Cardio
Cardio
PENDAHULUAN
1
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang terdiri dari foto thoraks,
elektrokardiografi, laboratorium, echocardiografi, pemeriksaan radionuklir juga
pemeriksaan angiografi koroner. Perkembangan teknologi canggih dalam
pencitraan dan biomarker dapat menolong klinisi untuk menegakkan diagnosis
yang lebih baik untuk menangani penderita dengan gagal jantung.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. GAGAL JANTUNG
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi atau kedua-duanya
I. 1. Etiologi
Gagal jantung merupakan komplikasi tersering dari penyakit jantung
kongengital maupun di dapat. Mekanisme fisiologis yang dapat menyebabkan
gagal jantung adalah peningkatan beban awal, meningkatkan beban akhir,
menurunkan kontraktilitas miokardium
Yang meningkatkan beban awal, regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel
Keadaan yang meningkatkan beban akhir, stenosis aorta dan hipertensi
sistemik
3
Kontraktilitas miokardium menurun, pada infark miokardium dan
kardiomiopat
Faktor-faktor yang menyebabkan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi
mendadak berupa, disritmia, infeksi sistemik, infeksi paru, emboli paru
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor
risiko independen perkembangan gagal jantung.
4
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik
obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati
peripartum menyebabkan gagal jantung akut.
I. 2. Patofisiologi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan
otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantungyang
berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan
daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi
secara normal.
5
Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba,
seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki onset yang
gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan hemodinamik yang
tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal ginjal), atau bisa pula
herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati genetik.
6
dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat
diterangkan:
Mekanisme Neurohormonal
7
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif
ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat
memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung.
Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan
hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan
kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun
pengaturan neurohormonal sebagai berikut:
8
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,
dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan
renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino
dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan
melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1
(AT1) dan tipe 2 (AT2). Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan
katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1
9
v
10
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,
aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi
(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi
hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan
mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas
NO.1,5
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan
reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat
ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh
ACE.1,5
11
pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik.1
12
eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan
menjaga potensial membran.
13
Fase penyembuhan jejas (0-7 hari pasca infark miokard)
Ketika terjadi infark miokard akut, jaringan ventrikel kiri dalam keadaan hipoksia
dan nekrosis. Nekrosis adalah bentuk mendadak dari kematian sel yang timbul
pada kerusakan kardiomiosit yang parah. Selain karena penyakit jantung iskemik
nekrosis juga dapat timbul pada jejas miokardial, toksin, infeksi dan inflamasi. Sel
yang mengalami nekrosis mengeluarkan komponen-komponen intra seluler
seperti Heat Shock Protein (HSP), ROS dan fibronektin yang selanjutnya
mengaktifkan respon imun dan MMP.
Pada tahap ini MMP teraktivasi mendegradasi matriks ekstra seluler yang ada,
mengganggu susunan kolagen dan membiarkan sel inflamasi seperti neutrofil dan
makrofag bermigrasi ke jaringan infark untuk membersihkan kardiomiosit yang
mengalami nekrosis. Selanjutnya sel inflamasi menghasilkan MMP, sitokin
(Tumor Necrosis Factor-α, InterLeukin -1, IL-6, IL-10), growth
factors (Transforming Growth Factor β) dan faktor angiogenik (Vascular
Endothelial Growth Factor A, Fibroblast Growth Factor ).
Granulasi dan fase remodeling awal (7-21 hari pasca infark miokard)
14
kolagen fibriler tipe I dan III. Miofibroblas merupakan kontributor utama dalam
pembentukan fibrosis.
Jaringan nekrosis diganti oleh jaringan granulasi, suatu jaringan sementara yang
berisi matrik kaya kolagen, proteoglikan dan matrik ektra seluler
sepertiosteopontin dan fibronektin. Matrik sementara direabsoprsi diganti oleh
jaringan fibrosis. Proses fibrosis yang berlebihan akan mengganggu metabolisme
miokardial terutama persediaan oksigen dan mengganggu pembuangan sampah
metabolik sel sehingga menyebabkan gangguan fungsi miokardium. Fibrosis
berlebihan meningkatkan protein matriks ekstraseluler seperti kolagen sehingga
menurunkan elastisitas jantung dan kemudian berefek pada kontraksi jantung.
Ada dua jalur yang berperan pada apoptosis yaitu jalur intrinsik melalui
mitokondria dan jalur ekstrinsik melalui FasL dan TNF-α. Pada jalur
instrinsik,Bax dan Bak, suatu agen pro apoptosis, meningkatkan permeabilitas
membran luar mitokondria sehingga menyebabkan dilepaskannya protein seperti
sitokrom C dari ruang inter membran ke sitoplasma. Jalur ekstrinsik diaktifkan
oleh ligand kematian seperti TNF-α dan FasL ketika berikatan dengan reseptornya
di membran plasma. Kedua jalur tersebut mengaktifkancystein aspartic acid-
specific proteases (caspase) yang kemudian menginduksi apoptosis.
15
Kardiomiosit non infark akan mengalami hipertropi. Hipertropi jantung timbul
akibat respon stres mekanik kelebihan beban dan tekanan.
Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas
dispnea d’effort awalnya pada saan beraktivitas berat, seiring dengan semakin
16
beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan
akhirnya dialami pada saat istirahat.
Dispnea atau perasaan sulit bernafas. yang diakibatkan oleh akumulasi
cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus (edema paru). Hal
tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi
pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor
lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah
kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan
diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan
mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur
mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung
dibandingkan sesak saat aktivitas. Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan
dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan
oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam
sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses
ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea
merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula
dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien
paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi
PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai
edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan
nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat
tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk
dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil
posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac
17
Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus
dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya 3
Hemoptisis disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena3
I. 3. 1 Pemeriksaan fisik
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki
keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari
beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa
memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-
kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada
umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat
menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume,
dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik.
Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas
simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer
menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh
aktivitas simpatis yang berlebihan.3
18
Pemeriksaan vena jugularis dan leher
Pemeriksaan Paru
19
Pemeriksaan jantung
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien
dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba
lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid.
Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena
hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.4
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal
jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti
(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.4
20
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,
beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi
sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum.
Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan
pigmentasi yang bertambah.4
Kakeksia Kardial
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan
berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya
dimengerti, kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial,
termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea,
dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa
penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang
bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena
intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin
memburuk3
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara
lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine,
SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2)
untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3)
untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic
peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4
21
kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.
Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini
dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi
sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi
garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan
hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia,
hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan
gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration
rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat
dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan
alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT)
dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan
volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.
22
ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari
setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up
pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi
menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload,
dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden.
I. 4. Diagnosis
Kriteria Mayor:
23
Distensi vena leher
Rales paru
S3 gallop
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
NYHA3: penyakit jantung dengan keterbatasan aktifitas fisik sedang dan pasien
hanya nyaman pada saat istirahat saja
24
NYHA4: penyakit jantung dengan keterbatasan aktifitas fisik berat yang sangat
menggangu pada saat bekerja maupun istirahat
Menurut ACC/AHA
5. Penatalaksanaan
Non farmakologi
Self care
25
gagal jantung keluhan-keluhan timbul
Terapi Farmakologi
1. Beban awal
2. Beban akhir
3. Kontraktilitas
Penanganan biasanya mulai dari NYHA kelas fungsional II, timbul gejala
saat aktivitas.
26
Pembatasan asupan garam dalam makanan untuk mengurangi retensi
cairan. Apabila gejala menetap diperlukan pemberian diuretik oral
Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui redistribusi darah
dari sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan mengalirkan darah ke
perifer dan mengurangi aliran balik vena ke jantung.
2. Peningkatan kontraktilitas
Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium
2 golongan obat inotropik dapat dipakai:
a. Glikosida digitalis
b. Obat nonglikosida, meliputi amin simpatomimetik (epinefrin dan
norepinefrin) dan penghambat fosfodiesterase (amrinon dan enoksimon)
3. Pengurangan beban akhir
Terapi farmakologis
Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien
dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk
rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka
keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus
dimulai sebelum pasien pulang rawat.
27
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
28
Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :
29
diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum
terjadi – hal ini seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu
diyakinkan. Jika mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi
dosis diuretik dan agen hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-
bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi asimtomatik tidak
memerlukan intervensi.
Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang
tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB,
kecuali telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk
perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
30
Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete
bloker.
31
Pasien yang harus mendapat BB:
Kontraindikasi :
Titrasi dosis :
32
Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan
dosis BB (peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan
pada beberapa pasien degan gagal jantung yang berat). Jangan
tingkatkan dosis bila terdapat perburukan gagal jantung, hipotensi
sistemik, atau bradikardia yang berlebih (<50x/menit).
Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan
2x lipat tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg
o.d., carvedilol 25-50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau
vebivolol 10 mg o.d.-atau dosis yang bisa ditoleransi maksimal.
Diuretik
33
Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya
tidak dibutuhkan.
Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium
termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan
ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus
dihindari. Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB
hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
34
Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan
pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan
ototoksisitas.
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan
dengan loop diureti
35
Antagonis aldosteron
Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-
ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI
dan ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien
dengan gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB
atau Aldosteron Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat
mengurangi risiko kematian.9Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
36
Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan
afrika-amerika.
Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat
digunakn untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF
dan LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk
mengontrol tekanan darah.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
37
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%,
terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel
dan kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk
perburukan gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak
terhadap angka mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.
38
tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus
disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti A
39
BAB III
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia. Patofisiologi dan konsep klinis penyakit. EGC. Jakarta : 2006
2. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
3. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New
York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
41