(KEBIJAKAN PERTUSIS)
Oleh :
Kelompok 5
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram
negatif, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi
bertahan pada suhu 0o – 10o C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran
pernapasan (Cahyono dkk, 2010)
C. Gejala
Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah
dan adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan
batuk, diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita
muntah setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka
mungkin menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin
perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita
penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk yang berlanjut selama
berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra
paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.
Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100%
batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65%
mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan
0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan
manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di
AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga
bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada
remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat
akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20%
dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting
pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala
pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan
memberikan profilaksis. Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
D. Patofisiologi
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. (Soedarmo, 2010).
Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti
droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
diisolasi (Soedarmo, 2010).
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari
dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(James, 2005).
2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)
Selama stadium ini frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat
pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh
usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking
(whoop) akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak
yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode
batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas
menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering
kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak
disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk
mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan
aktivitas fisik (Soedarmo, 2010).
Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun
bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal
terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak
bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang sudah
divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih
ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010).
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa
bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama
G. Cara Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,
ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus
menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis (cdc.org).
Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut diberikan
pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan, 15 – 18
bulan, dan 4 – 6 tahun (mayoclinic.org).
Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive
atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang
disuntik (mayoclinic.org).
Booster Shots
Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11
tahun. Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan
booster shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh
dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat dewasa
untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian vaksin DPT
pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari orangtua ke
anak/bayi.
Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk
menerima vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan
pertama kehidupan.
(mayoclinic.org)
DAFTAR PUSTAKA
Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik
Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.
James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-
1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping Cough. [Online].
Tersedia : http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/whooping-
cough/basics/prevention/con-20023295. (13 November 2015, 04:17)
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam:
Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI.
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI