AUTOANTIGEN PEMFIGUS
Antigen pemfigus adalah desmoglein, yaitu glikoprotein transmembran
dari desmosom (struktur adhesi sel ke sel, dibahas pada Bab 53). Desmoglein
adalah bagian dari superfamilia cadherin pada molekul adhesi sel yang
bergantung pada kalsium. Anggota asli dari familia ini (E-cadherin) menunjukkan
interaksi adhesif hemofilik (ikatan antara molekul yang mirip). Desmoglein
menunjukkan ikatan hemofilik yang hampir sama, namun dapat juga ikut serta
dalah adhesi heterofilik dengan mengikat desmocollin, yakni glikoprotein
transmembran mayor desmosom yang lain.
Antigen PF (disebut juga dengan antigen fogo selvagem) adalah
desmoglein 1, suatu protein 160-kDa. Antigen PV adalah desmoglein 3, suatu
protein 130-kDa yang mirip 64% dan 46% identik pada urutan asam amino
dengna desmoglein 1. Seluruh pasien dengan PV memiliki antibodi
antidesmoglein 3 dan beberapa di antaranya juga memiliki antibodi
antidesmoglein 1. Pasien dengan PV dominan mukosa cenderung hanya
memiliki antibodi antidesmoglein 3, sedangkan pasien dengan penyakit
mukokutaneus biasanya memiliki antibodi antidesmoglein 3 dan 1. Pasien PFb
biasanya memiliki antibodi yang hanya melawan desmoglein 1.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa antibodi antidesmoglein 1 dan 3
pada pasien pemfigus secara langsung menyebabkan bula dan oleh sebab itu
menjadi agen etiologi penyakit ini. Transfer pasif dari IgG PV atau PF pada
mencit neonatus atau kulit manusia menyebabkan timbulnya bula yang secara
klinis dan histologi sesuai dengan jenis pemfigus pada pasien. Antibodi
antidesmoglein berperan pada pembentukan bula dalam model transfer pasif,
karena afinitas autoantibodi antidesmoglein 1 dan 3 berturut-turut menyebabkan
bula PF dan PV, dan adsorpsi autoantibodi reaktif desmoglein dari IgG PF atau
PV memutuskan proses perjalanan penyakit. Eksperimen transfer pasif yang
mirip telah dijelaskan pada manusia, dimana ibu dengan PV ringan dapat
memberikan autoantibodi IgG pada fetus, menyebabkan lepuhan di mulut dan
kulit yang akan membaik dalam waktu hampir 6 bulan, seiring dengan
menghilangnya IgG maternal dari sirkulasi.
Desmoglein 4, dimana diekspresikan dalam perkembangan korteks
rambut dan epidermis superfisial adalah target dari beberapa antibodi pemfigus.
Namun, antibodi antidesmoglein 4 pada PV mukokutan dan pada PF merupakan
hasil dari reaktivitas silang dari antibodi desmoglein 1, dan reaktivitas desmoglein
4 tidak cukup untuk akantolisis. Molekul permukaan sel lain seperti reseptor
asetilkolin dan E-chaderin juga diketahui sebagai target imunologi autoantibodi
pemfigus, meskipun keterlibatannya secara langsung dalam patofisiologi
pemfigus masih belum jelas.
PATOFISIOLOGI AKANTOLISIS
Tidak seperti banyak penyakit yang dimediasi autoantibodi yang lain
seperti pemfigoid dan epidermolisis bullosa akuisita, dimana wilayah konstan
antibodi dibutuhkan untuk pembentukan bula untuk mengaktivasi komplemen
atau mengikat reseptor antibodi pada sel inflamatori, pada pemfigus, wilayah
bervariasi dari antibodi cukup untuk menimbulkan bula pada mencit neonatus
atau kulit manusia. Karena itulah penelitian tentang patofisiologi penyakit telah
memfokuskan pada ikatan epitop oleh autoantibodi patogen, karena wilayah ini
penting dalam menjaga adhesi sel desmosom.
Penelitian pemetaan epitop telah menunjukkan bahwa autoantiodi
patogenik PV dan PF mengikat epitop konformasional sensitif kalsium pada
domain ekstraseluler aminoterminal dari desmoglen, sedangkan antibodi
nonpatogenik mengikat lebih banyak domain membran ekstraseluler proksimal.
Domain amino-terminal yang diikat oleh autoantibodi patogenik merupakan
domain yang sama yang diprediksi membentuk interaksi molekuler pada adhesi
desmoglein, berdasarkan penelitian ultrastruktur chaderin. Bukti ini merupakan
dasar utama hipotesis “steric hindrance”, yang mengajukan bahwa antibodi
patogenik secara langsung menghalangi interaksi adhesif desmoglein yang
menyebabkan akantolisis.
Penelitian pada biakan keratinosit telah menunjukkan bahwa hilangnya
adhesi interseluler oleh autoantibodi patogenik menyebabkan internalisasi dan
degradasi desmoglein, yang mengarahkan bahwa ikatan antibodi pemfigus
menyebabkan hilangnya fungsi desmoglein. Jika hal ini penyebabnya, maka
proses lain dengan hilangnya fungsi desmoglein harus meniru pemfigus.
Sebenarnya, mencit yang secara genetik mengalami defisiensi desmoglein 3
menunjukkan bula suprabasal pada mukosa mulut, secara histologi identik
dengan pasien PV. Sebagai tambahan, pemecahandesmoglein 1 oleh toksin
eksfoliatif staphylococcus (pada impetigo bulosa atau staphylococcal scalded
skin syndrome) menyebabkan bula yang secara histologi identik dengan yang
terlihat pada pasien PF.
Jika inaktivasi isoform desmoglein menghasilkan pembentukan bula,
maka mengapa bula pada PV dan PF memiliki lokalisasi jaringan yang spesifik
yang tidak memerlukan korelasi dengan tempat dimana antibodi berikatan
dengan imunofloresensi? Pada pasien PF contohnya, antibodi antidesmoglein 1
mengikat epidermis dan membran mukosa, namun bula hanya terjadi pada
epidermis superfisialis saja. Hal ini dapat dijelaskan dengan kompensasi
desmoglein, seperti yang digambarkan pada Gambar 54-1. Konsep kompensasi
desmoglein berasal dari dugaan bahwa autoantibodi melawan satu isoform
desmoglein hanya menonaktifkan isoform tersebut dan dan isoform lainnya yang
diekspresikan di area yang sama dapat mengkompensasi dalam proses adhesi.
Kompensasi desmoglein menjelaskan mengapa PF neonatus sangat jarang,
karena meskipun antibodi antidesmoglein 1 maternal memasuki plasenta, pada
kulit neonatus (bukan kulit dewasa), desmoglein 3 di-koekspresikan dengan
desmoglein 1 di permukaan epidermis, sehingga dapat melakukan proteksi
melawan hilangnya adhesi berbasis desmoglein 1. Kompensasi desmoglein juga
menjelaskan tempat pembentukan bula yang berbeda pada PF dan PV,
keduanya memperhitungkan histologi (superbasal atau superfisial), sama halnya
dengan area yang terlibat (mukosa dan/atau kulit).
Dalam mengatasi tantangan terhadap hipotesis “steric hindrance”,
beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa modulasi jalur pemberian sinyal
sel dapat mencegah pembentukan blister setelah transfer pasif IgG pemfigus
pada model neonatus mencit, termasuk mitogen activated protein kinase (MAPK)
p38 dan ρ GTP ase di antara lainnya. Masih kontroversi apakah pemberian
sinyal dilakukan secara upstream atau downstream pada hilangnya adhesi
interseluler. Meskipun demikian, konsensus umum saat ini adalah bahwa adhesi
desmosomal adalah proses dinamis yang diganggu oleh autoantibodi pemfigus.
Sehingga, terapi yang bertujuan untuk memperkuat adhesi keratinosit dengan
memodulasi jalur pemberian sinyaldapat memberi efek bermanfaat pada
pemfigus, tanpa memperhatikan apakah pemberian sinyal ke sel merupakan
penyebab utama dari penyakit.
TEMUAN KLINIS
PEMFIGUS VULGARIS
LESI KUTANEUS. Lesi kulit pada PV terasa gatal atau nyeri. Paparan radiasi
ultraviolet dapat memperluas penyakit. Lesi primer dari PV adalah bula kendor
yang dapat ditemukan di permukaan kulit manapun, namun biasanya tida
terdapat di telapak tangan dan kaki (Gambar 54-2). Biasanya bula muncul pada
permukaan kulit yang normal. Karena bula PV rapuh, lesi kulit yang sering
ditemukan adalah erosi akibat pecahnya bula. Erosi ini seringkali luas dan
cenderung menyebar ke perifer (Gambar 54-3).
Karakteristik temuan pada pasien pemfigus adalah erosi dapat meluas ke
kulit normal dengan menarik sisa dinding bula atau menggosok di perifer lesi kulit
yang aktif; sebagai tambahan, erosi dapat diinduksi pada kulit yang tampak
normal yang berjarak jauh dari lesi aktif dengan menekan atau menggeser
secara mekanis. Fenomena ini disebut dengan Nikolsky sign. Tanda ini
membedakan pemfigus dari penyakit bula lainnya pada kulit seperti pemfigoid
(Kotak 54-1); namun, temuan yang mirip juga dapat terjadi pada staphylococcal
scalded skin syndrome, Stevens–Johnson syndrome, dan toxic epidermal
necrolysis.
PEMFIGUS FOLIASESUS
LESI KUTANEUS. Karakteristik lesi klinis PF adalah bersisik, krusta yang
menjadi erosi dengan dasar eritematosa. Pada fase awal penyakit dan lebih
terlokalisir, lesi biasanya berbatas tegas dan tersebar sesuai distribusi seboroik,
termasuk wajah, kulit kepala, dan badan bagian atas (Gambar 54-5A). Lesi
primer dari bula kendor kecil biasanya tidak ditemukan. Penyakit dapat menetap
selama bertahun-tahun atau meluas menyebabkan eritroderma eksfoliatif
(Gambar 54-5B). Mirip dengan PV, PF dapat meluas akibat radiasi ultraviolet.
Pasien dengan PF sering mengeluh nyeri dan rasa terbakar pada lesi kulit.
Berkebalikan dengan PV, pasien PF sangat jarang mengalami keterlibatan
membran mukosa, meskipun penyakit sudah menyebar luas. Istilah sehari-hari
untuk endemik pemfigus di Brazil, fogo selvagem (Bahasa Portugis untuk “api
yang meluas”) memperhitungkan banyak aspek klinis penyakit : rasa terbakar di
kulit, perluasan penyakit karena sinar matahari, dan lesi krusta yang muncul
seolah-olah telah dibakar.
Gambar 54-5. Pemfigus foliaseus. A. Lesi krusta bersisik pada punggung atas. B.
Eritroderma eksfoliatif karena lesi konfluen.
PEMFIGUS NEONATORUM
Bayi yang lahir pada ibu dengan PV dapat menunjukkan tanda klinis, histologi,
dan imunopatologi dari PV. Derajat keterlibatan bervariasi sampai ke penyakit
yang cukup berat sehingga menyebabkan bayi lahir mati. Jika bayi bertahan,
penyakit cenderung sembuh karena antibodi maternal dikatabolisme. Ibu dengan
PF juga mentransmisikan autoantibodinya ke fetus, namun seperti yang sudah
dijelaskan pada sesi “Patofisiologi Akantolisis”, PF neonatorum jarang terjadi.
Pemfigus neonatorum harus dibedakan dari PV dan PE yang terjadi pada anak-
anak, dimana serupa dengan penyakit autoimun yang terlihat pada dewasa.
PENYAKIT-PENYAKIT TERKAIT
Myasthenia gravis, timoma, atau keduanya berhubungan dengan PV dan
PF. Hampir separuh kasus pemfigus yang berhubungan dengan penyakit
tersebut adalah vulgaris; sisanya foliasesus atau eritematosa. Sebagian besar
data akan tetapi melaporkan sebelum pengenalan pemfigus paraneoplastik
sebagai bentuk berbeda. Oleh sebab itu, meskipun timoma jelas berhubungan
dengan PV dan PF, dapat juga berhubungan dengan pemfigus paraneoplastik
(Lihat Bab 55). Myasthenia gravis adalah penyakit yang dimediasi autoantibodi
jaringan yang spesifik yang menyebabkan kelemahan otot rangka. Fase awal
penyakit biasanya mengenai otot wajah, menyebabkan gejala disartria, disfagia,
ptosis, atau diplopia. Penyakit dapat berkembang mengenai otot yang lebih
besar pada badan dan ekstremitas, dengan komplikasi yang fatal yaitu
keterlibatan otot respirasi. Timoma sebaliknya, biasanya asimptomatik pada
dewasa. Pada anak-anak, timoma cenderung memilki gejala batuk, nyeri dada,
sindroma vena cava superior, disfagia, dan /atau suara serak dari tumor yang
meluas.
Evaluasi myasthenia gravis lebih baik oleh ahli neurologi yang dapat
melakukan pemeriksaan neurologi dengna lengkap dan melakukan pemeriksaan
untuk emmeriksa adanya autoantibodi reseptor asetilkolin pada serum. Jalur
myasthenia gravis dan pemfigus tampak independen. demikian pula,
abnormalitas timus dapat diawali atau mengikuti onset pemfigus. Abnormalitas
timus termasuk timoma jinak atau ganas dan hiperplasia timus. Radiografi
thoraks posteroanterior dan lateral dengan atau tanpa follow-up CT scan dapat
mendeteksi sebagian besar timoma. Iradiasi timus atau timektomi meskipun
bermanfaat pada myasthenia gravis, namun tidak akan memperbaiki gejala apda
pemfigus. Meskipun hubungan ini sudah dilaporkan setidaknya pada 30 kasus,
temuan timoma atau myasthenia gravis pada pasien dengan PV atau PF masih
jarang.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Diagnosis pemfigus terletak pada biopsi kulit lesi yang baru dan secara
histologi menentukan tempat pembentukan bula, sama baiknya dengan
pemeriksaan imunokimiawi untuk mendokumentasikan adanya autoantibodi di
kulit, baik melalui imunofloresensi direct dari kulit di sekitar lesi atau
imunofloresensi indirect atau ELISA dengan serum pasien.
HISTOLOGI
Karakteristik histologi yang ditemukan pada PV adalah bula suprabasal
dengan akantolisis (Gambar 54-6). Di atas lapisan basalis, sel epidermal
kehilangan kontak sel ke sel dan membentuk bula. Seringkali keratinosit
akantolisit terletak di dalam cavitas bula. Sel basal masih melekat pada membran
basalis, namun dapat mengalami kehilangan kontak dengan sekelilingnya;
sebagai hasilnya, sel-sel tersebut dapat menunjukkan gambaran barisan batu
nisan (tombstone appearance), sebagai tanda prognosis penyakit berpotensi
fatal. Biasanya, epidermis bagian atas (satu hingga 2 lapisan sel di atas sel
basalis) tetap intak karena sel-sel ini menjaga adhesi sel-selnya. Pemfigus
vegetan tidak hanya menunjukkan akantolisis suprabasal, namun juga
papillomatosis papila dermal dan pertumbuhan ke arah bawah dari epidermis ke
dermis dengan hiperkeratosis dan pembentukan krusta dan skuama. Sebagai
tambahan, lesi pemfigus vegetans dapat menunjukkan abses intraepidermal
yang tersusun dari eosinofil dan / atau neutrofil. Lesi PV awal dapat
menunjukkan eosinofilik spongiosa.
Histopatologi bula di awal penyakit pada pasien PF menunjukkan
akantolisis (hilangnya kontak dari sel ke sel) di bawah stratum corneum dan di
lapisan granular (Gambar 54-7A). Stratum corneum seringkali kehilangan
permukaannya karena lesi. Lapisan epidermis lebih dalam di bawah lapisan
granular tetap intak. Temuan lain yang serin gmuncul adalah pustula subcorneal
dengan neutrofil dan sell epidermal akantolitik di dalam cavitas bula (Gambar 54-
7B). Temuan histologi pada PF sering tidak bisa dibedakan dari impetigo
bulosa/staphylococcal scalded skin syndrome karena bula pada penyakit ini juga
berasal dari disfungsi desmoglein 1, pada kasus ini karena pembelahan
proteolitik oleh toksin eksfoliatif staphylococcus. Oleh sebab itu, uji imunokimiawi
penting untuk mengkonfirmasi diagnosis pada PF karena hal ini akan
menunjukkan hasil negatif pada lesi bula akibat staphylococcus. Tempat
pembentukan bula pada pemfigus eritematosa sama dengan pada PF. Lesi awal
PF dapat menunjukkan eosinofilik spongiosa, sama halnya dengan lesi pada PV.
IMUNOFLUORESENSI
Tanda dari pemfigus adalah ditemukan autoantibodi IgG melawan permukaan sel
keratinosit. Autoantibodi ini pertama kali ditemukan pada serum pasien dengan
teknik imunofluoresensi tidak langsung dan kemudian ditemukan dengan
imunofluoresensi langsung dari kulit pasien.
IMUNOFLUORESENSI INDIREK
Imunofluoresensi indirek dikerjakan dengan menginkubasi serum pasien yang
diencerkan secara serial dengan substrat epitel. Dilaporkan bahwa titer
semikuantitatif (menunjukkan pengenceran terakhir saat serum menunjukkan
pola pewarnaan permukaan sel positif). Pemeriksaan ini ditawarkan oleh
sebagian besar laboratorium nasional yang besar dan tetap menunjukkan hasil
positif selama beberapa minggu hingga berbulan-bulan setelah lesi kulit sembuh.
Hal ini membuat uji diagnosis ini baik dilakukan jika pasien datang tanpa lesi kulit
yang aktif karena sudah mendapat terapi empiris dengan prednison oleh dokter
yang merujuk. Tergantung pada substrat yang digunakan untuk imunofluoresensi
indirek, lebih dari 80% pasien dengan pemfigus memiliki IgG permukaan sel
epitelial di sirkulasi (Gambar 54-8B). Substrat yang digunakan untuk mendeteksi
ikatan antibodi pemfigus pada imunofluoresense indirek memberi pengaruh
besar pada sensitivitas pemeriksaan. Umumnya, esofagus monyet lebih sensitif
dalam mendeteksi antibodi PV dan esofagus marmut atau kulit manusia normal
adalah substrat superior untuk mendeteksi antibodi PF. Pasien dengan penyakit
lokalisata fase awal dan yang mengalami remisi cenderung mendapat hasil
negatif pada uji imunofluoresense indirek. Pada pasien-pasien seperti ini,
sensitivitas yang tinggi pada ELISA dapat membantu diagnosis (lihat
pembahasan di bawah).
Pasien dengan PV dan PF biasanya menunjukkan temuan
imunofluoresense direk dan indirek yang hampir sama dengan IgG pada
permukaan sel epidermal sepanjang epidermis, meskipun terdapat perbedaan
profil autoantigem pada kedua penyakit ini. Oleh sebab itu, biasanya tidak
mungkin membedakan kedua diagnosis ini dengan pola imunofluoresensi.
Terdapat korelasi positif antara titer antibodi permukaan antisel di sirkuasi
dengan aktivitas PV dan PF, namun hal ini masih perlu dikaji. Meskipun korelasi
ini dapat diterapkan secara umum dan meskipun pada pasien yang telah
mengalami remisi sering menunjukkan remisi serologi dengan temuan
imunofluoresense direk dan indirek yang negatif, namun aktivitas penyakit pada
pasien tidak berkorelasi dengan titer imunofluoresense indirek. Sehingga, pada
penanganan pasien ini, pengamatan aktivitas penyakit lebih penting
dibandingkan titer antibodi.
Gambar 54-8. Imunofluoresense pada pemfigus. A. Imunofluoresense direk untuk IgG kulit
sekitar lesi dari pasien dengan pemfigus vulgaris. Pewarnaan permukaan sel di seluruh
epidermis. B. Imunofluoresense indirek dengan serum pada pasien pemfigus foliaseus di
kulit manusia normal. IgG pada mermukaan sel di seluruh epidermis.