12:05 PM
Shalahuddin Al-Ayubi, salah satu tokoh besar sejarah Islam yang kemudian
menduduki jabatan sebagai Sultan di Mesir, ketika memasuki Mesir pernah
berceletuk bahwa ‘Disini, tidak ada satu madrasah pun’, namun yang beliau maksud
adalah madrasah Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Hal ini mengingat bahwa pada saat itu
sudah ada Al-Azhar, namun masih dalam kekausaan Syiah dan merupakan lembaga
pendidikan Syiah yang notabenenya adalah aliran sesat dan sempalan dari Islam
Ahlussunnah. Guru beliau, Nuruddin Mahmud Zanki yang berjasa atas berdirinya
beberapa madrasah –terutama Madrasah Syafi’iyyah dan Hanafiyah- di Negeri Syam
kemudian menganjurkan Shalahuddin Al-Ayubi untuk membangun madrasah di
Mesir.
Madrasah sendiri saat itu memiliki peran dan fungsi strategis di tengah masyarakat.
Selain sebagai lembaga pendidikan dimana transformasi ilmu berjalan dengan lancar
yang ditandai dengan bangkitnya Ilmu pengetahuan, ia juga berfungsi sebagai
tonggak peradaban. Makanya tidak heran kenapa Nuruddin Zanki dan Shalahuddin
Al-Ayubi banyak mendirikan madrasah di Mesir dan Syam, tujuannya selain hal
diatas adalah agar para penuntut ilmu tidak banyak menghabiskan waktunya untuk
rihlah ilmiah kesana kemari lantaran sudah ada madrasah di negeri mereka.
Madrasah pada masa itu juga terkenal sebagai tempat perkumpulan para sarjana dan
ilmuwan dari berbagai belahan negeri. Jabatan guru dan dosen merupakan jabatan
elit yang sangat dihargai oleh pemerintah. Pada masa Shalahuddin Al-Ayubi, gaji
seorang pengajar di Damaskus mencapai 300 ribu Dinar. Dengan jumlah pengajar
yang waktu itu mencapai 600 orang, tak heran kalau kita katakan bahwa Pemerintah
saat itu makmur dan berkah. Sumber dana untuk pendidikan sendiri kebanyakan
berasal dari wakaf dan infaq para dermawan yang dikelola dengan apik dan adil
sesuai standar Islam. Madrasah waktu itu pun menjadi tempat dimana seseorang
hanya fokus untuk mengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai tempat belajar
saja. Masalah nafkah dan kehidupan sudah diatur oleh Negara.
Adapun saat beliau memerintah Dinasti Ayyubiyyah, ada beberapa madrasah yang
juga didirikan atas perintah beliau, diantaranya :
2. Madrasah Manazil Al-Uzza. Madrasah ini awalnya adalah sebuah bangunan yang
menyatu kedalam kekaisaran Fathimiyah di Cairo-Mesir. Lalu bangunan ini dibeli
oleh Al-Amir Taqiyuddin bin Umar bin Ayyub, keponakan Shalahuddin Al-Ayubi.
Bangunan ini lalu dijadikan madrasah yang bermazhab Syafi’i pada tahun 574
H/1178 M. Al-Amir Taqiyuddin sendiri, selain membangun madrasah ini, juga
membangun madrasah At-Taqwiyyah di Damaskus, serta dua madrasah lain di
Fayyum yang bermazhab Syafi’i dan Maliki.
8. Madrasah Al-Fadhiliyyah. Didirikan oleh Qadhi Al-Fadhil Abdurrahim bin Ali Al-
Baysani (596 H/1200M). Madrasah ini beliau dirikan pada tahun 580 H/1184 M dan
diwakafkan sebagai madrasah bermazhab Syafi’i dan Maliki. Selain itu, beliau juga
mewakafkan kurang lebih 100 ribu kitab.
10. Madrasah Al-Quthbiyyah. Didirikan oleh Quthbuddin Khasru bin Balbal bin
Syuja’ Al-Hadbani pada tahun 570 H/1174 M. Madrasah ini bermazhab Syafi’i.
Selain hal diatas, salah satu prestasi besar Shalahuddin Al-Ayubi adalah berhasil
mengkonversi Universitas Al-Azhar awalnya bermazhab Syiah menjadi sebuah
lembaga tempat pendidikan bermazhab Ahlussunnah wal Jama’ah . Lembaga
pendidikan yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dimaksudkan
sebagai pencetak kader Syiah untuk melawah Ahlussunah, pada masa Shalahuddin
berbalik arah menjadi lembaga pendidikan dan pencetak kader Ahlusunnah yang
tangguh.
Selain hal diatas, salah satu ciri khas Shalahuddin dalam pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban Islam adalah dengan memadukannya dengan Ilmu
Tasawuf. Hal ini dibuktikan sejarah bahwa Shalahuddin adalah seorang yang sangat
tawadhu dan zuhud. Beliau sendiri dikabarkan sangat terinspirasi oleh kitab Ihya’
Ulumiddin karangan Imam Ghazali.
Dan yang juga sangat menarik dari sejarah dan peran penting beliau dalam
memajukan Ilmu pengetahuan dan Peradaban Islam adalah beliau tidak membeda-
bedakan ikhtilaf mazhab dalam fiqh. Hal ini kita lihat bahwa pada masa beliau,
seluruh mazhab memiliki madrasah masing-masing yang juga disubsidi oleh negara.
Kondisi ini menjadikan wilayah kekuasaan beliau, terutama Mesir sebagai tempat
berlangsungnya harmonisasi dan pergaulan antar mazhab fiqh dalam Ahlusunnah
wal jama’ah tanpa adanya gontok-gontokan dan egoisme menang sendiri.
Harmonisasi ini bahkan menjadikan Mesir dan Al-Azhar sebagai rujukan dan Kiblat
ilmu umat Islam hingga saat ini.
catatan :
1. Wilayah Kekuasaan Shalahuddin al-Ayubi waktu itu meliputi Mesir, sedikit Sudan,
Syria, Yaman, Iraq, Hijaz dan daerah al-Quds
2. 1 dinar = sekitar Rp.1.900.000 , jadi gaji guru/dosen waktu itu mencapai 77 juta
dalam konversi Rupiah saat ini.