Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Komplikasi dari penyakit iskemi atau infark di jantung bisa menyebabkan


gagal jantung, syok kardiogenik, disfungsi otot papilaris, defek septum ventrikel,
ruptur jantung, aneurisma ventrikel, disritmia, perikarditis, dan
tromboembolisme. 1

Gagal jantung sendiri menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama


pada beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia.
Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei
Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan
penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan
Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan
(2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di
Indonesia.

Peningkatan insiden penyakit jantung koroner berkaitan dengan perubahan


gaya hidup masyarakat yang turut berperan dalam meningkatkan faktor risiko
penyakit ini seperti kadar kolesterol lebih dari 200 mg%, HDL kurang dari
35mg%, perokok aktif dan hipertensi.

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa


tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal


jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai
kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya
bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal jantung dengan sebab yang
tidak diketahui sebanyak 20 – 30% kasus.

Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan


gagal jantung baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi

1
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang terdiri dari foto thoraks,
elektrokardiografi, laboratorium, echocardiografi, pemeriksaan radionuklir juga
pemeriksaan angiografi koroner. Perkembangan teknologi canggih dalam
pencitraan dan biomarker dapat menolong klinisi untuk menegakkan diagnosis
yang lebih baik untuk menangani penderita dengan gagal jantung.

Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/


non farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi. Penatalaksanaan
ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan fasilitas yang tersedia.
Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan terwujud pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan gagal jantung.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dasar yang harus diketahui: 1

1. Beban awal, derajat peregangan serabut miokardium pada akhir


pengisian ventrikel atau diastolik. Yang ada hubungannya dengan
hukum starling “peregangan serabut otot miokardium selama diastol
akan meningkatkan kekuatan kontraksi saat sistol”
2. Kontraktilitas, merupakan perubahan kekuatan kontraksi atau inotropik
yang tidak berkaitan dengan perubahan panjang serabut
3. Beban akhir, besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai
selama sistol dan mengejeksi darah

I. GAGAL JANTUNG
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi atau kedua-duanya

I. 1. Etiologi
Gagal jantung merupakan komplikasi tersering dari penyakit jantung
kongengital maupun di dapat. Mekanisme fisiologis yang dapat menyebabkan
gagal jantung adalah peningkatan beban awal, meningkatkan beban akhir,
menurunkan kontraktilitas miokardium
Yang meningkatkan beban awal, regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel
Keadaan yang meningkatkan beban akhir, stenosis aorta dan hipertensi
sistemik

3
Kontraktilitas miokardium menurun, pada infark miokardium dan
kardiomiopat
Faktor-faktor yang menyebabkan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi
mendadak berupa, disritmia, infeksi sistemik, infeksi paru, emboli paru

Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor
risiko independen perkembangan gagal jantung.

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya


gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang
mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka
kejadiannya semakin meningkat.

Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada


beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic, meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis hipertensi dapat
menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan


oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup
ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori
fungsional : dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi.
Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan
atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,
penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati
hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski
secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut
miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang

4
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik
obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati
peripartum menyebabkan gagal jantung akut.

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab


utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban
awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban
akhir).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan


dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri. Atrial
fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal


jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga
dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat
antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek
toksik langsung terhadap otot jantung.

I. 2. Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan
otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantungyang
berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan
daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi
secara normal.

5
Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba,
seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki onset yang
gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan hemodinamik yang
tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal ginjal), atau bisa pula
herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati genetik.

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal


jantung akibat penyakit jantung iskemik-infark miokardium, mengganggu
kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.

Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium, menyebabkan


menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormal gerakan dinding, dan
mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya daya tersebut,
besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel menigkat.
Menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini
disalurkan ke belakang vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler
paru melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi transudasi cairan ke dalam
ruang intersitial. Terjadi perembesan cairan ke dalam alveolus, edema paru.

Tahanan ejeksi ventrikel kanan karena hipertensi pulmonalis, dapat


menyebabkan hal yang sama di jantung kanan, yang berakhir dengan edema dan
kongesti sistemik

Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit


bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah
disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi
mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme
kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi
jantung yang tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam
batas homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga
atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke
gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan
neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini

6
dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat
diterangkan:

Mekanisme Neurohormonal

Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model


neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi
berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat
memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi.

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor


arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi
meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan
aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem
parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan
terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia
dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf
simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada
gagal jantung

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat,


E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.

7
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif
ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat
memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung.
Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan
hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan
kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun
pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

A. Sistem Saraf Adrenergik


Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini
akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi
sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan
kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut
jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan
vena sistemik.1

Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan


tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang
dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam
jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi
lambat laun akan terjadi maladaptasi.1

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan


konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,
mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari
aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama.1

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,

8
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,
dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan
renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino
dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan
melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1
(AT1) dan tipe 2 (AT2). Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan
katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1

9
v

Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam


mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika
terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif
yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain
itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi
korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron.1

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi


dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung
relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan
fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance
vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron
memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake
norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi
aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif
dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1

10
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,
aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi
(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi
hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan
mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas
NO.1,5

D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan
reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat
ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh
ACE.1,5

E. Remodeling Ventrikel Kiri


Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang
progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan
ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting
pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit
2,5
pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri.
Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan
meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang
overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung,
yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi
dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada
diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi

11
pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik.1

Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam


perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan
relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada
jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi
membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk
kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya
kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi
pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks
kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma
dimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga
menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung menurun.1,5

Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang


tergantung pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol.
Proses kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan
depolarisasi membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol,
sehingga dapat berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan
natrium pada membran plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-

12
eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan
menjaga potensial membran.

Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion


dan saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan
isoform yang terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan
mempengaruhi struktur membran sehingga mengakibatkan penurunan
dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan energi juga
menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.

Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada


gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel
pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka
pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang
berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian
menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.

13
Fase penyembuhan jejas (0-7 hari pasca infark miokard)

Ketika terjadi infark miokard akut, jaringan ventrikel kiri dalam keadaan hipoksia
dan nekrosis. Nekrosis adalah bentuk mendadak dari kematian sel yang timbul
pada kerusakan kardiomiosit yang parah. Selain karena penyakit jantung iskemik
nekrosis juga dapat timbul pada jejas miokardial, toksin, infeksi dan inflamasi. Sel
yang mengalami nekrosis mengeluarkan komponen-komponen intra seluler
seperti Heat Shock Protein (HSP), ROS dan fibronektin yang selanjutnya
mengaktifkan respon imun dan MMP.

Pada tahap ini MMP teraktivasi mendegradasi matriks ekstra seluler yang ada,
mengganggu susunan kolagen dan membiarkan sel inflamasi seperti neutrofil dan
makrofag bermigrasi ke jaringan infark untuk membersihkan kardiomiosit yang
mengalami nekrosis. Selanjutnya sel inflamasi menghasilkan MMP, sitokin
(Tumor Necrosis Factor-α, InterLeukin -1, IL-6, IL-10), growth
factors (Transforming Growth Factor β) dan faktor angiogenik (Vascular
Endothelial Growth Factor A, Fibroblast Growth Factor ).

Aktivasi MMP ternyata dapat juga menimbulkan gangguan pada penyembuhan


infark seperti ruptur kardiak. Hal ini terjadi akibat degradasi komponen matrik
ekstra seluler yang berlebihan dan gangguan pada jaringan yang menghubungkan
kardiomiosit dengan matrik sehingga menimbulkan ketidaksejajaran dan tumpang
tindihnya kardiomiosit. Selanjutnya tidak saja dapat menimbulkan ruptur kardiak
tetapi menyebabkan disfungsi dan dilatasi ventrikel kiri.

Granulasi dan fase remodeling awal (7-21 hari pasca infark miokard)

Pembentukan jaringan granulasi merupakan tahap yang penting dalam perbaikan


infark. Makrofag memfagosit miokard nekrosis dan mensekresikan TGF-β.
Selanjutnya TGF-β mengubah fibroblast menjadi miofibroblas.

Miofibroblast adalah fibroblast dengan mikrofilamen α-Smooth Muscle


Actin(SMA) sehingga mempunyai daya kontraktilitas. Miofibroblast berproliferasi
secara cepat dan terakumulasi di daerah infark miokardium dan memproduksi

14
kolagen fibriler tipe I dan III. Miofibroblas merupakan kontributor utama dalam
pembentukan fibrosis.

Jaringan nekrosis diganti oleh jaringan granulasi, suatu jaringan sementara yang
berisi matrik kaya kolagen, proteoglikan dan matrik ektra seluler
sepertiosteopontin dan fibronektin. Matrik sementara direabsoprsi diganti oleh
jaringan fibrosis. Proses fibrosis yang berlebihan akan mengganggu metabolisme
miokardial terutama persediaan oksigen dan mengganggu pembuangan sampah
metabolik sel sehingga menyebabkan gangguan fungsi miokardium. Fibrosis
berlebihan meningkatkan protein matriks ekstraseluler seperti kolagen sehingga
menurunkan elastisitas jantung dan kemudian berefek pada kontraksi jantung.

Selanjutnya terjadi apoptosis pada sel jaringan granulasi. Apoptosis adalah


kematian sel terprogram untuk menghilangkan sel terpilih yang melibatkan kode
genetik untuk kematian sel tersebut. Pada keadaan patologi seperti iskemik akut
atau kardiomiopati dilatasi, program apoptosis menjadi abnormal dan
menyebabkan kematian sel yang tidak disengaja. Banyak faktor yang memicu
apoptosis termasuk Reactive Oxygen Species (ROS) dan sitokin inflamasi seperti
TNF-α dan FasL.

Ada dua jalur yang berperan pada apoptosis yaitu jalur intrinsik melalui
mitokondria dan jalur ekstrinsik melalui FasL dan TNF-α. Pada jalur
instrinsik,Bax dan Bak, suatu agen pro apoptosis, meningkatkan permeabilitas
membran luar mitokondria sehingga menyebabkan dilepaskannya protein seperti
sitokrom C dari ruang inter membran ke sitoplasma. Jalur ekstrinsik diaktifkan
oleh ligand kematian seperti TNF-α dan FasL ketika berikatan dengan reseptornya
di membran plasma. Kedua jalur tersebut mengaktifkancystein aspartic acid-
specific proteases (caspase) yang kemudian menginduksi apoptosis.

Sel yang mengalami apoptosis meningkatkan produksi sitokin anti inflamasi


seperti IL-10 dan TGF-β yang memicu fase transisi dari fase inflamasi menjadi
fibrosis. Transforming Growth Factor β menurunkan adesi leukosit dan
merangsang proliferasi fibroblast dan produksi matriks ekstra seluler.

15
Kardiomiosit non infark akan mengalami hipertropi. Hipertropi jantung timbul
akibat respon stres mekanik kelebihan beban dan tekanan.

Fase remodeling lanjut (> 21 hari pasca infark miokard)

Remodeling ventrikel kiri terus berlanjut berbulan-bulan hingga bertahun-tahun


setelah mengalami jejas akut. Gangguan pada miosit jantung seperti akibat
kerusakan iskemi menyebabkan beban kerja jantung meningkat. Beberapa jalur
sinyal sitokin pro inflamasi teraktivasi seperti TNF α, IL-6 dan IL-1. Sitokin
tersebut menimbulkan stres oksidatif yang kemudian meningkatkan
ROS. Reactive Oxygen Species merangsang terjadinya hipertropi miosit,
reekspresi fetal gene program dan apoptosis. fetal gene program adalah gen yang
pada saat manusia lahir tidak terekspresikan. Gen ini jika teraktivasi akan
menurunkan ekspresi sejumlah gen lain yang diekspresikan pada jantung dewasa
normal dan berefek terjadinya disfungsi kontraktilitas miosit. Sebaliknya ROS
yang berlebihan akan merangsang NF-κB untuk mengekspresikan sitokin seperti
TNF α, IL-1, IL-6, MCP dan ICAM.Tumor Necrosis Factor-α dan IL-1
merangsang makrofag dan neutrofil untuk memproduksi MMP-2 dan MMP-
8. Matrix Metalloproteinase tersebut mendegradasi matriks ekstra seluler untuk
mempercepat pergantian matriks ekstra seluler. Degradasi matriks ekstra seluler
tidak hanya terjadi pada daerah infark saja tetapi juga menjalar melewati batas
infark (infarct expansion) sehingga dinding ventrikel kiri menjadi tipis dan
dilatasi. Makrofag juga merangsang fibroblast untuk menghasilkan jaringan
fibrosis pada ventrikel kiri. Terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel kiri dan
penurunan curah jantung yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya gagal
jantung

I. 3. Tanda dan Gejala

Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas
dispnea d’effort awalnya pada saan beraktivitas berat, seiring dengan semakin

16
beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan
akhirnya dialami pada saat istirahat.
Dispnea atau perasaan sulit bernafas. yang diakibatkan oleh akumulasi
cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus (edema paru). Hal
tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi
pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor
lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah
kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan
diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan
mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.

Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur
mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung
dibandingkan sesak saat aktivitas. Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan
dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan
oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam
sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses
ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea
merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula
dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien
paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.

Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi
PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai
edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan
nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat
tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk
dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil
posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac

17
Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus
dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya 3
Hemoptisis disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena3

Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi


pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu
menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya
sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil
hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah
tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.3

I. 3. 1 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum dan tanda vital

Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki
keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari
beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa
memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-
kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada
umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat
menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume,
dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik.
Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas
simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer
menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh
aktivitas simpatis yang berlebihan.3

18
Pemeriksaan vena jugularis dan leher

Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium


kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan
vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan
sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O
(normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena
jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada
postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa
normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan
yang cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave
menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.4

Pemeriksaan Paru

Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi


cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru,
ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing
ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru,
ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa
ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik,
bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini
karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga
alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya
tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga
pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner,
effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular
failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada
rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.4

19
Pemeriksaan jantung

Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan


informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat
kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah
intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis.
Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba
lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk
mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi
jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.1

Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami


hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada
parasternal kiri (right ventricular heave). Bunyi jantung ketiga (gallop) umum
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan
tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.
Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada
pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid
umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.4

Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas

Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien
dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba
lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid.
Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena
hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.4

Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal
jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti
(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.4

20
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,
beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi
sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum.
Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan
pigmentasi yang bertambah.4

Kakeksia Kardial

Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan
berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya
dimengerti, kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial,
termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea,
dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa
penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang
bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena
intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin
memburuk3

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara
lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine,
SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2)
untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3)
untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic
peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4

Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,


namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat
ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik

21
kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.
Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini
dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi
sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi
garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan
hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia,
hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4

Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan


meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme
jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga
telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25%
penderita gagal jantung.

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan
gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration
rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat
dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.

Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan
alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT)
dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.

Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan
volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.

Pemeriksaan foto thoraks

Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang


kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari
paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic

22
ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari
setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up
pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi
menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload,
dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden.

Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran


hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan
gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan
adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah
paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular
intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada
dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan
tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini
dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga
meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan
interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi
pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal
sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai
melalui CXR dan CT-scan.

I. 4. Diagnosis

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan


secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima
jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain
seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik.

Kriteria Mayor:

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

23
Distensi vena leher

Rales paru

Kardiomegali pada hasil rontgen

Edema paru akut

S3 gallop

Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan

Hepatojugular reflux

Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung

Kriteria Minor:

Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari

Dyspnea on ordinary exertion

Hepatomegali

Efusi pleura

Takikardi ≥ 120x/menit

Diagnostik gagal jantung dapat ditegakan dengan minimal 1 kriteria mayor, 2


kriteria minor

Menurut NYHA (New York Heart Assosiation)

Membagi menjadi 4 kelas fungsional:

NYHA1: penyakit jantung tanpa keterbatasan aktifitas fisik

NYHA2: penyakit jantung dengan keterbatasan aktifitas fisik ringan, namun


pasien nyaman saat istirahat dan olahraga ringan

NYHA3: penyakit jantung dengan keterbatasan aktifitas fisik sedang dan pasien
hanya nyaman pada saat istirahat saja

24
NYHA4: penyakit jantung dengan keterbatasan aktifitas fisik berat yang sangat
menggangu pada saat bekerja maupun istirahat

Menurut ACC/AHA

Stadium A Pasien beresiko tinggi menjadi gagal jantung, tanpa


ditemukan
Stadium B Pasien dengan gangguan struktur jantung namun
belum terdapat tanda dan gejala
Stadium C Pasien yang memiliki riwayat tanda dan gejala
gagal jantung dan gangguan struktur, namun sudah
teratasi secara medis
Stadium D Pasien dengan gagal jantung berat yang
membutuhkan perawatan rumah sakit, transplantasi
jantung atau terapi paliatif

5. Penatalaksanaan

Non farmakologi

Self care

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal


jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien,
kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat
didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan
deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya pasien perlu
diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih.

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana

25
gagal jantung keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung


tanda-tanda gagal
jantung Mencatat berat badan setiap hari

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan

Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai


anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat


digunakan

Mengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas

Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur

Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan

Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan


membuat keputusan realistik

Terapi Farmakologi

Gagal jantung ditangani secara umum untuk mengurangi beban kerja


jantung, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan dari:

1. Beban awal
2. Beban akhir
3. Kontraktilitas

Penanganan biasanya mulai dari NYHA kelas fungsional II, timbul gejala
saat aktivitas.

1. Pengurangan beban awal

26
Pembatasan asupan garam dalam makanan untuk mengurangi retensi
cairan. Apabila gejala menetap diperlukan pemberian diuretik oral
Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui redistribusi darah
dari sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan mengalirkan darah ke
perifer dan mengurangi aliran balik vena ke jantung.
2. Peningkatan kontraktilitas
Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium
2 golongan obat inotropik dapat dipakai:
a. Glikosida digitalis
b. Obat nonglikosida, meliputi amin simpatomimetik (epinefrin dan
norepinefrin) dan penghambat fosfodiesterase (amrinon dan enoksimon)
3. Pengurangan beban akhir

Terapi farmakologis

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan


mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan
kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini
tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan
digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka
mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem
neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan
mortalitas pasien gagal jantung membaik.

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACEI)

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien
dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk
rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka
keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus
dimulai sebelum pasien pulang rawat.

27
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

 LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.


 Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

 Riwayat adanya angioedema


 Stenosis bilateral arteri renalis
 Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
 Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
 Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

 Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.


 Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
 Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal
atau hiperkalemia
 Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat.

28
Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :

 Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat


diberikan ACEI adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak
dianggap penting secara klinis kecuali jika peningkatanya cepat dan
bermakna. Periksa obat-obatan nefrotoxic yang mungkin diberikan
bersamaan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Jika
diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan. Jika terdapat
peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga
konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi
kreatinine meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau
diatasnya stop ACEI secepatnya dan monitor kimia darah secara
erat.
 Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium,
diuretik hemat kalsium, dan hentikan penggunaannya. Jika kadar
kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L, turunkan dosis ACEI
setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika kalisum naik

29
diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
 Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum
terjadi – hal ini seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu
diyakinkan. Jika mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi
dosis diuretik dan agen hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-
bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi asimtomatik tidak
memerlukan intervensi.

Angiotensin reseptor bloker (ARB)

Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang
tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB,
kecuali telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk
perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).

Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab


kardiovaskular. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan
sebagai alternatif pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien
ini pemberian ARB mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau
perlunya perawatan akibat perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat,
terapi dengan ARB harus dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.

Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan


pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal
jantung. Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada
pasien yang tidak toleran terhadap ACEI.

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

 Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%

30
 Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
 Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete
bloker.

Memulai pemberian ARB:

 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


 Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
 Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal
atau hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi


meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring
ketat.

β-bloker / Penghambat sekat beta

Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah


adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat
memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak
ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan
dengan LVEF < 40%. BB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien,
mengurangi kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan, terapi
BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

 Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik


sehingga memperbaiki perfusi miokard.
 Meningkatkan LVEF
 Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

31
Pasien yang harus mendapat BB:

 LVEF < 40%


 Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV),
pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian
infark miokard.
 Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone
antagonis jika diindikasikan).
 Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis
diuresis). Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan
untuk diberikan pada pasien yang baru saja masuk rawat karena
GJA, selama pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak
tergantung pada obat inotropik intravenous, dan dapat diobservasi
di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.

Kontraindikasi :

 Asthma (COPD bukan kontranindikasi).


 AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

 Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25


mg, metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25
mg. Dengan supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.
 Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai
sebelum pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :

32
 Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan
dosis BB (peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan
pada beberapa pasien degan gagal jantung yang berat). Jangan
tingkatkan dosis bila terdapat perburukan gagal jantung, hipotensi
sistemik, atau bradikardia yang berlebih (<50x/menit).
 Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan
2x lipat tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg
o.d., carvedilol 25-50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau
vebivolol 10 mg o.d.-atau dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai


tanda dan gejala kongesti.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B

Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda


dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.
Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan
biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus
disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis
yang cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-
berat. Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang
resisten, namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi,
hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat
penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipanantau secara berkala.4

Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

 Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat


meningkatan risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika
digunakan bersamaan.

33
 Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya
tidak dibutuhkan.
 Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium
termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan
ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus
dihindari. Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB
hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

 Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.


 Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid
karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan
natriuresis.
 Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan
dosis pemberian dapat dilihat pada tabel 7.
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering
normal telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi.
Upayakan untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis
diuretik serendah mungkin. Keadaan yang mungkin terjadi pada
penggunaan diuretik dapat dilihat pada tabel 8.
 Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran
berat badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan
harus selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk
mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien.

34
Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan
pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan
ototoksisitas.
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan
dengan loop diureti

35
Antagonis aldosteron

Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk


perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan
pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

 LVEF < 35%


 Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
 Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


 Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide dinitrat

Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-
ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI
dan ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien
dengan gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB
atau Aldosteron Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat
mengurangi risiko kematian.9Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B

Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.Kelas


Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B

Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan.Kelas Rekomendasi


IIa, Tingkat Bukti A

Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak


uji klinis adalah :

 Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat


ditoleransi.

36
 Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi.
 Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan
afrika-amerika.

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus,


gagal ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

 Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.


 Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan
dinaikan bila terdapat hipotensi simtomatik.
 Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang
digunakan pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40
mg tiga kali sehari, atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal
tertoleransi.

Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :

 Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,


pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan
hipotensi (kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang
asimtomatik tidak membutuhkan intervensi.
 Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam
atau demam – pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear
antibodies (ANA), jangan teruskan H-ISDN.

Glikosida jantung (Digoxin)

Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat
digunakn untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF
dan LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk
mengontrol tekanan darah.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

37
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%,
terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel
dan kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk
perburukan gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak
terhadap angka mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan


meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium
bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar
natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam
ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium
intrasel.

Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :

 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan


dan fungsi ventrikel kiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan
peningkatan vagal tone.
 Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>
80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan
digoksin.
 Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri
(LVEF < 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan
ARB, beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.

Antikoagulan (antagonis vit K)

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada


pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal

38
tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus
disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti A

Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus


intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya
tromboembolisme sistemikKelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Temuan yang perlu diingat :

 Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji


klinis acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin
ditemukan dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
 Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke
dibanding terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko
stroke yang lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung.
 Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya,
kecuali pada mereka yang memiliki katup prostetik.
 Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan
efektifitas warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung,
ditemukan bahwa risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar
pada pasien yang mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.

39
BAB III

KESIMPULAN

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah


dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi atau kedua-duanya
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya
gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang
mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka
kejadiannya semakin meningkat

Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan


gagal jantung baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang terdiri dari foto thoraks,
elektrokardiografi, laboratorium, echocardiografi, pemeriksaan radionuklir juga
pemeriksaan angiografi koroner. Perkembangan teknologi canggih dalam
pencitraan dan biomarker dapat menolong klinisi untuk menegakkan diagnosis
yang lebih baik untuk menangani penderita dengan gagal jantung.

Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/ non


farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi. Penatalaksanaan ini
tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan fasilitas yang tersedia.
Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan terwujud pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan gagal jantung.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia. Patofisiologi dan konsep klinis penyakit. EGC. Jakarta : 2006
2. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
3. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New
York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.

4. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-


type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J
Med 2002; 347:161-167.
5. Sudoyo, DR.dr. Aru W, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2009.

41

Anda mungkin juga menyukai