Anda di halaman 1dari 17

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penemuan pemfigus sebagai penyakit spesifik yang dimediasi


autoantibodi pada desmosom menggarisbawahi keselarasan antara perawatan
klinis dengan penelitian dasar. Perkembangan mikroskop cahaya dan mikroskop
elektron memudahkan ahli dermatologi untuk mengidentifikasi morfologi dan
imunopatologi penyakit. IgG serum pasien sebagai reagen kunci untuk
membantu mengidentifikasi antigen PF dan PV. Kloning dan karakteristik antigen
pemfigus secara berkelanjutan mengarahkan perkembangan pemeriksaan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk meningkatkan sensitivitas
dan spesivisitas diagnosis penyakit, serta melanjutkan penelitian tentang
patofisiologi yang bertujuan untuk mengembangkan terapi yang lebih aman dan
efektif pada penyakit yang dapat berpotensi fatal ini.

AUTOANTIGEN PEMFIGUS
Antigen pemfigus adalah desmoglein, yaitu glikoprotein transmembran
dari desmosom (struktur adhesi sel ke sel, dibahas pada Bab 53). Desmoglein
adalah bagian dari superfamilia cadherin pada molekul adhesi sel yang
bergantung pada kalsium. Anggota asli dari familia ini (E-cadherin) menunjukkan
interaksi adhesif hemofilik (ikatan antara molekul yang mirip). Desmoglein
menunjukkan ikatan hemofilik yang hampir sama, namun dapat juga ikut serta
dalah adhesi heterofilik dengan mengikat desmocollin, yakni glikoprotein
transmembran mayor desmosom yang lain.
Antigen PF (disebut juga dengan antigen fogo selvagem) adalah
desmoglein 1, suatu protein 160-kDa. Antigen PV adalah desmoglein 3, suatu
protein 130-kDa yang mirip 64% dan 46% identik pada urutan asam amino
dengna desmoglein 1. Seluruh pasien dengan PV memiliki antibodi
antidesmoglein 3 dan beberapa di antaranya juga memiliki antibodi
antidesmoglein 1. Pasien dengan PV dominan mukosa cenderung hanya
memiliki antibodi antidesmoglein 3, sedangkan pasien dengan penyakit
mukokutaneus biasanya memiliki antibodi antidesmoglein 3 dan 1. Pasien PFb
biasanya memiliki antibodi yang hanya melawan desmoglein 1.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa antibodi antidesmoglein 1 dan 3
pada pasien pemfigus secara langsung menyebabkan bula dan oleh sebab itu
menjadi agen etiologi penyakit ini. Transfer pasif dari IgG PV atau PF pada
mencit neonatus atau kulit manusia menyebabkan timbulnya bula yang secara
klinis dan histologi sesuai dengan jenis pemfigus pada pasien. Antibodi
antidesmoglein berperan pada pembentukan bula dalam model transfer pasif,
karena afinitas autoantibodi antidesmoglein 1 dan 3 berturut-turut menyebabkan
bula PF dan PV, dan adsorpsi autoantibodi reaktif desmoglein dari IgG PF atau
PV memutuskan proses perjalanan penyakit. Eksperimen transfer pasif yang
mirip telah dijelaskan pada manusia, dimana ibu dengan PV ringan dapat
memberikan autoantibodi IgG pada fetus, menyebabkan lepuhan di mulut dan
kulit yang akan membaik dalam waktu hampir 6 bulan, seiring dengan
menghilangnya IgG maternal dari sirkulasi.
Desmoglein 4, dimana diekspresikan dalam perkembangan korteks
rambut dan epidermis superfisial adalah target dari beberapa antibodi pemfigus.
Namun, antibodi antidesmoglein 4 pada PV mukokutan dan pada PF merupakan
hasil dari reaktivitas silang dari antibodi desmoglein 1, dan reaktivitas desmoglein
4 tidak cukup untuk akantolisis. Molekul permukaan sel lain seperti reseptor
asetilkolin dan E-chaderin juga diketahui sebagai target imunologi autoantibodi
pemfigus, meskipun keterlibatannya secara langsung dalam patofisiologi
pemfigus masih belum jelas.

PATOFISIOLOGI AKANTOLISIS
Tidak seperti banyak penyakit yang dimediasi autoantibodi yang lain
seperti pemfigoid dan epidermolisis bullosa akuisita, dimana wilayah konstan
antibodi dibutuhkan untuk pembentukan bula untuk mengaktivasi komplemen
atau mengikat reseptor antibodi pada sel inflamatori, pada pemfigus, wilayah
bervariasi dari antibodi cukup untuk menimbulkan bula pada mencit neonatus
atau kulit manusia. Karena itulah penelitian tentang patofisiologi penyakit telah
memfokuskan pada ikatan epitop oleh autoantibodi patogen, karena wilayah ini
penting dalam menjaga adhesi sel desmosom.
Penelitian pemetaan epitop telah menunjukkan bahwa autoantiodi
patogenik PV dan PF mengikat epitop konformasional sensitif kalsium pada
domain ekstraseluler aminoterminal dari desmoglen, sedangkan antibodi
nonpatogenik mengikat lebih banyak domain membran ekstraseluler proksimal.
Domain amino-terminal yang diikat oleh autoantibodi patogenik merupakan
domain yang sama yang diprediksi membentuk interaksi molekuler pada adhesi
desmoglein, berdasarkan penelitian ultrastruktur chaderin. Bukti ini merupakan
dasar utama hipotesis “steric hindrance”, yang mengajukan bahwa antibodi
patogenik secara langsung menghalangi interaksi adhesif desmoglein yang
menyebabkan akantolisis.
Penelitian pada biakan keratinosit telah menunjukkan bahwa hilangnya
adhesi interseluler oleh autoantibodi patogenik menyebabkan internalisasi dan
degradasi desmoglein, yang mengarahkan bahwa ikatan antibodi pemfigus
menyebabkan hilangnya fungsi desmoglein. Jika hal ini penyebabnya, maka
proses lain dengan hilangnya fungsi desmoglein harus meniru pemfigus.
Sebenarnya, mencit yang secara genetik mengalami defisiensi desmoglein 3
menunjukkan bula suprabasal pada mukosa mulut, secara histologi identik
dengan pasien PV. Sebagai tambahan, pemecahandesmoglein 1 oleh toksin
eksfoliatif staphylococcus (pada impetigo bulosa atau staphylococcal scalded
skin syndrome) menyebabkan bula yang secara histologi identik dengan yang
terlihat pada pasien PF.
Jika inaktivasi isoform desmoglein menghasilkan pembentukan bula,
maka mengapa bula pada PV dan PF memiliki lokalisasi jaringan yang spesifik
yang tidak memerlukan korelasi dengan tempat dimana antibodi berikatan
dengan imunofloresensi? Pada pasien PF contohnya, antibodi antidesmoglein 1
mengikat epidermis dan membran mukosa, namun bula hanya terjadi pada
epidermis superfisialis saja. Hal ini dapat dijelaskan dengan kompensasi
desmoglein, seperti yang digambarkan pada Gambar 54-1. Konsep kompensasi
desmoglein berasal dari dugaan bahwa autoantibodi melawan satu isoform
desmoglein hanya menonaktifkan isoform tersebut dan dan isoform lainnya yang
diekspresikan di area yang sama dapat mengkompensasi dalam proses adhesi.
Kompensasi desmoglein menjelaskan mengapa PF neonatus sangat jarang,
karena meskipun antibodi antidesmoglein 1 maternal memasuki plasenta, pada
kulit neonatus (bukan kulit dewasa), desmoglein 3 di-koekspresikan dengan
desmoglein 1 di permukaan epidermis, sehingga dapat melakukan proteksi
melawan hilangnya adhesi berbasis desmoglein 1. Kompensasi desmoglein juga
menjelaskan tempat pembentukan bula yang berbeda pada PF dan PV,
keduanya memperhitungkan histologi (superbasal atau superfisial), sama halnya
dengan area yang terlibat (mukosa dan/atau kulit).
Dalam mengatasi tantangan terhadap hipotesis “steric hindrance”,
beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa modulasi jalur pemberian sinyal
sel dapat mencegah pembentukan blister setelah transfer pasif IgG pemfigus
pada model neonatus mencit, termasuk mitogen activated protein kinase (MAPK)
p38 dan ρ GTP ase di antara lainnya. Masih kontroversi apakah pemberian
sinyal dilakukan secara upstream atau downstream pada hilangnya adhesi
interseluler. Meskipun demikian, konsensus umum saat ini adalah bahwa adhesi
desmosomal adalah proses dinamis yang diganggu oleh autoantibodi pemfigus.
Sehingga, terapi yang bertujuan untuk memperkuat adhesi keratinosit dengan
memodulasi jalur pemberian sinyaldapat memberi efek bermanfaat pada
pemfigus, tanpa memperhatikan apakah pemberian sinyal ke sel merupakan
penyebab utama dari penyakit.

RESTRIKSI GENETIK PADA RESPON IMUN PEMFIGUS


Dibandingkan dengan populasi yang telah di-matching-kan, pasien
dengan PV mengalami peningkatan yang jelas pada antigen major
histocompatibility complex (MHC) kelas II. Pada populasi Yahudi Ashkenazi
dengan PV, secara serologi ditentukan bahwa haplotype HLA-DR4 predominan,
sedangkan pada kelompok suku yang lain dengan PV, alel DQ1 lebih dominan.
Namun, hubungan dengan kerentanan penyakit menjadi lebih menarik dalam
analasis dari alel MHC ini di tingkat genetik. Pasien dengan serotipe DR4 hampir
semuanya memiliki alel DRB1*0402 yang tidak umum, dan pasien dengan
serotipe DQ1 hampir semuanya memiliki alel DQB1*0503 yang jarang. Serupa
namun lebih kurang terbatas, alel HLA-DR berhubungan dengan PF. Rantai
protein yang dikode oleh alel MHC II PV yang bervariasi ditemukan dalam HLA-
DR4 dan DQ1 kontrol tanpa penyakit dengan hanya sedikit asam amino.
Alel MHC kelas II mengkode molekul permukaan sel yang penting untuk
presentasi antigen kepada sistem imun; sehingga dihipotesiskan bahwa molekul
MHC kelas II yang berhubungan dengan PV akan memperkenankan persentasi
peptida desmoglein 3 kepada sel T. Konsisten dengan hipotesis ini, peptida
tertentu dari desmoglein 3 diprediksi sesuai dengan ikatan peptida DRB*0402
yang ditemukan untuk menstimulasi sel T dari pasien.
Penelitian lain telah mengkonfirmasi bahwa respon imun pada pemfigus
dibatasi pada peptida desmoglein tertentu dan alel MHC kelas II. Pengamatan
yang tida diharapkan adalah bahwa sel T pada orang sehat dengan DRB1*0402
atau DQB1*0503 merespon sama seperti pada pasien pemfigus, yaitu kepada
peptida desmoglein 3 yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa reaktivitas sel T
terhadap peptida desmoglein 3 tidak cukup untuk terjadinya onset penyakit.
Faktor yang dapat menentukan siapa yang akan mengalami pemfigus dan yang
tidak telah diajukan menjadi adanya sel T regulasi yang dapat menekan respon
autoimun pada orang sehat.
Kloning antibodi antidesmoglein dari pasien PV dan PF telah
menunjukkan restriksi yang jelas pada gen antibodi yang digunakan oleh antibodi
antidesmoglein, terutama untuk rantai yang luas dengan berbagai wilayah.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa antibodi patogenik dari pasien yang
berbeda berikatan pada atau di dekat epitop yang biasa pada desmoglein dan
dapat membagikan idiotipe yang umum. Dalam perbandingan terhadap
penggunaan antibodi sel B, terdapat heterogenisitas sel T yang lebih pada
pasien pemfigus. Jika antibodi spesifik atau gen reseptor se T menggunakan
pola yang disebarkan pada pasien pemfigus, hal ini dapat menjadi penanda klinis
untuk target populasi sel imun yang spesifik pada pasien pemfigus.
Gambar 54-1. Kompensasi desmoglein (Dsg). Segitiga menunjukkan distribusi Dsg1 dan 3 di
kulit dan membran mukosa. Antibodi anti-Dsg 1 pada pemfigus foliaseus menyebabkan
akantolisis hanya pada permukaan superfisial epidermis. Pada epidermis yang lebih dalam
dan di membran mukosa, Dsg3 mengkompensasi hilangnya fungsi yang diinduksi antibodi
pada Dsg1. Di awal pemfigus vulgaris, antibodi muncul hanya melawan Dsg3, dimana
menyebabkan bula hanya di membran mukosa dalam, dimana Dsg3 muncul tanpa
kompensasi Dsg1. Namun pada pemfugus mukokutaneus, antibodi melawan semua Dsg1
dan Dsg3 yang muncul dan bula terbentuk pada membran mukosa dan kulit. Bula ini dalam
karena antibodi mengalami difusi dari dermis dan mengganggu fungsi desmosom pada
basis epidermis.

TEMUAN KLINIS
PEMFIGUS VULGARIS
LESI KUTANEUS. Lesi kulit pada PV terasa gatal atau nyeri. Paparan radiasi
ultraviolet dapat memperluas penyakit. Lesi primer dari PV adalah bula kendor
yang dapat ditemukan di permukaan kulit manapun, namun biasanya tida
terdapat di telapak tangan dan kaki (Gambar 54-2). Biasanya bula muncul pada
permukaan kulit yang normal. Karena bula PV rapuh, lesi kulit yang sering
ditemukan adalah erosi akibat pecahnya bula. Erosi ini seringkali luas dan
cenderung menyebar ke perifer (Gambar 54-3).
Karakteristik temuan pada pasien pemfigus adalah erosi dapat meluas ke
kulit normal dengan menarik sisa dinding bula atau menggosok di perifer lesi kulit
yang aktif; sebagai tambahan, erosi dapat diinduksi pada kulit yang tampak
normal yang berjarak jauh dari lesi aktif dengan menekan atau menggeser
secara mekanis. Fenomena ini disebut dengan Nikolsky sign. Tanda ini
membedakan pemfigus dari penyakit bula lainnya pada kulit seperti pemfigoid
(Kotak 54-1); namun, temuan yang mirip juga dapat terjadi pada staphylococcal
scalded skin syndrome, Stevens–Johnson syndrome, dan toxic epidermal
necrolysis.

Gambar 54-2. Pemfigus Vulgaris. A. Bula kendor. B. Erosi Oral


Gambar 54-3. Pemfugus Vulgaris. Erosi meluas. Hampir seluruh punggung terkena. Bula
kendor pada batas bawa lesi erosi.

LESI VEGETATIF. Pada pasien tertentu, erosi cenderung berkembang menjadi


jaringan granulasi yang meluas dan membentuk krusta yang mengarah ke lesi
vegetatif (Gambar 54-4). Jenis lesi ini sering terjadi pada area intertriginosa, di
kulit kepala, atau wajah (Gambar 54-4A). Dahulu, pasien dengan lesi vegatatif
dibagi menjadi penyakit yang berbeda : pemphigus vegetans of Hallopeau dan
pemphigus vegetans of Neumann. Namun analisis selanjutnya pada lesi kulit
vegetatif secara histologi dan imunofloresensi menunjukkan bahwa kasus ini
adalah variasi klinis sederhana dari PV. Pada varian Hallopeau, vegetatif dan lesi
pustular lain muncul dari onset penyakit, tidak didahului bula dan terletak di regio
fleksural (Gambar 54-4B). Umumnya, prognosis pasien ini lebih baik dengan
penyakit yang lebih ringan dan kesempatan remisi lebih tinggi dibandingkan
pasien PV pada umumnya. Pada pasien dengan varian Neumann, erosi PV
biasanya sembuh dengan pembentukan papilomatosa, dan prognosis
berhubungan dengan perluasan aktivitas penyakit. Tipe vegetatif dari respon ini
juga muncul pada lesi tertentu yang cenderung resisten terhadap terapi dan
menetap dalam waktu lama di satu lokasi. Sehingga, lesi vegetatif menjadi satu
pola reaktif dari kulit terhadap gangguan autoimun pada PV.
Gambar 54-4. Lesi vegetatif dan krusta pada pemfigus vulgaris. B. Lesi granuloma vegetatif
yang meluas pada pemfigus vegetans.

LESI MEMBRAN MUKOSA. Membran mukosa yang sering terkena pada PV


adalah cavum orofaring (Gambar 54-2B). Sama dengan lesi kutaneus, bula intak
jarang ditemukan. Erosi orofaringeal terasa sangat nyeri sehingga pasien tidak
dapat makan atau minum. Hal ini memerlukan tindakan rawat inap untuk kontrol
penyakit, pemberian cairan intravena, dan pemberian nutrisi.
Mayoritas pasien menunjukkan tanda merasa nyeri akiat erosi membran
mukosa sebagai tanda dari PV dan dapat pula menjadi tanda satu-satunya
dalam waktu rata-rata 5 bulan sebelum lesi kulit berkembang. Namun, gejala
dapat muncul bervariasi; pada penelitian dari Kroasia, lesi oral yang nyeri muncul
pada 32% pasien. Sebagian besar pasien berkembang menjadi erupsi
generalisata dalam waktu 5 bulan hingga 1 tahun; namun beberapa mengalami
lesi oral lebih dari 5 tahun sebelum generalisata. Selain itu di Tehran, 62%
pasien muncul dengan lesi oral saja. Keterlibatna kulit tanpa keterlibatan
membran mukosa pada PV lebih jarang terjadi, terhitung pada satu penelitian
yaitu sebanyak 11% kasus PV.
Keterlibatan saluran gastrointestinal dengan PV telah disebutkan di
esofagus, lambung, duodenum, dan anus, meskipunn hanya biopsi esofagus
yang telah dibuktikan mengalami akantolisis suprabasal. Keterlibatan membran
mukosa lain juga dapat terjadi, termasuk vulvovaginal, nasal, laring, dan mukosa
konnjungtiva. Pada wanita, lesi servikovaginalis dapat ditemukan hingga 51%
pasien dengan penyakit yang aktif, namun lesi ini dapat asimptomatik. Meskipun
tanpa lesi yang jelas, pap smear dapat menunjukkan hasil positif pada wanita
dengan pemfigus dan sel akantolitik dapat disalaharikan sebagai displasia
serviks. Jarang ada laporan kasus mengenai erosi kornea pada pasien PV,
namun tidak terdapat konfirmasi histologi pada akantolisis.

PEMFIGUS FOLIASESUS
LESI KUTANEUS. Karakteristik lesi klinis PF adalah bersisik, krusta yang
menjadi erosi dengan dasar eritematosa. Pada fase awal penyakit dan lebih
terlokalisir, lesi biasanya berbatas tegas dan tersebar sesuai distribusi seboroik,
termasuk wajah, kulit kepala, dan badan bagian atas (Gambar 54-5A). Lesi
primer dari bula kendor kecil biasanya tidak ditemukan. Penyakit dapat menetap
selama bertahun-tahun atau meluas menyebabkan eritroderma eksfoliatif
(Gambar 54-5B). Mirip dengan PV, PF dapat meluas akibat radiasi ultraviolet.
Pasien dengan PF sering mengeluh nyeri dan rasa terbakar pada lesi kulit.
Berkebalikan dengan PV, pasien PF sangat jarang mengalami keterlibatan
membran mukosa, meskipun penyakit sudah menyebar luas. Istilah sehari-hari
untuk endemik pemfigus di Brazil, fogo selvagem (Bahasa Portugis untuk “api
yang meluas”) memperhitungkan banyak aspek klinis penyakit : rasa terbakar di
kulit, perluasan penyakit karena sinar matahari, dan lesi krusta yang muncul
seolah-olah telah dibakar.

Gambar 54-5. Pemfigus foliaseus. A. Lesi krusta bersisik pada punggung atas. B.
Eritroderma eksfoliatif karena lesi konfluen.

PEMFIGUS ERITEMATOSA. Pada tahun 1926, Francis Senear dan Barney


Usher mendeskripsikan sebelas pasin dengan gambaran tumpang tindih antara
pemfigus-lupus eritematous (Senear-Usher syndrome). Lebih dari beberapa
dekade selanjutnya, perdebatan antara apakah pasien ini mengalami lupus
eritematous, pemfigus, dermatitis seboroik, atau gambaran dari tiga penyakit ini
berlanjut, dengan Senear menyimpulkan bahwa penyakit ini adalah variasi dari
pemfigus yang disebut dengan pemfigus eritematosa. Berdasarkan hal ini, kami
memilih mengembangkan uji imunofloresensi untuk pemfigus dan lipus.
Diagnosis terutama berdasarkan presentasi klinis : erosi dengan krusta pada
distribusi seboroik, kadang bersamaan dengan lesi diskoid menyerupai lupus
dengan skuama “carpet-tack”. Walter Lever mencatat bahwa banyak pasien
awalnya masuk ke dalam pemfigus eritematosa kemudan berkembang menjadi
lupus sistemik atau PF yang lebih luas, bahkan PV pada beberapa kasus karena
diagnosis awall yang kurang tepat. Oleh sebab itu, daripada menggunakan satu
istilah untuk pennyakit yang berbeda, dia mengajukan bahwa pemfigus
eritematosa digunakan untuk menggambarkan bentuk terlokalisir dari PF dengan
prognosis yang lebih baik. Setelah perkembangan imunofloresensi dan uji
antibodi antinukear untuk pemfigus dan lupus, ditemukan bahwa pasien
pemfigus eritematosa menunjukkan gambaran imunologi yang tumpang tindih :
semua menunjukkan pola pewarnaan permukaan sel yang klasik untuk pemfigus,
hampir 30% memiliki titer antibodi antinuklear positif, dan 80% memiliki tes pita
Lupus positif, meskipun tes selanjutnya hanya 20-40% positif pada biopsi kulit
yang tidak terpapar matahari. Karena sebagian besar pasien dengan pemfigus
eritematosa tidak berkembang pada tanda sistemik atau gejala lupus, dan
beberapa dapat berkembang dari lokalisata menjadi PF generalisata maka
diagnosis pemfigus eritematosa dapat digali dengan jelas pada riwayat penyakit
dibandingkan kondisi klinis.

PEMFIGUS NEONATORUM
Bayi yang lahir pada ibu dengan PV dapat menunjukkan tanda klinis, histologi,
dan imunopatologi dari PV. Derajat keterlibatan bervariasi sampai ke penyakit
yang cukup berat sehingga menyebabkan bayi lahir mati. Jika bayi bertahan,
penyakit cenderung sembuh karena antibodi maternal dikatabolisme. Ibu dengan
PF juga mentransmisikan autoantibodinya ke fetus, namun seperti yang sudah
dijelaskan pada sesi “Patofisiologi Akantolisis”, PF neonatorum jarang terjadi.
Pemfigus neonatorum harus dibedakan dari PV dan PE yang terjadi pada anak-
anak, dimana serupa dengan penyakit autoimun yang terlihat pada dewasa.

PEMFIGUS YANG DIINDUKSI OBAT


Meskipun terdapat laporan kasus pemfigus yang sporadik terkait penggunaan
berbagai obat yang berbeda, hubungan dengan penicillamin dan mungkin
captopril adalah yang paling signifikan. Prevalensi pemfigus pada pemakai
penicillamin diperkirakan hampir 7%. PF (Termasuk pemfigus eritematosa) lebih
sering terjadi dibandingkan PV pada pasien yang diterapi dengan penicillamin,
meski dapat terjadi hal lain. Temuan imunofloresensi langsung dan tidak
langsung positif pada sebagian besar pasien ini. Tiga pasien dengan PF yang
diinduksi obat dan satu pasien dengan PV diinduksi obat menunjukkan memilki
autoantibodi pada molekul yang sama yang terlibat dalam pemfigus yang
sporadik, yanng berturut-turut disebut desmoglein 1 dan desmoglein 3. Oleh
karena itu, dengan penentuan imunofloresensi dan imunokimiawi, pasien-pasien
dengan pemfigus yang diinduksi obat ini menyerupai dengan penyakit sporadik.
Penicillamin dan captopril mengandung kelompok sulfhydryl yang disebut
berinteraksi dengan kelompok sulfhydryl pada desmoglein 1, 3, atau keduanya.
Dengan demikian, pemfigus disebabkan oleh gangguan langsung molekul adhesi
ini atau lebih ke arah modifikasi molekul menjadi lebih bersifat antigenik.
Penggunaan obat ini juga menyebabkan disregulasi secara umum dari respon
imun dan produksi autoantibodi lain seperti yang dihasilkan pada myasthenia
gravis. Sebagian besar pasien dengan pemfigus yang diinduksi obat mengalami
remisi setelah obat dihentikan.
Sebagai tambahan, terdapat sedikit laporan menyebutkan hubungan
intake makanan dan pemfigus, mengajukan hipotesis bahwa makanan yang
mengandung thiol seperti bawang putih, bawang prei, dan bawang bombay
berhubungan pada penyakit ini. Beberapa pasien terdapat perluasan lesi oral
dengan makanan tertentu, namun sepertinya intervensi diet saja tidak akan
membuat remisi pada sebagian besar pasien.
Menariknya, terdapat laporan kasus menyebutkan bahwa perbaikan PV
dengan merokok. Penelitian menyebutkan bahwa aktivasi reseptor kolinergik
dapat mengatur jalur pemberian sinyal yang dimodulasi oleh IgG PV, sehingga
berpengaruh pada adhesi sel. Hasil ini memberikan manfaat klinis nikotin pada
penyakit inflamasi lain seperti kolitis ulseratif.

PENYAKIT-PENYAKIT TERKAIT
Myasthenia gravis, timoma, atau keduanya berhubungan dengan PV dan
PF. Hampir separuh kasus pemfigus yang berhubungan dengan penyakit
tersebut adalah vulgaris; sisanya foliasesus atau eritematosa. Sebagian besar
data akan tetapi melaporkan sebelum pengenalan pemfigus paraneoplastik
sebagai bentuk berbeda. Oleh sebab itu, meskipun timoma jelas berhubungan
dengan PV dan PF, dapat juga berhubungan dengan pemfigus paraneoplastik
(Lihat Bab 55). Myasthenia gravis adalah penyakit yang dimediasi autoantibodi
jaringan yang spesifik yang menyebabkan kelemahan otot rangka. Fase awal
penyakit biasanya mengenai otot wajah, menyebabkan gejala disartria, disfagia,
ptosis, atau diplopia. Penyakit dapat berkembang mengenai otot yang lebih
besar pada badan dan ekstremitas, dengan komplikasi yang fatal yaitu
keterlibatan otot respirasi. Timoma sebaliknya, biasanya asimptomatik pada
dewasa. Pada anak-anak, timoma cenderung memilki gejala batuk, nyeri dada,
sindroma vena cava superior, disfagia, dan /atau suara serak dari tumor yang
meluas.
Evaluasi myasthenia gravis lebih baik oleh ahli neurologi yang dapat
melakukan pemeriksaan neurologi dengna lengkap dan melakukan pemeriksaan
untuk emmeriksa adanya autoantibodi reseptor asetilkolin pada serum. Jalur
myasthenia gravis dan pemfigus tampak independen. demikian pula,
abnormalitas timus dapat diawali atau mengikuti onset pemfigus. Abnormalitas
timus termasuk timoma jinak atau ganas dan hiperplasia timus. Radiografi
thoraks posteroanterior dan lateral dengan atau tanpa follow-up CT scan dapat
mendeteksi sebagian besar timoma. Iradiasi timus atau timektomi meskipun
bermanfaat pada myasthenia gravis, namun tidak akan memperbaiki gejala apda
pemfigus. Meskipun hubungan ini sudah dilaporkan setidaknya pada 30 kasus,
temuan timoma atau myasthenia gravis pada pasien dengan PV atau PF masih
jarang.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Diagnosis pemfigus terletak pada biopsi kulit lesi yang baru dan secara
histologi menentukan tempat pembentukan bula, sama baiknya dengan
pemeriksaan imunokimiawi untuk mendokumentasikan adanya autoantibodi di
kulit, baik melalui imunofloresensi direct dari kulit di sekitar lesi atau
imunofloresensi indirect atau ELISA dengan serum pasien.

HISTOLOGI
Karakteristik histologi yang ditemukan pada PV adalah bula suprabasal
dengan akantolisis (Gambar 54-6). Di atas lapisan basalis, sel epidermal
kehilangan kontak sel ke sel dan membentuk bula. Seringkali keratinosit
akantolisit terletak di dalam cavitas bula. Sel basal masih melekat pada membran
basalis, namun dapat mengalami kehilangan kontak dengan sekelilingnya;
sebagai hasilnya, sel-sel tersebut dapat menunjukkan gambaran barisan batu
nisan (tombstone appearance), sebagai tanda prognosis penyakit berpotensi
fatal. Biasanya, epidermis bagian atas (satu hingga 2 lapisan sel di atas sel
basalis) tetap intak karena sel-sel ini menjaga adhesi sel-selnya. Pemfigus
vegetan tidak hanya menunjukkan akantolisis suprabasal, namun juga
papillomatosis papila dermal dan pertumbuhan ke arah bawah dari epidermis ke
dermis dengan hiperkeratosis dan pembentukan krusta dan skuama. Sebagai
tambahan, lesi pemfigus vegetans dapat menunjukkan abses intraepidermal
yang tersusun dari eosinofil dan / atau neutrofil. Lesi PV awal dapat
menunjukkan eosinofilik spongiosa.
Histopatologi bula di awal penyakit pada pasien PF menunjukkan
akantolisis (hilangnya kontak dari sel ke sel) di bawah stratum corneum dan di
lapisan granular (Gambar 54-7A). Stratum corneum seringkali kehilangan
permukaannya karena lesi. Lapisan epidermis lebih dalam di bawah lapisan
granular tetap intak. Temuan lain yang serin gmuncul adalah pustula subcorneal
dengan neutrofil dan sell epidermal akantolitik di dalam cavitas bula (Gambar 54-
7B). Temuan histologi pada PF sering tidak bisa dibedakan dari impetigo
bulosa/staphylococcal scalded skin syndrome karena bula pada penyakit ini juga
berasal dari disfungsi desmoglein 1, pada kasus ini karena pembelahan
proteolitik oleh toksin eksfoliatif staphylococcus. Oleh sebab itu, uji imunokimiawi
penting untuk mengkonfirmasi diagnosis pada PF karena hal ini akan
menunjukkan hasil negatif pada lesi bula akibat staphylococcus. Tempat
pembentukan bula pada pemfigus eritematosa sama dengan pada PF. Lesi awal
PF dapat menunjukkan eosinofilik spongiosa, sama halnya dengan lesi pada PV.

Gambar 54-6. Histopatologi pemfigus vulgaris. Akantolisis suprabasilar. Barisan tombstone.


Gambar 54-7. Histopatologi pemfigus foliaseus. A. Akantolisis pada lapisan granular. B.
Pustul subcorneal dengan akantolisis.

IMUNOFLUORESENSI
Tanda dari pemfigus adalah ditemukan autoantibodi IgG melawan permukaan sel
keratinosit. Autoantibodi ini pertama kali ditemukan pada serum pasien dengan
teknik imunofluoresensi tidak langsung dan kemudian ditemukan dengan
imunofluoresensi langsung dari kulit pasien.

IMUNOFLUORESENSI DIREK. Pada dasarnya, seluruh pasien dengan PV atau


PF aktif menunjukkan hasil imunofluoresen positif dimana dilakukan pemeriksaan
ikatan IgG ke permukaan sel keratinosit pada kulit sekitar lesi (Gambar 54-8A).
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan nonkualitatif (baik negatif atau positif).
Diagnosis pemfigus harus dipertanyakan jika hasil tes imunofluoresense negatif.
Penting diketahui bahwa biopsi untuk imunofluoresense direk dikerjakan pada
kulit sekitar lesi yang tampak normal karena reaktan manusia sulit mendeteksi
epidermis yang mengalami inflamasi (menyebabkan hasil negatif palsu). Pada
beberapa kasus pemfigus eritematosa, IgG dan C3 dideposit pada zona
membrana basalis dari kulit wajah eritematosa, selain pada IgG permukaan sel
epidermis, menunjukkan hasil tes pita lupus positif disamping pola interseluler
pemfigus yang umu.

IMUNOFLUORESENSI INDIREK
Imunofluoresensi indirek dikerjakan dengan menginkubasi serum pasien yang
diencerkan secara serial dengan substrat epitel. Dilaporkan bahwa titer
semikuantitatif (menunjukkan pengenceran terakhir saat serum menunjukkan
pola pewarnaan permukaan sel positif). Pemeriksaan ini ditawarkan oleh
sebagian besar laboratorium nasional yang besar dan tetap menunjukkan hasil
positif selama beberapa minggu hingga berbulan-bulan setelah lesi kulit sembuh.
Hal ini membuat uji diagnosis ini baik dilakukan jika pasien datang tanpa lesi kulit
yang aktif karena sudah mendapat terapi empiris dengan prednison oleh dokter
yang merujuk. Tergantung pada substrat yang digunakan untuk imunofluoresensi
indirek, lebih dari 80% pasien dengan pemfigus memiliki IgG permukaan sel
epitelial di sirkulasi (Gambar 54-8B). Substrat yang digunakan untuk mendeteksi
ikatan antibodi pemfigus pada imunofluoresense indirek memberi pengaruh
besar pada sensitivitas pemeriksaan. Umumnya, esofagus monyet lebih sensitif
dalam mendeteksi antibodi PV dan esofagus marmut atau kulit manusia normal
adalah substrat superior untuk mendeteksi antibodi PF. Pasien dengan penyakit
lokalisata fase awal dan yang mengalami remisi cenderung mendapat hasil
negatif pada uji imunofluoresense indirek. Pada pasien-pasien seperti ini,
sensitivitas yang tinggi pada ELISA dapat membantu diagnosis (lihat
pembahasan di bawah).
Pasien dengan PV dan PF biasanya menunjukkan temuan
imunofluoresense direk dan indirek yang hampir sama dengan IgG pada
permukaan sel epidermal sepanjang epidermis, meskipun terdapat perbedaan
profil autoantigem pada kedua penyakit ini. Oleh sebab itu, biasanya tidak
mungkin membedakan kedua diagnosis ini dengan pola imunofluoresensi.
Terdapat korelasi positif antara titer antibodi permukaan antisel di sirkuasi
dengan aktivitas PV dan PF, namun hal ini masih perlu dikaji. Meskipun korelasi
ini dapat diterapkan secara umum dan meskipun pada pasien yang telah
mengalami remisi sering menunjukkan remisi serologi dengan temuan
imunofluoresense direk dan indirek yang negatif, namun aktivitas penyakit pada
pasien tidak berkorelasi dengan titer imunofluoresense indirek. Sehingga, pada
penanganan pasien ini, pengamatan aktivitas penyakit lebih penting
dibandingkan titer antibodi.

Gambar 54-8. Imunofluoresense pada pemfigus. A. Imunofluoresense direk untuk IgG kulit
sekitar lesi dari pasien dengan pemfigus vulgaris. Pewarnaan permukaan sel di seluruh
epidermis. B. Imunofluoresense indirek dengan serum pada pasien pemfigus foliaseus di
kulit manusia normal. IgG pada mermukaan sel di seluruh epidermis.

ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)


Untuk diagnosis penyakit, ELISA menunjukkan sensitivitas dan spesivisitas yang
lebih tinggi dibandingkan imunofluoresense dan titernya berkorelasi lebih baik
terhadap aktivitas penyakit dibandingkan imunofluoresense indirek. Selain itu,
ELISA lebih mudah dikerjakan dan subyektivitasnya lebih sedikit dibanding
imunofluoresense dan dapat bertindak sebagai uji diagnostik pilihan pertama
untuk pemfigus, meskipun saat ini beberapa laboratorium nasional tidak
mengajukan ELISA desmoglein. Pemeriksaan ini menggunakan ikatan
desmoglein 1 dan 3, kemudian diinkubasi dengan serum pasien dan
dikembangkan dengan reagen anti IgG manusia (Gambar 54-9). Keuntungan
ELISA dibandingkan imunofluoresense indirek yaitu ELISA dapat membedakan
antara PV dan PF melalui diferensiasi profil autoantigen antara dua penyakit ini.
Pada sebagian besar kasus, ELISA menunjukkan hasil positif untuk desmoglein
3 (bukan desmoglein 1) pada PV mukosa, positif pada desmoglein 3 dan 1 pada
PV dengan keterlibatan mukosa dan kulit, serta positif hanya pada desmoglein 1
pada pasien PF. PV jarang berkembang menjadi PF dan sebaliknya, seperti yang
telah ditentukan secara klinis, histologi, dan kriteria imunologi. Sebagian kecil
pasien PF juga menunjukkan autoantibodi terhadap desmoglein 3; sehingga
diagnosis harus dibuat berdasarkan korelasi klinis dan serologi. Selain itu,
beberapa pasien (dengan bula pemfigoid) dapat menunjukkan kadar autoantibodi
antidesmoglein 3 yang rendah, dimana dapat dideteksi dengan sensitivitas tinggi
ELISA. Karena itu, hasil yang diperoleh dalam rentang yang tidak jelas harus
diinterpretasikan dengan hati-hati karena hal ini dapat menunjukkan positif palsu
atau negatif palsu, atau karena pembentukan autoantibodi nonpatogenik setelah
kerusakan epidermis. Seperti halnya dengan imunofluoresense indirek, korelasi
nilai indeks ELISA dengan aktivitas penyakit ternyata tidak sempurna. Dalam
menentukan terapi, hasil negatif pada ELISA desmoglein lebih membantu
dibandingkan hasil positif karena pasien dengan lesi kulit awal cenderung
mendapat remisi imunosupresif, sedangkan pasien dengan lesi kulit yang lama
dapat mengalami remisi atau tidak. Dengan kata lain, aktivitas penyakit adalah
hal utama dalam menentukan penatalaksanaan.
Gambar 54-9. ELISA untuk desmoglein 3. Antibodi anti-Dsg 3 (αDsg3) dari serum pemfigus
mengikat Dsg3 pada plat ELISA; antibodi irelevan yang tidak berikatan dikeluarkan. Plat
diinkubasi dengan horseradhish peroxidase (HRP) yang dikonjugasi dengan anti IgG
manusia, dimana mengikat anti-Dsg3 IgG pada plat ini. HRP adalah enzim yang mengubah
warna biru pada substrat dan warna yang akan dibaca pada spektofotometri, dimana hal ini
berkorelasi dengan jumlah antibodi pemfigus (anti-Dsg3) pada serum pasien.

Anda mungkin juga menyukai