanoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat racun atau alelopati,
merupakan persenyawaan dari gula yang terikat dengan flavon. Flavanoid mempunyai
sifat khas yaitu bau yang sangat tajam, rasanya pahit, dapat larut dalam air dan pelarut
tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik.
fotosintesis, serta sebagai pengatur kerja antimikroba dan antivirus. Bagi manusia
9
II.5 Edible Coating dan Edible Film
Edible coating atau film merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang
dapat dimakan. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang jelas antara edible coating dengan
edible film. Biasanya edible coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung pada
permukaan bahan pangan, sedangkan edible film adalah lapisan tipis yang diaplikasikan
setelah sebelum dicetak dalam bentuk lembaran. Edible coating adalah produk yang
ramah lingkungan tanpa efek negatif, tidak seperti bahan pengemas sintesis yang tidak
dapat didegradasi. Edible coating dan film merupakan suatu terobosan baru yang dapat
menjawab tantangan yang berkembang dalam pemasaran makanan yang bergizi, aman,
Pengawet sebagai senyawa antimikroba dapat dibuat dalam bentuk lapisan atau
film pada permukaan makanan untuk menjaga keawetan makanan lebih lama selama
meningkat karena konsumen peduli terhadap kesehatan dan potensi bahaya dari
pengawet sintesis (Suppakul dkk., 2003). Edible coating atau film yang bersifat
mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan memperbaiki mutu
pangan (Quintavalla dan Vicini, 2002). Beberapa jenis bahan antimikroba yang dapat
ditambahkan ke dalam pengemas edible antara lain adalah rempah-rempah dalam bentuk
bubuk maupun minyak atsiri seperti kayu manis, lada, cengkeh, oregano (Rojas-Grau
dkk., 2006; Kechichian dkk., 2010), minyak basil (Suppakul dkk., 2003), minyak serai
(Maizura dkk., 2007), bawang putih (Pranoto dkk., 2005), dan komponen minyak atsiri
10
Edible coating atau film telah diselidiki mampu untuk menghambat kelembaban,
oksigen, aroma, dan pengangkutan zat terlarut (Quattara dkk., 2000). Selain itu, edible
coating atau film adalah salah satu metode yang paling efektif untuk menjaga kualitas
makanan (Pranoto dkk., 2005), sebagai pengikat warna, sumber gizi, dan bahan
antioksidan (Casariego dkk., 2007). Masalah lingkungan, pelapis dibuat dari biopolimer
yaitu protein, polisakarisa, dan lipid yang biasanya digunakan sebagai antimikroba
Total Plate Count (TPC) adalah uji mikrobiologi yang digunakan untuk
mengetahui jumlah sel hidup atau Colony Forming Unit (CFU) yang ada pada makanan
khususnya mikrobia mesofilik aerob. Analisis TPC menggunakan medium plate count
agar dengan 0,1 mL sampel yang telah diencerkan ke dalam cawan petri. Perhitungan
dilakukan hanya untuk pengenceran dengan jumlah koloni 30-300 lalu dirata-ratakan.
Fungsi dari medium plate count agar adalah sebagai tempat isolasi atau tempat
1987). Jumlah TPC standar mutu SNI 01-2733.1-2006, adalah sebesar 5.0 x 105
11
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan direncanakan pada bulan Januari – Juni 2019 di Laboratorium
III.2.1 Alat
2. Pisau
3. pH meter (Hanna)
7. Magnetik stirrer
8. Plat kaca
9. Pipet volumetrik
10. Inkubator
12. Homogenizer
13. Blender
12
III.2.2 Bahan-bahan
1 . Minyak cengkeh
3. Kitosan
4. Asam asetat
5. Gliserol
7. Agarbacto
8. Aquades
9. Kertas saring
Minyak cengkeh 100 mL ditambahkan petroleum eter 100 mL, dicuci hingga pH
netral, dan diuapkan pelarut. Hasil minyak cengkeh kemudian diuji dengan GC.
campuran kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu 50 oC selama 60 menit sampai
larutan homogen dan kental. Kemudian gliserol dengan konsentrasi 0,5% (v/v)
ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan edible coating sambil terus diaduk
13
III.3.3 Aplikasi edible coating pada fillet ikan cakalang (Renur dkk, 2014)
Ikan cakalang di iris dengan ukuran 3x5 cm dengan ketebalan 1 cm, selanjutnya
dicelupkan dalam larutan edible dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu: 0, 1, 2, 3, 5%.
Lama pencelupan adalah 2 menit kemudian ditiriskan. Fillet ikan cakalang disimpan
selama 24 jam pada suhu ruang kemudian dilakukan penentuan TPC dan masing-masing
III.3.4 Aplikasi edible film pada fillet ikan cakalang (Renur dkk, 2014)
Larutan edible yang diperoleh kemudian dikocok (80 kPa, 15 menit) untuk
menghilangkan gas terlarut dan campuran dituangkan dalam plat kaca. Film dibiarkan
kering pada suhu kamar 5 jam dalam kotak steril, kemudian dimasukkan dalam oven pada
suhu 50 °C selama 7 jam. Edible film yang diperoleh kemudian diaplikasikan dalam fillet
ikan. Fillet ikan ukuran 3x5 cm dengan tebal 1 cm dibungkus dengan edible film dengan
variasi konsentrasi (0, 1, 2, 3, 5%). Sebelum dilakukan pengujian aktivitas mikroba, fillet
ikan disimpan 24 jam pada suhu ruang kemudian dilakukan penentuan TPC dan masing-
III.3.5 Uji aktivitas mikroba Total Plate Count (TPC) (Fardiaz, 1987)
mL larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang telah berisi larutan pengencer sebanyak 9 mL sehingga terbentuk
14
tabung pengeceran sebanyak 1 mL larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan steril
dan digoyang sampai permukaan merata (metode cawan tuang), kemudian didiamkan
beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan
larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik, yaitu tutup cawan
diletakkan di bagian bawah cawan petri. Suhu inkubator yang digunakan adalah ± 30 oC
dan diinkubasi selama 2 hari, selanjutnya dilakukan pengamatan dihitung jumlah koloni
yang tidak diinginkan. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri
yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Dalam penentuan Standart Plate
Count (SPC), jika hasil bagi antara jumlah koloni bakteri pada pengenceran besar
(terpilih) dengan jumlah koloni pada pengenceran kecil (terpilih), lebih kecil dan atau
sama dengan 2, maka nilai SPC yang diperoleh dirata-ratakan jumlah koloni bakteri dari
kedua pengenceran tersebut. Apabila hasil bagi tersebut lebih besar dari 2 maka nilai
SPC diperoleh dan dipilih jumlah kaloni bakteri terkecil di antara dua pengenceran
15
BAB IV
Analisa U1 U2 U3 U4 U5 U6
1
IIV.2 Tabel Analisis Total Koloni Bakteri (TPC)]
U3 TBUD : TBUD ̴ : ̴ ̴ : ̴
2 0% U 1 117 : 148 35 : 36 12 : 33
U2 162 : 194 44 : 31 15 : 9
U3 240 : 272 51 : 48 12 : 12
4 2% U 1 ̴ : ̴ 136 : 184 36 : 32
U2 ̴ : ̴ 160 : 108 21 : 31
U3 ̴ : ̴ 204 : 124 28 : 18
5 3% U 1 ̴ : ̴ 228 : 268 52 : 76
U2 ̴ : ̴ 228 : 248 15 : 37
U3 ̴ : ̴ 200 : 264 18 : 21
6 5% U 1 ̴ : ̴ 176 : ̴ 90 : 102
U2 ̴ : ̴ ̴ : 232 37 : 31
U3 ̴ : ̴ 128 : 88 28 : 29