Infeksi HV Pda TB PDF
Infeksi HV Pda TB PDF
Abstrak
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang sudah sejak lama endemis di Indonesia
dan saat ini Indonesia berada pada ranking kelima negara dengan beban tuberkulosis
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi tuberkulosis semua kasus adalah sebesar 660,000
dan insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun dengan jumlah kematian
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. HIV/AIDS adalah masalah besar yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Indonesia merupakan negara
dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di Asia. Secara nasional, angka
estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2% dengan estimasi jumlah orang
dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000. Koinfeksi HIV dan tuberkulosis
menimbulkan berbagai permasalahan baru. Infeksi HIV merupakan faktor resiko untuk
berkembangnya tuberkulosis melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten,
progresivitas yang cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan mycobacterium
tuberculosis. Dengan infeksi HIV maka angka penyakit tuberkulosis mengalami
peningkatan. Pasien HIV memiliki kemungkinan 20-37 kali lipat akan memiliki tuberkulosis
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki infeksi HIV. Estimasi nasional prevalensi
HIV pada pasien tuberkulosis baru adalah 2.8%. Dalam hal penanganan penyakit juga
mengalami berbagai permasalahan, antara lain diagnosis yang salah karena sulit
menegakkan diagnose, angka kesakitan/kematian yang tinggi selama pengobatan,
resistensi obat dan berbagai permasalahan sosial, kultural & ekonomi yang perlu
mendapatkan perhatian yang lebih serius.
295
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
296
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
tahun 1996 dengan paduan Obat Anti TBC kelenjar limfe, pleuritis
Tuberkulosis (OAT) standar yang terdiri dari eksudativa, TBC kulit, TBC tulang
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, (kecuali tulang belakang), sendi dan
Streptomycin dan Ethambutol dengan kelenjar adrenal.
standar yang dinyatakan dalam kategori 1, 4). OAT sisipan (HRZE) Pada akhir bulan
kategori 2, kategori 3 dan sisipan. Pada ke 2 maka diteruskan dengan
pengobatan dengan strategi DOTS OAT pengobatan (4H3R3) fase lanjutan.
dibagi dalam 3 kategori yaitu: Apabila pada pemberian pengobatan
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Pada tahap kategori 1 atau kategori 2
intensif obat ini terdiri dari Isoniasid, pemeriksaan dahak setelah fase
Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol. intensif hasil BTA masih (+) maka
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 diberikan obat sisipan (HRZE) setiap
bulan (2 HRZE). Kemudian dilanjutkan hari selama 1 bulan.
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari B. HIV/AIDS
Isoniazid dan Rifampisisn diberikan 3 kali HIV (Human Immunodeficiency Virus)
dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini adalah sejenis virus yang menyerang sistem
diberikan untuk penderita (a) Penderita kekebalan tubuh manusia dan dapat
baru TBC paru BTA positif, (b) Penderita menimbulkan AIDS. HIV/AIDS adalah
baru TBC paru BTA negatif, rontgen masalah besar yang mengancam Indonesia
positif yang sakit berat, (c) Penderita dan banyak negara di seluruh dunia.
TBC extra paru berat. Indonesia merupakan negara dengan
2. Kategori 2 (2HRZES/HRSE/5H3R3E3) percepatan peningkatan epidemi HIV yang
OAT ketegori 2 ini diberikan untuk tertinggi di Asia. Secara nasional, angka
penderita BTA positif yang sudah pernah estimasi prevalensi HIV pada populasi
minum OAT selama lebih sebulan yaitu : dewasa adalah 0,2% dengan estimasi
a. Penderita kambuh (relaps) jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
b. Penderita gagal (failure) sekitar 190.000-400.000. Epidemi HIV/AIDS
c. Penderita dengan pengobatan setelah terjadi hampir di seluruh provinsi di
lalai (after default) Indonesia, disertai kesenjangan yang cukup
Fase pengobatan ketegori 2 yaitu : besar pada berbagai karakteristik, geografis,
1). Pengobatan fase intensif yaitu kapasitas sistem kesehatan, dan sumber
pemberian OAT setiap hari selama 3 yang tersedia (Kemenkes RI, 2010).
bulan terdiri dari 2 bulan diberikan Virus HIV merupakan retrovirus yang
HRZE dan suntikan Streptomycin termasuk golongan virus RNA. Disebut
setiap hari, suntikan diberikan setelah retrovirus karena memiliki enzim reverse
menelan obat di UPK. Kemudian trancriptase yang memungkinkan virus
dilanjutkan setiap hari HRZE selama mengubah informasi genetiknya yang
satu bulan. Bila hasil pemeriksaan berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA
dahak ulang BTA positif pada akhir yang kemudian diintegrasikan ke dalam
bulan ke 3, pengobatan diteruskan informasi genetik sel linfosit yang diserang.
dengan OAT sisipan selama satu Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan
bulan. Setelah pengobatan sisipan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi
dilanjutkan pemeriksaan dahak ulang, dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-
kemudian diteruskan dengan fase ciri HIV. HIV menyerang salah satu jenis
lanjutan tanpa melihat hasil dari sel-sel darah putih yang bertugas
pemeriksaan BTA. menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
2). Pengobatan fase lanjutan bila : terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai
pemeriksaan dahak ulang BTA negatif sebuah marker atau penanda yang berada
pada akhir bulan ke 3 maka di permukaan sel limfosit. Karena
diteruskan dengan pengobatan berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
(5H3R3E3), fase lanjutan selama 5 manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
bulan diberikan 3 kali dalam darah putih atau limfosit yang seharusnya
seminggu, demikian pula fase lanjutan berperan dalam mengatasi infeksi yang
diberikan pada penderita yang telah masuk ke tubuh manusia (Depkes RI, 2006).
selesai OAT sisipan. Penularan HIV dapat melalui berbagai
3). Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Kategori 3 cara yaitu: (1)Hubungan seksual (baik
ini diberikan untuk Penderita baru BTA homoseksual maupun heteroseksual yang
negatif dan rontgen positif sakit ringan merupakan penularan infeksi HIV yang
dan Penderita ekstra paru ringan yaitu paling sering terjadi), (2)Transmisi
297
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
parenteral yaitu akibat penggunaan jarum digunakan untuk mendeteksi HIV-1 tipe M,
suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) N, O serta HIV-2. Hasil ELISA yang positif
yang telah terkontaminasi, resiko tertular sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
cara transmisi parenteral ini kurang dari 1%, konfirmasi yaitu Western Blot. Kriteria
(3)Darah/produk darah yaitu transmisi diagnostik spesifik yang dihasilkan dari
melalui transfusi dimana resiko tertular pemeriksaan tersebut termasuk positif,
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih negatif, maupun indeterminate. Hitung Sel T
dari 90%, (4)Transmisi transplasental yaitu CD4+: Pemeriksaan ini adalah indikator
penularan dari ibu yang mengandung HIV yang cukup dapat diandalkan untuk
positif ke anak mempunyai resiko sebesar mengetahui risiko terkena infeksi
50%. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik oportunistik. Persentase <25% adalah
secara langsung dengan diperantarai benda indikasi memulai terapi. Viral Load (VL): VL
tajam yang mampu menembus dinding pada darah perifer biasanya dipakai sebagai
pembuluh darah atau secara tidak langsung penanda alternatif untuk mengetahui laju
melalui kulit dan mukosa yang intak seperti replikasi virus. Akan tetapi, pemeriksaan VL
yang terjadi pada kontak seksual. Selama kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat
dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia diagnosis, karena kemungkinan adanya
dengan disertai gejala dan tanda infeksi positif palsu. Pemeriksaan HIV Sekunder:
virus akut seperti panas tinggi mendadak, Kultur virus dapat digunakan pada
nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, pemeriksaan resistensi obat secara
muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain- fenotipik, walaupun sensitivitasnya
lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral berkurang seiring dengan menurunnya VL.
akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 Temuan Histologis: Pemeriksaan PA dapat
dan peningkatan HIV-RNA (Viral load). Viral memberikan gambaran infeksi HIV atau
load akan meningkat dengan cepat pada AIDS. Pemeriksaan lainnya yaitu: BUN,
awal infeksi, kemudian turun sampai pada kreatinin serum, serta urinalisis lengkap,
suatu titik tertentu. Dengan semakin dilakukan untuk mengetahui nefropati yang
berlanjutnya infeksi, viral load secara terasosiasi HIV.
perlahan cenderung terus meningkat. Terapi Antiretroviral/ARV merupakan
Keadaan tersebut akan diikuti penurunan bagian dari Integrated Management of
hitung CD4 secara perlahan dalam waktu Adolescence and Adult Illness (IMAI). Selain
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 sebagai tatalaksana, saat ini terapi ARV
yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 juga dianggap sebagai suatu bentuk
tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium pencegahan. Terapi ARV yang baik pada
AIDS. ODHA akan menurunkan penyebaran HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium hingga 92%. Terapi antiretroviral, sebaiknya,
untuk HIV sesuai dengan panduan nasional diberikan dalam bentuk kombinasi dan
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan dipantau secara ketat untuk mengevaluasi
menggunakan strategi 3 dan selalu kemajuan terapi, munculnya efek samping,
didahului dengan konseling pra tes atau dan kemungkinan timbulnya resistensi. Obat
informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat antiretrovirus dapat dibagi menjadi lima
menggunakan reagen tes cepat atau golongan, yaitu:
dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama 1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase
(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas Inhibitor): NRTI juga bekerja pada tahap
yang tinggi (>99%), sedang untuk awal replikasi virus HIV sehingga obat ini
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) akan menghambat infeksi akut pada sel
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi yang rentan, tetapi hanya sedikit berefek
(>99%). Antibodi biasanya baru dapat pada sel yang telah terinfeksi HIV.
terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 Contoh: zidovudin, didanosin, zalsitabin,
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut stavudin, lamivudin, emtrisitabin,
masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan abakavir.
dalam masa jendela menunjukkan hasil 2. NtRTI (Nucleotide reverse Transcriptase
”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, Inhibitor): Tenofovir disoproksil fumarat
terutama bila masih terdapat perilaku yang merupakan NtRTI pertama untuk terapi
berisiko (Kemenkes RI, 2011). infeksi HIV-1. Reaksi obat ini lebih cepat
Modalitas skrining yang banyak dan konversinya menjadi bentuk aktif
digunakan yaitu ELISA (enzyme-linked lebih sempurna. Contoh: Tenofovir
immunoabsorbent assay) dengan disoproksil.
sensitivitas tinggi. Kebanyakan ELISA dapat
298
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
299
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
manusia. Sampai saat ini, benua Afrika ditemukan tahun 2009, 1,2 juta di antaranya
masih menjadi region terbanyak dengan adalah pasien HIV.
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu
Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di daerah, semakin tinggi juga prevalensi
Afrika Selatan menurut UNAIDS pada tahun koinfeksi HIV-TB TB di daerah tersebut.
2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang Konsekuensi ko-infeksi
infeksi HIV dan
yang telah menjadi ODHA (Orang Dengan M.tuberculosis adalah Infeksi HIV akan
HIV AIDS), dengan rata-ratarata prevalensi usia memudahkan
udahkan terjadinya infeksi M.tb. Infeksi
15-49
49 tahun sekitar 5,4 juta orang, 3,2 juta HIV meningkatkan risiko reaktivasi infeksi
diantaranya termasuk wanita 15 tahun laten M.tb dan meningkatkan risiko sakit TB
keatas, 280.000 anak-anak
anak usia
us 0-14 tahun setelah terinfeksi atau reinfeksi oleh M.tb.M.tb
dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV Infeksi HIV tidak hanya meningkatkan
AIDS yang meninggal. Kemudian disusul jumlah kasus TB tapi juga mengubah
Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total perjalanan klinis TB. Infeksi TB diketahui
keseluruhan, sehingga menyebabkan akan mempercepat progresivitas infeksi HIV
kematian lebih dari 500.000 anak karena akan meningkatkan replikasi HIV.
(Wisharilla, dkk., 2012) Walaupun dampak Semakin meningkatnya immunosupresi
yang ditimbulkan
lkan akibat HIV paling nyata di yang dihubungkan dengan HIV maka
Afrika namun angka morbiditas dan gambaran klinis TB akan berubah, jumlah
mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling sputum BTA dengan hasil negatif meningkat
m
banyak di Asia Tenggara. Situasi di Asia dan kasus TB ekstra paru juga meningkat.
berpotensi untuk menyebabkan peningkatan Kelompok yang terinfeksi HIV akan
koinfeksi ini karena beberapa alasan yaitu meningkatkan risiko menderita TB 10%
karena prevalensi TB laten di Asia lebih pertahun, sedangkan kelompok yang tidak
tinggi dibandingkan Afrika (40-45%
(40 di Asia terinfeksi HIV hanya memiliki risiko tertular
dan 30% di Afrika), persentase jumlah 70% seumur hidupnya (Surjanto, dkk.,
populasi penduduk yang tinggal di 2011). Manifestasi
estasi Klinis terdapat
lingkungan kumuh lebih besar di Asia perbedaan manifestasi klinis antara pasien
sehingga mempermudah penularan serta TB-HIV
HIV dengan infeksi HIV dini dan infeksi
prevalensi TB dengan resistensi obat yang lanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan pula
lebih
bih besar pada daerah Asia Tenggara pendekatan klinis yang berbeda untuk
akibat program pengobatan TB yang tidak mendiagnosisnya. Selain itu, apabila
efektif. WHO memperkirakan akan adanya dibandingkan dengan pasien TB non-HIV, no
peningkatan yang dramatis infeksi HIV di hasil BTA lebih sering negatif, foto polos
Asia pada dekade berikutnya. Pasien HIV lebih sering atipikal, dan TB lebih sering
memiliki kemungkinan 20-37 37 kali lipat akan ekstraparu. Hal ini diakibatkan oleh sistem
memiliki TB dibandingkan
dingkan dengan orang imun yang sudah terganggu sehingga reaksi
yang tidak memiliki infeksi HIV. TB adalah imun terhadap TB berbeda dari orang biasa.
salah satu penyebab utama kematian pada Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
men
pasien HIV secara global. Dari 1,7 juta karakteristik TB-HIV ini.
orang yang meninggal karena TB tahun Apabila seorang pasien sudah didiagnosis
2009, 400.000 di antaranya adalah pasien menderita TB, maka terdapat juga
HIV. Dari 9,4 juta kasus TB yang baru b gambaran klinis penderita HIV, seperti dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
300
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
Untuk daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi Untuk Memulai pengobatan ARV pada
dan dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, TB pasien sedang dalam pengobatan TB dapat
dipakai pedoman sebagai berikut: terapi
konseling dan pemeriksaan HIV sangat
ARV diberikan untuk semua ODHA yang
diperlukan untuk seluruh kasus TB sebagai menderita TB tanpa memandang jumlah
bagian dari penatalaksanaan rutin. Daerah CD4. Namun pengobatan TB tetap
dengan prevalensi yang rendah, konseling dan merupakan prioritas utama untuk pasien dan
pemeriksaan HIV diindikasikan pada pasien TB tidak boleh terganggu oleh terapi ARV.
Seperti telah dijelaskan di atas, pengobatan
dengan keluhan dan gejala HIV atau dengan ARV perlu dimulai meskipun pasien
pas sedang
riwayat risiko tinggi terpajan HIV. dalam pengobatan TB. Perlu diingat,
Pengobatan pengobatan TB di Indonesia selalu
Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV mengandung Rifampisin sehingga pasien
pada dasarnya sama dengan pengobatan dalam pengobatan TB dan mendapat
TB tanpa HIV/AIDS, yaitu kombinasi pengobatan ARV bisa mengalami masalah
beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu interaksi obat dan efek samping obat yang
yang tepat. Kategori pengobatan TB tidak serupa sehingga memperberat
memperbe efek samping
dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB obat. Paduan pengobatan ARV yang
tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional mengandung Efavirenz (EFV) diberikan bila
Program Pengendalian
gendalian TB (BPN PPTB). pengobatan ARV perlu dimulai pada pasien
Pada prinsipnya pengobatan TB pada sedang dalam pengobatan TB. Di samping
pasien ko-infeksi
infeksi TB HIV harus diberikan itu, ODHA dengan TB juga diberikan PPK.
segera sedangkan pengobatan ARV dimulai Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah
setelah pengobatan TB dapat ditoleransi banyak
anyak sehingga mungkin perlu beberapa
dengan baik, dianjurkan diberikan paling perubahan dalam paduan ARV. Setiap
cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu. perubahan tersebut harus dijelaskan secara
Pasien TB-HIV HIV yang tidak mendapatkan seksama kepada pasien dan pengawas
respon pengobatan, harus dipikirkan adanya menelan
nelan obat (Kemenkes RI, 2012).
resistensi atau malabsorbsi obat sehingga Rekomendasi tersebut diharapkan
dosis yang diterima tidak cukup untuk un terapi dapat menurunkan angka kematian ko- ko
(Kemenkes RI, 2012). infeksi TB-HIV,
HIV, menurunkan transmisi bila
Terapi dengan Anti Retro Viral (ARV) semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih
dapat menurunkan laju sampai sebesar 90% cepat, meningkatkan kualitas hidup, dan
pada tingkat individu dan sebesar 60% pada menurunkan kekambuhan TB.
tingkat populasi, selain itu mampu Program Pengendalian Ko-infeksi
Ko TB-HIV
menurunkan rekurensi TB sebesar 50%. Indonesia berada pada tingkat epidemi
Pada pemeriksaan HIV penderita TB yang HIV terkonsentrasi (concentrate
concentrated epidemic)
memberikan hasil positif, rekomendasi kecuali Tanah Papua yang termasuk
penggunaan terapi ARV adalah: epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar
1. Mulai terapii ARV sesegera mungkin infeksi baru diperkirakan terjadi pada
setelah terapi TB dapat ditoleransi. beberapa sub-populasi
populasi berisiko tinggi yaitu
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari pengguna Napza suntik (penasun), hetero
8 minggu, berapapun jumlah CD4. dan homoseksual (WPS, waria). Menurut
2. Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI data Kementerian
nterian Kesehatan RI hingga akhir
pada pasien yang memulai terapi ARV Desember 2010, infeksi HIV pada pasien TB
selama dalam terapi TB. Rifampisin dapat di Indonesia diperkirakan sekitar 3%; di
menurunkan an kadar nelfinavir dan Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi
nevirapin. Obat yang dapat digunakan termasuk populasi di Lapas/Rutan angkanya
AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah diperkirakan lebih tinggi (Depkes RI, 2007).
OAT selesai,, EFV dapat diganti dengan Koordinasi program TB-HIV
TB diperlukan
NVP. untuk mencegah HIV pada pasien TB,
301
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
302
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013
303