Anda di halaman 1dari 9

Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

INFEKSI HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) PADA PENDERITA


TUBERKULOSIS

I Made Kusuma Wijaya


Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan Dan Rekreasi
Fakultas Olahraga Dan Kesehatan UNDIKSHA
email: imadekusumawijaya@yahoo.co.id

Abstrak

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang sudah sejak lama endemis di Indonesia
dan saat ini Indonesia berada pada ranking kelima negara dengan beban tuberkulosis
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi tuberkulosis semua kasus adalah sebesar 660,000
dan insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun dengan jumlah kematian
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. HIV/AIDS adalah masalah besar yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Indonesia merupakan negara
dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di Asia. Secara nasional, angka
estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2% dengan estimasi jumlah orang
dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000. Koinfeksi HIV dan tuberkulosis
menimbulkan berbagai permasalahan baru. Infeksi HIV merupakan faktor resiko untuk
berkembangnya tuberkulosis melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten,
progresivitas yang cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan mycobacterium
tuberculosis. Dengan infeksi HIV maka angka penyakit tuberkulosis mengalami
peningkatan. Pasien HIV memiliki kemungkinan 20-37 kali lipat akan memiliki tuberkulosis
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki infeksi HIV. Estimasi nasional prevalensi
HIV pada pasien tuberkulosis baru adalah 2.8%. Dalam hal penanganan penyakit juga
mengalami berbagai permasalahan, antara lain diagnosis yang salah karena sulit
menegakkan diagnose, angka kesakitan/kematian yang tinggi selama pengobatan,
resistensi obat dan berbagai permasalahan sosial, kultural & ekonomi yang perlu
mendapatkan perhatian yang lebih serius.

Kata-kata kunci: Tuberkulosis, HIV, koinfeksi

1. Pendahuluan Dewasa ini dunia telah mengalami


suatu pandemi virus HIV (Human
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab
merupakan penyakit menular yang endemis AIDS. Penyakit HIV/AIDS sampai sekarang
di Indonesia dan saat ini Indonesia berada masih ditakuti karena sangat mematikan.
pada ranking kelima negara dengan beban HIV/AIDS juga telah menimbulkan berbagai
TB tertinggi di dunia. Kasus TB ditemukan di krisis (kesehatan, pembangunan, ekonomi,
seluruh propinsi yang ada di Indonesia pendidikan dan kemanusiaan). HIV/AIDS
dimana Papua, DKI Jakarta dan Banten adalah masalah besar yang mengancam
adalah 3 propinsi dengan jumlah kasus TB Indonesia dan banyak negara di seluruh
terbesar di Indonesia. Estimasi prevalensi dunia. Indonesia merupakan negara dengan
TB semua kasus adalah sebesar 660,000 percepatan peningkatan epidemi HIV yang
dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 tertinggi di Asia. Secara nasional, angka
kasus baru per tahun. Jumlah kematian estimasi prevalensi HIV pada populasi
akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per dewasa adalah 0,2% dengan estimasi
tahunnya (Kemenkes RI, 2011). jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
Sejak tahun 1940 sampai 1970an sekitar 190.000-400.000 (Kemenkes RI,
ditemukan berbagai obat TB sehingga 2011).
angka TB diberbagai negara Eropa dan Antara TB dan HIV mempunyai
Amerika menurun dengan amat tajam dari hubungan yang kuat karena dengan infeksi
waktu ke waktu, tetapi belakangan tampak HIV maka kasus tuberkulosis mengalami
fenomena baru dan penurunan yang tajam peningkatan sebaliknya juga tuberkulosis
ini tidak terjadi. Beberapa faktor jelas meningkatkan progresivitas HIV. Infeksi HIV
berperan dalam perlambatan penurunan TB merupakan faktor resiko untuk
ini seperti perpindahan penduduk, berkembangnya TB melalui mekanisme
pengungsi akibat perang, kemiskinan dan berupa reaktivasi infeksi laten, progresivitas
infeksi HIV (Wisharila, dkk., 2012). pada infeksi primer atau reinfeksi dengan
mycobacterium tuberculosis sehingga akan

295
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

meningkatkan kasus tuberkulosis di menjadi sakit TB setiap tahun (Depkes RI,


masyarakat. Koinfeksi HIV dan tuberkulosis 2007).
ini menimbulkan berbagai permasalahan Faktor-faktor yang mempengaruhi
baru antara lain: diagnosis yang salah kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
karena sulit menegakkan diagnose, angka adalah daya tahan tubuh yang rendah,
kesakitan/ kematian cukup tinggi selama diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
pengobatan, resistensi obat dan berbagai (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko
persoalan sosial, kultural & ekonomi yang yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
perlu mendapatkan perhatian yang lebih menjadi sakit TB. Infeksi HIV
besar dari berbagai pihak. mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity),
2. Kajian Pustaka sehingga jika terjadi infeksi penyerta
A. Tuberkulosis (Tb) (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang bersangkutan akan menjadi sakit
menular langsung yang disebabkan oleh parah bahkan bisa mengakibatkan
kuman TB yaitu mycobacterium tuberculosis kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
yang pada umumnya menyerang jaringan meningkat, maka jumlah pasien TB akan
paru, tetapi dapat juga menyerang organ meningkat, dengan demikian penularan TB
lainnya. Gejala utama dari pasien TB adalah di masyarakat akan meningkat pula.
batuk berdahak selama 2-3 minggu atau Riwayat alamiah pasien TB yang tidak
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala diobati adalah sebagai berikut: pasien yang
tambahan yaitu dahak bercampur darah, tidak diobati, maka setelah 5 tahun 50%
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, meninggal, 25% akan sembuh sendiri
nafsu makan menurun, berat badan dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan
menurun, malaise, berkeringat malam hari 25% menjadi kasus kronis yang tetap
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih menular.
satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas Pada orang dewasa diagnosis TB
dapat dijumpai pula pada penyakit paru paru didapatkan dari hasil pemeriksaan
selain TB, seperti bronkiektasis, bronchitis dahak. Semua tersangka TB diperiksa 3
kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain. spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
Sumber penularan adalah pasien TB paru sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB
dengan BTA positip, yaitu pada waktu Paru pada orang dewasa ditegakan dengan
pasien batuk atau bersin yang dapat ditemukannya kuman TB (BTA positif). Pada
menyebarkan kuman ke udara dalam program TB nasional, penemuan BTA
percikan ludah (droplet). Droplet yang melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
mengandung kuman dapat bertahan di merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
udara pada suhu kamar selama beberapa lain seperti foto thorak, biakan dan uji
jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet kepekaan dapat digunakan sebagai
tersebut terhirup kedalam saluran penunjang diagnosis sepanjang sesuai
pernafasan dan daya tahan tubuh dengan indikasinya. Pemeriksaan dahak
seseorang dalam keadaan lemah pula dilakukan dengan mengumpulkan 3
(Suradi, 2013). spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
Resiko penularan tergantung dari dua hari kunjungan yang berurutan berupa
tingkat penularan dengan percikan dahak. sewaktu-pagi-sewaktu (Depkes RI, 2007).
Pasien TB paru dengan BTA positip 1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada
memberikan kemungkinan resiko penularan saat tersangka TB datang berkunjung
lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA pertama kali.
negatif. Resiko penularan setiap tahunnya 2. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah
ditunjukan dengan Annual Risk of pada hari kedua, segera setelah bangun
Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi tidur.
penduduk yang beresiko terinfeksi TB 3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK
selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi pagi.
setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi Bila diagnosis telah ditegakkan
antara 1-3%. Hanya sekitar 10% yang dengan pemeriksaan dahak ataupun
terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan radiologis maka dapat diperoleh klasifikasi
ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 dari penderita TB tersebut dan selanjutnya
penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dapat dilakukan pengobatan. Pengobatan
dan 10% diantaranya (100 orang) akan yang dianjurkan oleh WHO dan IULTLD

296
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

tahun 1996 dengan paduan Obat Anti TBC kelenjar limfe, pleuritis
Tuberkulosis (OAT) standar yang terdiri dari eksudativa, TBC kulit, TBC tulang
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, (kecuali tulang belakang), sendi dan
Streptomycin dan Ethambutol dengan kelenjar adrenal.
standar yang dinyatakan dalam kategori 1, 4). OAT sisipan (HRZE) Pada akhir bulan
kategori 2, kategori 3 dan sisipan. Pada ke 2 maka diteruskan dengan
pengobatan dengan strategi DOTS OAT pengobatan (4H3R3) fase lanjutan.
dibagi dalam 3 kategori yaitu: Apabila pada pemberian pengobatan
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Pada tahap kategori 1 atau kategori 2
intensif obat ini terdiri dari Isoniasid, pemeriksaan dahak setelah fase
Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol. intensif hasil BTA masih (+) maka
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 diberikan obat sisipan (HRZE) setiap
bulan (2 HRZE). Kemudian dilanjutkan hari selama 1 bulan.
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari B. HIV/AIDS
Isoniazid dan Rifampisisn diberikan 3 kali HIV (Human Immunodeficiency Virus)
dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini adalah sejenis virus yang menyerang sistem
diberikan untuk penderita (a) Penderita kekebalan tubuh manusia dan dapat
baru TBC paru BTA positif, (b) Penderita menimbulkan AIDS. HIV/AIDS adalah
baru TBC paru BTA negatif, rontgen masalah besar yang mengancam Indonesia
positif yang sakit berat, (c) Penderita dan banyak negara di seluruh dunia.
TBC extra paru berat. Indonesia merupakan negara dengan
2. Kategori 2 (2HRZES/HRSE/5H3R3E3) percepatan peningkatan epidemi HIV yang
OAT ketegori 2 ini diberikan untuk tertinggi di Asia. Secara nasional, angka
penderita BTA positif yang sudah pernah estimasi prevalensi HIV pada populasi
minum OAT selama lebih sebulan yaitu : dewasa adalah 0,2% dengan estimasi
a. Penderita kambuh (relaps) jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
b. Penderita gagal (failure) sekitar 190.000-400.000. Epidemi HIV/AIDS
c. Penderita dengan pengobatan setelah terjadi hampir di seluruh provinsi di
lalai (after default) Indonesia, disertai kesenjangan yang cukup
Fase pengobatan ketegori 2 yaitu : besar pada berbagai karakteristik, geografis,
1). Pengobatan fase intensif yaitu kapasitas sistem kesehatan, dan sumber
pemberian OAT setiap hari selama 3 yang tersedia (Kemenkes RI, 2010).
bulan terdiri dari 2 bulan diberikan Virus HIV merupakan retrovirus yang
HRZE dan suntikan Streptomycin termasuk golongan virus RNA. Disebut
setiap hari, suntikan diberikan setelah retrovirus karena memiliki enzim reverse
menelan obat di UPK. Kemudian trancriptase yang memungkinkan virus
dilanjutkan setiap hari HRZE selama mengubah informasi genetiknya yang
satu bulan. Bila hasil pemeriksaan berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA
dahak ulang BTA positif pada akhir yang kemudian diintegrasikan ke dalam
bulan ke 3, pengobatan diteruskan informasi genetik sel linfosit yang diserang.
dengan OAT sisipan selama satu Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan
bulan. Setelah pengobatan sisipan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi
dilanjutkan pemeriksaan dahak ulang, dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-
kemudian diteruskan dengan fase ciri HIV. HIV menyerang salah satu jenis
lanjutan tanpa melihat hasil dari sel-sel darah putih yang bertugas
pemeriksaan BTA. menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
2). Pengobatan fase lanjutan bila : terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai
pemeriksaan dahak ulang BTA negatif sebuah marker atau penanda yang berada
pada akhir bulan ke 3 maka di permukaan sel limfosit. Karena
diteruskan dengan pengobatan berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
(5H3R3E3), fase lanjutan selama 5 manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
bulan diberikan 3 kali dalam darah putih atau limfosit yang seharusnya
seminggu, demikian pula fase lanjutan berperan dalam mengatasi infeksi yang
diberikan pada penderita yang telah masuk ke tubuh manusia (Depkes RI, 2006).
selesai OAT sisipan. Penularan HIV dapat melalui berbagai
3). Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Kategori 3 cara yaitu: (1)Hubungan seksual (baik
ini diberikan untuk Penderita baru BTA homoseksual maupun heteroseksual yang
negatif dan rontgen positif sakit ringan merupakan penularan infeksi HIV yang
dan Penderita ekstra paru ringan yaitu paling sering terjadi), (2)Transmisi

297
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

parenteral yaitu akibat penggunaan jarum digunakan untuk mendeteksi HIV-1 tipe M,
suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) N, O serta HIV-2. Hasil ELISA yang positif
yang telah terkontaminasi, resiko tertular sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
cara transmisi parenteral ini kurang dari 1%, konfirmasi yaitu Western Blot. Kriteria
(3)Darah/produk darah yaitu transmisi diagnostik spesifik yang dihasilkan dari
melalui transfusi dimana resiko tertular pemeriksaan tersebut termasuk positif,
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih negatif, maupun indeterminate. Hitung Sel T
dari 90%, (4)Transmisi transplasental yaitu CD4+: Pemeriksaan ini adalah indikator
penularan dari ibu yang mengandung HIV yang cukup dapat diandalkan untuk
positif ke anak mempunyai resiko sebesar mengetahui risiko terkena infeksi
50%. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik oportunistik. Persentase <25% adalah
secara langsung dengan diperantarai benda indikasi memulai terapi. Viral Load (VL): VL
tajam yang mampu menembus dinding pada darah perifer biasanya dipakai sebagai
pembuluh darah atau secara tidak langsung penanda alternatif untuk mengetahui laju
melalui kulit dan mukosa yang intak seperti replikasi virus. Akan tetapi, pemeriksaan VL
yang terjadi pada kontak seksual. Selama kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat
dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia diagnosis, karena kemungkinan adanya
dengan disertai gejala dan tanda infeksi positif palsu. Pemeriksaan HIV Sekunder:
virus akut seperti panas tinggi mendadak, Kultur virus dapat digunakan pada
nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, pemeriksaan resistensi obat secara
muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain- fenotipik, walaupun sensitivitasnya
lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral berkurang seiring dengan menurunnya VL.
akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 Temuan Histologis: Pemeriksaan PA dapat
dan peningkatan HIV-RNA (Viral load). Viral memberikan gambaran infeksi HIV atau
load akan meningkat dengan cepat pada AIDS. Pemeriksaan lainnya yaitu: BUN,
awal infeksi, kemudian turun sampai pada kreatinin serum, serta urinalisis lengkap,
suatu titik tertentu. Dengan semakin dilakukan untuk mengetahui nefropati yang
berlanjutnya infeksi, viral load secara terasosiasi HIV.
perlahan cenderung terus meningkat. Terapi Antiretroviral/ARV merupakan
Keadaan tersebut akan diikuti penurunan bagian dari Integrated Management of
hitung CD4 secara perlahan dalam waktu Adolescence and Adult Illness (IMAI). Selain
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 sebagai tatalaksana, saat ini terapi ARV
yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 juga dianggap sebagai suatu bentuk
tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium pencegahan. Terapi ARV yang baik pada
AIDS. ODHA akan menurunkan penyebaran HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium hingga 92%. Terapi antiretroviral, sebaiknya,
untuk HIV sesuai dengan panduan nasional diberikan dalam bentuk kombinasi dan
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan dipantau secara ketat untuk mengevaluasi
menggunakan strategi 3 dan selalu kemajuan terapi, munculnya efek samping,
didahului dengan konseling pra tes atau dan kemungkinan timbulnya resistensi. Obat
informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat antiretrovirus dapat dibagi menjadi lima
menggunakan reagen tes cepat atau golongan, yaitu:
dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama 1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase
(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas Inhibitor): NRTI juga bekerja pada tahap
yang tinggi (>99%), sedang untuk awal replikasi virus HIV sehingga obat ini
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) akan menghambat infeksi akut pada sel
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi yang rentan, tetapi hanya sedikit berefek
(>99%). Antibodi biasanya baru dapat pada sel yang telah terinfeksi HIV.
terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 Contoh: zidovudin, didanosin, zalsitabin,
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut stavudin, lamivudin, emtrisitabin,
masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan abakavir.
dalam masa jendela menunjukkan hasil 2. NtRTI (Nucleotide reverse Transcriptase
”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, Inhibitor): Tenofovir disoproksil fumarat
terutama bila masih terdapat perilaku yang merupakan NtRTI pertama untuk terapi
berisiko (Kemenkes RI, 2011). infeksi HIV-1. Reaksi obat ini lebih cepat
Modalitas skrining yang banyak dan konversinya menjadi bentuk aktif
digunakan yaitu ELISA (enzyme-linked lebih sempurna. Contoh: Tenofovir
immunoabsorbent assay) dengan disoproksil.
sensitivitas tinggi. Kebanyakan ELISA dapat

298
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

3. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse menunjukkan bahwa risiko TB pada pasien


Transcriptase Inhibitor): Golongan obat tanpa terapi ARV adalah sebanyak 2 kali
ini hanya efektif terhadap HIV-1,. Contoh: lipat dari pasien yang telah mendapat ARV.
nevirapin, delavirdin, efavirenz. C. KO-INFEKSI TB-HIV
4. PI (Protease Inhibitor): Golongan PI Pandemi HIV/AIDS di dunia
bekerja menghambat maturasi virus. menambah permasalahan TB. Ko-infeksi
Oleh karena itu, sel akan menghasilkan dengan HIV akan meningkatkan risiko
partikel virus yang imatur dan tidak kejadian TB secara signifikan. Di samping
virulen. Contoh: sakuinavir, ritonavir, itu TB merupakan penyebab utama
indinavir, nelfinavir, amprenavir, lopinavir, kematian pada ODHA (sekitar 40-50%).
atazanavir. Kematian yang tinggi ini terutama pada TB
5. Viral Entry Inhibitor: Golongan obat ini paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang
berkerja dengan cara menghambat kemungkinan besar disebabkan
masuknya HIV ke sel melalui reseptor keterlambatan diagnosis dan terapi TB.
CXCR4. Sebagian besar orang yang terinfeksi
Pemilihan regimen terapi tergantung kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)
pada efikasi virologis, toksisitas, biaya, tidak menjadi sakit TB karena mereka
frekuensi dosis dan kepatuhan, potensi mempunyai sistem imunitas yang baik.
interaksi obat, hasil tes resistensi, dan Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal
kondisi komorbid. Untuk memulai terapi sebagai infeksi TB laten. Namun, pada
antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan orang-orang yang sistem imunitasnya
jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan menurun misalnya ODHA maka infeksi TB
stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut laten tersebut dengan mudah berkembang
adalah untuk menentukan apakah penderita menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10%
sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi
atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi kuman TB maka akan menjadi sakit TB
cara memulai terapi ARV pada ODHA sepanjang hidupnya; sedangkan pada
dewasa (Kemenkes RI, 2011). ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4: dalam kuman TB akan menjadi sakit TB aktif.
hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa
maka penentuan mulai terapi ARV epidemi HIV tentunya akan menyulut
adalah didasarkan pada penilaian klinis. peningkatan jumlah kasus TB dalam
b. Tersedia pemeriksaan CD4, reko- masyarakat (Kemenkes RI, 2012).
mendasi: (1) Mulai terapi ARV pada Pasien TB dengan HIV positif dan
semua pasien dengan jumlah CD4 <350 ODHA dengan TB disebut sebagai pasien
sel/mm3 tanpa memandang stadium ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan
klinisnya. (2) Terapi ARV dianjurkan pada WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di
semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta
dan koinfeksi Hepatitis tanpa orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV
memandang jumlah CD4. tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika,
Apabila setelah memulai terapi 6 namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi
bulan dengan kepatuhan yang tinggi dan TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara.
tidak terjadi respon terapi yang diharapkan, Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa
maka perlu dicurigai kemungkinan gagal epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada
terapi. Gagal terapi menggunakan 3 kriteria, meningkatnya kasus TB. Jadi, pengendalian
yaitu kriteria klinis, imunologis, dan virologis. TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa
Jumlah virus (viral load/VL) yang menetap di keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini
atas 5000 kopi/ml dapat mengkonfirmasi berarti bahwa upaya-upaya pencegahan
gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak HIV dan perawatan HIV haruslah juga
tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola
menentukan gagal terapi secara klinis. program TB (Depkes RI, 2007).
Pengobatan infeksi oportunistik sebaiknya Menurut data UNAIDS (United
langsung ditargetkan pada etiologi Programmes on HIV AIDS) yaitu badan
infeksinya. Jika keadaan tidak WHO dunia yang menanggulangi
memungkinkan, sebenarnya meningkatkan permasalahan AIDS memperkirakan bahwa
jumlah CD4 dan mengurangi VL sudah AIDS telah membunuh lebih dari 24 juta
dapat menghilangkan risiko maupun orang di dunia sejak tahun 1981 dan
komorbiditas infeksi oportunistik secara menjadikannya sebagai suatu destruksi
signifikan. Khusus untuk TB, studi HAART pandemik yang terbesar dalam sejarah

299
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

manusia. Sampai saat ini, benua Afrika ditemukan tahun 2009, 1,2 juta di antaranya
masih menjadi region terbanyak dengan adalah pasien HIV.
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu
Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di daerah, semakin tinggi juga prevalensi
Afrika Selatan menurut UNAIDS pada tahun koinfeksi HIV-TB TB di daerah tersebut.
2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang Konsekuensi ko-infeksi
infeksi HIV dan
yang telah menjadi ODHA (Orang Dengan M.tuberculosis adalah Infeksi HIV akan
HIV AIDS), dengan rata-ratarata prevalensi usia memudahkan
udahkan terjadinya infeksi M.tb. Infeksi
15-49
49 tahun sekitar 5,4 juta orang, 3,2 juta HIV meningkatkan risiko reaktivasi infeksi
diantaranya termasuk wanita 15 tahun laten M.tb dan meningkatkan risiko sakit TB
keatas, 280.000 anak-anak
anak usia
us 0-14 tahun setelah terinfeksi atau reinfeksi oleh M.tb.M.tb
dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV Infeksi HIV tidak hanya meningkatkan
AIDS yang meninggal. Kemudian disusul jumlah kasus TB tapi juga mengubah
Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total perjalanan klinis TB. Infeksi TB diketahui
keseluruhan, sehingga menyebabkan akan mempercepat progresivitas infeksi HIV
kematian lebih dari 500.000 anak karena akan meningkatkan replikasi HIV.
(Wisharilla, dkk., 2012) Walaupun dampak Semakin meningkatnya immunosupresi
yang ditimbulkan
lkan akibat HIV paling nyata di yang dihubungkan dengan HIV maka
Afrika namun angka morbiditas dan gambaran klinis TB akan berubah, jumlah
mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling sputum BTA dengan hasil negatif meningkat
m
banyak di Asia Tenggara. Situasi di Asia dan kasus TB ekstra paru juga meningkat.
berpotensi untuk menyebabkan peningkatan Kelompok yang terinfeksi HIV akan
koinfeksi ini karena beberapa alasan yaitu meningkatkan risiko menderita TB 10%
karena prevalensi TB laten di Asia lebih pertahun, sedangkan kelompok yang tidak
tinggi dibandingkan Afrika (40-45%
(40 di Asia terinfeksi HIV hanya memiliki risiko tertular
dan 30% di Afrika), persentase jumlah 70% seumur hidupnya (Surjanto, dkk.,
populasi penduduk yang tinggal di 2011). Manifestasi
estasi Klinis terdapat
lingkungan kumuh lebih besar di Asia perbedaan manifestasi klinis antara pasien
sehingga mempermudah penularan serta TB-HIV
HIV dengan infeksi HIV dini dan infeksi
prevalensi TB dengan resistensi obat yang lanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan pula
lebih
bih besar pada daerah Asia Tenggara pendekatan klinis yang berbeda untuk
akibat program pengobatan TB yang tidak mendiagnosisnya. Selain itu, apabila
efektif. WHO memperkirakan akan adanya dibandingkan dengan pasien TB non-HIV, no
peningkatan yang dramatis infeksi HIV di hasil BTA lebih sering negatif, foto polos
Asia pada dekade berikutnya. Pasien HIV lebih sering atipikal, dan TB lebih sering
memiliki kemungkinan 20-37 37 kali lipat akan ekstraparu. Hal ini diakibatkan oleh sistem
memiliki TB dibandingkan
dingkan dengan orang imun yang sudah terganggu sehingga reaksi
yang tidak memiliki infeksi HIV. TB adalah imun terhadap TB berbeda dari orang biasa.
salah satu penyebab utama kematian pada Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
men
pasien HIV secara global. Dari 1,7 juta karakteristik TB-HIV ini.
orang yang meninggal karena TB tahun Apabila seorang pasien sudah didiagnosis
2009, 400.000 di antaranya adalah pasien menderita TB, maka terdapat juga
HIV. Dari 9,4 juta kasus TB yang baru b gambaran klinis penderita HIV, seperti dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Diagnosis untuk memastikan diagnosis TB paru


Diagnosis TB pada pasien dengan adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks
level CD4 yang sudah diketahui. dan jika memungkinkan dilakukan
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan pemeriksaan CD4.

300
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

Gambaran penderita TB-HIV


HIV dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Untuk daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi Untuk Memulai pengobatan ARV pada
dan dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, TB pasien sedang dalam pengobatan TB dapat
dipakai pedoman sebagai berikut: terapi
konseling dan pemeriksaan HIV sangat
ARV diberikan untuk semua ODHA yang
diperlukan untuk seluruh kasus TB sebagai menderita TB tanpa memandang jumlah
bagian dari penatalaksanaan rutin. Daerah CD4. Namun pengobatan TB tetap
dengan prevalensi yang rendah, konseling dan merupakan prioritas utama untuk pasien dan
pemeriksaan HIV diindikasikan pada pasien TB tidak boleh terganggu oleh terapi ARV.
Seperti telah dijelaskan di atas, pengobatan
dengan keluhan dan gejala HIV atau dengan ARV perlu dimulai meskipun pasien
pas sedang
riwayat risiko tinggi terpajan HIV. dalam pengobatan TB. Perlu diingat,
Pengobatan pengobatan TB di Indonesia selalu
Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV mengandung Rifampisin sehingga pasien
pada dasarnya sama dengan pengobatan dalam pengobatan TB dan mendapat
TB tanpa HIV/AIDS, yaitu kombinasi pengobatan ARV bisa mengalami masalah
beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu interaksi obat dan efek samping obat yang
yang tepat. Kategori pengobatan TB tidak serupa sehingga memperberat
memperbe efek samping
dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB obat. Paduan pengobatan ARV yang
tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional mengandung Efavirenz (EFV) diberikan bila
Program Pengendalian
gendalian TB (BPN PPTB). pengobatan ARV perlu dimulai pada pasien
Pada prinsipnya pengobatan TB pada sedang dalam pengobatan TB. Di samping
pasien ko-infeksi
infeksi TB HIV harus diberikan itu, ODHA dengan TB juga diberikan PPK.
segera sedangkan pengobatan ARV dimulai Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah
setelah pengobatan TB dapat ditoleransi banyak
anyak sehingga mungkin perlu beberapa
dengan baik, dianjurkan diberikan paling perubahan dalam paduan ARV. Setiap
cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu. perubahan tersebut harus dijelaskan secara
Pasien TB-HIV HIV yang tidak mendapatkan seksama kepada pasien dan pengawas
respon pengobatan, harus dipikirkan adanya menelan
nelan obat (Kemenkes RI, 2012).
resistensi atau malabsorbsi obat sehingga Rekomendasi tersebut diharapkan
dosis yang diterima tidak cukup untuk un terapi dapat menurunkan angka kematian ko- ko
(Kemenkes RI, 2012). infeksi TB-HIV,
HIV, menurunkan transmisi bila
Terapi dengan Anti Retro Viral (ARV) semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih
dapat menurunkan laju sampai sebesar 90% cepat, meningkatkan kualitas hidup, dan
pada tingkat individu dan sebesar 60% pada menurunkan kekambuhan TB.
tingkat populasi, selain itu mampu Program Pengendalian Ko-infeksi
Ko TB-HIV
menurunkan rekurensi TB sebesar 50%. Indonesia berada pada tingkat epidemi
Pada pemeriksaan HIV penderita TB yang HIV terkonsentrasi (concentrate
concentrated epidemic)
memberikan hasil positif, rekomendasi kecuali Tanah Papua yang termasuk
penggunaan terapi ARV adalah: epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar
1. Mulai terapii ARV sesegera mungkin infeksi baru diperkirakan terjadi pada
setelah terapi TB dapat ditoleransi. beberapa sub-populasi
populasi berisiko tinggi yaitu
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari pengguna Napza suntik (penasun), hetero
8 minggu, berapapun jumlah CD4. dan homoseksual (WPS, waria). Menurut
2. Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI data Kementerian
nterian Kesehatan RI hingga akhir
pada pasien yang memulai terapi ARV Desember 2010, infeksi HIV pada pasien TB
selama dalam terapi TB. Rifampisin dapat di Indonesia diperkirakan sekitar 3%; di
menurunkan an kadar nelfinavir dan Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi
nevirapin. Obat yang dapat digunakan termasuk populasi di Lapas/Rutan angkanya
AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah diperkirakan lebih tinggi (Depkes RI, 2007).
OAT selesai,, EFV dapat diganti dengan Koordinasi program TB-HIV
TB diperlukan
NVP. untuk mencegah HIV pada pasien TB,

301
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

mencegah TB pada pasien HIV, AIDS juga telah dilaksanakan yang


pemeriksaan pasien dan kontak (TB dan menghasilkan luaran rencana kegiatan TB-
HIV), Koordinasi pengobatan dan HIV tahunan.
penyediaan obat. Prinsip pengendalian TB Menurut Depkes RI (2007), strategi
tetap sama meskipun terdapat banyak pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di
pasien ko-infeksi TB-HIV. Meskipun Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:
demikian, di populasi yang banyak terdapat a. Membentuk mekanisme kolaborasi
pasien ko-infeksi TB-HIV maka layanan • Membentuk kelompok kerja.
kesehatan berjuang untuk menanggulangi • Melaksanakan surveilans HIV pada
meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien pasien TB.
TB. Konsekuensinya adalah overdiagnosis • Melaksanakan perencanaan bersama
TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam TB-HIV.
diagnosis), underdiagnosis TB paru BTA • Melaksanakan monitoring dan
positif (karena beban kerja petugas evaluasi.
laboratorium), pengawasan terhadap OAT b. Menurunkan beban TB pada ODHA
tidak adekuat, angka kesembuhan yang • Mengintensifkan penemuan kasus TB
rendah, angka kesakitan tinggi selama dan pengobatannya.
perawatan, angka kematian tinggi selama • Menjamin pengendalian infeksi TB
perawatan,angka kegagalan tinggi karena pada layanan kesehatan dan tempat
efek samping, tingginya angka pasien TB orang terkumpul (rutan/lapas, panti
yang kambuh, meningkatnya penularan rehabilitasi napza).
strain M.tb yang resisten obat pada pasien c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
yang terinfeksi HIV pada lingkungan yang • Menyediakan konseling dan tes HIV.
padat seperti lapas/rutan (Depkes RI, 2007).
• Pencegahan HIV dan IMS.
Menurut WHO kegiatan kerjasama
• Pengobatan preventif dengan
TB/HIV sangat penting untuk menjamin
kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya.
bahwa pasien TB dengan HIV positif dapat
di identifikasi dan diobati dengan tepat dan • Perawatan, dukungan dan
mencegah HIV pada pasien TB. Kegiatan ini pengobatan (PDP) ARV untuk
meliputi kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS.
HIV (membentuk badan koordinasi TB-HIV Di daerah dengan prevalensi tinggi
yang melaksanakan perencanaan, infeksi HIV dan di mana infeksi TB dan HIV
monitoring dan evaluasi secara bersamaan), cenderung berdampingan maka konseling
pengendalian infeksi di layanan kesehatan, dan tes HIV diindikasikan bagi semua pasien
test HIV pada pasien TB dan pemeberian tuberkulosis sebagai bagian dari
kotrimokzasol untuk terapi pencegahan. penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan
(WHO, 2009). prevalensi HIV yang lebih rendah, konseling
Kolaborasi TB-HIV di Indonesia dan tes diindikasikan untuk pasien
diinisiasi pada tahun 2004 oleh kelompok tuberkulosis dengan gejala dan/atau tanda-
ahli TB dan HIV. Dengan berkembangnya tanda kondisi yang berhubungan dengan
isu terkait TB-HIV, pada tahun 2007 HIV dan pada pasien TB memiliki sejarah
dikeluarkanlah buku Kebijakan Nasional sugestif risiko tinggi terpajan HIV. Semua
Kolaborasi TB-HIV yang menjadi acuan pasien dengan infeksi TB dan HIV harus
pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di dievaluasi untuk menentukan jika ada
Indonesia. Sejak tahun 2008 sampai saat ini indikasi terapi antiretroviral selama
telah dilakukan sosialisasi Kebijakan pengobatan TB. Pengaturan yang tepat
Kolaborasi TB-HIV ditandai dengan untuk akses ke antiretroviral obat harus
terbentuknya kelompok kerja TB-HIV di dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi
tingkat Pusat, Provinsi bahkan sampai untuk pengobatan . Mengingat kompleksnya
tingkat Kabupaten/Kota. Koordinasi di tingkat tugas dalam pengobatan anti tuberkulosis
fasilitas pelayanan kesehatan dijalankan dan terapi antiretroviral, konsultasi dengan
sesuai dengan model kolaborasi yang telah dokter yang ahli penyakit dalam daerah ini
disepakati bersama. Beberapa rumah sakit sangat direkomendasikan sebelum mulai
(RS) menerapkan model pelayanan. pengobatan untuk tuberkulosis dan infeksi
kolaborasi secara paralel dan beberapa HIV. Namun, memulai pengobatan untuk TB
menggunakan model pelayanan secara tidak harus ditunda. Pasien dengan infeksi
terintegrasi (pelayanan satu atap). TB dan HIV juga seharusnya diberi
Perencanaan bersama antara program kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi
pengendalian TB dan program pengendalian lainnya.

302
Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013

3. Penutup Infeksi HIV/AIDS. Bagian / SMF Ilmu


Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit Denpasar
menular langsung yang disebabkan oleh Depkes RI. (2006). Situasi HIV-AIDS di
Indonesia. Pusat Data dan Informasi
kuman TB yaitu mycobacterium tuberculosis. Depkes RI: Jakarta
Mycobacterium tuberculosis adalah agen --------------- (2007). Pedoman Nasional
menular yang dapat muncul sebagai Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2 cetakan
reaktivasi dari infeksi laten pada pasien pertama
imunokompromais atau sebagai infeksi --------------- (2007). Kebijakan Nasional
primer setelah adanya transmisi dari Kolaborasi TB/HIV.
manusia ke manusia pada berbagai stadium Fujiwara, P.I., Dlodlo, R.A., Ferroussier, o.,
infeksi HIV. Sebagian besar orang yang Mukwaya, A.N., Cesari, G., Boillot, F.
terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit (2012). Implementing Collaborative TB-HIV
Activities. International Union Against
tetapi menjadi infeksi laten. Dengan adanya Tuberculosis and Lung Desease.
infeksi HIV maka infeksi TB laten tersebut Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar
dengan mudah berkembang menjadi sakit 2010. Badan Penelitian dan
TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB -------------------- (2011). Strategi Nasional
maka akan menjadi sakit TB sepanjang Pengendalian TB di Indonesia 2010-1014.
hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes
menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, RI.
-------------------- (2011). Pedoman Nasional
mudah dimengerti bahwa epidemi HIV Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
tentunya akan menyulut peningkatan jumlah Antiretroviral Pada Orang Dewasa.
kasus TB dalam masyarakat. Keadaan -------------------- (2012). Petunjuk Teknis
tersebut tentunya menimbulkan berbagai Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV
persoalan baru yang perlu mendapatkan Riadi, A. (2012). Tuberkulosis Dan HIV-AIDS.
perhatian yang lebih besar dan lebih serius Jurnal Tuberkulosis Indonesia vol 8 tahun 2012
dari berbagai pihak. Dalam hal diagnosis PPTI Hal 24-29
dan pengobatan perlu mendapatkan Suradi, Rahmat, W.P., Utami, E.D.R. (2013).
perhatian akan adanya perbedaan Keterampilan Penanggulangan Tuberkulosis.
Field Lab FK UNS.
manifestasi klinis dan kaidah dalam Surjanto, E., Subagio, S.Y., Reviono, Harsini,
pemberian obat pada ko-infeksi TB-HIV. Qamariah, L. M. (2012) Profil Pasien
Perlu adanya koordinasi yang lebih baik Koinfeksi Tuberkulosis - HIV di RS
dalam pengendalian kasus koinfeksi TB-HIV Moewardi Surakarta 2010 – 2011. Jurnal
tersebut, koordinasi program TB-HIV Respir Indonesia Vol. 32, No. 2, April 2012
diperlukan untuk mencegah HIV pada pasien Uyainah, A.Z.N. (2009). TB/HIV Co-infection.
TB, mencegah TB pada pasien HIV, Devisi Pulmonologi Ilmu Penyakit Dalam FKUI/
pemeriksaan pasien dan kontak (TB dan RSCM
HIV), koordinasi pengobatan dan Wisharilla, R.M.D., Raymond S.R.W.,
Permatasari W., Budiman Y.E. (2012).
penyediaan obat serta pengendalian Tuberkulosis Pada Penderita HIV. Fakultas
berbagai dampak yang timbul. Kedokteran Universitas Indonesia
World Health Organization. (2009). Global
4. Daftar Pustaka Tuberculosis Control: epidemiology, strategy,
financing
Agustriadi, O & Sutha, I.B. (2012). Aspek
Pulmonologis Infeksi Oportunistik Pada

303

Anda mungkin juga menyukai