Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PENYAKIT MENULAR

(KEBIJAKAN PERTUSIS)

Oleh :
Kelompok 5

Devi Eka Meirinda 25010113140249


Indira Krisma 25010113140251
Tiara Tidy 25010113140264
Fitriana Candra D. 25010113130276
Hanifah Iskhia D. 25010113130286
Rusliana A. 25010113130307
Ghina Anisah 25010113140297
Febri Iswanto 25010113140313
Lirih Setyorini 25010113140320
KELAS D-2013

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
A. Pengertian
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut
yang disebabkan oleh berdetellah pertusis (Nelson,
2000 : 960). Pertusis adalah penyakit saluran nafas
yang disebabkan oleh berdetella pertusisa, nama
lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta, whooping
cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer, 2000 : 428)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain penyakit ini
adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.
B. Penyebab

Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram
negatif, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi
bertahan pada suhu 0o – 10o C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran
pernapasan (Cahyono dkk, 2010)

C. Gejala

Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah
dan adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan
batuk, diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita
muntah setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka
mungkin menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin
perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita
penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk yang berlanjut selama
berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra
paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.
Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100%
batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65%
mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan
0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan
manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di
AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga
bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada
remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat
akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20%
dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting
pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala
pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan
memberikan profilaksis. Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:

 Stadium kataralis (1-2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini
biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan
dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan
anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi
 Stadium paroksismal/stadium spasmodic
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk
kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak
dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui
glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar.
Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di
wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat
terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah
sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi
kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi
whoop.
 Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar
2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal
kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

D. Patofisiologi

Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat


kecil yang tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik
keseluruhan dengan faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energi
dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.
Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang tinggi pada
gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Protein
virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis. Serotip
bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.

Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,


banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan
imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa
aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kD
yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia
saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampak
menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik,
dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin,
sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi
sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera pada binatang percobaan
dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis. (Nelson,
2000)
E. Stadium Penyebaran

1. Stadium Kataral (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. (Soedarmo, 2010).
Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti
droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
diisolasi (Soedarmo, 2010).
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari
dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(James, 2005).
2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)
Selama stadium ini frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat
pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh
usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking
(whoop) akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak
yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode
batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas
menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering
kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak
disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk
mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan
aktivitas fisik (Soedarmo, 2010).
Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun
bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal
terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak
bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang sudah
divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih
ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010).
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa
bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama

serangan, muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak


menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita
sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh
stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktifitas fisik (Irawan dkk,
2008).
Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas
di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan
subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah (Irawan dkk, 2008).
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan
seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat
dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan
berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang
(Irawan dkk, 2008).
3. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan
muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur
menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan
menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul
serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk
beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian
atas yang berulang.

F. Penularan dalam Tubuh

Terjadinya infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan dalam


tubuh mengakibatkan tseseorang menderita pneumonia.Tanda yang menunjukkan
pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan
terjadinya distres pernapasan secara cepat.
Seseorang dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan
oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Dengan keadaan yang
lemah akibat menderita penyakit pertusis maka tubuh akan kurang mampu
menerima asupan makanan, vitamin, mineral dan lain sebagainya. Sehingga hal
ini akan memperburuk keadaan tubuh maka akan berdampak pada status gizi
seseorang.
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.
Seseorang yang menderita pertusis biasanya mengalami batuk yang sangat kuat
sehingga akan memicu terjadinya penyakit hernia umbilikalis atau inguinalis.
Gejala hernia umbilikalis adalah adanya tonjolan pada atau di dekat daerah pusar,
dapat pula dirasakan nyeri atau tekanan pada perut, tonjolan bisa bertambah
keluar terutama bila penderita batuk atau mengejan.
Pada saluran pernafasan biasanya akan terkena dampaknya jika infeksi saluran
nafas atas yang menyebar ke bagian bawah dan menyebabkan timbulnya pus pada
bronki, kental sulit dikeluarkan berbentuk gumpalan yang menyumbat satu atau
lebih bronki besar, udara tidak dapat masuk kemudian terinfeksi dengan bakteri.
Paling sering terjadi dan menyebabkan kematian pada anak dibawah usia 3 tahun
terutama bayi yang lebih muda dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk, sesak
nafas, panas, pada foto thoraks terlihat bercak – bercak infiltrat tersebar.
Karena batuk hebat kuman masuk melalui tuba eustaki yang menghubungkan
dengan nasopharing, kemudian masuk telinga tengah sehingga menyebabkan
otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran eustaki menjadi tertutup dan jika
penyumbatan tidak dihilangkan pus dapat terbentuk yang dapat pecah melalui
gendang telinga yang akan meninggalkan lubang dan menyebabkan infeksi tulang
mastoid yang terletak di belakang telinga.
Batuk yang mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih
yang kemudian berubah menjadi purulen. Purulen tersebut jika terus bertambah
maka akan menyumbat bronkioli. Sehingga seseorang akan menjadi atelektasis.
Atelektasis (Atelectasis) adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus). Kemudian
setelah seseorang mengalami penyumbatan saluran udara secara berlebihan dan
disertai batuk yang hebat sehingga alveoli pecah maka seseorang akan mengalami
emphisema Pulmonum.
Toksin (racun) pertusis dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak
jaringan lain dalam tubuh, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan
komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung
akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang
menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.
Penyakit pertusis memberikan dampak yang cukup berbahaya pada saluran
pencernaan. Seseorang dengan pertusis maka akan mengalami batuk yang
biasanya diakhiri dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking
serta muntah-muntah yang berat sehingga jika ini terus terjadi maka seseorang
dapat menderita emasiasi. Jika seseorang terus menerus mengalami batuk yang
sangat hebat maka menyebabkan tekanan venous meningkat, kapiler pecah,
epistaksis, perdarahan sub conjungtiva serta malnutrisi karena anoreksia dan
infeksi sekunder.

G. Cara Pencegahan

Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,
ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus
menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis (cdc.org).

Di Indonesia, vaksin yang direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak adalah


vaksin DPT. Vaksin tersebut merupakan kombinasi vaksin yang berguna untuk
melindungi tubuh dari tiga jenis penyakit, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.

Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut diberikan
pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan, 15 – 18
bulan, dan 4 – 6 tahun (mayoclinic.org).

Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive
atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang
disuntik (mayoclinic.org).

Booster Shots
 Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11
tahun. Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan
booster shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh
dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
 Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat dewasa
untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian vaksin DPT
pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari orangtua ke
anak/bayi.
 Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk
menerima vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan
pertama kehidupan.
(mayoclinic.org)
DAFTAR PUSTAKA

Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius

Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta:


KANISIUS

Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad

Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik
Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.
James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-
1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping Cough. [Online].
Tersedia : http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/whooping-
cough/basics/prevention/con-20023295. (13 November 2015, 04:17)
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam:
Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI.

Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI

Republika. 2003.Pertusis. Terdapat pada http:// www.republika.co.id

http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html (14 November 2015)


cdc.gov. 2015. Prevention of Pertussis. [Online]. Tersedia :
http://www.cdc.gov/pertussis/about/prevention/index.html. (13 November
2015, 04:06)

Anda mungkin juga menyukai