Anda di halaman 1dari 8

2.

1 Pengertian Hukum Adat Perekonomian


Hukum adat perekonomian adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikalangan rakyat jelata
terutama di pedesaan, dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam
perekonomian.

2.2 Hal-Hal yang Terdapat dalam Hukum Adat Perekonomian


1) Hak Kebenaran
Jika seorang penduduk desa ditanyakan, ini rumah siapa?, ia akan menjawab “rumah saya”,
walaupun rumah tersebut rumah orang tuanya atau rumah keluarganya. Jawaban tersebut tidak
langsung menunjukan pengertian “hak milik mutlak” sehingga ia bebas melakukan perbuatan
hukum terhadap rumah itu. Jika ia akan berbuat atas hak miliknya itu ia harus berbicara terlebih
dahulu dengan anggota keluarganya. Begitulah pengertian hak milik Indonesia yang berfungsi
social.
Hak atas bangunan rumah, atau juga tanaman tumbuhan, yang terletak diatas sebidang tanah,
tidak selamanya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu ada kemungkinan seseorang memiliki
bangunan rumah atau tanaman tumbuhan yang terletak diatas tanah milik orang lain, atau milik
kerabat atau milik desa. Jadi menurut hukum adat hak atas tanah terpisah dari hak atas bangunan
atau juga hak atas tanam tumbuhan.
Begitu pula hukum adat tidak membedakan antara barang tetap dan barang bergerak
(roerende dan onroerende goederen). Bagi masyarakat Jawa misalnya dapat terjadi “adol
ngebregi” (jual tetap) atau “adol bedol”.
2) Kerjasama dan Tolong Menolong
Dalam ekonomi pertanian ladang, jika penduduk akan membuka daerah perladangan, maka
dalam melakukan pembukaan hutan, menebang pohon, menebas semak belukar, kemudian
membakarnya, dilakukan bersama dan tolong-menolong. Setelah hutan dibersihkan, maka tanah
perladangan itu dibagi-bagi bidangnya kepada para peserta kerjasama.
Di sumbawa berlaku adat kerjasama tolong-menolong dalam usaha pertanian, yang disebut
“nulong”, “saleng tulong” dan “basiru”. “nulong” artinya kerjasama tolong-menolong dengan
balas jasa, misalnya dalam menuai padi, setelah selesai maka anggota peserta mendapat seikat
padi atau sejumlah uang, dan para peserta yang menolong diberi makan siang. “Saleng tulong”
adalah kerjasama tolong-menolong tanpa balas jasa, para peserta hanya diberi makan siang dengan
lauk-pauk yang istimewa. “basiru” adalah kerjasama tolong-menolong dengan balas jasa berupa
pemberian uang atau padi para peserta, tetapi para peserta harus membawa makanan sendiri,
kecuali memang telah dijanjikan ditanggung makan siang.
Kerjasama tolong-menolong yang sifatnya sosial keagamaan untuk keperluan membantu
saudara atau tetangga yang menderita kecelakaan, kebakaran, sakit, kematian dan lainnya,
agaknya berlaku di berbagai daerah. Begitu pula pemberian sumbangan bagi kerabat kerabat
tetangga yang mengadakan hajatan sunatan, cukuran dan perkawinan. Apabila kerjasama tolong-
menolong itu ditunjukan untuk kepentingan umum, seperti perbaikan jalan, tempat ibadah, balai
desa dan lain-lainnya, yang mengerahkan tenaga kerja yang banyak dan dipimpin oleh perangkat
desa disebut “gotong-royong”.
3) Usaha Perorangan
Apa yang duraikan diatas tadi adalah mengenai kerjasama tolong-menolong yang bersifat dan
dilaksanakan berkelompok, baik untuk waktu yang sementara maupun untuk waktu yang lama.
Kemudian yang dimaksud dengan usaha perorangan adalah perbuatan perorangan, yaitu dengan
perbuatan menyerahkan atau mengerjakan sesuatu oleh orang satu dan orang yang lain dan berlaku
timbal-balik. Misalnya yang disebut:
a. Beri-memberi
b. Pakai-memakai
c. Jual-beli
d. Titip-menitip
e. Hutang-piutang
f. Kerja-mengerjakan
4) Transaksi Tanah
Khusus mengenai usaha perorangan dalam hubungannya dengan bidang tanah (hak-hak atas
tanah) dibicarakan tentang perbuatan yang bersifat sepihak, seperti pembukaan tanah, dan
perbuata dua pihak seperti transaksi tanah.
Terjadinya hak milik atas tanah misalnya dikarenakan perorangan dengan keluarganya
membuka tanah hutan untuk tanah peladangan, sampai menjadi tempat usaha yang tetap dengan
penanaman tanaman tumbuhan. Sehingga menjadi tempat kedamaian sementara yang disebut
“susukau” itu merupakan perbuatan sepihak, yang menimbulkan hak atas tanah bagi yang
membukanya.

a. Hak-hak atas Tanah


Di beberapa daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda “mebali” yaitu
tanda akan membuka tanah. Tanda-tanda itu biasanya berupa tanda silang atau lingkungan rotan
atau bambu yang dipisahkan diatas pohon, atau berupa dahan kayu yang diikat dengan rotan atau
tali ijuk yang ditegakkan tegan dan nampak dari kejauhan. Dengan memberi tanda tersebut timbul
hak untuk mengusahakan sebidang tanah (hak membuka tanah).
Apabila tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanah peladangan yang ditanami palawija
dan lainnya, maka terjadilah hak pakai atau hak mengusahakan tanah. Apabila tanah tersebut tidak
diteruskan mengerjakannya, sedangkan tanda mebali masih terpasang diatas pohon, maka yang
ada adalah “hak atas pohon”. Untuk menjadikan tanah itu hak milik, maka tanah ladang itu harus
dikerjakan terus-menerus, tetapi jika tanah peladangan itu ditinggalkan terbelangkai menjadi
semak belukar atau menghutang kembali. Maka hak miliknya hilang dan yang ada adalah “hak
utama” untuk mengusahakannya kembali. Hak utama ini akan hilang apabila bidang tanah tersebut
telah menghutan, dan tanah itu akan kembali “hak ulayat” desa. Hak milik atas tanah peladangan
dapat ditingkatkan menjadi “hak milik tetap” apabila diatas tanah itu ditanami tanam tumbuhan
berupa tanaman keras yang rapat sehingga menjadi tanah kebun.
Dikalangan masyarakat adat jarang terjadi pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada orang
lain di pedesaan. Yang banyak berlaku adalah “hak numpang” atas tanah milik orang lain, dengan
membangun perumahan sebagai tempat kediaman, atau menumpang untuk bertanam tumbuhan
palawija, perbuatan ini disebut “tumpang sari”. Hubungan antara pemilik tanah dan penumpang
bersifat kekeluargaan dengan beri-memberi, urus-mengurus, bantu-membantu.
b. Jual Lepas
Kebanyakan dimasa lampau jual lepas tanah berlaku secara tertulis dibawah tangan, dengan
atau tanpa kesaksian perangkat desa. Dimasa sekarang jual lepas harus dengan kesaksian
perangkat desa. Sifat jual lepas ini terang dan tunai, artinya terang diketahui tetangga dan kerabat,
dan dilakukan pembayarannya.
Adakalanya jual lepas tersebut disepakati dengan perjanjian bahwa penjual diberi hak utama
membeli kembali, atau pembeli jika akan menjual lagi tanah itu harus memberi tahu dahulu
kepada penjual tanah semula apakah ia akan membeli kembali tanah tersebut, jual beli tanah
seperti ini disebut “jual kurung”, yang biasa terjadi dikalangan kerabat atau tetangga yang
mempunyai hubungan akrab.
Dalam perjanjian jual lepas seringkali terjadi sebelum ijab-kabul (serah-terima) jual beli
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua pihak, pihak pembeli memberikan “panjer” atau
“persekot” (voorschot) sebagai tanda jadi. Panjer atau persekot itu bisa berupa sejumlah uang yang
diterima penjual dari pembeli. Apabila dikemudian hari perjanjian batal karena kesalahan penjual
maka ia harus mengembalikan panjer dua kali lipat kepada pembeli, sebaliknya jika kesalahan itu
dari pihak pembeli sehingga perjanjian itu batal maka panjer hilang. Lain halnya dengan persekot
yang merupakan pembayaran pendahuluan dari pembeli kepada penjual. Yang akan dipotong dari
pembayaran harga pembelian keika pelunasan pembayaran dilakukan.
c. Jual Gadai
Transaksi tanah yang disebut “jual gadai” (Jawa; adol sende, Sunda; ngajual akad/gade)
adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli dengan harga tertentu dan dengan hak
menebusnya kembali. Dalam hal ini sebenarnya yang dijual bukan hak milik atas tanah, tetapi hak
menguasai tanah, dimana pembeli selama tanah dikuasainya ia dapat memakai, mengolah dan
menikmati hasil dari tanah gadaian itu. Selama tanah itu belum ditebus oleh pemilik
tanah/penggadai, maka tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai/pembeli gadai.
Menurut hukum adat pemegang gadai tidak mampu menuntut pemilik tanah untuk menebus
kembali tanah yang ia gadaikan, oleh karenanya jika pemegang gadai membutuhkan uang ia dapat
menempuh dua jalan yaitu dengan “mengalihkan gadai” (onderverpanding). Yang dimaksud
“mengalihkan gadai” ialah menggadaikan tanah itu lagi kepada orang lain atas persetujuan pemilik
tanah, sehingga hubungan hukum antara pemilik tanah dengan pemegang gadaian pertama beralih
kepada pemegang gadai kedua. Sedangkan yang dimaksud “mengganakkan gadai” adalah
pemegang gadai pertama menggadaikan kembali tanah itu kepada penggadai kedua tanpa
persetujuan pemilik tanah. Jadi hubungan hukum berlaku antara pemegang gadai pertama dengan
pemegang gadai kedua.
Menurut pasal 7 PP pengganti UU No. 56 tahun 1960 dikatakan “barang siapa menguasai
tanah pertanian dengan hak gadai sejak berlakunya peraturan ini (yaitu tanggal 26 Desember
1960) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilik dalam
waktu satu bulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar, maka dapat dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“.
d. Jual Tahunan
Transaksi tahunan terjadi apabila pemililk tanah menyerahkan tanahnya (sawah atau tegalan)
kepada orang lain (penggarap) untuk beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran
terlebih dahulu dari penggarap. Setelah habis waktu tahun panen yang dijanjikan maka penggarap
menyerahkan kembali tanah itu kepada pemiliknya. Biasanya jual tahunan itu berlaku untuk 1-3
tahun panen. Lama waktu tahun panen tergantung pada jenis tanaman yang digarap oleh
penggarap. Tanaman jagung tahun panennya lebih singkat dari tanaman padi. Di beberapa daerah
pedesaan orang jawa biasa menyebutnya “trowongan”, “kemplongan” atau “sewa tahunan”.
5) Transaksi Menyangkut Tanah
Transaksi tanah sebagaimana diuraikan di atas adalah transaksi dimana tanah yang dijadikan
objek perjanjian. Jadi bidang tanahnya yang ditransaksikan, sedangkan transaksi menyangkut
tanah bukan bidang tanahnya yang menjadi objek perjanjian, melainkan kekaryaannya,
pengolahannya atau dijadikan jaminan. Dengan demikian bidang tanah hanya tersangkut saja,
bidang tanah seolah-olah hanya sebagai lampiran dari penjanjian pokok. Misalnya; “perjanjian
bagi hasil”, “perjanjian sewa”, “perjanjian berpadu”, perjanjian semu atau tanah sebagai jaminan.
a. Perjanjian Bagi Hasil
Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanah,
mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua (Jawa:
maro, Periangan: nengah, Sumatera: pardua, Sulawesi Selatan: tesang, Minahasa: toyo), maka
perjanjian demikian itu disebut “perjanjian bagi hasil”. Jika hasil itu dijanjikan dibagi tiga, maka
disebut “pertiga” (Jawa: mertelu, Periangan: jejuron). Dengan perjanjian bagi bidang tanahnya,
sehingga penggarap yang tadinya tidak memiliki tanah garapan menjadi pemilik tanah pula.
b. Perjanjian Sewa Tanah
Transaksi sewa tanah ialah perjanjian dimana pemilik tanah atau penguasa tanah, memberi
izin kepada orang lain untuk menggunakan tanah sebagai tempat berusaha, dengan menerima
sejumlah uang sebagai sewa untuk waktu tertentu. Misalnya menyewa tanah milik orang lain
untuk tempat berusaha, untuk membangun kedai, warung, depot minyak, tempat pangkas rambut,
untuk membangun panglong kayu ramuan rumah, untuk bengkel pertukaran, untuk tempat
penitipan barang dan lain sebagainya.
Di Sumatera Selatan di masa pemerintahan marga teritorial, apabila penduduk dari daerah
marga lain, memasuki daerah marga dan membuka hutan untuk tempat berladang di daerah marga
itu, maka ia harus membayar “sewa bumi” (Bali: ngupetenin, Ambon: sewa ewang) kepada
pemerintah marga itu. Jika ia tidak membayar sewa bumi, maka ia melakukan pelanggaran adat
yang disebut “maling utan” dan dapat dikenakan hukuman.
c. Perjanjian Terpadu
Apabila terjadi perpaduan antara perjanjian yang berjalan bersama. Dimana yang satu
merupakan perjanjian pokok sedang yang lain adalah perjanjian tambahan, maka perjanjian
tersebut adalah “perjanjian terpadu” atau “perjanjian ganda”. Misalnya terjadi perpaduan antara
perjanjian jual gadai atau jual tahunan dengan perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa atau
perjanjian lainnya. Jika misalnya X menggadaikan tanahnya kepada Y, kemudian X yang
mengolah tanah itu dengan perjanjian bagi hasil dengan Y, maka perjanjian pokoknya adalah
“gadai ganda” sedangkan perjanjian tambahannya adalah “bagi hasil”.
d. Tanah Sebagai Jaminan
Dalam hal ini kebanyakan terjadi dalam hubungan dengan hutang –piutang uang atau barang
yang nilai harganya agak besar. Misalnya A berhutang uang tunai padi yang nilainya sampai satu
juta rupiah kepada B dengan memberikan jaminan tanah pekarangan. Apabila dikemudian hari
ternyata A tidak dapat membayar hutangnya pada B, maka B dapat bertindak atas tanah jaminan
(tanggungan) tersebut untuk memiliki tanah jaminan itu atas dasar jual-beli dengan A atau menjual
tanah jaminan itu kepada orang lain dengan memperhitungkan piutang kepada A. Nilai harga
tanah jaminan itu biasanya lebih tinggi dari besarnya hutang. Menurut perkiraan harga pasaran
ketika perjanjian hutang diadakan.
e. Perjanjian Semu
Dikalangan masyarakat sering terjadi perjanjian semu. Yaitu suatu perjanjian yang dibuat
atau yang terjadi, tidak sama dengan kenyataan yang berlaku sesungguhnya. Misalnya yang
dikatakan kepada umum atau yang tertulis adalah perjanjian hutang tanpa bunga, tetapi yang
berlaku sebenarnya berbunga, atau yang ditonjolkan adalah perjanjian jual-beli hasil bumi, tetapi
sebenarnya adalah “melepas uang” (Lampung: ngakuk anduk) atau sistem “ijon” (ijoan), hasil
bumi telah dibayar terlebih dahulu jauh sebelum masa panen atau dalam jual-beli barang dengan
kuitansi kosong, atau dengan mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga pasaran
sebenarnya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum adat perekonomian adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikalangan rakyat jelata terutama di
pedesaan, dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam perekonomian.
Tiap hukum merupakan suatu sistem, artinya kompleks normanya itu merupakan suatu
kebulatan sebagai wujud kesatuan pikiran yang hidup di masyarakat. Sistem hukum adat bersendi
atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran
yang menguasai hukum barat. Sementara antara sistem hukum adat & sistem hukum barat terdapat
beberapa perbedaan yang fundamental , misalnya:
1) Hukum barat mengenal zakelijke rechten & personal ijke rechten.
2) Hukum adat tidak mengenal pembagian hak.
Kemudian dalam penjelasan inipun dijelaskan hal-hal yang menyangkut dengan hukum adat
perekonomian seperti:
1) Hak Kebenaran
2) Kerjasama dan Tolong Menolong
3) Usaha Perorangan
4) Transaksi Tanah
a. Hak-hak atas Tanah
b. Jual Lepas
c. Jual Gadai
d. Jual Tahunan
Dan macam-macam perjanjian yang terjadi pada masyarakat adat seperti:
1) Perjanjian Bagi Hasil
2) Perjanjian Sewa Tanah
3) Perjanjian Terpadu
4) Tanah Sebagai Jaminan
5) Perjanjian Semu

DAFTAR PUSTAKA
Djojodigoeno, MM. Asas-asas Hukum Adat, JBP Gajah Mada, Yogyakarta; 1958
http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/ertikel-HAM/ Apr 26, 2019 @10:40 pm
http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel-hukum pidana/ Apr 26, 2019 @10:54 pm
http://www.indomedia.com/bpost/052005/24/opini/opini1.htm/ Apr 26, 2019 @11:00 pm

Anda mungkin juga menyukai