Apabila organisasi mau menerima pengenalan terhadap proses penilaian, maka hal
tersebut terjado karena dibentuk oleh budayanya. Hubungan yang kuat antara keyakinan,
nilai-nilai dan norma sering tidak sadar, bertindak seperti lampu lalu lintas bagi proses
penilaian. Budaya organisasi memberi signal apakah pendekatan tertentu pada penilaian
kinerja akan diterima atau ditolak.
Dalam menarik hubungan antara budaya kerja organisasi dengan penilaian individual,
Harvard (2002: 38) mendasarkan pada pandangan Frank Hartle yang membagi budaya kerja
menjadi:
Kunci utama untuk mempunyai proses penilaian yang dapat membantu organisasi
bekerja dan menjadi unggul adalah dengan memperhitungkan budaya kerja. Untuk itu harus
jelas tentang sifar dan ukuran hambatan dalam cara penilaian. Memperkenalkan proses
penilaian kinerja tidak mungkin dengan sendirinya mengubah budaya organisasi, tetapi
sebagai salah satu dari beberapa intervensi, yang mungkin memberikan kontribusi pada
perubahan budaya.
Tipologi budaya sumber daya manusia dikemukakan oleh Sethia dan Von Glinow
(Harvard, 2002: 41) ditentukan oleh dua dimensi, yaitu concern for people (perhatian pada
orang) dan concern for performance (perhatian pada kinerja). Concern for people merupakan
keadaan di mana organisasi menghargai martabat individual dan mempunyai komitmen
terhadap kesejahteraan pekerja. Sedang concern for performance merupakan keadaan di mana
organisasi mengharapkan bahwa pekerja akan melakukan yang terbaik atas pekerjaannya dan
menggunakan sepenuhnya bakat yang dimilikinya.
Caring Integrative
Concern for people
High
Apathetic Exacting
Low
Low High
Concern for performance
Gambar tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. An Apathetic HR Culture: menunjukkan concern for people rendah dan seberapa baik
mereka melakukan pekerjaan mereka. Dalam budaya seperti ini tidak mungkin
mempunyai proses penilaian kinerja atau manajemen kinerja pada umumnya. Apabila
prosesnya terjadi, mereka akan sedikit memberi perhatian pada pekerja atau kinerja
mereka. Apabila ingin menunjukkan kepentingan akan keduanya, maka perlu
mengundang stakeholder eksternal. Usaha mengubah budaya sumber daya manusia
dengan memperkenalkan penilaian tidak mungkin membangkitkan pergeseran pada
budaya yang lebih dapat diterima tanpa intervensi dan pengaruh kuat orang lain.
2. A Caring HR Culture: memberikan penekanan kuat pada concern for people,
didukung melalui mekanisme atau sistem untuk mendukung mereka. Mungkin
melakukan penilaian kinerja, tetapi tidak dinamakan penilaian, tetapi dinamakan
diskusi pengembangan, perencanaan pengembangan atau peninjauan kembali karier.
Keadaan ini tidak akan menunjukkan standar tinggi kinerja dari pekerja.
3. An Exacting HR Culture: menuntut kinerja tinggi terlepas dari personal individu atau
lingkungan domestik. Mungkin memiliki hard-edge (akomodatif) manajemen kinerja
dan proses penilaian, sebagai lawan kasus berdasar proses hard-nosed (keras kepala)
manajemen berdasar sasaran saja. Menekankan pada tingkatan di mana pekerja,
terutama manajer, memberikan apa yang mereka janjikan.
4. An Integrative HR Culture: menekankan dengan kuat baik concern for people ddan
concern for performance mereka. Perhatian mereka tidak didorong oleh paternalisme,
tetapi penghargaan sebenarnya terhadap orang dan kapasitas mereka untuk belajar,
tumbuh dan memberikan kontribusi. Penekanan kuat pada kinerja didorong oleh
respons organisasi terhadap pasar dan lingkungan kompetitif.
Harvard Business Essentials (2006: 89) mengingatkan bahwa dalam penilaian kinerja
perlu dihindari adanya dua masalah. Pertama, penilaian kinerja hanya akkan berharga apabila
dilakukan secara serius dan dengan perhatian dan objektivitas. Kekurangan akan hal ini akan
menjadi kebiasaan birokratis yang mengganggu orang dan memakan waktu. Kedua, manajer
tidak terlalu baik dalam mengukur kinerja terhadap tujuan. Sebagai hasilnya adalah
pertimbangan subjektif, karena diwarnai oleh kepribadian, emosi, dan memori selektif.
Manajer hanya melihat sebagian aktivitas kerja pekerja sepanjang tahun. Sering kali,
rekan pekerja dan pelanggan internal atau eksternal tahu lebih banyak tentang kinerja orang
daripada manajer, mereka mengamati setiap hari. Karena kinerja pekerja pada bulan terakhir
masih segar dalam pikiran manajer, maka akan memberikan kontribusi lebih pada penilaian
daripada seharusnya.