Anda di halaman 1dari 4

E.

DAMPAK BUDAYA ORGANISASI PADA PENILAIAN INDIVIDU

Apabila organisasi mau menerima pengenalan terhadap proses penilaian, maka hal
tersebut terjado karena dibentuk oleh budayanya. Hubungan yang kuat antara keyakinan,
nilai-nilai dan norma sering tidak sadar, bertindak seperti lampu lalu lintas bagi proses
penilaian. Budaya organisasi memberi signal apakah pendekatan tertentu pada penilaian
kinerja akan diterima atau ditolak.

Dalam menarik hubungan antara budaya kerja organisasi dengan penilaian individual,
Harvard (2002: 38) mendasarkan pada pandangan Frank Hartle yang membagi budaya kerja
menjadi:

1. Functional work culture, menekankan pada reliabilitas dan menggunakan teknologi


utama organisasi melalui fungsi organisasi. Tipe budaya kerja ini pada umumnya
dimiliki organisasi manufakturing serta pemerintah pusat dan daerah. Sebagai
kontributor utama untuk penilaian adalah pemimpin fungsional dan/atau pemimpin
dalam fungsi. Ukuran yang dapat dipergunakan untuk menilai adalah:
a) Kompetensi fungsional, seperti spesialis produksi, akuntansi, pembelian.
b) Kemampuan menggunakan pemikiran logis dan analitis.
c) Kinerja terhadap sasaran kerja individual.
d) Kemampuan membujuk fungsi lain.
e) Membangun pengertian tentang perintah.
f) Mengembangkan orang lain, biasanya dalam fungsinya.
2. Process work culture, menekankan fokus pada pelanggan dengan reliabilitas sebagai
persyaratan utama. Biasanya terjadi pada tim multifungsional yang memfokus pada
segmen pelanggan, seperti pada jasa finansial dan eceran. Sedangkan kontributor
utama untuk penilaian adalah team leader ditambah lainnya di dalam dan di luar tim,
termasuk beberapa di luar organisasi, seperti pelanggan. Ukuran yang dapat dipakai
untuk menilai adalah:
a) Keterampilan khusus yang berhubungan dengan proses.
b) Tingkatan dimana mereka adalah team player.
c) Kompetensi.
d) Keterampilan.
e) Hasil.
f) Fleksibilitas respons dalam peran daripada pekerjaan.
g) Kontribusi dalam memperbaiki proses.
3. Time-based work culture, menekankan pada kapitalisasi pada kapabilitas, teknologi
dan fleksibilitas. Bermaksud memimpin pasar dengan melakukan segala sesuatu
dengan lebih baik dan lebih cepat. Biasanya terdapat pada perusahaan piranti lunak
komputer, perusahaan bergerak di bidang mode dan tim pengembangan produk/jasa di
dalam organisasi. Sebagai kontributor utama adalah team leader atau leader, rekan
kerja, penilai dengan kemampuan teknis. Sedangkan ukuran yang dapat dipakai untuk
menilai adalah:
a) Kontribusi mencapai tonggak proyek.
b) Dampak pada orang lain.
c) Inisiatif.
d) Kreativitas, berpikir konseptual.
e) Kesiapan untuk belajar dan menyesuaikan.
4. Network work culture, menekankan pada fleksibilitas dan pelanggan. Membawa
bersama orang dengan pengalaman berbeda dalam tim, yang sering bersifat
sementara. Sangat berorientasi pada tujuan dan dapat menyesuaikan diri. Menjadi
pemenang adalah menjadi organisasi terkemuka. Biasanya sesuai untuk perusahaan
film, konsultan, dan promosi produk. Ukuran yang dapat dipakai untuk menilai
adalah:
a) Seberapa jauh orang memberikan kontribusi atau memperkenalkan gagasan
atau metode baru.
b) Memberikan rasa percaya diri.
c) Keterampilan bekerja dalam tim.
d) Membangun hubungan.
e) Seberapa jauh kompetensi secara konsisten diperbaiki.

Kunci utama untuk mempunyai proses penilaian yang dapat membantu organisasi
bekerja dan menjadi unggul adalah dengan memperhitungkan budaya kerja. Untuk itu harus
jelas tentang sifar dan ukuran hambatan dalam cara penilaian. Memperkenalkan proses
penilaian kinerja tidak mungkin dengan sendirinya mengubah budaya organisasi, tetapi
sebagai salah satu dari beberapa intervensi, yang mungkin memberikan kontribusi pada
perubahan budaya.

Tipologi budaya sumber daya manusia dikemukakan oleh Sethia dan Von Glinow
(Harvard, 2002: 41) ditentukan oleh dua dimensi, yaitu concern for people (perhatian pada
orang) dan concern for performance (perhatian pada kinerja). Concern for people merupakan
keadaan di mana organisasi menghargai martabat individual dan mempunyai komitmen
terhadap kesejahteraan pekerja. Sedang concern for performance merupakan keadaan di mana
organisasi mengharapkan bahwa pekerja akan melakukan yang terbaik atas pekerjaannya dan
menggunakan sepenuhnya bakat yang dimilikinya.

Hubungan antara kedua dimensi tersebut digambarkan seperti di bawah ini:

Caring Integrative
Concern for people

High

Apathetic Exacting
Low

Low High
Concern for performance
Gambar tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. An Apathetic HR Culture: menunjukkan concern for people rendah dan seberapa baik
mereka melakukan pekerjaan mereka. Dalam budaya seperti ini tidak mungkin
mempunyai proses penilaian kinerja atau manajemen kinerja pada umumnya. Apabila
prosesnya terjadi, mereka akan sedikit memberi perhatian pada pekerja atau kinerja
mereka. Apabila ingin menunjukkan kepentingan akan keduanya, maka perlu
mengundang stakeholder eksternal. Usaha mengubah budaya sumber daya manusia
dengan memperkenalkan penilaian tidak mungkin membangkitkan pergeseran pada
budaya yang lebih dapat diterima tanpa intervensi dan pengaruh kuat orang lain.
2. A Caring HR Culture: memberikan penekanan kuat pada concern for people,
didukung melalui mekanisme atau sistem untuk mendukung mereka. Mungkin
melakukan penilaian kinerja, tetapi tidak dinamakan penilaian, tetapi dinamakan
diskusi pengembangan, perencanaan pengembangan atau peninjauan kembali karier.
Keadaan ini tidak akan menunjukkan standar tinggi kinerja dari pekerja.
3. An Exacting HR Culture: menuntut kinerja tinggi terlepas dari personal individu atau
lingkungan domestik. Mungkin memiliki hard-edge (akomodatif) manajemen kinerja
dan proses penilaian, sebagai lawan kasus berdasar proses hard-nosed (keras kepala)
manajemen berdasar sasaran saja. Menekankan pada tingkatan di mana pekerja,
terutama manajer, memberikan apa yang mereka janjikan.
4. An Integrative HR Culture: menekankan dengan kuat baik concern for people ddan
concern for performance mereka. Perhatian mereka tidak didorong oleh paternalisme,
tetapi penghargaan sebenarnya terhadap orang dan kapasitas mereka untuk belajar,
tumbuh dan memberikan kontribusi. Penekanan kuat pada kinerja didorong oleh
respons organisasi terhadap pasar dan lingkungan kompetitif.

F. MASALAH DALAM PENILAIAN KINERJA

Harvard Business Essentials (2006: 89) mengingatkan bahwa dalam penilaian kinerja
perlu dihindari adanya dua masalah. Pertama, penilaian kinerja hanya akkan berharga apabila
dilakukan secara serius dan dengan perhatian dan objektivitas. Kekurangan akan hal ini akan
menjadi kebiasaan birokratis yang mengganggu orang dan memakan waktu. Kedua, manajer
tidak terlalu baik dalam mengukur kinerja terhadap tujuan. Sebagai hasilnya adalah
pertimbangan subjektif, karena diwarnai oleh kepribadian, emosi, dan memori selektif.

Manajer hanya melihat sebagian aktivitas kerja pekerja sepanjang tahun. Sering kali,
rekan pekerja dan pelanggan internal atau eksternal tahu lebih banyak tentang kinerja orang
daripada manajer, mereka mengamati setiap hari. Karena kinerja pekerja pada bulan terakhir
masih segar dalam pikiran manajer, maka akan memberikan kontribusi lebih pada penilaian
daripada seharusnya.

Oleh karena itu, sebaiknya jangan sepenuhnya menggantungkan pada pengamatan


sendiri. Cari masukan dari sumber lain dengan siapa bawahan secara reguler berinteraksi. Di
samping itu, perlu memelihara catatan kinerja dalam file untuk masing-masing bawahan.
Di atas segalanya, pendekatan penilaian kinerja dilakukan dengan semangat positif,
sebagai peluang melakukan komunikasi tentang tujuan, mengidentifikasi dan mengoreksi
masalah, dan mencari peluang untuk kinerja yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai