Anda di halaman 1dari 84

Tujuh Manusia Harimau (6)

Episode: 1
Aji Melati
Motinggo Busye - Novelis Malam Jahanam

AJI MLATI dibawa oleh Punguh menghadap Ki Ca Hya. Orang tua itu sedang
menyisiri janggutnya yang putih dalam keadaan bersila.

“Bawa dia ke hadapanku, Pungguh”, kata Ki Ca Hya.

Lalu, setelah Aji Mlati didudukan di hadapan Ki Guru itu, orang tua
berjanggut panjang itu berkata pada Pungguh: “Kau boleh kembali mengurusi
ternak ayammu”.

Memang orangtua berjanggut panjang itu, dengan bolamatanya yang menyorot


itu, cukup mengerikan bagi gadis kecil berusia 12 tahun itu. Tetapi kali
ini senyumnya mambukakan mata hati Aji Mlati yang selalu merasa dijahati
sejak dia diculik dan tinggal di pedukuhan Ki Ca Hya.

“Sakarang, setelah begitu lama kamu bermusuhan dangan Kakek, mari kita
berteman”, ujar Ki Ca Hya.

“Tapi mana kak Pita Loka?” tanya Aji Mlati dangan suara menuntut;

“Tahukah kamu mengapa Kakek menculikmu dari Bukit Api? Penculikan itu
sesungguhnya dengan maksud baik.”

“Maksud baik? Kalau saya diculik dari Kak Pita Loka apa itu maksud baik
juga, Kakek?” tanya Aji Mlati dengan nada protes;

“Maksudnya, supaya kamu jangan terlibat terus dalam petualangan Pita Loka,
cucuku”,
“Aku bukan cucumu!” seru Aji Mlati.

“Mamang perlu penjelasan kepadamu, dan turunan siapa kau ini, ; Ayahmu itu
lahir dari perut isteri Kakek, Jadi aku ini Kakekmu, masih darah dagingku”.

“Jadi Nenek yang bernama Nyi Ca Hya itu adalah ibu dari ayahku?”

“Dia bukan Nenek kontanmu, Aji Mlati. Nenekmu telah mati. Matinya juga
dibunuh oleh Ki Rotan dengan lobang di dadanya seperti terbunuhnya ayah
ibumu, lalu kau ditemukan Pita Loka dan diajak ke kawasan Bukit Api tempat
bermukim saudaraku Ki Surya Pinanti.Nama Julukan Nenekmu itu juga Nyi Ca
Hya. Tapi ditambah sedikit oleh orang di pedukuhan ini: Nyi Ca Hya T”ao.
Nah nenekmu ini berasal dari Kiangsu, Tiongkok. Konon menurut ranji
keturunan ketika dia dipersembahkan oleh ayahnya kepadaku untuk dijadikan
isteriku, garis keturunan Nenekmu itu akhirnya sampai ke Tiongkok sana , di
Kiansu, dan masih sedarah dengan orang yang tinggi ilmunya disana”.

“Turunan darah siapa?” tanya Aji Melati

“Turunan T”ao. Disana ada orang bernama T”ao Hung-ching yang lahir di
pertengahan abad ke lima Masehi di suatu tempat bernama Mo-ling. Beliau
penggemar keindahan alam dan sebetulnya seorangsinse. Beliau ahli kimia
Beliau mempunyai kitab obat-obatan yang termashur dalam sejarah. Salinan
kitab itu ada pada kakek, dan jika kau sudah besar dan pandai membaca
aksara Cina, kakek akan mewariskan kitab pengobatan itu”.

“Bolehkah saya membaca Kitab itu?”

“Kamu bisa berbahasa Tiong hwa ?”

“Tidak, Kakek,” ujar Aji Mlati yang membikin sang kakek ketawa nyengir.
Namun beliau ajak gadis kecil 12 tahun itu menuju ruang perpustakaan
beliau. Dalam perpustakan itu begitu banyak kitab-kitab, lalu Kakek
berkata : “Perpustakaan dan Kitab yang ada disini, baru kamulah yang
diperkenankan masuk.”

“Kenapa, Kek?” tanya Aji Mlati.

“Isinya semua Rahasia. Disini ada Rahasia Kitab Tujuh.Disini ada rahasia
Bukit seratus. Disini yang paling penting bagimu ada rahasia ilmu ketabiban
yang bernama T”u ching yen I pen ts”ao.Pemilik Kitab ini di negerinya sana
disebut juga Suhu Gunung-Gunung. Nah sebagai pewaris kitab itu, kamu kelak
akan mewarisi citra hidup di pegunungan. Jadi maukah sekarang kamu berjanji
tidak musuhan lagi dengan kakek?”

“Mau, Kakek. Asal Kakek ajarkan saya ilmu ketabiban itu. Banyak orang sakit
perlu di obati di mana-mana.”

“Tapi, sesuai dengan mata pelajaran Moyang T”aomu itu, kamu musti
memperdalam bermacam soal seperti tekunnya Nyi Ca Hya T”ao, nenekmu itu,
sebelum dia mati dibunuh.”

“Apa bimbingan itu, Kakek?” tanya Aji Mlati gigih

“Bimbingan itu musti melewati seorang guru.”

“Siapa Guru saya itu, Kakek?”

“Dia adalah seorang tua yang berjanggut panjang, yang suka menyisir
rambutnya di pedukuhan ini. Guru itu juga paling suka menyisir rambutnya!”

Kalau begitu, Guru itu adalah anda, Kek!” berseru Aji Mlati.
KI CAHYA tertawa lebar.

“Apa kau tidak salah terka?” tanya Ki Ca Hya.

“Janggut kakek kan sering anda sisir, Kek!” tuding Aji Mlati yang lalu maju
ke depan dan merenggut janggut orangtua itu. Orangtua ini mambantingkan
dirinya ke lantai, dan dia mencoba malapaskan diri ketika janggutnya
dipelintir oleh Aji Mlati.

“Aduh,” kata Aji Mlati kemudian, “Tanganku terikat, Kek!”

“Terikat? Mana talinya?” sang Kakek bertanya.

“Aduh, Kek, Saya nyerah, Kek. Ini talinya!”

“Mana?”

“Ini, kek, Janggut kakek sendiri” kata Aji Mlati, yang tetap merasa sulit
karena kedua tangannya sudah diikat oleh jangut Ki Ca Hya.

Setelah tertawa lebar, Ki Ca Hya malepaskan janggutnya yang mengebat lengan


sang cucu.

“Bagaimana bisa terjadi begini ya? Sampai lengan Aji terikat gini?” tanya
Aji Mlati.

“Semua itu ada ilmunya. Aku culik kamu ke pedukuhan ini dari tangan Pita
Loka, supaya kamu diisi dulu dengan ilmu, baru kamu kulepas ke dunia raya
ini. Sekiranya nenekmu masih hidup, tentu beliau sendiri yang mengajarkan
semua ilmu yang dia warisi ini kepadamu.”

“Apa ilmu Nenek Nyi Ca Hya Tao yang akan kakak ajarkan padaku?” tanya Aji
Mlati bersemangat. “Kalau itu yang engkau kehendaki sekarang juga, marilah
kita menuju Air Terjun Rahasia.”

“Air Terjun Rahasia ? Apa maksud kakek?”

“Disini dipedukuhan ini, tidak ada orang yang tahu, bahwa dibawah bumi ini
ada juga sungai mengalir, bekas dari Taufan Nabi Nuh yang (membuat
tenggelamnva Sunda Nagara. Dulu, Indonesia ini bersambung sampai ke Thai,
Laos sampai Cina sana . Orang Barat menamakan Sunda Plata, tetapi kakek
pernah mendengar benua yang tenggelam itu disebut Sunda Nagara Kertagama.
Tetapi, ketika Taufan Nabi Nuh menenggelamkan sebagian besar benua-benua,
kakek mempunyai beberapa peta. Di Pulau Jawa, ada sembilan sungai di bawah
tanah. di Sumatara adalah tiga sungai di bawah tanah. Di Kalimantan ada
tujuh sungai di bawah bumi ini. Nah, mari kakek parkenalkan salah satu
sungai di bawah bumi ini. Istimewanya, yang di bawah pedukuhan ini
sungainya ada air terjunnya jugal”

“Bawa Aji ke sana , Kakekl”

“Baik. Asal janji tidak musuhan lagi!”, ujar sang Guru seraya menaruh
kembali Kitab T”u ching yen I pen Ts”aodi sebuah lemari berukir. Lalu kakek
itu membuka lantai. Rupanya ada semacam pintu ke bawah tanah yang spintas
Cuma lantai biasa.

Ada ruangan dibawah tanah yang gelap gelita. Tetapi anehnya ruang itu jadi
terang setelah Ki Ca Hya masuk bersama cucunya. Aji Mlati tercengang sekali
setelah melihat sepuluh kuku jari tengan kakeknya itu memancarkan cahaya.

Mulanya lantainya terdiri dari susunan batu. Tak lama kemudian, terasa
lantai itu jadi dingin. Lalu ada pula susunan tangga di lorong menuju bawah
lagi. Sampai pula dilantai tiga.

Dari lantai tiga ini, masih lagi susunan batu yang bulat-bulat ceper
merupakan tangga lebih ke bawah.

“Kemana kita Kek?”

“Ini tangga turun terakhir, cucuku!”

Setiba di anak tangga terakhir, terdengarlah suara gemuruh. Tapi tidak


tampak suatu apapun kacuali bunyi gemuruh.

“Bunyi apa itu, Kakek?” tanya Aji Mlati.

“Itu bunyi Air Terjun Rahasia. Sebentar kakek nyalakan lampu”, ujar
orangtua itu.

Beliau mendekati sebuah batu padas Ki Ca Hya meninju batu itu, sehingga api
menyala. Kemudian dia ambil satu obor, dan disulutnya obor itu pada api
yang menyala itu. Api menyala itu dipegang oleti Ki Ca Hya lalu padam,
tiriggal satu-satu obor yang menerangi sekeliling.

“Indah sekali, kakek!” kata Aji Mlati.

“Mau kau melihat tempat bertapa Nenekmu?”

“Mau tentu. Kakek!”

Kakek itu membimbing tangan sang cucu. Tak jauh dari air terjun itu ada
satu pintu tertutup. Kakek membuka pintu itu, tanpa manggunakan kunci,
melainkan dangan sorotan matanya saja.

Padahal jaraknya 3 meter.


“Inilah lilin abadi. Yaitu Iilin yang dibuat secara kimia oleh ilmu
nenekmu. Tahukah kamu. berapa tahun lilin ini menyala?” tanya sang kakek
tentu saja sang cucu melongo.

TETAPI dalam keadaan melongo Itu mata Aji Mlati terpesona melihat ruangan
berukuran 3 kali 3 meter itu, Ada sebuah ranjang antik dengan kelambu yang
bersih utuh. Ruang itu cukup terang dengan nyala satu lilin itu,
Lalu Aji Mlati bertanya:

“Berapa lama lilin ini tak pemah padam”

“30 tahun sudah”, kata sang Kakek.

Lalu Ki Ca Hya menjelaskan: “Dalam pewarisan ilmu moyangnya, Nenekmu itu


bertapa menajamkan ilmunya, yaitu ilmu Chan Kao yang artinva kira-kira
Pernyataan Kesempurnaan.Beliau lalu mendapatkan wangsit ilmu kimia, dan
mulai membuat lilin dari pohon getah lilin yang ada dipedukuhan ini. Lihat
olehmu. Perhatikan ujung lilin ini. Zat apa yang ada dipermukaan lilin yang
terbakar ini?”
“Apa itu, Kek? Zat apa?”

“Getaran. Hanya getaran. Getaran itu menimbulkan reaksi positip negatip,


lalu menyalalah. Tapi jangan pegang, nanti engkau kena strum. Nah,
perhatikan buku ini. Buku yang dl meja baca dikaki lilin ini. Temyata,
sebelum Nenekmu mati, masih sempat beliau membaca dihalaman 1256. Sayang
kau tidak bisa membaca aksara Tiong Hwa?”

“Kakek bisa?” tanya Aji Mlati.

“Bisa. Ini, misalnya dibaca Yuan -Shih T”ien-sun “, kata Ki Ca Hya

“Apa artinya?”

“Artinya : Kebijakan yang bestari dari Awal asal segala-galanya”,

kata KiCa Hya yang kemudian menjelaskan pada sang cucu; “Kegigihanmu ingin
tahu sama seperti Nenekmu”.

“Kakek orang Cina?” tanya Aji Mlati.

“Bukan. Aku aseli Melayu. Tapi Nenekmu, moyangnya leluhur Tiongkok sana .
Ini menurut keterangan ayahnya ketika ayahnya meminta aku jadi suaminya”.
“Kenapa kakek dipungut mantu oleh ayah Nenekku?”

“Karena beliau belajar ilmu pedang dengan saya, Aji!” kata sang kakek.
“Kakek ahli pedang?” tanya Aji Mlati.
Kakek itu tak menyahut.Beliau menuju ranjang itu, membuka kelambu, dan
mengambil pedang.

“Apa nama Pedang itu, kek?”

“Inilah pedang yang aku wariskan dari guruku yang mewarisi pedang ini yang
beliau sebut Tien-Yuan, yang artinya lapangan dan kebun, sebuah pedang
milik seorang penyair Tiongkok yang hanya digunakan dalam keadaan terancam
saja. Pedang ini boleh digunakan di arena lapangan, tetapi juga di kebun-
kebun. Pedang Tien-Yuan ini, hanya bisa terpelihara dalam diri pewarisnya
yang berbakat ilmu syair.

“Kakek berbakat ilmu syair? “tanya Aji Mlati.

“Coba kau dengar”

Lalu Ki Ca Hya mempermainkan pedang itu sehingga begitu cepatnya permainan


itu sehingga mirip kitiran.

“Mirip apa pedang sakti ini sekarang, Aji?” tanya Ki Ca Hya.


“Mirip kitiran”.

Lalu Kakek bersyair:

Kitiran adalah bola semesta

Seluruh semesta adalah gerak lingkar

yang menyenangkan burung

dan memindahkan awan

Burung dan awan berkawan

kenapa manusia

bodoh tak berkawan

dengan burung dan awan?

Lalu kedengaran bunyi serba aneka. Dan Ki Ca Hya bertanya

“Aji, bunyi apa yang kau dengar ini?”

“Bunyi burung, kakek!”

Maka Ki Ca Hya pun bersyair, sesuai dengan bunyi pedang:


Perhatikan bangau

yang mengelilingi sarang

Perhatikan kakinya

dan sayapnya

Perhatikan gerak sayap

ketika ia terbang

Lalu ketika ia turun

Sebelum satu kakinya

Mencecah tanah

Jika kau perhatikan

semuanya berdasar ilmu

lalu kita berguru

SELESAI Ki Ca Hya bermain pedang itu,Aji Mlati yang kegirangan lalu


bertepuk tangan. Orang tua berjanggut panjang itu bertanya; “Apakah yang
kamu lihat dari sya”ir dan pedang tadi itu?”

“Semua gerak pedang itu menggambarkan kata-kata sya”ir itu, Kakek”, Ujar
Aji Mlati.
Mendengar jawaban itu sang Guru keheranan. Beliau bertanya:

“Kamu mendengar suara halus ditelingamu berupa wisik?”

“Tidak”, kata Aji Mlati keheranan.

“Tapi kau bisa menjawab tepat pertanyaanku” ujar Ki Ca Hya tetap keheranan.
Aji Mlati pun keheranan.

Dan pedang Tien Yuan itu pun beliau sarungkan kembali, Aji Mlati menagih:
“Kenapa tidak jadi saya diberikan ilmu, kakek?”

“Mari duduk di lantai”, ujar sang Guru.

“Bersila?”

“Ya. Karena bersila itu adalah duduknya para Nabi dan Guru-Guru”, kata Ki
Ca Hya.
“Kita mulai belajar pernafasan berdasarkan bimbingan ilmu Kebijakan yang
bestari dari Awal asal segala-galanya”, Ujar sang Kakek. Lalu setelah Aji
Mlati duduk dengan sikap mantap, sang kakek

memberikan wejangan selaku Guru. “Kenapa dalam tubuh manusia ada yang
bernama puser atau pusat? Hendaknya kamu mengenali dirimu sendiri. Puser
itu adalah pusat hidup. Pusat tubuh manusia. Pernah kamu melihat bayi? Nah,
kalau pernah, kamu mestinya tahu, bahwa puser itu di potong, dan kalau
begitu. . .potongannya tadi ada dimana? Itulah yang disebut ari-ari yang
oleh orang Barat disebut placenta, dan yang oleh orang kita disebut
sedulur, yaitu saudara kandung yang selama ini menemani manusia dalam perut
ibu. Nah, kembali kepada puser, marilah kita awali pengaturan nafas dengan
gerak puser kita. Pernafasan memang gudangnya di paru-paru. Tatapi itu
gudang. Namun pintu rumahnya adalah puser-pusermu. Nah, coba! Apa bisa?”
tanya Ki Ca Hya dengan ucapan takzim.

Dangan takzim pula Aji Mlati mencobakan lalu mengangguk takzim.

“Aturlah dengan baik. Burung terbang dengan pernafasan pusernya, dan bila
burung berseru diudara pun dengan permainan nafas perutnya, maka suaranya
nyaring, Kamu juga harus bersuara nyaring bila bersilat dengan pedangmu.
Selain untuk menakuti lawan, suara itu untuk menyatukan gerak dan jurus dan
menggunakan arah senjata”.

“Kapan main pedangnya, Kek?”

“Oh, aturan pernafasan saja belum”, ujar sang Kakek.

“Baik. Aji akan atur nafas lagi”, ujar gadis kecil itu.

Salama tiga jam Aji Mlati keasyikan mengatur nafas. Dia keasyikan sendiri,
sehingga dia agak terkejut melihat dua tangannya yang dia tempel didengkul
itu mendadak naik sendiri ke atas.

Lalu Aji Mlati bagaikan punya gerak mirip penari membuka tarian. Aji Mlati
bertambah asyik, dan membiarkan gerak tangannya lemah gemulai dan menarilah
dia dengan gerak lembut namun teratur.

Aji Mlati berkeinginan main silat. Bukan menari. Ketika hatinya


mempertanyakan mengapa Kakekku tidak melatihkan bersilat, mendadak gadis 12
tahun itu keheranan semua gerak tarian tadi semakin cepat dan semakin cepat
sehingga gerak tari tadi secara sendirinya berubah jadi gerak silat. Dia
membayangkan pula • • sebagai anak kecil • • bahwa dihadapannya sedang
menunggu lawan, sehingga dia pukul lawannya itu dengan disertai teriakan
yang bersumber pada puser. Teriakan itu lantang, dan memang mengejutkan
kakeknya yang asyik memperhatikan. Satu tendangan ke samping yang amat
cepat, disertai teriakan
lantang pula! Sang Guru kagum pada cekatan gerak tangan dan kaki cucunya.
Terutama gerak tangannya, memang pantas dialah yang mewarisi Pedang Sakti
Lapangan dan Kebun, yakni Pedang Tien Yuan itu.

Namun ketika beliau asyik menonton gerak cucunya Itu, dia tiba-tiba melihat
kilatan cahaya. Ini pemberitahuan pada Ki Ca Hya, bahwa pedukuhannya dalam
keadaan kurang aman. Lalu dia biarkan cucunya ditinggalnya sendirian.

Aji Mlati pun tidak menyadari, karena asyiknva itu, bahwa si kakek telah
meninggalkan tempat latihan itu. Berbeda dengan ketika turun membawa cucu,
Kini Ki Ca Hya naik ke anak-anak tangga itu meloncat bagaikan gerak bangau
pindah, sampai kemudian dia ke pintu loteng. Pintu lantai itu dia buka
perlahan, lalu dilihat nya Ki Kembar kakak beradik sedang membuka salah
sebuah kitab di perpustakaannya. Dangan tenaga puser, pintu itu terbuka
cepat dan tertutup cepat pula.

DUA Pendekar yang mencuri membaca kitab itu lantas terkesima, Ki Ca Hya
berkata perlahan tapi mantap: “Keluarlah dari pintu dimana tadi kamu
masuki”

Dua Pendekar Kembar tampaknya ingin licik. Mereka merundukkan kepala seolah
patuh, tetapi dengan jurus badak keduanya menyerbu Ki Ca Hya. Ki Ca Hya
cuma berdiri seraya mengirimkan jurus arus kilat sehingga kedua pendekar
itu terjungkal.
“Harus kalian ingat, dengan siapa kalin berhadapan!”

“Ampun Ki Ca Hya”.

“Untuk kedua kalinya kuperintahkan : Keluar dari pintu tempat kalian masuk
tadi!” ucap Ki Ca Hya dengan nada rendah tapi berwibawa. Dengan tenaga
dalamnya Ki Ca Hya membuka pintu ruang pustaka itu, lalu dia seakan-akan
mendorong dua pendekar jahat itu dengan gerak jarak jauh sehingga keduanya
terlempar keluar pintu, menabrak tiang utama rumah dan mental ke samping
lalu keluar meluncur lewat ruang tamu dan kemudian terjungkal jumpalitan di
halaman padepokan itu.

Si Pungguh melongo melihat dua pendekar yang masuk rumah secara rahasia
itu. Ketika dilihatnya Ki Kembar lari berebut duluan, Pungguh memaki-maki;
“Kutiup kamu dengan ilmu tiupku sampai jumpalitan kamu! Coba kalau berani
kamu kembali”

Tetapi Pungguh mendadak malu sendiri setelah dia melihat Ki Ca Hya sedang
tegak perkasa tepat ditengah pintu, Lalu Ki Ca Hya kembali ke ruang
perpustakaan dan masuk pintu rahasia lalu melangkah setengah lari dengan
loncatan-loncatan hingga ke tempat Air Terjun Rahasia dibawah tanah itu.

Beliau mendapati Aji Mlati dalam keadaan mengejutkan!


Anak itu sudah bersyair seraya memainkan pedang :

Kitiran adalah bola semesta

Seluruh semesta adalah gerak lingkar

yang menyenangkan burung

lalu Aji dua tiga kali meloncat-loneat seperti burung dengan mempermainkan
pedangnya, dan melanjutkan syair disertai gerak :

dan memindahkan awan

Burung dan awan berkawan

loncatan indah dengan pedang yang dipegang dan dimainkan cekatan bagai
menebas lawan di kiri dan kanan, seluruhnya lebih banyak gerak di udara. Ki
Ca Hya bergeleng-geleng kepala sewaktu seluruh permainan burung bangau di
udara itu selesai.

Aji ngos-ngosan.

“Capek, kek. Haus”, kata Aji Mlati.

“TegukIah air terjun itu “ Ujar Ki Ca Hya.

“Nanti bajuku basah, Kek!”

“Dia tidak akan basah”, ujar Ki Ca Hya.

Aji Mlati, sebagai gadis kecil, tentu saja ingin menguji apakah benar yang
diucapkan kakeknya.

Dia mendekati air terjun itu, lalu meneguk air itu. Rambutnya dan mukanya
tak basah sedikitpun, apalagi bajunya. Aji Mlati keheranan, tapi si kakek
lebih heran lagi, karena anak itu memainkan pedangnya dangan menebas air
terjun itu.

Tebasan itu berkali-kali.

Malahan disertai syair :

“Tolaklah kekuatan air dengan angin……………

Maka air kalah dengan angin

karena ia musti patuh

kalau membangkang akan durhaka


Ki Ca Hya tercengang dan bertanya ketika Aji mendatangi beliau.

“Hai, cucuku, dimana kau dapati syair itu?”

“Ketika tadi kakek keatas, gema suara kakek saya dengar di bawah ini.
Bahkan mungkin kakek sedang bertanding dengan dua musuh”, ujar gadis kecil
itu.

“Kamu melihat kakek menghadapi dua lawan?” tanya Ki Ca Hya.

“Melihat sembari main pedang ini”.

“Kalau begitu kamu secara alami mewarisi ilmu Pandang Tembus leluhurmu dari
pihak nenekmu Orang Bijaksana T”ao Hung-ching?”

“Tadi beliau disini”. ujar Aji Mlati.

“Ha? Di sini?”, tanya Ki Ca Hya.

“Aji melihat sendiri disini, dan beliau membetulkan kesalahan Aji waktu
memegang pedang ini. Kakek T”ao itu bilang begini: Aji, kamu musti ingat
betul, jurus pedang keramat ini semuanya ada 99 jurus”.

“Ha? Kalau begitu kamu bukan berkhayal. Jadi memang betul leluhurmu
pendekar T”ao ada hadir disini. Darimana dia muncul?”

“Dari dalam ranjang berkelambu itu”, ujar Aji Mlati.

IBARAT tirai yang berlapis-lapis, semuanya kini menjadi jelas bagi Ki Ca


Hya, setelah satu demi satu tiral itu terbuka. Ki Ca Hya mulai merenung dan
lebih banyak membolak-balik di ruang perpustakaannya. Dia harus menempuh
jalan yang berbelit mendidik Aji Mlati. Hal ini karena mengingat seluk
beluk darah yang mengalir di tubuh cucunya itu. Darah yang mengalir bukan
darah sembarangan,harus dipelihara secara tidak sembarangan pula. Orang
tidak memakan makanan di mangkok yang sama , karena tiap diri memiliki
keutamaan dan kelemahan. Mengajar bangsat berbeda dengan mengajar darah
bangsawan. Pada suatu pagi, dipanggilnya pelayannya: “PungguhTolol,
kesini!” Seperti namanya, kedatangannya lamban dan bertingkah tolol. Begitu
dia menghadap sang Guru, dia bertanya : “Saya akan ditugaskan mengajar
silat gadis cantik itu, tuan guru?”

“Dari mana kau tahu, Tolol?”

“Karena dari dulu tuan Guru menyuruh saya jadi pelatih”

“Tapi sekarang ini berbeda!”

“Sekarang dan dulu tidak berbeda Tuan Guru ! Dulu bulannya sama. Dulu
mataharinya sama. Dulu anginnya sama. Dulu api panas dan air dingin.
Sekarang juga sama”.

Mendengar itu, Ki Ca Hya manatap Pungguh Tolol dengan tatapan jeli. Beliau
Barkata: “Untuk pertama kali kamu banyak omong,To!oll”

“Omong banyak, bohong banyak”, ujar Pungguh Tolol.

Tapi tadi malam aku kehilangan sebuah buku. Kamu mencurinya?” tanya Ki Ca
Hya.

“Pencuri itu maling, tuan Guru!”

“Itu aku tahu, Tolol!”

“Saya tidak mencuri buku. Tapi saya membaca Kitab. Mencuri buku cuma
mendapatkan lembaran kartas. Mencuri Kitab mendapatkan ilmu!”

Mendengar itu. Ki Ca Hya yang jarang tertawa lalu tertawa. Dia gembira,
karena bertahun-tahun memelihara saorang Pungguh Tolol lebih beruntung
ketimbang memelihara seekor ayam jantan yang tidak mempunyai dalu yang
tajam di kakinya.

“Pungguh ToIol...”, ujar Ki Ca Hya.

“Ya Tuan Guru?”

“Aku ini berbahagia memelihara kamu, Sudah tiga kali kamu membaca dengan
mencuri-curi. Pertama Kitab Burung Pujangga. Kedua : Kitab Makom Mahmuda.
Ketiga : Kitab Kebun Senjata. Sekarang aku curiga, kamu ini mungkin
pendekar yang menyamar jadi orang Tolol”.

“Ha-ha . .. .. Saya memang Tolol, tuan Guru” lalu muntir-muntir di sekitar


perpustakaan itu.

Sekelebat itu juga Ki Ca Hya menyerangnya dengan jurus bangau mengibas


sayap. Anehnya Pungguh Tolol menangkisnya dengan jurus bangau menguak satu
sayap. Lalu dia tartawa dan mengaduh-aduh kesakitan, padahal tidak ada
serangan Ki Ca Hya yang mengenai.

“Parnah kamu kenal Ki Senik yang cantik?” tanya Ki Ca Hya.

“Siapa itu, tuan Guru?”

“Jangan kamu berdusta, anak muda!”

“Haha, saya sekarang ingat. Dia isteri Ki Tunggal”.


“Ki Tunggal Palsu?”

“Ya, betul”

“Kalau begitu memang kamu sudah membaca Kitab Makom Mahmuda dengan baik,
namun kamu berlagak tolol!”

“Memang saya ini si Tolol, tuan Guru!”

“Jangan bercanda terus dengan orangtua, Tolol! Kuperintahkan kamu dari


sekarang sebagai Pelatih mewakiliku!” ujar Ki Ca Hya.

“Pelatih ilmu Tolol, tuan?” tanya Pungguh Tolol.

“Ya. Untuk menertibkan ilmu Aji Mlati, kamu mulai dengan Kitab Burung
Pujangga. Kamu tahu tempat kitab itu di sini, karena pernah mencuri
membacanya. Bimbinglah cucuku itu!”

“Ha-ha... saya tidak kuat, tuan Guru! “ ujar Pungguh bertolol-tolol.

“Jangan berkilah”.

“Nanti saya tergoda. Cucu tuan itu cantik sekali!” ujarPungguh.

“Ayoh ambil Kitab itu!” ujar Ki Ca Hya menguji.

Dengan langkah santai selebor, Pungguh Tolol menuju rak rahasia. Lalu dia
tak tahu sedang diintai oleh sang Guru. Dia mendapatkan kunci. Lalu menekan
kunci itu sampai rak terbuka. Lalu diambilnya Kitab Burung Pujangga itu.
Dan membuka kitab itu secara sembarangan. Membacanya secara seenaknya:
Petir pada lima bunga

Bangau terjun ke air

Kodok mati

KI CA HYA berlagak bertanya: “Apa itu artinya, Pungguh Tolol?”

Ki Ca Hya merasa puas dengan dugaannya, bahwa pelayanannya yang sudah


bertahun-tahun mengabdikan diri memang mewarisi kependekaran. Yang belum
bisa diketahuinya, Pungguh Tolol ini dari garis turunan siapa?

Pungguh Tolol membuka lembaran lain dari Kitab Burung Pujangga itu lalu
membaca dengan sembarangan sya”ir itu:

Bertarung di udara

Bulu berguguran biarkan


Asal tulang tidak bergeser

Ki Ca Hya menerkam dengan pertanyaan; “Apa artinya, cepat!”

“Pakaian luar tidak penting dibanding pakaian dalam”.

“Tenaga dalam?” uji Ki Ca Hya.

“Ha-ha, tuan Guru Pintar!” dan Pungguh Tolol ketawa lebar. Memang itu sudah
lama memuakkan Ki Ca Hya. Kemudian pendekar tua itu berkata:

“Sekarang kamu pergi ke Air Terjun Rahasia”, sembari menguji.

Pungguh Tolol mengecup ujung telunjuk. Lalu ujung telunjuk itu ditaruh di
kening, sepertinya sedang mengingat-ingat. Dengan langkah selebor dia
menuju bagian lantai kamar perpustakaan itu, Dia segara menemukan kunci
pembuka. Lantai itu terbuka. Lalu dia masuk dan melambaikan tangannya pada
sang Guru, kemudian menghilang dan lantai pun tertutup.

Ki Ca Hya geleng-geleng kepala seraya berkata sendiri: “Bahkan pintu


rahasia dan peta padepokanku sudah dia ketahui dengan cermat. Apa ia memang
tolol atau berpura-pura tolol?”

Mendadak sontak Ki Ca Hya meloncat dan membuka rak, Dia pungut Kitab Kebun
Senjata. Dia buka halaman tengah dan lantas geleng•geleng kepala seraya
berkata sendiri: “Dia sudah mempelajari, bahkan memiliki ilmu yang hebat
Ilmu Menyerap Pikiran dan Ilmu Menyerap Bacaan. Oh, untuk dua ilmu ini
orang harus punya otak cahaya yang terang benderang!”

Sementara itu, Pungguh Tolol sudah sampai di lantai Air Terjun Rahasia. Dia
menonton Aji Mlati yang memahirkan gerak permainan Pedang Tien-Yuen. Si
Tolol melihat kalung Aji Mlati terjatuh. Dia meloncat memungut kalung itu,
bertepatan dengan pedang itu sedang diayunkan menebas leher. Tapi harusnya
leher si Tolol terpenggal ketika itu, tapi dengan mangelak seraya ketawa
leher itu tak jadi kena tebas. Hal ini membangkitkan jengkel Aji Mlati
sampai dia hentikan permainannya. Dia tersenyum seraya cemberut. Dan
mengomel gadis cantik remaja itu: “Kamu kepingin kepalamu putus, Pungguh?”

“Tentu tidak. Saya tadi memungut kalung tuan!” ujar Pungguh dengan bibir
manjeber, lalu mendekati Aji Mlati dan mengenakan kalung itu.

Ketika kalung itu dikenakan, Aji Mlati melirik pada Pungguh Tolol. Lirikan
itu amat genit. Dia berkata dengan jantung berdebar; “Kamu tolol tapi
ganteng, Kak Pungguh!”
“Aku hanya pelayan Pendakar Tua”, kata Pungguh merendah.

“Minggir, aku akan berlatih!”


Pungguh Tolol pun minggir. Aji Mlati melatih Jurus gertak dengan
mempermainkan pedangnya seraya bersya”ir :

Bila pedang jadi kitiran

Kodok melongo di batu

Sebelum dia menyemprot kencingnya

Telan seketika!

Pungguh Tolol terbahak bertepatan dangan Aji Mlati mulai dengan jurus
jebakan bangau yang mencocor lawan. Dia untung tidak merasa ragu ketika
mencocor dangan pedangnya itu, sebab lawan itu memang hadir di depannya,
yaitu Pungguh Tolol yang bolak balik mengelak cocoran pedang di depannya.
Aji Mlati terus mencocor tetapi pungguh sudah melompat melangkahi
kepalanya. Aji Mlati membalik mencari pungguh, tapi dia sudah kena jegal
dengan cekatan, terjegal dengan jegalan Pungguh. Sembari mau bangkit dengan
pinggang nyeri, Aji Mlati menggerutu : “Rupanya kamu menguasai ilmu ini
ya?”

Pungguh Tolol menyerahkan peniti emas kepada Aji Mlati : “Saya cuma
kebetulan memungut peniti emas yang tuan yang jatuh, jadi
terpaksamengelakmengelak pedang tuan!”

“Ah, Kak Pungguh bergurau. Aji yakin, kakak pandai main pedang. Coba
tunjukkan satu permainan yang agak hebat .” uajr Aji Mlati seraya
menyodorkan pedangnya kepada si Tolol.

Si Tolol tertawa menyeringai seraya memegang ujung pedang.

“Pegang pedang dengan gagangnya, kak!” ujar Aji Mlati ketawa.

“Oh ya?” ujar Pungguh Tolol, lalu melempar pedang ke udara sehingga pedang
itu bagai kitiran lalu ditangkap Pungguh gagangnya dan bertanya : “Begini
cara memegang pedang ya dik Aji Mlati?”

Lirik tatapan mata Aji Mlati kelihatan mengagumi kegantengan Pungguh yang
selama ini tetap dianggapnya pelayan tolol.

Aji Mlati tertawa lebar. Dia tertarik dengan wajah yang ganteng itu, tapi
tertawa geli melihat tingkah lakunya.

“Aku senang bercanda dengan pedang”, ujar Pungguh Tolol. Sembari ketawa dan
melangkah seleboran, Pungguh Tolol mempermainkan pedang itu dengan Jurus
Sepuluh Bayangan Pedang. Jurus itu membuat tampaknya pedang itu menjadi
sepuluh buah, sehingga musuh bingung yang mana yang pedang dan yang mana
yang bayangan.

Buntut jurus yang membuat Aji Mlati ternganga itu, diakhiri dengan satu
sabetan pada satu tangkai bunga wijayakusuma yang tumbuh dekat air terjun
itu. Anehnya seperti sabetan pedang itu tidak mengenai tangkai bunga itu ,
sebab bunga itu tidak jatuh. Tetapi ketika Pungguh dalam sekelabatan
menyambar tangkai bunga itu, Aji Mlati memperhatikan dengan teliti. Pungguh
menyodorkan bunga setangkai itu. Dan tampaklah bekas pedang yang memenggal
tangkai itu.

“Aku persembahkan bunga wijayakusuma ini untuk tuan”, ujar Pungguh Tolol
sembari ketawa menyeringai.

Aji Mlati menyambut bunga persembahan itu. Dia cium baunya. Dia tatap mata
Pungguh Tolol. Tapi Pungguh membuang muka.

“Kamu nakal, Kak Pungguh!” ujar Aji Mlati.

“Kenapa aku dibilang nakal?”

“kau kesini menggangu latihanku. Kau mengganggu kemestian agar aku belajar
khusyuk!”

“Teruslah berlatih. Aku hanya menonton”, ujar Pungguh Tolol.

“Jurus apa yang kak Pungguh minta?” tanya Aji Mlati.

“Mulailah dari jurus pertama Burung Pujangga!” kata Pungguh”Wah, kamu


pernah membaca kitab Burung Pujangga, Kak?”

“Aku cuma dengar-dengar orang ngomong. Maka aku coba meminta kamu memainkar
jurus pertama Burung Pujangga itu!” ujar Aji Mlati.

“Kalau begitu kamu dikirim kakek untuk menjadi pelatihkul”

“Pelatih? Bahasa apa itu? Aku tak tahul” ujar Pungguh Tolol..

“Jangan dusta!” ujar Aji Mlati jengkel,cemberut sayang.

“Janganlah cemberut adik manis. Kamu menyuruh aku minta satu permainan kau.
Maka kuminta. Cobalah main”, ujar Pungguh Tolol.

Aji Mlati berkonsentrasi dengan pedangnva. Lalu mulai bersyair dengan


suaranya yang merdu:

Pada awalnya seekor bangau

Mengintip dari sarang...


Tiap baris kalimat diikuti dengan gerak.

Cocornya pedang ini

Yang logamnya mulia

barasal dari langit Bintang Panji

delapan lengkah utama

meneliti alam sekeliling

Sebelah kaki lebih kokoh

dari dua kaki berdiri

Dan semakin cepat Aji Mlati mempermainkan pedangnya dengan sebelah kaki
yang kadang harus dengan dua kaki untuk memindahkan gerak menangkis.

Sementara itu Pungguh Tolol berkeliling, tapi dia terpeleset mengenai batu
kecil dan seperti mengumpan dirinya untuk terkena sabetan pedang Aji Mlati
yang membalik dengan sebelah kaki. Ketika inilah Aji Mlati tambah yakin,
bahwa Tolol dikirimkan kakeknya sebagai pelatih. Maka dia melakukan
serangan-serangan tanpa tanggung-tanggung dengan Sepuluh Jurus Pemula.

Selalu saja Pungguh Tolol berhasil mengelakkan sabetan itu, sampai Aji
Mlati kemudian menghentikan permainan seraya sempoyongan menuju batu besar
di depan air terjun, Nafasnya ngos-ngosan.

“Kakak kurang asem.. “, gerutu Aji Mlati sembari menyarungkan pedangnya.


Pedang itu dilempar ke udara, dan Pungguh Tolol berseru; “Aduh kepalaku
bisa ketiban!” dan cepat disambernya pedang itu sembari tertawa
menyeringai.

“Hentikan lelucon ini, Kak Pungguh”. ujar Aji Mliati.

“Aku bukan pelawak. Aku tak membuat lelucon”.

“Jangan dusta. Anda dikirim sebagai pelatihku!”

“Aku cuma nonton”, ujar Pungguh,

“Tadi ketika aku akan masuk jurus ke dua sampai ke jurus 10, apa kamu bukan
sengaja masuk memancing sabetan pedangku?” tanya Aji Mlati.

“Itu kebetulan aku kepleset!” kata Pungguh tertawa tolol.


“Tidak mungkin kebetulan. Pertama ketika kakak datang, kakak mangganggu
permainanku memungut kalungku yang jatuh. Hampir saja kepalamu kena
penggal. Tapi kau bisa mengelak pedangku. Kemudian kau mengacau permainanku
lagi dengan alasan memungut peniti. Yang ketiga kau bilang tergelincir,
alasan kepleset batu! Aku tidak sudi ditonton lagi!”, ujar Aji Mlati
cemberut.

MELIHAT Aji Mlati cemberut, Pungguh berkata: “Tidak ada calon pendekar yang
gampang merajuk!”

“Aku merajuk! Aku tidak ingin jadi pendekar!” ujar Aji Mlati sembari
berlari meninggalkan ruangan air terjun rahasia itu, Pungguh menyeru
namanya sampai tiga kali. Tapi Aji Mlati tidak turun-turun lagi.

Aji Mlati kemudian muncul di ruang bacaan Ki Ca Hya, Sang kakek sedang
membaca sebuah kitab.

Datanglah pertolongan cahaya

menyelamatkan pendekar buta

Melatihnya ilmu harimau

Dan melatih pendengaran

Untuk menangkap wisik.

Kakek menoleh melihat Aji Mlati muncul lalu bertanya: “Ketika kamu ikut
Pita Loka di padepokan Ki Surya Pinanti, apakah Pita Loka di sana sampai 40
hari genap?”

Aji Mlati cuma cemberut tak menjawab.

Dengan heran Ki Ca Hya mendekati, bertanya : “Kenapa kamu anak manis?”

“Aku dikibuli”.

“Dikibuli siapa , Aji Mlati?”

“Dikibuli si Tolol”.

“Dia tidak melatihmu?” tanya sang kakek.

Aji Mlati senang dengan pertanyaan kakeknya itu. Dia bertanya:

“Kakek, apakah Pungguh Tolol kakek kirim untuk melatih saya?”

“Betul”,sahut sang kakek.


“Kalau begitu dia memang pelatih kibul, Dia kibuli saya. Katanya dia cuma
nonton. Padahal tiga kali saya menemukan bukti bahwa dia pendekar pedang
yang tangguh. Dia berhasil mengelak sabetan pedang saya sembari memungut
kalungku yang jatuh, penitiku yang jatuh, dan sekali lagi dia berlagak
tergelincir batu tetapi menguji permainanku! Saya serang dengan jurus cocor
bangau pun dia cuma mengelak dengan berkelebat seperti orang berjoget”.

Ki Ca Hya tertawa lebar. Tertawanya penuh kepuasan. Dan ketawanya berhenti


begitu matanya tertuju pada Aji Mlati yang cemberut dan buang muka.

“Hai, jangan cemberut anak manis!” ujar sang Guru.

“Aku kesal. Kesaaallll sekali”, ujar sang cucu.

“Mungkin kamu lapar, dan pergilah ke sana makan. Minta pada pelayan dapur”.
Aji Mlati akan pergi tapi berbalik. Lalu bertanya: “Tadi ketika saya
cemberut, Kakek Guru menanya apa?”

“Aku menanyakan tentang Pita Loka, karena aku yakin dalam Kitab yang sedang
aku pelajari ini, dia berperan penting.Adakah dia empat puluh hari berguru
pada Ki Surya Pinanti?”

“Ya. Sebelum saya kakek culik itu”, ujar Aji Mlati.

“Kalau begitu dia akan mengalami buta!” ujar Kakek tua itu.

Aji Mlati terdongak kaget.

“Kak Pita Loka akan mengalami buta?” tanyanya.

“Itu jika perkiraanku tidak meleset menafsirkan kitab ini”

“Dia buta karena bertarung?”

“Demikianlah menurut ramalan.”

“Siapa yang membuat Kak Pita Loka itu buta, kek?”


“Seorang pendekar harimau!”

“Lho, bagaimana itu bisa terjadi?”

“Semuanya mungkin dalam ilmu persilatan!”

“Tapi menurut intipan saya, Kak Pita Loka itu sendiri berguru llmu Harimau,
Kenapa bisa terjadi harimau bertarung dengan harimau?”

“Itu bisa saja terjadi. Dalam mencapai tingkatan, tiap pendekar kadang
harus diuji dengan teman seperguruan. Untuk manajamkan ilmu. Bahkan itu
ujian terberat, Misalnya ada murid mwlawan Guru. Itu wajar saja dalam
persilatan, hai Aji Mlati!”

Aji Mlati tertawa lebar seraya berkata; “Kalau begitu bisa terjadi suatu
kali Aji Mlati bertarung dengan Pungguh Tolol?”

“Jika kamu cinta padanya, tak mungkin!” ujar Ki Ca Hya tertawa, Aji Mlati
cemberut dan berkata menggerutu pada kakeknya:

“Cinta pada si Tolol?” Dia jelek, pangkatnya pelayan di padepokan ini,


Menjijikkan. Suka ngibul! Ah, aku benci padanyal”

“Jangan benci. Sebab benci bisa mengakar cinta. Bunga teratai pernah
mengutuk air, Katanya air itu dingin, Tapi akhirnya bunga teratai bercinta
dengan air, dan hanya berpisah kalau ingin mati saja”. ujar Ki Ca Hya
mengucapkan kata-kata pilihan bestari.
“Ah, aku lapar!” ujar Aji Mlati.

SETELAH Aji Mlati pergi, Ki Ca Hya manutup Kitab Tujuh. Dan menarok kitab
itu pada tempatnya yang rahasia. Dengan hati-hati dibukanya pintu rahasia
di lantai itu. Dituruninya tangga-tangga menuju air terjun rahasia. Setalah
tiba di lantai terbawah, telinganya mendengar bunyi sabetan- sabetan pedang
yang merupakan jurus terhalus Sembilan Bayangan Sayap Bangau. Dan dengan
tercengang diawasinya siapa yang sedang memainkan jurus itu. Tak lain,
tentunya, Pungguh Tolol, pelayannya.

Sekadar menguji kehalusan pukulan pelayan tolot itu, Ki Ca Hya meloncat ke


udara mamasuki arena dan seketika itu juga menjadi “lawan” si Tolol. Ki Ca
Hya melakukan tangkisan- tangkisan yang membuktikan pula kejituannya
bersilat. Dan ketika pendekar tua itu mencoba merebut pedang itu, temyata
Pungguh Tolol berhasil berkelit. Sekaligus setelah itu Pungguh Tolol
menghatur sembah ma”af pada Pendekar Tua itu: “Ma”afkan, semestinya bukan
saya memegang pedang ini, Tuan Majikan!”

“Jangan mendustakan saya, nak!”, ujar Ki Ca Hya seraya menerima pedang


sakti itu dari tangan pelayannya, “Saya yakin kau telah mempelajari
permainan ini bukan dalam waktu sedikit.

Jika kau mangaku umurmu telah 23 tahun, setidaknya kau sudah pernah
memegang pedang semacam ini pada usia 10 tahun”.

Pungguh Tolol lantas mentololkan diri: “Saya ini pengemis terlantar,Tuan


Guru!”

“Baik. Kamu mengaku pengemis terlantar. Lalu kupungut jadi pelayan. Tapi
darah yang mengalir di tubuhmu sekarang ini bukannya darah sembarangan.
Katakan siapa ayahmu?”

“Saya tak mengenal ayah saya, Tuan Guru!”


“Katakan siapa kakek kamu!”

“Juga saya tak mengenal. Saya yatim piatu semenjak kecil,


Jadi tak kenal siapa lbu dan Ayah.Apalagi Kakek!” ujar Pungguh Tolol lalu
terkekeh-kekeh.

“Tentu kamu pernah belajar ilmu silat dengan seseorang. Dari Tujuh Harimau
di kawasan bukit seratus ini, tidak mungkin salah seorang dari mereka itu
menjadi sang gurumu. Kami bertujuh selalu saling berhubungan. Aku ingin
mengetahui saja nama orang itu. Siapa, Pungguh?”

“Orang itu tak saya kenal,” ujar Pungguh.

“Jujur?” desak si tua.

“Jujur, Tuan Majikan!”

“Kalau begitu kamu pernah terbangun malam?”


“Pernah, Tuan Guru!”

“Ketika itu kamu bertemu dengan seseorang?”


“Tidak. Tidak ada orang!”

“Kalau begitu roh halus berupa orang tua?” tanya Ki Ca Hya bersemangat.
Pungguh Tolol terkekeh sejenak.

“Katakan, nak, supaya nanti kau tidak disesatkan Ilmu Setan,” ujar Ki Ca
Hya, “Sebab banyak sekali roh halus berupa penjelmaan setan yang memberi
pelajaran silat awal secara betul. Di pelajaran akhir dia salah. Banyak
contoh pendekar-pendekar sesat yang melakukan hal itu. Antara lain pendekar
iblis Dasa Laksana, malah dia ketempelan roh pendekar sesat. Sulit
melepaskan diri baginya kecuali oleh kematian dengan kepala terpenggal.
Juga salah seorang dari anak kandung temankus eguru. Dia mengalami
kepandaian semacammu!”

“Siapa nama orang itu, Ki Guru?” sela Pungguh.

“Namanya Harwati.”

“Dan siapa nama roh yang mengajarnya?”

“Kalau sudah semacam itu, sudahs ulit mengetahui gurunya. Dia akan
mengalami masa gila yang tak pernah selesai kecuali dengan benda sakti
berupa Permata Hijau dari kitab Amsal Solaiman yang tersimpan di benua
Afrika, yang diwariskan turun temurun untuk penyembuh sakit gila. Tapi
marilah kita selesaikan dulu pertanyaan pertama: Roh orang halus yang
mengajarkan kau bermain pedang begitu hebat itu siapa, nak?”

“Saya sudah bersumpah merahasiakan nama beliau, Tuan Guru,” ujar Pungguh
Tolol tanpa ketololan. Dia bersungguh-sungguh ketika berkata.

“Baiklah. Cerita ini kita tutup,” ujar Ki Ca Hya.

Pungguh Tolol menatap majikannya dengan wajah murung. Dia kuatir


kejujurannya itu membuat Sang Guru tidak menyukainya lagi. Lalu: “Tuan
Guru! Saya bersedia melanggar sumpah!”

“Oh tidak. Kau anak jujur meskipun tolol.peliharalah kejujuran dalam


kependekaranmu yang bukan sembarangan itu,” ujar Ki Ca Hya.

Pungguh Tolol tiba-tiba merintih, menangis.

“Cinta Tuan Guru jangan berubah gara-gara ini, Tuan!” ujarnya

“Aku tak pernah berubah sikap. Bahkan bajingan, jika aku sudah cinta, tetap
aku cintai, nak!” ujar beliau dalam kata-kata hikmah.

K I CA HYA segera menaruh perhatian kepada soal silsilah si Pungguh Tolol


ini. Dia menganggap anak muda ini bukan turunan orang sembarangan. Jika
kini usianya 23 tahun, dan dia tidak mengenal lbu dan Ayahnya, tentu dia
punya masa kecil yang pahit. Ki Ca Hya mulai mengingat-ingat peristiwa
apakah yang telah terjadi di masa bayi si Tolol ini. Setidaknya itu terjadi
dua dasa warsa yang lalu! Dua puluh tahun yang lalu! Pertarungan dahsyat
apakah yang telah terjadi di masa itu? Baru Ki Ca Hya ingat telah terjadi
satu perkara besar mengenai perampokan tanah persawahan. Seorang jagoan
muncul merampok tanah-tanah petani Bukit Selikur yang tak biasa bertarung.
Tetapi ada seorang petani yang mengadu pada Ki Ca Hya tentang pemilikan
tanah secara tidak syah ini. Ki Ca Hya muncul di Bukit Selikur dan menemui
jagoan itu. Mulanya telah diperingatkan secara baik-baik. Jagoan itu
ditanyainya; “Apa kelebihan tuan maka tuan berani berbuat semena-mena atas
petani ini?”

“Jangan banyak omong!” ujar jagoan itu mengacungkan pedangnya.

“Siapa anda?” tanya Ki Ca Hya merendah.

“Jangan tanya aku! Maju kalau kamu berani menantangku!”

“Saya cuma ingin mendamaikan anda dangan para petani ini. Siapa anda?
Darimana anda datang? Apakah anda pendekar di antara begitu banyak jagoan
di kawasan Bukit Seratus ?”

“Tak usah banyak tanya sebelum aku marah dan kupisahkan kepalamu!”

Ki Ca Hya mundur perlahan. Lalu dia dengar seorang anak sekitar tiga tahun
di gendongan ibunya bertariak-teriak. Teriakan anak kecil inilah yang
membuat jagoan itu jadi kalap. Dia ayunkan pedangnya dengan sebuah
permainan sembilan bayangan sayap bangau. Tentu saja Ki Ca Hya melayani
pertarungan itu, Hanya dengan cara menghindar. Cara menghindar ini pulalah
yang mencelakakan jagoan itu. Pedang itu bukannya memenggal leher Ki Ca Hya
ketika dihantamkan ke lehernya. Dengan jurus harimau mengelakkan “Serbuan
Kekasih”, pedang itu berbalik dan membelah kepala jagoan itu. Jagoan itu
rubuh! Para petani bersorak. Ki Ca Hyacuma berkata :

“Kuburkan mayat pendekar ingusan ini. Dan setelah Itu kerjakan tanah milik
kalian kembali!”

Ki Ca Hya berlalu. la lupa menanyakan siapa anak kecil itu. Dan siapa
wanita yang berpakaian pendekar itu. Lalu setelah sehari perjalanan
meninggalkan Bukit Selikur, ia ingat kembali pada jagoan ingusan yang telah
jadi korban senjatanya itu.

“Aku harus kembali. Perasaanku kurang enak”, ujar Ki Ca Hya dalam hati. Dan
beliau kembali lagi ke Bukit Selikur. Benarlah! Disitu telah terjadi
peristiwa mengerikan! Penduduk Bukit Selikur yang penakut rupanya bangkit
marah ketika janda jagoan itu masih bersitegang. Lalu wanita itu dikeroyok
ramai- ramai secara membabi buta o!eh para petani itu, karena lima orang
petani sempat terbunuh dipenggalnya. Dan dalam pengeroyokan itu,wanita itu
tewas.

“Mana anaknya?!” seru Ki Ca Hya.

“Mungkin juga sudah terbunuh dalam amukan kami”, ujar seorang petani.

“Aku tidak dapat menyalahkan kalian. Biarpun begitu, kejadian ini bagiku
membuat aku merinding. Kalian kejam. Tapi aku bisa menyalahkan kalian”,
ujar Ki Ca Hya.

Dan sejak itu, Ki Ca Hya tidak pernah kembali manginjak Bukit Selikur,
hingga hari ini.
Dan sore hari, ketika pelayan tolol itu selesai menghidangkan makanan
baginya, Ki Ca Hya memanggil : “Pungguh, kemari kamu Tolol!”

“Ada apa, tuan Guru?”

“Tentu kamu pernah belajar ilmu silat dengan seseorang. Dari Tuiuh Harimau
di kawasan bukit seratus ini, tidak mungkin salah seorang dari mereka itu
menjadi sang gurumu. Kami bertujuh selalu saling berhubungan. Aku ingin
mengetahui saja nama orang itu. Siapa, Pungguh?”

“Orang itu tak saya kenal”, ujar Pungguh.

“Jujur?”desak si tua.

“Jujur.Tuan Majikan!”
“Kalau begitu kamu pernah terbangun malam?”

“Pernah, Tuan Guru!”

“Ketika itu kamu bertemu dengan seseorang?”

“Tidak. Tidak ada orang!”

“Kalau begitu roh halus berupa orang tua?” tanya Ki Ca Hya bersemangat.
Pungguh Tolol terkekeh sejenak.

“Katakan, nak, supaya nanti kau tidak disesatkan ilmu Setan”, ujar Ki Ca
Hya, “Sebab banyak sekali roh halus berupa penjelmaan setan yang memberi
pelajaran silat awal secara betul. Di pelajaran akhir dia salah. Banyak
contohnya pendekar-pendekar sesat yang melakukan hal itu, Antara lain
pendekar iblis Dasa Laksana, malah dia ketempelan roh pendekar sesat. Sulit
melepaskan diri baginya kecuali oleh kematian dengan kepala terpenggal.
Juga salah seorang dari anak kandung temanku seguru. Dia mengalami
kepandaian semacammu!”

“Siapa nama orang itu, Ki Guru?” sela Pungguh.

“Namanya Harwati”.

“Dan siapa nama roh yang mengajamya?”

“Kalau sudah semacam itu, sudah sulit mengetahui gurunya. Dia akan
mangalami masa gila yang tak pernah selesai kecuali dengan benda sakti
berupa Permata Hijau dari kitab Amsal Solaiman yang tersimpan di benua
Afrika, yang diwariskan turun temurun untuk penyembuh sakit gila. Tapi
marilah kita selesaikan dulu pertanyaan pertama: Roh orang halus yang
mengajarkan kau bermain pedang begitu hebat itu siapa, nak?”

“Saya sudah barsumpah merahasiakan nama beliau, Tuan Guru”,ujar Pungguh


Tololl tanpa ketololan. Dia bersungguh-sungguh ketika berkata.

“Baiklah. Cerita ini kita tutup.”, ujar Ki Ca Hya.

Pungguh Tolol menatap majikannya dengan wajah murung. Dia kuatir


kejujurannya itu membuat sang Guru tidak menyukainva lagi. Lalu: “Tuan
Guru! Saya bersedia melanggar Sumpah!”

“Oh, tidak. Kau anak jujur meskipun tolol. Peliharalah kejujuran dalam
kependekaranmu yang bukan sembarangan itu”, ujar Ki Ca Hya.

Pungguh Tolol tiba-tiba merintih, menangis.


“Cinta tuan Guru jangan berubah gara-gara ini, Tuan!”, ujarnya.

“Aku tak pernah merubah sikap. Bahkan bajingan, jika aku sudah cinta, tetap
aku cintai, nak!” ujar beliau dalam kata-kata hikmah.

“Silakan duduk yang baik”.

Pungguh Tolol duduk secara serampangan.

“Duduk yang baik, nak!” ujar Ki Ca Hya.

“Ini sudah duduk paling baik, Tuan Guru!” Ujar Pungguh Tolol dengan ketawa
serampangan pula.

“Kalau itu sudah terbaik menurutmu, tak apalah. Memang kamu tak pernah
dididik sopan santun. Bukan begitu, Tolol?”

“Benar,tuan Guru.”

“Sekarang aku mau tanya kamu : Pemahkah kamu mengenal bukit yang disebut
Bukit Selikur?” tanya Ki Ca Hya.

“Tidak pernah tuan Guru!”

“Jangan bohong”.

“Saya ini tolol dan jujur, jujur dan tolol, tuan Guru!” ujar Pungguh,

“Kamu ingat masa kecilmu?” tanya Ki Ca Hya.

“Tidak ingat, tuan Guru”.

“Lain kamu pernah tinggal dengan siapa?”

“Lupa”, sahut Pungguh Tolol lalu dia tertawa terkekah-kekeh.

K I CA HYA Jadi semakin ingin tahu. Dia ingin mengetahui, selama menjadi
pengemis, desa-desa dan padepokan manakah yang dia singgahi? Lalu pagi ini
dipanggilnya pelayannya. Pelayan setia itu, Si Pungguh Tolol, muncul
seketika :

“Tuan majikan memanggil saya?”

“Ya, Saya ingin menanyakan sesuatu. Sebelum kedatanganmu ke sini, kamu


tentu mengemis dari desa satu ke desa lain. Tentu kamu juga lewat padepokan
demi padepokan, Bisakah kamu mengingat nama beberapa desa yang kamu
lewati?”
Pungguh nyengir dan menggelengkan kepaaa. Ini mencengangkan ! Lalu Ki Ca
Hya bertanya lagi : “Satu desa saja kamu tak ingat namanya?”

“Tidak, tuan Guru.Kalau saya mengemis, sesudah dikasih makan dan minum lalu
saya di Usir. Cuma disini saya tidak diusir”, Ujar Pungguh,

“Pernah kenal nama pendekar wanita?” tanya Ki Ca Hya.

“Wah, banyak. Hebat, tuan Guru. Pendekar wanita itu lebih hebat dari
pendekar lelaki, Misalnya saja Aji Mlati, Hebat sekali”, kata Pungguh.

“Tentu Aji Mlati kamu kenal, Tapi pernah mendengar nama pendekar Pita
Loka?”

“Pernah kenal”,

“Dimana?”

“Di sini. Yang cerita Aji Mlati”, kata Pungguh.

Ki Ca Hya tertawa terbahak.

“Sudah. Latihlah Aji Mlati pagi ini. Pernah membaca Kitab Kebun Senjata,
bukan?”

“Hmmm. Cuma curi-curi, tuan Guru”, ujar Pungguh senyum-senyum.

“Kalau begitu pagi ini latihlah dia dengan jurus Menangkis Seratus Pedang”,
ujar sanag Guru.

“Baik, tuan Guru. Saya Tengok tadi Aji Mlati sudah turun ke air terjun”,
ujar Pungguh Tolol.

Lalu si Tolol itu pun pergi. Dia memasuki pintu rahasia ke lantai bawah
tanah, dan menemukan Aji Mlati masih berlatih jurus Sembilan Bayangan
Pedang. Dan dengan serta merta Pungguh meloncat didepan air terjun itu, dan
berbuat dirinya menjadi lawan tangguh Aji Mlati. Aji Mlati senang sekali
berlatih dengan adanya lawan dihadapannya. Tetapi keasyikan dua orang ini
tidak mengganggu rencana Ki Ca Hya pagi ini. Seluruh ruangan sudah di kunci
menurut tata aturan sebelum beliau berangkat. Ya, beliau akan berangkat
menuju Bukit Selikur.

Di sebuah desa yang dilaluinya, Ki Ca Hya bertanya : “Pernah kenal Pungguh.


Tolol?”

“O, pemuda gila itu?” sahut pemilik warung.

“Betul. Pemuda gila tak tahu adat itu. Pernah dia tinggal di desa ini?”
“Dia cuma mengemis. Tidak tinggal di sini. Dia bolak balik di sini sejak
kecil”.

“Sejak kecil?” tanya Ki Ca Hya.

“Sejak masih anak-anak menurut cerita orang-orang di desa sana maupun desa
sini, si Pungguh Tolol hanya mengemis”.

“Tahu kalian anak siapa dia?” tanya Ki Ca Hya.

“Kami tak tahu nama ayahnya. Tapi orang bilang dia anak perarrpok, Kami
benci, tapi terpaksa memberi makan minum karena kasihan”.

“Terimakasih”, ujar Ki Ca Hya lalu berlalu.

Hampir semua desa yang dilalui menjawab pertanyaan dengan cerita yang sama.
Tetapi cerita itu berbeda ketiga guru tua itu tiba di desa Bukit Selikur.
Tiba di desa ini Ki Ca Hya datang dengan menyamar.

“Aku datang ke sini mencari salah seorang saudaraku!”

“Namanya siapa, Pak?”

“Karena peristiwanya duapuluh tahun yang silam, mungkin kalian lebih tahu
nama orang itu. Orang itulah yang memelihara seorang anak kecil yang ibu
bapanya dibunuh orang-orang tani di sini”, ujar Ki Ca Hya.

“Anak perampok yang mati dibunuh Ki Ca Hya, yang isterinya lalu kami bunuh
ramai-ramai?”

“Betul”, sahut Ki Ca Hya, “Yang aku cari bukan anak itu.Tapi orang yang
memelihara anak itu”.

“Anak itu tidak dipelihara. Tapi sudah dibunuh oleh Nyi Pungguh, seorang
wanita pertapa tua yang mengutuk perampok dan isterinya. Anak itu dia
culik, lalu dibabatnya dan dagingnya dilempamya ke kali”.

“Nah, Nyai Pungguh inilah yang saya ingin temukan”, ujar Ki Ca Hya.

“Dia tetap bertapa di guha Selikur. Entah masih hidup atau sudah ghoib.
Kami cuma bisa menunjuki guha itu. Masuk kedalamnya tidak berani, Pak”,
ujar si pemilik warung.

“Itu sudah cukup. Tunjuki saja aku letak guha itu”, ujar Ki Ca Hya. Lain ki
Guru tua itu diantar oleh seorang bocah ke depan guha itu.

GUHA Bukit Selikur itu sebetulnya bukan sebuah guha. Itu hanya lubang di
dinding tebing. Yang membuatnya serdadu Jepang, Tetapi ketika dilubangi
sejarak enam meter, rupanya kepentok batu besar. Lalu dibatalkan. Nenek tua
itu, Nyi Pungguh, berdiam di sana sudah tiga puluh tahun lamanya. Dan orang
pun bingung bagaimana caranya Nyi Pungguh memanjati tebing itu sebab tidak
ada tangga.

Tapi buat Ki Ca Hya memanjat dinding sebegitu amatlah mudah. Dia memanjat
saja seperti dalam waktu sedetik, bagai sebuah batu dilontarkan.

Begitu dia terlontar masuk guha itu, seorang nenek tua sudah menantinya
dengan pedang terhunus.

“Aku datang bukan dengan maksud jahat”, ujar Ki Ca Hya.

“Saya kenal kau, Ki Ca Hya”, ujar Nyi Pungguh.

“O, terimakasih”.

“Silakan duduk, Jika kau memang bermaksud baik, silahkan ikut makan sirih”.

“Saya puasa”, ujar Ki Ca Hya.

“Kalau begitu , tuan Guru ingin mempertanyakan anak itu”,

“Ya.. “

“Dia melarikan diri setelah tahu caranya turun dari tebing ini. Tanpa aku
ajar. Tapi memang waktunya si Pungguh lepas dari tanggunganku. Aku hanya
mengandalkan rasa batin, Kasihan. Maka sebelum dia terbunuh oleh petani-
petani yang sakit hati itu, aku culik. Pedang yang berdarah itu untuh
membuktikan pada para petani itu, bahwa anak kecil itu sudah aku bunuh dan
aku buang ke sungai. Tapi si Pungguh berada di mana sakarang, saya tidak
tahu”, ujar Nyi Pungguh.

“Dengan maksud apa anda memberikan nama si Pungguh padanya, Nyi?”

“Supaya dia tidak dikenal, Hanya orang ini yang kenal dia. Mereka
sebenarnya, mengusirnya dengan melemparinya dengan batu. Mereka cuma
memanggilnya Si Anak Perampok. Itulah gelar yang menyedihkan. Tuan ke sini
karena ingin menebus kasih sayang sebab telah memenggal ayahnya?”

“Bukan dengan maksud itu. Dia mati bukan dengan pedangku. Tapi pedang dia
sendiri sebelum memenggal kepalaku. Aku ke sini hanya ingin tahu.
Setidaknya nama ayahnya”.

“Aku tak mengenal perampok itu, apalagi namanya, Ki Ca Hya!”


Nenek tua itu tersenyum.
“Hati-hati. Aku yakin, jika nanti waktunya tiba, si Pungguh akan datang ke
desa Bukit Selikur ini. Tentu dengan penyelidikan atau mendengar cerita
dari orang lain, bahwa ayahnya mati dibunuh Ki Ca Hya. Dia akan membalas
dendam. Kepadaku sering dia tanyakan ayahnya. Tapi aku tak tahu. Dan
kemungkinan, dia minggat dari tempatku ini disebabkan keinginannya
untukmencari ayahnya”.

“Kini aku ayahnya”, ujar Ki Ca Hya dengan nada haru.

“Tuan Guru?”

“Dia tinggal di padepokanku. Aku akan didik dia sampai waktunya nanti dia
bisa kulepas. Kuajarkan dia agar dia kelak jadi pendekar”, ujar KiCa Hya.
“Itu baik, Tapi juga tidak baik”, ujar Nyi Pungguh.

“Aku tahu maksud anda. Bahwa suatu ketika dia akan membalas dendam,
membunuhku. Begitu maksud Nyi Pungguh kan ?”

“Itu sudah naluri alam”, ujar Nyi Pungguh.

“Kuharap tidak. Baiklah. Aku harus kembali kepadepokanku”, ujar Ki Ca Hya.


Beliau bersembah pada nenek tua berusia 150 tahun itu. Lalu di depan
gerbang dia membaca mantera sejenak :

Bang gedibang
Aku tak ada aku terbang

Sepancaran cahaya telah menyilaukan nenek tua itu sampal air matanya keluar
saking silaunya. Lalu yang tampak adalah bola api yang membal dari pohon ke
pohon.

Setiba di padepokan, Ki Ca Hya tidak segera masuk. Batinnya gusar. Seperti


ada sesuatu telah terjadi. Lalu muncullah pengurus rumah tangga.

“Ada berita buruk?” tanya Ki Ca Hya.

“Tuan Guru mungkin sudah tahu”.

“Maka kuharap kalian semua di padepokanku jangan berburuk sangka pada apa
yang telah terjadi. Pungguh Tolol melarikan Aji Mlati bukan karena hawa
nafsu jahat. Kuharap dia jaga cucuku, agar ilmunya lebih mantap, ini semua
karena kesalahan dan kekhilafanku jua. Telah kuberi tahu pada Aji Mlati,
bahwa yang membunuh ayah dan ibunya adalah Ki Rotan. Tentu mereka pergi
berdua bukan dengan alasan minggat atau nafsu kelamin. Mereka pergi karena
ajakan Aji Mlati. Sudahlah. Kita terima kejadian ini sebagai bagian dari
perjalanan alam”, lalu Ki Ca Hya masuk ke ruang pertapaan,

RAMALAN pendekar bijak bestari biasanya jarang yang meleset. Begitu pula
ramalan Ki Ca Hya. Hatinya tidak gundah karena sang cucu yang perawan
remaja sepertinya dibawa minggat oleh Pungguh Tolol. Pendekar yang agung
bukannya menyerah pasrah pada manusia, tetapi menyerahkan kekuasaan pada
Yang Maha Kuasa yang justru mengatur seluruh gerak di Alam Semesta ini.

Ki Ca Hya cuma membantu dengan sedikit do”a.

Tapi bukannya beliau bersantai diri. Beliau langsung membuka sebuah lemari
tua. Diambilnya Pedang Mercu Api yang tidak pernah dia jamah sejak
diwariskan ayahnya. Kemudian dia mengangkat sumpah dengan mengacukan pedang
sakti Itu : “Kau bukan tuanku. Akulah tuanmu. Karena itu kau yang mesti
ikuti permainankul Jika saja pendekar tidak memerlukan senjata, kamu
hanyalah sepotong besi tak berarti!”

Sumpah itu pesan ayahnya ketika mewariskan pedang bertuah itu. Lalu beliau
turun ke Air Terjun Rahasia. Disinilah beliau berdiri didepan air terjun
seraya membaca mantera :

Dang kata Pedang

Pedang dilarang mempecundang!

Dan dia kumpulkan napas, lalu dia tebas air terjun itu. Begitu dahsyatnya
angin yang terbawa oleh arus ayunan pedang itu, sehingga air terjun itu
terbelah dua.
Tebasan kedua dilakukannya lagi.

Tebasan ketiga dilakukannya lagi! Kemudian pendekar tua itu memberi amanah
kepada pedangnya : “Bila saatnya tiba nanti . . . Kamu hanya menangkis! Aku
larang kau melukai anakku, Pungguh Tolol itu!”

Pada detik itu. Pungguh Tolol yang sedang menggeletak di lembah yang
disaput rumput hijau terbangun dari separuh tidurnya. Dia bukan bermimpi,
Tapi telinganya seakan mendengar suara majikannya memanggil namanya. Dan
dia lalu berdiri seperti mencari sesuatu, sehingga Aji Mlati bertanya :
“Hai Pendekar Tolol, kau mancari apa, ha?”

“Aku mencari suara”.

“Suara siapa?”

“Suara Ki Guru. Suara Ki Ca Hya”, ujar Pungguh.

“Daripada buang waktu, mari kita lanjutkan perjalanan”, ujar Aji Mlati
bersitelekan dengan pedangnya untuk berdiri.

Pungguh Tolol, sebagaimana biasa,patuh saja. Dia melanjutkan perjalanan


berdampingan dengan perawan jelita Aji Mlati.
“Belum ketemu satu desa pun”, ujar si Tolol dengan cemas.

“Untuk apa ketemu desa? Perjalanan kita pun rahasial” ujar Aji Mlati.

“Aku butuh melakukan sesuatu!”

“Melakukan apa lagi, Tolol?”

“Mengemis. Kebiasaanku menerima kasihan orang lain, Aji Mlati”.

Aji Mlati ketawa : “Wahai kakak Pungguh! Pantas jika kamu digelari si
Tolol. Alangkah sayang parasmu yang cantik itu”.

“Aku cantik? Mana yang cantik dengan kau, dik Aji?”

“Mukamu itu mirip banci”.

“Banci itu termasuk binatang apa, dik Aji?”

“Banci itu termasuk manusia purbakala”.

“Uh, jangan bikin aku jadi ngeri. Ngeri aku!” ujar Pungguh Tolol.

Tiba-tiba mereka dihadang olah empat orang tak dikenal.

“Wah, kita celaka”, ujar Pungguh kuat-kuat. Empat lelaki bersenjata golok
itu ketawa terbahak mendengarnya.

“Jangan teruskan perjalanan”, ujar empat lelaki itu.

“Kalian orang berdosa”, uiar Aji Mlati,

“Jangan tantang mereka berkelahi, dik Aji ! Mereka hebat. Aku takut “, ujar
Pungguh Tolol.

“Jangan takut Aku juga takut. Tapi kepada empat lelaki ini aku ingin
bertanya : Hai, saudara-saudara, pernah kalian baca Kitab Tao-Te Ching ayat
337”

Empat lelaki itu mulai mengayunkan golok dan mengancam.

Namun Aji Mlati berkata : “Ayat itu menyebutkan : Siapa mengenal orang lain
maka dialah orang bijaksana. Tapi siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka
dia memperoleh cahaya”.

Dalam sekelebatan Aji Mlati mencabut pedang saktinya dan satu ayunan
pedangnya menciptakan empat bunyi beradunya pedang itu dengan empat mata
golok penghadang. Pungguh Tolol berlompatan melarikan diri, tetapi dia
akhirnya meloncat seraya menjerit-jerit ke tengah arena. Berkali-kali
golok-golok itu hampir mengenai tubuhnya, kakinya, bahkan lehemya. Tapi
ketololannya mengelak itu menimbulkan rasa ngeri pada empat pencegat. Dan
disaat itulah satu sabetan tak terduga terjadi : Kaki Pungguh menghajar
empat dengkul musuh dengan satu tarikan nafas. Mereka menjerit. Dan Pungguh
bertanya : “Kenapa kalian menjarit?”.

Lalu dipungutnya empat golok musuh dari rumput ; “Belajar mengasah golok.
Belajar memegangnya. Baru berkelahi!”

LALU empat golok itu dibagi-bagikannya kembali kepada empat pencegat tadi.
Seraya berkata; “Belajar ilmu silat pada guru yang baik, ya?”

“Aduh, kaki kami lumpuh!” seru salah seorang lelaki pencegat.

“Itu lebih bagus. Kalau lumpuh, belajar main atas saja. Dan kalian berempat
akan terkenal sebagai Empat Pendekar Lumpuhl”

dan Pungguh Tolol ketawa terkekeh.

“Siapa tuan? Aku akan belajar padamu!” seru lelaki itu lagi.

“Aku? Aku ini pendekar tolol. Kalau balajar pada guru tolol, kalian malah
akan bertambah tolol”,

“Apa kamu bukannya Pungguh Tolol? “ tanya yang seorang lagi.


“Tebakan jitu”.

“Kalau begitu kamu pernah mengemis di desaku!” kata yang satu.

“Memang betul”, ujar Pungguh Tolol, lalu menadahkan tangannya pada orang
itu dan berkata berhiba-hiba : “Tuan, kasihani aku, Aku mengemis padamu,
tuan”.

Aji Mlati menghela lengan Pungguh seraya berkata : “Ayoh, kak. Jangan
pedulikan mereka lagi”.

Pungguh Tolol pun terkekeh-kekeh dan mengikuti langkah Aji Mlati yang tegap
perkasa. Sedangkan Pungguh hanya melangkah santai, sekali-sekali mengejar
Aji Mlati seraya berseru : “Tunggu . . hai . . . aku ketinggalan!”

Aji Mlati tertawa dan menunggunya.

Ketika telah dekat dengan Aji Mlati, Pungguh Tolol berkata :

“Di kitab apa kamu baca Tao-Te Ching itu, dik Aji?”

“O, yang kau maksud ucapanku pada empat pencegat tadi, kak?”
“Betul, Aku kagum sekali otakmu pintar menghafal. Aku sendiri orang tolol”,
ujar Pungguh merendah.

“Kau jangan kibuli aku lagi, kak. Tadi dengan gaya tololmu sudah kau rusak
dengkul empat bajingan itu”, ujarAji Mlati.

“Coba dengar baris ayat 19 Tao-Te Ching punyaku ini, dik Aji : Sasari
dirimu yang bersahaja. Pegang teguh sifatmu yang aseli”

Aji Mlati melongo. Lalu berkata : “Berkali-kali kamu membuat aku


terpelongo, Tolol”.

Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan lagi.

“Hai, sungai ! Mungkin ini sungai Selawi yang aku mimpikan tadi malam”,
ujar Aji Mlati tiba-tiba sesampai ditepi lembah.

“Tadi malam kamu barmimpi, dik Aji?” tanya Pungguh Tolol.

“Betul, kak”.

“Coba terangkan padaku”, ujar Pungguh Tolol.

“Aku bermimpi harus ikut arus sungai ini. Dalam berenang itu, nanti aku
akan mendengar suara halus yang memberitahukanku”, ujar Aji Mlati.

“Suara halus Ki Ca Hya?”

“Bukan, Suara nenekku!” ujar Aji Mlati.

Lalu Aji Mlati mempersiapkan diri untuk mencebur, Tapi Pungguh mencegah :
“Jangan mencebur begitu saja!”

“Kenapa?”

“Aku bagaimana?”

“Kau juga menceburl”

“Tidak mau ah !”

“Kenapa, kak? Kita nanti akan sampai ke pedukuhan Bukit Rotan !”

“Tak ikut ah!”

“Kanapa, kak?”

“Soalnya . . . aku tidak bisa berenang”, ujar Pungguh Tolol.


Ajl Mlati merasa itu cuma akal tolol dan lelucon belaka. Maka setelah dia
selipkan pedang saktinya itu diikat pinggang, Aji Mlati pun mencebur ke
sungai Selawi itu .

Tapi Pungguh tak ikut mencebur, Dia cuma berlari ditepi sungai itu saja
seraya berseru : “Aku begini sajalah! Aku tak bisa berenang !”, dan dia
ketawa terkekeh berlari ditepi sungai itu menuruti Aji Mlati yang ikut
arus.

“Ha-ha... untung aku tak pandai berenang ! Bajuku tidak basahl” teriak
Pungguh Tolol lagi.

Larinya Pungguh ditepian sungai itu menjadikan Aji Mlati terhibur. Dan dia
tidak merasa letih mengendalikan arus yang samakin ke hilir semakin besar.
Ketika sudah agak lama, Aji Mlati mendadak tidak melihat lagi Pungguh Tolol
lari ditepi. Maka dia pun memagut sebuah batu besar dan kepalanya menoleh
ke kiri dan ke kanan. Lalu berteriak : “Kak Pungguh, dimana kau?”

“Dimana kau Kak Pungguh?” teriaknya lagi dengan cemas.

Terdengar sahutan dari tengah sungai, sewaktu sebuah kepala menyembul :


“Aku disini! Ayoh berenang lebih cepat!”

“Kurang ajar, rupanya kamu bisa berenang lebih baik dariku!” gerutu Aji
Mlati.

SEMENTARA itu. Ki Ca Hya di padepokannya tidak berdiam diri. Kepergian Aji


Mlati dan PungguhTolol bukan untuk dilepas begitu saja. Dia masuk ke tempat
latihan. Enam murid yang sudah dia gembleng dengan baik dia kumpulkan.

“Kalian semuanya enam orang akan aku kirim untuk menculik cucuku Aji Mlati.
Jelas?”

“Jelas, tuan Guru”,

“Kalian berangkat enam orang. Tapi jangan kuatir. Sebenarnya aku ikut
bersama kalian”.

“Jadi Tuan Guru juga ikut?” tanya Pendekar Pertama.

“Bukan jasadku yang ikut. Tapi bayanganku akan ikut”, ujar Ki Ca Hya.

“Kemana kami harus menuju?”

“Ke satu tempat yang harus mengikuti aliran sungai “ular”. Jelas?” tanya Ki
Ca Hya.

“Sungai yang semacam ular cuma satu, Ki Guru !”


“Benar, Pendekar Kedua. Yaitu sungai Selawi yang membelit tujuh Bukit
Utama, Sungai ini arusnya berbahaya”, kata Ki Ca Hya.

“Kami sudah terlatih berenang ! “ ujar Pendekar Ketiga.

“Ha, jangan takabur. Sungai ini sewaktu-waktu didatangi banjir dahsyat.


Orang bisa terbawa oleh arus banjir dan pergi ke satu lembah sesat dan bisa
mati di situ. Ancaman bahaya inilah yang akan dihadapi oleh Aji Mlati”,
ujar Ki Ca Hya.

“Tapi bagaimana dengan Pungguh Tolol, pelayan tuan?” tanya Pendekar


Pertama.
“Dia tidak ikut kami culik?” tanya Pendekar Kelima.

“Jangan”, ujar Ki Ca Hya. Wajahnya tampaknya bimbang.

Dan memang, sejak secara mendadak seminggu yang lalu Ki Ca Hya didatangi
mimpi itu, kebimbangan dan kecemasan mewarnai tingkah laku beliau.

“Mereka berdua sesungguhnya akan ke Bukit Rotan, kawasan berbahaya yang


riam- riam sungainya mengerikan. Aku kadang harus berhati-hati memutuskan
sesuatu yang khusus mengenai cucuku Aji Mlati ini, anak-anak!

Dia keras seperti Neneknva almarhum, Aku kuatir, kepergiannya minggat


bersama Pungguh Tolol ini dikarenakan bimbingan roh Neneknya. Aku sudah
bertenung mengenai perjalanannya. Anak ini mencebur ke sungai Selawi, lalu
diikuti si Pungguh, dan kelihatannya ia mengikuti bisikan roh Neneknya
untuk membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibunya. Aji Mlati menyaksikan
kematian itu didepan matanya sendiri. Tentu dia akan membunuh Ki Rotan
dengan suatu balas dendam. Tapi ilmu Ki Rotan ini amat gawat!”

“Tuan guru bimbang?” tanya Pendekar Pertama.

“Tidak. Tapi aku melihat penghalang pertama. Penghalang ini tidaklah jelas
orangnya, si Tolol atau Roh Ayah atau Roh Kakeknya!”

Enam pendekar yang sudah bersiap-siap untuk terjun bartarung itu saling
melihat satu dengan yang lain. Ki Ca Hya akhirnya mengepalkan tinju, dan
memukul lantai: “Hampir saja aku berbuat dengan bimbingan setan”.

“Tuhan melihat sesuatu yang ghaib?”

“Ya. Mari kita ka ruang latihan”, ujar Ki Ca Hya, “Aku memutuskan untuk
membatalkan penculikan ini”.

Enam murid utama itu mengikuti perjalanan memasuki satu bukit rahasia, lalu
memasuki terowongan di bawah tanah. Disinilah letak ruang latihan.

“Semua duduk jajar bersila”, ujar sang Guru.


Enam pendekar murid utama itu duduk jajar bersila dihadapan Guru yang juga
duduk bersila.

“Tidak sebagaimana biasanya, kali ini aku akan ngisi kalian berenam. Mari
maju ke hadapanku Pendekar Pertama”, ujar Ki Ca Hya.

Pendekar Pertama mengingsut pantatnya sampai dekat dengan Ki Ca Hya.


Setelah jarak sedepa, Ki Ca Hya memegang kepalanya.

Si itu isi

Isi si isi dengan tanah, air, angin, api

Dari Kebun Senjata ada satu permainan binatang

Binatang belalang.

Lang kata binatang

Lang kata belalang

Belalang kata orang

Rang Cangcorang

Si isi

Isimu Cangcorang !

Lalu Pendekar Pertama disuruh mundur. Dari gerak mundurnya tampaklah dia
sudah diisi dengan gerak mundur belalang Cangcorang.

“Pendekar Kedua sekarang”, ujar Ki Ca Hya.

Lalu Pendekar Kedua mengingsut pantatnya menuju sang Guru.

Dan sang Guru mangisi lagi dengan mantera yang sama. Ketika
sudah terisi. Pendekar Kedua pun mundur seperti Cangcorang mundur.

SETELAH enam murid utama itu diisi, Guru Tua itu pun berseru ; “Pendekar
Pertama maju berhadapan dengan Pendekar Keenam”,

“Kamu Pendekar Kedua maju berhadapan dengan Pendekar Kelima”, ujar Ki Ca


Hya lagi.

“Dan kamu Pendekar Ketiga maju berhadapan dengan Pendekar Keempat”, ujar
sang Guru kemudian.
Setelah masing-masing berhadapan, sang Guru berteriak ;

“Tarung!” Dan bertarunglah tiga pasang pendekar itu dengan jurus-jurus


kaku. Dan selalu, yang satu cuma diam dan yang lain menyerang. Setelah
semua jurus dimainkan, Ki Ca Hya berteriak lagi; “Berhenti!”

Latihan itu berhenti. Ki Ca Hya memanggil Pendekar Kedua, Keempat dan


Keenam.

“Kalian bertiga ini memiliki kemampuan bertahan. Jadi kalian tidak aku
perkenankan menyerang musuh datam tugas ini, Cuma bertahan, mengerti?”

“Ya, tuan Guru!” tiga pendekar itu serentak menyahuti.

Lalu tuan Guru memerintahkan enam pendekar itu membuat lingkaran yang
mengelilingi beliau.

Setelah lingkaran itu terbentuk, tuan Guru tua itu memberi perintah.
“Semua membelakangiku !” ujarnya.

Enam pendekar murid utama itu patuh membelakangi Ki Ca Hya.

Lalu mereka dengar pula perintah beliau. “Semua angkat tangan ke atas!”

Enam pendekar murid utama itu mematuhi, angkat tangan. Dan dalam sekejap
mata tendangan putar Ki Ca Hya menendang enam pantat muridnya itu, sehingga
mereka jungkir balik dengan gerak silat Cangcorang. Pendekar Pertama,
Ketiga dan Ke!ima langsung menyerang Ki Ca Hya dengan gerak kaku. Tetapi Ki
Ca Hya mengelak serbuan itu. Bahkan dia menyerang Pendekar Kedua, Ketiga
dan Keempat yang selalu bertahan. Setelah pertarungan Uji coba itu selesai,
Ki Ca Hya tersenyum. Sudah seminggu beliau tidak tersenyum. Kini beliau
berkata : “Aku puas dengan tiga muridku yang mampu menahan seranganku!”

“Tapi..,.”. beliau tersenyum lagi. “Ini kalian yang bertiga menyerangku


harus dengan sepenuh hati!”

Pendekar Pertama, Ketiga dan Kelima diperintahkan menyerang sang Guru.


Menyerang dengan sepenuh hati. Dan serangan Cangcorang bertiga ini memang
dahsyat sekali, “Kini aku puas”, ujar sang Guru.

Begitu keluar dari ruang latihan itu, Ki Ca Hya bertanya :

“Apa ada diantara kalian yang lapar dan haus?”

“Kami semua lapar dan haus, Ki Guru!”

“Tentu saja. Kita Sudah tiga hari tiga malam melakukan latihan. Rasanya
cuma satu jam saja. . . .”, Ki Ca Hya tertawa dan mengajak mereka kedapur.
Disini, isteri keempat Ki Ca Hya menyambut mereka ; “Tiga hari tiga malam
kalian tidak kelihatan. Tentu kalian akan rakus hari ini”.

Dan memang mereka semua rakus memakan hidangan itu. Tapi Ki Ca Hya tidak
ikut makan. Beliau hanya minum satu mangkuk air putih balaka. Lalu kembali
ke tempat beliau sering berada. Di ruang baca rahasia. Tiba-tiba saja
beliau merasakan kedua kakinya bergetar. Beliau pun menyadari ini suatu
perintah untuk meninggalkan tempat. Betul. Tangannya pun ikut bergetar. Dan
membuka pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Beliau masuk ke bawah,
menuju tempat latihan utama, didepan air terjun Rahasia itu.

Tapi beliau tidak berlatih suatu apa.

Beliau hanya duduk besila dihadapan air terjun itu, seraya mengucapkan
kata-kata singkat yang semakin lama semakin cepat.

Mata beliau tertutup. Lidah beliau bergerak makin cepat mengucapkan sepatah
Kata Utama, Dan kemudian, ketika matanya terbuka, air terjun itu seakan-
akan tak bargerak. Putih bagai kaca belaka !

Mata Ki Ca Hya menatap keputihan warna kaca dihadapannya. Lalu tampak oleh
beliau bahwa Aji Mlati tidak lagi berhanyut-hanyut. Dia malah sedang
berlatih dihadapan Pungguh Tolol.

Sungguh wajah tua itu senang menyaksikan latihan pedang yang dahsyat itu !
Barulah kemudian beliau memejamkan matanya lagi. Dan memang, ditepi sungai
yang berpadang rumput luas itu, Pungguh Tolol melatih permainan silat Aji
Mlati dengan penuh kesungguhan...

“Aku letih, Tolol”, ujar Aji Mlati.

“Tinggal sembilan Jurus lagi. Seluruhnya ini khusus untuk persilatan malam
hari. Memang yang meletihkanmu karena jurus malam ini seluruhnya terbalik
dengan jurus siang. Ayoh, sembilan jurus lagil” ujar Pungguh.

Aji Mlati dengan malas mematuhi pelatihnya.

Tapi sang pelatih menggerutu : “Jurus akhir tadi hampir kepalaku jadi
buntung!”

SEMENTARA itu, di padepokan Ki Ca Hya tampaklah kesuraman. Kesuraman di


suatu pagi!

“Agar hatiku puas, kalian, enam murid utama, aku perintahkan untuk
berangkat. Tugas kalian tidak banyak. Cuma menculik Aji Mlati yang terpaksa
aku tunda empat hari”.
“Kami ta”at, tuan Guru.”

“Ingat, tugas kalian hanya menculik Aji Mlati”, ujar Ki Ca Hya mengulangi.

“Baik, tuan Guru. Kami ta”at dan kami berbuat!”

“Berangkat sekarang”, kata Ki Ca Hya.

“Tapi apa tuan Guru tidak diliputi keraguan atas kemampuan kami?” tanya
Pendekar Pertama.

“Terpaksa aku memberi pesan tambahan, Aji Mlati jangan dibawa pulang dalam
keadaan terluka. Itu saja, Ayoh berangkat!” ujar Ki Ca Hya.

Enam murid utama itu mencium tangan sang Guru dengan berlutut. Sang Guru
lalu meneteskan airmata.

“Kenapa tuan Guru menangis? tanya Pendekar Pertama.

“Entah. Kali ini aku tak tahu mengapa getaran Jantungku begini keras.
Sepertinya aku ini akan mati”, ujar sang Guru.

Enam murid utama itu berdiam diri pada mulanya. Lalu, karena Pendekar
Pertama menangis maka menangislah lima pendekar lainnya. Namun mareka sudah
berteguh hati untuk berangkat.

Perjalanan mereka ketika fajar itu sungguh marupakan perjalanan yang penuh
rasa kepahlawanan dan memikul amanat. Bukan sekali dua kali apabila mereka
melewati desa, mereka digoda oleh pendekar-pendekar tanggung yang hampir
menimbulkan perkelahian.

“Ingat, jangan tergoda oleh setan”, ujar Pendekar Pertama pada lima
temannya.
Ketika mereka di jamu minum di sebuah desa kecil yang tak mereka kenal,
tiga lelaki muda memancing perkelahian.

“Mereka ini minum tidak bayar”, ujar satu lelaki muda.

“Kami sudah mengajukan permohonan pada lbu ini sejak semula. Bahwa kami
akan mengemis minuman”, ujar Pendekar Pertama.

“Kalau begitu kalian berenam ini pendekar-pendekar”, ujar lelaki muda itu,
yang langsung memegang kepala Pendekar Partama.

Pendekar Pertama kelihatan berusaha sabar. Ketika Pendekar Ketiga bangkit


berdiri sewaktu melihat Pendekar Pertama dijenggut rambutnya oleh si lelaki
muda itu, Pendekar Pertama berkata: “Jangan menyerang!”
Temyata ada sepuluh lelaki muda yang kemudian menyeret enam pendekar itu
keluar dari warung, Mereka mengeroyok enam pendekar itu. Disini ilmu mereka
benar-benar diuji. Mereka ditendang dan dipukul, tetapi mereka cuma
mengelak.

“Kami kalah”, seru Pendekar Pertama.

Dia ditendang tepat didadanya begitu menyatakan diri kalah. Dan dengan satu
kayu dia pun kena pukul tepat dibahunya, tapi cuma menghindari diri saja.

“Mari kita lari!” teriak Pendekar Pertama ketika dilihatnya Pendekar Kelima
mulai naik darah dan secara tak sengaja membuat penyerang jatuh pingsan.

Enam murid utama itu cepat melarikan diri dari desa itu. Setelah menembus
hutan, Pendekar Pertama menyeret tangan Pendekar Ketiga ; “Hai, kau tak
bisa mengendalikan nafsumu. Ingat, kita cuma punya satu tugas ; Menculik
Aji Mliati!”
“Aku kasihan melihat kamu dijadikan mainan oleh orang itu”, ujar Pendekar
Kelima.

“Yah, semoga dosamu diampuni Guru”, ujar Pendekar Pertama, Mereka melangkah
terus menembus siang dan malam. Sampai. ketika suatu kali mereka terbangun
ditengah hutan, ada yang berseru: “Suara air terjun!”

Lima pendekar terbangun,

“Air terjun!” seru Pendekar Keenam yang melihat air terjun itu. Mereka lalu
bersama-sama berlari bagai belalang Cangcorang menuruni bukit itu, dan
didepan air terjun yang dahsyat itu mereka berhenti.

“Boleh kita mandi?” tanya Pendekar Keenam.

“Jangan. Kita bukan bertamasya ke sini”, ujar Pendekar Pertama. Tetapi


Pendekar Kelima, yang memang agak emosi, berkata ; “Kita mau menculik gadis
cantik, masa” badan kita dibiarkan bau?”

Lalu ia terjun. Pendekar Pertama mengurut dada dan berkata : “Semoga


Pendekar Kelima diampuni tuan Guru”.

Pendekar Kelima yang keenakan mandi diair terjun tiba-tiba berseru : “Hai,
dibalik air terjun ini ada guha!”

Dan mendadak pula muncul dalam keadaan samar seorang manusia.

“Hai, ada manusia!” serunya dan menepi berenang menghindari diri.

KEMUDIAN Pendekar Kelima bergabung dengan teman-temannya. Ia malahan


berbisik pada Pendekar Pertama :

“Aku tadi melihat orang. Sungguh mati!”


“Apakah orang dibalik air terjun itu sepertinya seorang pendekar?”

“Ya. Bahkan aku rasanya tak salah lihat. ..”

“Maksudmu bagaimana?”

“Dia teman kita”, bisiknya,

“Yang kita cari”, bisik Pendekar Kelima lagi.

“Aji Mlati?” tanya Pendekar Pertama.

“Bukan”.

“Kalau begitu si Tolol”, kata Pendekar Pertama.

“Betul”.

Pendekar Pertama lalu memberi isyarat meninggalkan air terjun itu. Disini
dia mengatur siasat.

“Tugas kita sudah dekat. Jelas, bahwa dalam guha ini, yang letaknva di
balik air terjun ini, si Pungguh Tolol sedang menyembunyikan Aji Mlati.
Mungkin inilah tempat pemukiman mereka selama mereka minggat. Jadi aku
kira, tugas kita sudah hampir berhasil. Yang penting kita harus menculik
Aji Mlati nanti malam”.

“Itu membuang waktu”, potong Pendekar Kelima.

“Mana bisa sekarang? Kita harus menculiknya ketika Aji Mlati tidur. Jadi
kita atur siasat sesuai dengan ilham yang aku perdapat. Pertama, nanti
lewat tengah malam, aku akan memanggil Pungguh Tolol. Jika dia keluar dari
air terjun itu, aku akan ajak dia berunding diluar. Sementara kalian
berlima masuk ke guha. Culik Aji Mlati dengan segera, sesuai dengan ajaran
Ki Guru kita, yaitu dengan tujuh macam mantera sebelum memegangnya dan
ingat, jangan sampai cucu ki Guru dilukai!”

Pendekar Kelima ketawa miring.

“Kenapa kau ketawa, Pendekar Kelima?” tanya Pendekar Pertama.

“Apa yang anda usulkan itu bukan siasat. Tapi khayalan. Kita lebih baik
bersama-sama masuk ke guha. Kita temui secara ksatria si Tolol itu. Kita
kemukakan apa tujuan kita ke sini, . . .”

“Jika dia menolak?” tanya Pendekar Pertama.


“Kita harus paksa sampai dia bersedia. Dia itu murid Ki Guru juga seperti
kita-kita ini kan ?” ujar Pendekar Kelima.

“Dengan usulmu itu, berarti usulku batal. Tugasku sebagai pemimpin pun
batal”.

“Karena usulmu membuang waktu, Pendekar Pertama”, kata Pendekar Kelima,

“Yah memang betul. Membuang waktu. Tapi yang disebut membuang waktu adalah
ujian atas kesabaran. Menunggu. Menunggu itu bukti kesabaran, mengerti
kau?”

“Aku mengerti, tapi tak setuju”, ujar Pendekar Kelima,

“Kau sudah tiga kali melanggar aturan kependekaran. Pertama, kau tidak bisa
menahan marah ketika di warung. Kedua kau terjun mandi, padahal sudah aku
larang. Aku in ipemimpin kalian berlima, lho. Ingat. Dan yang ketiga,
ketika aku punya usul kamu malahan bikin usul lain. Jadi patuhmu pada
pemimpinmu kapan?”

“Aku pernah dengar pesan Ki Guru dulu di ruangan latihan. Sudah lama, Dulu,
maksudku. Beliau bilang, pemimpin harus dipatuhi apalagi dia ber Tuhan.
Kalau pemimpin salah, jangan dipatuhi. Siasatmu salah, kan ?”

“Siasatku tidak salah”, ujar Pendekar Pertama.

“Itu pendapatmu. Coba kita tanyakan pada teman-teman ini. Hei.teman, apakah
kalian mau berdiam diri dipinggir sungai ini, dimakan nyamuk dan lintah
sampai tengah malam nanti?”

“Wah itu siksaan”, ujar Pendekar Ketiga.

“Jadi kalau berempat setuju jika kita tidak membuang waktu?”


“Saya kira kita jangan inemblJang waktu. Itu mengulur dukacita Ki Guru yang
melepas kila pun dengan menangis. Jangan-jangan kita kembali Ki Guru sudah
mati, kan begitu beliau berpesan?”

“Ada lagi yang menolak dukunganku? Kalau menolak, bicara. Kalau setuju,
diam saja. Ayoh ada yang mau bicara?” tanya Pendekar Kelima.

Semuanya diam, termasuk Pendekar Pertama. Lalu Pendekar Kelima berkata


dengan tegas ; “Kalian semua diam. Termasuk Pendekar Pertama. Itu berarti
kalian mendukungku, setuju dengan rencanakul”

“Aku memang diam. Tapi aku tak mendukungmu. Akulah murid yang paling patuh
dengan amanat Guru. Maka aku disebut Pendekar Pertama”, ujar Pendekar
Pertama menahan jengkel.

“Kalau begitu, yang setuju denganku ikut aku”, ujar Pendekar Kelima dengan
ucapan tegas.
Empat murid utama itu mengikuti Pendekar Kelima.

Tinggallah Pendekar pertama ditepi sungai. Mereka berlima menuju air


terjun, dan merangkak masuk ke guha dari balik air terjun itu . . ,

DAN begitu beberapa saat saja pendekar-pendekar yang membangkang itu masuk
dibalik air tejun itu, mendadak saja Pendekar Pertama terdongak kaget di
tepi sungai. Dia kaget karena satu demi satu anak buahnya itu terlempar
melintasi air terjun itu.

Diantara mereka ada yang hanyut. Malahan Pendekar Kelima yang pertama
ngotot dan membangkang lalu jatuh ke batu dan menggelepar. Melihat keadaan
itu, tentu saja Pendekar Pertama, betapapun sakit hati, harus membela
kehormatan lima anak buah yang dilempar lawan. Dia melompat dengan
menggunakan tenaga dalam menerobos air terjun itu.

Dalam sekejap mata dia sudah dihadap oleh lawannya yang mempecundang dengan
terjangan sayap bangau. Tapi tendangan itu bagai kipas mengipas angin,
malahan lawannya itu ditendang baliknya dengan jurus kuak kaki bangau pula.

“Ha-ha-ha...” terdengar suara ketawa.

Sudah jelas itu bukan ketawanya Aji Mlati. Ketawa terkekeh itu dikenal
betul oleh Pendekar Pertama itu.

“Siapa kau ?” teriak Pendekar Pertama sembari membuat jarak.

“Ha-ha-ha....”

“Kau tentu Pungguh Tolol ya?”

“Betul aku Pungguh Tolol”, sahut lawannya tadi.

Pendekar Pertama berkata tegas ; “Kau pelayan Guru Besar kita. Kau pun
muridnya. Sampai hati kau melemparkan bekas teman-temanmu! Apa aku juga mau
kau lempar begitu saja, hal”

“Siapa kamu kalau begitu?” tanya Pungguh Tolol.

“Aku Pendekar Pertama dan ketua dari lima murid utama Guru Besar. Kau
keterlaluan!”

“Astaga... aku sudah salah terjang. Masih hidupkah teman-teman itu?” tanya
Pungguh Tolol.

“Kau cari mereka. Selamatkan mereka yang hanyutl” bentak Pendekar Pertama
dengan tegas, “Lalu.... aku ditugaskan Guru Besar untuk menjemput Aji Mlati
hidup-hidup. Mana Aji Mlati, Tolol?”

“Soal Aji Mlati belakangan. Tadi setelah mereka berlima kuterjang dengan
kipas kepak bangau . . . aduh . . . mereka bisa celaka kalau tak segera
ditolong. . , .”, dan melompatlah Pendekar Tolol itu menerjang air terjun
dan mencebur ke sungai lalu menyelamatkan bebarapa orang pendekar yang
hanyut dan malah ada yang hampir tenggelam kehabisan napas.

“Baru ketemu empat!” seru Pendekar Tolol seketika melihat Pendekar Pertama
yang keluar dari air terjun.

“Itu, satu lagi diatas batu. Jangan-langan dia mati”, ujar Pendekar Pertama
seraya menunjuk ke batu besar, dimana tergeletak Pendekar Kelima tukang
membangkang, Begitu Pendekar Tolok melompat ke batu itu, dan dia tarik
tubuh Pendekar Kelima . . , dia berteriak ketakutan: “Anak ini mati!”

“Mati? Celaka. . . !” ujar Pendekar Partama.

“Dia mati! Kepalanya pecah!” ujar Pendekar Tolol.

Tampaknya mamang bukan Pendekar Tolol itu saja yang kebingungan. Pendekar
Pertama pun ikut-ikutan kebingungan. Karena dia adalah ketua kelompok Itu,
Dia tentu kuatir akan dihukum oleh Sang Guru.

Setelah mayat Pendekar Kelima digotong ke tepi sungai, Pendekar Tolol


berkata sedih: “Bukan sengaja aku menyerang mereka berlima ini. Tangkisan
kipas kepak bangau yang menyebabkan lima anak buahmu terlempar adalah
karena yang nongol pertama itulah yang mau menyerangku dengan jurus maut
tanpa ampun. Aku membela diri, sekalian satu kali sabet pada lima
penyerang, tapi aku rasa dialah yang terparah. Kepalanya ini pecah bukan
karena terbentur batu. Dia pecah karena terkena tulang tumitku. Marilah
kita kubur anak ini. Pendekar Kelima ini sejak di padepokan aku kenal anak
bandel. Sering membantah guru kita. Nanti aku akan mempertanggungjawabkan
kesalahanku ini didepan Guru. Ayoh gali lobang dan kita kubur anak sial
ini. Ah, kamu ini mati bikin kerjaan orang lain, busyet!”

Setelah upacara penguburan sesuatu yang sakral dan dilakukan dengan


penghormatan, barulah Pungguh Tolol memberi keterangan tentang Aji Mlati :

“Tentang Aji Mlati, aku rasa, sulit untuk dicari lagi”.

“Dia tidak ada dalam guha dibalik air terjun itu?” tanya Pendekar Pertama.
“Dua hari setelah kami di guha ini, dia melarikan diri. Tetapi mungkin juga
dilarikan oleh salah seorang dari Seratus Pendekar Iblis yang suka menjegal
kaum ilmu putih”.

DAN memang Aji Mlati dilarikan oleh salah seorang dari Seratus Pendekar
Iblis.Proses penculikan itu sendiri tidak diketahui oleh si Pendekar
Pungguh Tolol. Mereka berdua sudah diintai selama tiga hari tiga malam.
Terutama keampuhan permainan Pedang Tien-Yuan yang diayunkan oleh Aji Mlati
ketika menebas air terjun itu. Pedang Tien-Yuan itu sudah lama dirindukan
oleh salah seorang dari Seratus Pendekar Iblis itu, selama tiga puluh
tahun. Namanya lebih dikenal dengan angka-angka. Yaitu Pendekar ke-33. Dia
dikeanal berwajah cantik, lemah lembut dan tidak pernah kawin. Kumisnya
terpelihara dengan rapi. Dia juga dikenal dengan sebutan Pendekar Janggut
Dilapih, sebab janggutnya itu dikelabangnya.

Dia inilah yang menyihir Pungguh Tolol ketika si tolol inl sedang tidur.
Tidurnya nyenyak malam itu, karena letih melatih Aji Mlati bermain pedang.
Aji Mlati juga tidur terlena dengan amat pulas dangan berbantal pedang
sakti itu. Dia disihir setelah si Tolol disihir ketika nyenyak. Dan
digendonglah pendekar perawan jelita itu ke arah selatan.

Begitu sampai dipadepokannya di Bukit Si bungkuk, hari masih malam. Dia


memasuki padepokan tanpa sepengetahuan anak buahnya. Langsung saja anak
perawan itu dibaringkan diatas tempat tidur pertapaan beliau. Pedang itu
diperiksanya. Yang membingungkan dia adalah aksara Cina yang tertera di
permukaan pedang itu. Dia yakin, aksara itu berisi amanat atau keterangan
tentang kesaktian pedang itu.

Tapi dia tidak kekurangan akal. Dia bakar menyan. Dia bersemadi sejenak,
lalu dipanggilnya Jin Byung Gombak.Jin ini adalah jin Cina yang mampu
melakukan apa saja, kecuali kawin.

Wajahnya seram, rambutnya panjang dan dikelabang, janggutnya beberapa


lembar dan kumisnya pun terjuntai jarang.

“Coba kamu baca aksara ini, Byung Gombak !” perintah Pendekar ke-33, Dan
jasad halus Jin itu mulai meliuk-liuk, matanya melotot ketika membaca
tulisan itu.

“Apa itu. Byung Gombak?” tanya Pendekar 33.

“Syair rahasia”,

“Coba kamu baca. Bagiku tak ada rahasia yang tidak dapat aku buka”, ujar
Pendakar 33.

Dan Jin Cina itupun mulai mambaca pantun itu :

Seperti capung

Aku senang di kebun

Dan di lapangan

karena itulah

tempat bermainku
di rumah

biarpun indah

napasku bisa sesak

Lalu Pendekar 33 memberi perintah lagi ; “Baca syair yang disebelahnya!”

Seperti lempung

Aku keras

Seperti air

aku mencari tempat rendah

seperti angin

Kuisi ruang kosong

Seperti api

Aku membakar

Seperti Cahaya

Aku menerangi kegelapan

Lalu Pendekar 33 menendang pantat Buyung Gombak dan padamlah menyan di


pedupaan itu seketika.

“Aku memahami syair ini. Jadi engkau punya lima kekuatan ampuh, ya?” ujar
Pendekar 33 itu kepada pedang sakti itu, Seketika itulah Aji Mlati
terbangun. Dia bukan takut. Dia tersenyum bahagia. Dia terheran-heran
melihat seorang pendekar tua yang begitu rupawan,

Sebetulnya, begitu mata Aji Mlati terbuka, dia telah dalam keadaan terkena
sihir pendekar iblis ini.

“Kau tahu dimana kamu sekarang?” tanya Pendekar 33.

“Aku tak tahu. Tapi tak penting itu, Tuan Guru. Yang terpenting aku senang
berada di sini. Dimana saya sekarang ini, Tuan Guru?”

“Dirumahmu juga. Ini rumahmu yang sebenarnya. Dari Bukit Si bungkuk kamu
berasal, di Bukit Si bungkuk ini pula kamu nanti akan mati. Ditanganku ini
ada pedang sakti, Pedang ini asalnya milik moyangku. Tapi Ki Ca Hya telah
mencurinya. Dan dia mengaku-aku kau itu cucunya. Huh, si busuk mulut,
bicara seenaknya”.

“Jadi saya bukan cucu kontan Ki Ca Hya?” tanya Aji Mlati heran.

MENDENGAR pertanyaan itu, Aji Mlati menjawab : “Aku mulanya diculik. Aku
sebetulnya lebih senang bersama Kak Pita Loka”.

“Yang kakek kontanmu itu aku, Aji Mlati! Aku ini Guru dari segala Guru di
seratus bukit persilatan ini. Tapi Ki Ca Hya itu telah mempalsukannya
kepada setiap orang. Lebih jelek lagi, dia menganggap dialah yang paling
jagoan dari Pendekar Tujuh Harimau. Huh, si mulut busuk. Jadi kamu itu
diculiknya, ya cucu?”

“Betul, Tuan Guru!”

“Jangan panggil aku Tuan Guru sejak sekarang. Panggillah aku Kakek. Karena
akulah kakekmu yang sejati. Kau diculik oleh musuhku. Jadi kau harus sadar,
bahwa sebagai musuh kita, kita berdua harus bersatu hati. Tanda aku
menghormatimu, aku akan belajar ilmu kepadamu, cucuku!”

Aji Mlati tertawa terbahak-bahak.

“Kakek adalah Tuan Guru. Mana mungkin Aji akan mengajari kakek bersilat,
kek?”

“Dengan segala kerendahan hati, ajari kakek bersilat!” ujar Pendekar 33


dengan nada ramah.

“Caranya, gimana kek?” tanya Aji Mlati.

“Kau sebutkan buku-buku yang bersangkutan dengan pedang ini”, ujar Pendekar
33,

“Wah, setahu saya cuma Buku Kebun Senjata”, ujar Aji Mlati.

“Pedang ini bisa dimainkan dengan Kitab Kebun Senjata itu, Aji?”

“Justru dari kitab itu, Kek!”

“Hoho... Tentu kamu tahu dimana ada kitab itu, cucu!”

“Tentu saja tahu, Di perpustakaan Kakek . . , si mulut busuk Ki Ca Hya”.

“Lalu kamu tahu apa khasiat pedang sakti ini?”

“Mari aja saya perlihatkan khasiat permainannya”, ujar Aji Mlati yang serta
merta merebut pedang itu tapi tidak memainkannya di ruangan pertapaan itu,
“Cari tempat yang lapang, Kakekl”, ujar pendekar perawan.

“Yang lapang itu tentulah lapangan!”

“Tunjuki jalan ke sana !” ujar Aji Mlati.

Dan mereka keluar dari ruangan itu, lalu turun tangga, dan dibawah memang
ada lembah yang luasnya selapangan bola. Di lapangan inilah Aji Mlati
mempertontonkan seluruh permainan dasar dengan seluruh 99 jurus bangau.

“Sungguh dahsyat”, puji Pendekar 33.

“Memang dahsyat, Si Tolol juga memuji permainan pedang Aji, kek.”

“Tapi aku lebih tertarik dengan Kitabnya. Kitab apa lagi yang dimiliki si
mulut busuk?”

“KitabTujuh”, sahut Aji Mlati.

“Lalu Kitab apa lagi?”

“Yang mengetahui seluruh kitab itu adalah pelayan si mulut busuk!”

“Siapa pelayan si mulut busuk itu?”

“Si Pungguh Tolol “, ujar Aji Mlati.

“O, yang tidur di guha dibalik air terjun itu?”

Aji Mlati lupa seluruh kejadian sejak dia minggat itu. Dia tak bisa
menjelaskannya.
“Baiklah. Mari kita naik kuda menuju air terjun itu. Kita harus tangkap
pelayan si mulut busuk. Jika dia tidak bersedia bersekongkol dengan kakekmu
ini, kakek kontanmu ini. . . kita bunuh saja dia”.

Aji Mlati terpelongo ; “Lho, ilmunya hebat, Kekl”

“Mana yang lebih hebat dengan si mulut busuk yang mengaku dirinya adalah
kakekmu, ha?”

“Saya rasa si Pungguh Tolol ilmunya lebih hebat”, ujar Aji Mlati.

“Kalau begitu kita temui dia. Kita belajar padanya”, ujar Pendekar ke-33
dengan bersemangat.

Mereka berkuda menaiki dan menuruni bukit, hingga sampailah ke air terjun
tempat Aji Mlati dan Pungguh Tolol kena sihir pendekar iblis ini.
“Agaknya dia sudah tidak disini lagi”, ujar Pendekar 33.

“Aku masih disini, Pendekar Sihir!”, terdengar suara dari guha di balik air
terjun itu, Dan serentak dangan itu, meloncatlah Pungguh Tolo! manerobos
air terjun itu, dan menyarang Pendekar 33. Tetapi serangannya gagal. Dia
keburu jatuh jumpalitan ke batu-batu terkena jegalan Aji Mlati. Tapi dia
segera bisa tegak di batu lagi dan menperingatkan Aji Mlati: “Kau telah
kena sihir pendekar setan ini, dik Aji!”

“Aku bukan adikmu, konyol!” teriak Aji Mlati dan melompat menerjang
pendekar tolol itu. Si Tolol ketawa terbahak. Sementara itu Pendekar 33
berdiri tegak mengirimkan gelombang ilmu Sibinlya. Pungguh Tolol tahu bahwa
dirinya disihir, Dia terbahak-bahak : “Tanpa tidur, sihirmu angin!”

UCAPAN Pungguh Tolol itu sungguh menantang. Pendekar lblis 33 mulai membabi
buta. Wajahnya yang semula cantik itu, seketika itu juga berubah dengan
sangat mengerikan. Taringnya ketika mengaum muncuat keluar seakan haus
daging manusia. Dia melompat bagai kilatan halilintar, ingin menubruk leher
Pungguh Tolol. Tetapi dengan mendahulukan dua telapak kaki mencuat menabrak
perut Pendekar 33, Pungguh selamat dari gigitan, Justru si Pendekar lblis
itulah yang bagai kitiran mental ke udara. Tetapi dia hinggap ditengah
pohon, Namun Pungguh Tolol menggunakan tenaga dalamnya menerjang pohon itu.

Pohon itu tumbang, dan tubuh Pendekar lblis 33 pun terIempar.

Ketika pohon itu roboh, Pendekar lblis menjadikannya sebuah senjata! Dia
pikul pohon itu, dan dia lempar bagai melempar anak panah, Pohon itu
melayang siap menerjang Pungguh Tolol.

Tetapi Pungguh menangkis “ujung tombak” pohon itu dengan mengerahkan


seluruh tenaga intinya pada kedua telapak tangannya, Telapak tangan itu
membakar ujung tombak pohon itu ketika membentur telapak tangan si tolol,
lalu kembali bagai boomerang kearah Pendekar lblis 33 itu . . , Andaikata
ia tak menghambur ke udara, tentulah ia akan mampus seketika. Tetapi setiba
di udara dia merasa kena sabetan kepak bangau yang dikelepak Pendekar Tolol
itu. sehingga tubuhnya kembali menabrak sebuah pohon dan tumbanglah pohon
itu! Kini Pungguh Tolollah yang mengambil pohon itu, memikulnya, lalu
melemparnya melesat menuju tubuh Pendekar lblis 33.

Dia berteriak lantang! Aji Mlati ngamuk melihat “kakeknya” tersentak bagai
menempel pada sebuah pohon lain setelah ditabrak “anak panah raksasa” yang
dilempar oleh Pungguh, Dengan mempermainkan pedangnya berpindah ke kiri dan
ke kanan, dia rupanya sedang memainkan “jurus tipu” agar Pungguh tak tahu
mana yang pedang dan mana yang bayangannya. Pungguh mundur terus
menghindari kemungkinan salah tangkis. Ketika Pungguh mundur ini, si
Pendekar Iblis 33 yang sudah kembali pulih sehat mau menjebaknya dari
belakang. Tetapi ketika itulah Pungguh Tolol menggunakan tangkisan jurus
kipas bangau kawin, sehingga kaki Pungguh menggedor ke belakang mengenai
dada Pendekar lblis, sementara tangannya menangkis Pedang Tien Yuan yang
diayunkan oleh Aji Mlati, Pungguh merasa dirinya dalam keadaan terancam,
Ketololannya berubah menjadi kesungguhan. Bahaya pedang sakti Tien Yuan
dirasakannya mengancamnya.

Maka dalam sekelebatan dia sudah mainkan jurus Seratus Bayangan. Sehingga
setiap pedang sakti itu diayunkan Aji Mlati, yang terkena cuma bayangan
tubuh Pungguh Tolol belaka. Hal ini membuat Aji Mlati penasaran. Dia
berubah menjadi kalap, Justru kekalapan ini menguntungkan permainan Seratus
bayangan. Melawan jurus seratus bayangan harus dalam keadaan sadar penuh
bagi lawannya.
Kini Pungguh Tolol dalam keadaan dipepet terus oleh Aji Mlati itu, harus
menyelamatkan Aji Mlati. Caranya adalah merebut pedang itu. Dan dengan
pedang itu Pendekar lblis harus ditumpas terlebih dahulu. Untuk itu Pungguh
Tolol mesti memainkan dua macam permainan. Jurus seratus bayangan harus
silih ganti dangan jurus cengkeram bangau. Dia harus menangkis sekaligus
mencengkeram pergelangan tangan aji Mlati agar pedang itu lepas.

Pungguh telah mencoba jurus ganda itu. Tepi kesulitan terjadi. Sebab
Pendekar iblis harus dilayani pula, kendati dengan cuma menggunakan jurus
tendangan kaki. Ini mempengaruhi tiap langkah bagi pertukaran jurus 100
bayangan dengan jurus cengkeram bangau.

Tetapi dia dapat akal. Seluruh konsentrasi kini dia arahkan untuk memukul
habis Pendekar lblis dengan jurus kepak bangau, sementara Aji Mlati
ditangkis dengan permainan harimau. Ketika Pendekar Iblis menggoda terus
dari arah depan, Pungguh membiarkan tangannya untuk menghancurkan Pendekar
Iblis sehingga pendekar iblis itu terus mundur dan bahkan terjungkir balik.
Aji Mlati dua tiga kali memukul punggung Pungguh Tolol dengan mata pedang
saktinya, tetapi selalu ditangkis oleh kibasan “ekor harimau”. Akibatnya
dua tiga kali Aji Mlati terpelanting ke kiri dan ke kanan.

“Lari!” teriak Pendekar Iblis 33 melihat mengamuknya Pungguh Tolol. Dia


lari, diikuti oleh Aji Mlati yang juga melarikan diri dengan naik ke
punggung kuda. Nafas Pungguh Tolol ngos-ngosan karena keletihan. Dia
berkata sendiri: “Jika mereka teruskan, pasti aku kalah. Untung mereka
melerikan diri, ha-ha-ha”, dan mandilah Pungguh Tolol sampai basah kuyup di
air terjun itu.

Sementara itu, Aji Mlati dan Pendekar Iblis 33 memasuki padepokan Bukit
Sibungkuk. Mereka disambut oleh kawanan murid sang pendekar.

“Kami baru membawa hasil rampokan”, ujar Kepala Murid.

“Bagus”, ujar Pendekar Iblis, “Malam ini buatlah kambing guling”.

SEMULA, Pungguh Tolol mengira, laporannya kepada Ki Ca Hya akan membuat


guru besar itu terkejut. Wajah beliau hanya bergerak sedikit. Baru kemudian
Ki Ca Hya berkata singkat: “Aku memaafkan kesalahanmu, sebab itu bukan satu
kesalahan, Kematian Murid Kelima didikanku ketika Enam Murid Utama
bertarung dengan kau adalah bagian dari kemestian dan suratan. Lima muridku
yang pulang dengan tangan hampa tanpa membawa cucuku Aji Mlati tidak
membuat aku murka. Setidaknya mereka telah mengalami pertarungan hebat
melawan permainanmu yang mengagumkan, Tidak aku sangka kamu begitu hebat
mengamalkan ilmu yang aku berikan dan yang kau curi secara rahasia, namun
aku restui. Kini, yang membuat aku hiba adalah nasib Aji Mlati”.

“Saya benar-benar tertipu ketika diculiknya Aji Mlati, justru saya dalam
keadaan kena sihir”, kata Pungguh Tolol.

“Aku tahu. Dan aku juga tahu yang menculik Aji Mlati adalah salah satu dari
Seratus Pendekar lblis. Mereka ini, secara turun temurun mengadu domba
pendekar-pandekar yang baik, Baik menculik, maupun membuat Kitab-kitab
palsu termasuk kitab keramat Kitab Tujuh. Di Kumayan saja, sarangnya para
pendekar, sudah banyak yang terkena tipuan Kitab Tujuh. Sehingga para
pendekar yang ilmunya baik-baik , sehingga pendekar semacam Ki Lading Ganda
merasa ilmunya setingkat dengan Ki Karat dan Ki Putih Kelabu. Padahal Ki
Lading Ganda tidak tergolong salah seorang dari Tujuh Pendekar Harimau.
Kini terserah kepadamu, apakah hatimu tergerak untuk memikul tugas ini”.

Pungguh Tolol terdongak dengan wajah serius : “Saya akan memikul tugas?
Tugas apa, tuan Guru?”

“Menumpas iblis-iblis itu”.

“Maksud tuan , . . menumpas Seratus Pendekar Iblis “ tanya Pungguh Tolol


dengan ketololan dan gemetaran,

“Tentu tidak. Dangan kata lain menculik kembali Aji Mlati sebelum dia
dikacaukan oleh ilmu persilatan setan”.

“Saya mesti mengetahui tempat si penculiknya, tuan Guru. Saya tidak tahu”,
ujar Pungguh Tolol.

“Pernah mendengar nama Bukit Sibungkuk?”

“Pernah, tuan Guru”.

“Kesana kau berangkat. Disana bermukim salah seorang dari seratus penganut
ilmu iblis yang namanya Pendekar lblis ke 33. Disebelah Bukit Sibungkuk itu
ada satu bukit lagi namanya Bukit Sitonjang, Disini bermukim pendekar
jangkung yang juga penganut ilmu iblis. Dia pendekar ke-66. Harus kau
ingat, pendekar 33 dan 66 ini bersaing, juga bersaing dengan pendekar 99,
Tetapi jika mereka terjepit, mereka bersatu”,

Pungguh Tolol garuk-garuk kepala.

“Kenapa garuk kepala, Tolol?”


“Aku bingung, tuan Guru!”

“Jangan bingung, Aku sudah maafkan kesalahanmu dan kau tak bersalah. Kini
kau tinggal menyusul lima muridku yang sudah aku kirim ke sana sebelum tadi
kau tiba”.

“Ha? Lima Murid Utama sudah tuan Guru kirim kesana?”

“Betul sudah”.

“Kalau begitu saya berani, tuan Guru”.

Ki Ca Hya tertawa : “Kau punya kelebihan. Kerendahan hati. Semua ini berkat
ketololanmu juga”.

“Perintahkan padaku dengan restu tuan Guru agar saya berangkat detik ini
juga”, ujar Pungguh Tolol.

Ki Ca Hya membuka sebuah kotak panjang berukit. Lalu dia untalkan sebuah
pedang pada Pungguh Tolol. Pungguh menyambutnya dan ketawa heran,

“Kau pernah mencuri pedang itu dan bermain didepan Air Terjun Rahasia Tiga
tahun yang silam” kata Ki Ca Hya.

“Jadi tuan tahu saya pernah mencurinya”, ujar Pungguh,

“Bahkan saya tahu engkau sudah tamatkan membaca buku tuntunan memegang
Pedang Ular”,

“Jadi pedang ini bernama Pedang Ular ya tuan Guru?” tanya Pungguh.

“Ah, jangan barlagak pilon, Kau sudah menggunakannya tujuh minggu dan kau
pun sudah tahu nama pedang itu, bahkan cara menggunakannya!”

“Jadi tuan Guru juga tahu saya mengetahui nama pedang ini, dan saya pandai
menggunakannya, ya?”

“Jangan banyak bohong lagi, Tolol! Detik ini kau berangkat dalam restuku!”,
dan Ki Ca Hya menendang pantat Pungguh yang berjumpalitan dengan lincah
seraya memainkan jurus bunga pedang Ular itu.

Mata sang Guru melepas si Tolol dangan penuh kekaguman. Cara dia membunga
justru bunga dengan kelincahan, melegakan hatinya.

TERNYATA, sebagaimana ketololan menjadi kebiaaannya, Pungguh Tolol pun


sudah salah mengambil jalan masuk. Dia masuk ke Bukit Sitonjang yang
dikuasai oleh Pendekar Tonjang lblis 66.
Begitu dia masuk warung, dia digeledah. Dia dicurigai seorang pendekar yang
sedang menyamar.

“Tadi ada pengangsu air memberitahu bahwa kamu mambawa pedang sakti. Mana
pedang itu?”

Pungguh Tolol menyahut ; “Memang ada. Tapi sudah kembali ke pemiliknya!”


“Siapa pemiliknya?”

“Yaitu Pemilik Langit”, ujar Pungguh Tolol seraya ketawa.

Pemilik warung menengahi ; “Tak usah dicurigai dia. Dia ini sudah aku kenal
belasan tahun. Anak ini Pengemis Tolol. Tadi ketika masuk sudah mengemis,
periksa kantongnya mana ada uang? Apalagi pedang!”

“Kalau begitu tambah nasinya lagi”, ujar Pungguh Tolol.

Si penyelidik juga ikut tertawa. Kini ia yakin memang keterangan pemilik


warung itu betul.

“Dia kami kenal Pengemis Tolol. Bukan pendekar, Kalau kamu mau tahu berita
penting, memang dia sumbernya”, kata pemilik warung.

“Berikan kepadaku keterangan”, ujar penyelidik.

“Keteranganku tidak berita besar. Cuma satu berita kecil, bahwa kini
Pendekar 33 di Bukit Sibungkuk sudah memiliki Pedang Tien Yuan asal
Tiongkok, yang keramatnya bukan kepalang”.

Mendengar berita itu, si penyelidik berseru girang ; “Ini bukan berita


kecil. Ini berita besar yang mesti diketahui Guru Tonjang!”. Lalu, si
penyelidik memasuki tempat pertapaan Pendekar Iblis 66 dan bersujud didepan
telapak kakinya : “Aku membawa penting. Menurut Pengemis Tolol yang gemar
mengembara. Kini si Bungkuk di Bukit Sibungkuk sudah memiliki pedang Tien
Yuen. Bukankah pedang itu yang tuan rindukan mencurinya dari padepokan Ki
Ca Hya selama 30 tahun?”

Mata Pendekar Tonjang melotot. Dia langsung memukul gong tiga kali dan
dalam sekelebatan sudah berkumpul 66 orang murid utamanya. Seketika itu
juga dia mengumumkan : “Kita berangkat ke Bukit Sibungkuk, Pendekar lblis
33 tidak layak untuk memiliki pedang sakti itu! Kalian, 22 orang, bertugas
membakar padepokannya sampai habis. Yang 22 lagi merampok, Dan yang 22 lagi
ikut dengan aku untuk menghabisi Pendekar 33 dan merebut pedang sakti itu!”

“Siap!” sahut murid-murid utama Pendekar Tonjang.

Lalu Pendekar Tonjang memberi perintah kepada si penyelidik!” Kamu tangkap


si Pengemis Tolol itu. Beri dia makan kenyang. Lalu bunuh!”

Si penyelidik segera menuju warung tadi. Tetapi ketika dia tiba, pemilik
warung berkata bahwa si PengemisTolol sudah lama berlalu, dan memang betul.
Dia sudah lama berlalu. Dipinggiran bukit Tonjang itu, dia ambil Pedang
Ular yang dia taruh di dahan pohon sawo. Lalu dia dengan lincah
menyeberangi sungai ular yang melingkar membatasi Bukit Tonjang dan Bukit
Sibungkuk. Dan dia kemudian sedang nangkring diatas dahan pohon wuni
sewaktu 66 orang pasukan Si Tonjang menyeberangi sungai ular itu. Benar-
benar kelakuan manusia tolol. Dia terkikih-kikih menahan ketawa sembari
menikmati buah wuni dengan sikap menonton. Baru kemudian dia turun
mengikuti jejak pasukan siTonjang dari belakang.

Bukankah kelakuan begini ini berbahaya?

Tidak. Pungguh Tolol tidak pernah merasa terancam bahaya, kecuali jika
bertarung dengan pendekar yang lebih jago ilmunya daripada dia. Dia santai
saja melangkah, kadang cepat kadang lambat, mengikuti dari jarak jauh,
kadangkala malahan memunguti sisa makanan yang dibuang oleh pasukan si
Tonjang itu. Lalu dia mamanjat lagi pohon pucung yang amat tinggi. Dengan
begitu dia tahu arah yang ditempuh pasukan yang sedang menyerbu Bukit
Sibungkuk, Lalu dia melompat dengan jurus kalong ke dahan pohonan yang
lebih rendah, melompat lagi diantara pohonan itu bagai melompatnya siamang
rimba. Dia memang belum pernah bersungguh-sunguh selama hidupnya.

Maka, ketika dia menyaksikan beberapa pondok terbakar di padepokan Bukit


Sibungkuk, diserta seru dan seramnya pertarungan dua gerombolan pendekar-
pendekar iblis itu, Pungguh Tolol malahan menonton. Dan tiba-tiba saja ada
yang menepuk bahunya :

“Hai, kenapa kamu cuma nonton saja, Pungguh?” Waktu Pungguh Tolol menoleh
dia menyahut : “Hei, Pendekar Pertama! Kita hemat tenaga saja sembari
melihat-lihat kalau-kalau Aji Mlati terlihat dalam persilatan seru ini.
Nanti kalau mereka sudah capek, baru kita melibatkan diri. Kalian berlima
disini saja dulu bersamaku.

Ada makanan ndak?”

Lima pendekar Murid Utama memberikan makan dan minum pada si Tolol.

Si Tolol terkekeh girang.

ANGIN beliung tiba-tiba memasuki desa Bukit Sibungkuk. Api dari padepokan
Pendekar Iblis ke-33 menjalar ke atap-atap ilalang rumah penduduk. Teriakan
persilatan di padepokan yang diserbu oleh kawanan Pendekar lblis ke-66 kini
ditambah lagi oleh teriakan penduduk. Desa Sibungkuk banjir darah. Seorang
ibu yang melarikan bayinya dalam gendongan dan terpaksa melintasi padepokan
yang dilanda kerusuhan itu, tidak memperdulikan ketika tiba-tiba bayinya
terkena darah yang memancur dari tubuh salah seorang pendekar iblis itu.
lbu itu terus lari dengan selamat. Aji Mlati kian terdesak. Pedang sakti
Tien Yuan warisan neneknya yang sekarang sudah dia ambil alih dari tangan
Pendekar Iblis ke-33 itu, secara membabi buta dia tebas ke leher siapa saja
yang berani mendekatinya. Ketika Pendekar Sibungkuk ke-33 menghampiri
dirinya, Pendekar lblis ini sempat berteriak; “Jangan tebas aku! Aku
Kakekmu!”. suara teriakan itu tidak sempat terdengar oleh Aji Mlati. Pedang
itu cuma kelihatan kilatannya saja, Kemudian sebuah kepala meloncat dari
leher dan darah pun mancur lalu Pendekar Iblis itu roboh. Hal ini terlihat
oleh Pendekar lblis ke-66. Karena dia jangkung dan lebih dikenal sebagai
Pendekar Sitonjang, sewaktu dia menghampiri Aji Mlati, tubuh jangkung itu
terlihat oleh Pungguh Tolol.

Pungguh Tolol memberi isyarat kepada Lima Murid Utama : “Sekarang giliran
kita melibatkan diri!”

Dia menghamburkan tubuhnya ke tengah api dan langsung menubruk Pendekar


Iblis Sitonjang, Pendekar Jangkung itu mampu menahan tendangan Pungguh
Tolol, sehingga Pungguh Tolol terjengkang kebelakang, jatuh terlentang dan
bajunya terbakar api.

Kejadian ini benar-benar dimanfaatkan oleh Pendekar Sitonjang dengan ilmu


hitamnya. Dia semburkan gelombang api dari mulutnya, sehingga baju si Tolol
yang terbakar api itu semakin berkobar apinya. Pungguh Tolol yang semula
tidak menggunakan Pedang Ular, kini mencabut pedang dan dengan jurus bangau
kawin dia ayunkan pedangnya untuk menghabisi nyawa Pendekar Jangkung itu,
Pendekar lblis ini sekonyong tertolong oleh masuknya Aji Mlati setelah dia
melihat kepala Pendekar lblis ke-33 yang dia kira kena tebas Pendekar Tolol
yang memegang pedang itu. Aji Mlati tidak ingat bahwa si Tolol itu bukan
musuhnya. Maka dengan darah iblis mengalir ditubuhnya ketika itu, Aji Mlati
secara membabi buta menyerang pula Pungguh Tolol sehingga pertarungan jadi
dahsyat sebab bila dua pedang sakti itu beradu maka meloncatlah api
disertai bunyi petir.

Kebakaran semakin merajalela. Pungguh Tolol kini berhadapan dengan si


pendekar perawan Aji Mlati yang rupanya sudah membabi buta seperti
kemasukan, sehingga si Tolol kewalahan sebab dia pun terkena serangan
Pendekar lblis ke-66.

Tetapi, dengan berkelit diantara api yang mambahana, Pendekar Pungguh Tolol
berhasil menggebuk pedangnya ke punggung Pendekar lblis ke-66. Punggung itu
tidak robek, namun Pendekar lblis Tonjang itu muntah darah, jatuh
menyeruduk api dan serta merta terbakar.

Pungguh Tolol menari : “Hureeee, mampus kamu!”

Melihat hal itu Aji Mlati jadi terbengong sejenak. Pedang Tien Yuan yang
berada ditangannya sepertinya kehilangan lawan. Memang hal ini benar.
Sebab, pasukan Pendekar Iblis Tonjang seketika melihat ketuanya sudah rubuh
dan dimakan api, tidak lagi melakukan perlawanan terhadap lima pendekar
utama anak buah Pendekar Pungguh Tolol. Bahkan mereka sudah lari sebegian
seketika melihat api melalap rumah-rumah dan seketika mereka melihat betapa
jagonya Pungguh Tolol.

Maka, ketika nyala api masih berkobar itu, dengan terpelongo beberapa saat
lamanya, Aji Mlati mulai dijangkiti kesadaran dari apa yang sudah
diperbuatnya. Memang dengan mati terbunuhnya Pendekar Iblis 33 dan Pendekar
Iblis Tonjang ke-66, arus Iblis yang dialirkan dua pendekar marhum itu
mulai lolos dari aliran darah Aji Mlati.

Aji Mlati akhirnya sepenuhnya sadar.


Api mulai padam berangsur-angsur. Aji Mlati mencium pedang saktinya itu,
seraya berkata ; “Untung kau tidak jatuh ke tangan musuh.”

“Tapi kamu musti berterima kasih pada orang Tolol”, ujar Pungguh Tolol
sembari ketawa ngikik.

“Berterimakasih padamu?”

“Ya!”

“Apa jasa kamu, kak Pungguh Tolol?”

“Tidakkah kamu sadari, bahwa tadi kamu memusuhi kami, berkali-kali hampir
membunuhku dan membuat aku hampir tewas dengan pedang saktimu itu? Tak
sadarkah kamu ketika itu?”

“Aji sama sekali tidak sadar, kak!”

“Kalau begitu kamu musti belajar jatuh cinta”, ujar si Tolol.

Seraya mengucapkan kata-kata itu, malahan Pungguh Tolol akan memeluk Aji
Mlati. Aji Mlati mengelak dengan mata berang seraya berkata : “Terkutuk
kamu bila menyentuh perawan berdarah biru!”

“Baiklah, darahku asal comberan”, ujar Pungguh tolol.

“Maka pakai otak sedikit jika merayu”.

“Aku tidak butuh merayu dengan rayuan gombal. Aku Cuma butuh memeluk kamu”.

“Itu melebihi merayu!”

“Sudah pasti.”

“Antar aku pulang meninggalkan Bukit Iblis ini”, ujar Aji Mlati.

“Mestinya aku diupah”, ujar Pungguh Tolol.


“Apa upahnya?”

“Cium pipi”,

“Ih, kamu genit”, Aji Mlati menggerutu seraya menyarungkan pedang Tien Yuan
disertai hentakan kaki.

Pungguh Tolol ketawa nyengir, disertai ketawa ngakak para pendekar utama
yang kelihatannya gembira sebab telah berhasil menemukan Aji Mlati sebagai
utusan Ki Ca Hya.

“Nah, melangkahlah ke timur”, ujar Pungguh Tolol mempersilakan Aji Mlati.


Aji Mlati menuruti perintah. Pungguh Tolol mengiringinya. Semula
berdampingan. Tapi lama kelamaan langkah Aji kian cekatan. Dan Pungguh
Tolol mempercepat langkahnya seraya berser: “kalau jalan disamping kekasih
jangan seperti kijang melangkah, dik Aji!”

“Kekasih?”

“Ya, Apa kamu kira aku tidak ganteng?”

Aji Mlati melirik Pungguh Tolol, kemudian dengan muka cemberut tapi
tersenyum manis dia berkata: “Kamu memang ganteng, kak Tolol. Cuma
sayangnya kamu tolol.”
“Teman tolol adalah pintar. Dan kamu pintar, Dik!”.

“Huh, pintar sekali kamu berdebat”.

“Awas, nabrak pohon !” seru Pungguh Tolol segera menyambar tubuh Aji Mlati
yang hampir menabrak pohon pucung. Tubuh perawan itu masuk ke rangkuman
dada si Tolol. Lalu tanpa diduga Aji Mlati tersenyum .

Hal ini membuat Pungguh Tolol girang dan berkata : “Aku kira kamu menolak
pelukan saya”.

Aji Mlati menggeliat keluar dari pelukan Pungguh Tolol. Dan berkata dengan
terlebih dulu menghentakan kaki :”Bicara jangan seenaknya ! Nanti mulutmu
itu aku sumbat!”
“Disumbat dengan apa?” tanya Pungguh Tolol.

“Dengan tinjuku.”

“Aduh, nikmatnya. Terutama jika gigiku gatal dan menggigit tinjumu itu, dik
perawan cantik!”

“Kamu tidak malu merayu disaksikan murid utama Guru besar?”


“Aku Cuma mengajari mereka cara berpacaran para pendekar”, ujar Pungguh
Tolol, yang membuat Aji Mlati menghentikan langkahnya dan menyepak pantat
pendekar Tolol itu. Pendekar Tolol itupun jatuh jungkir balik, tapi jatuh
jungkir baliknya disengaja. Begitu tubuh itu jatuh terakhir kali, tubuh itu
tidak bergerak.

Aji Mlati ketakutan dan berlari menyamperi. Begitu dia lihat nafas Pungguh
Tolol tidak tampak menggerak dada, Aji Mlati kebingungan. Dia menoleh
kepada para pendekar murid utama :

“Dia mati!”

Aji Mlati berjongkok. Telinganya dia raptkan ke dada Pungguh Tolol. Waktu
itu sang pendekar bego itu mendekapinya seraya ketawa : “ Aku berlagak
mati, ya?”

“Kurang Ajar!”

“Jangan mengutuk”, ujar si tolol seraya cepat berdiri lagi.

“Itulah cara aku menjebak, apakah kamu jatuh cinta kepadaku atau tidak.
Pendeknya , kamu jangan mangelak lagi bahwa dalam hatimu yang perawan itu
telah hinggap seekor kumbang andaikata hatimu itu bunga mawar!”

“Lagi-lagi aku jemu rayuan gombalmu!”

“Pendekar itu baru lengkap apabila pandai merangkai kata”, ujar Pungguh
Tolol mengejar langkah Aji Mlati yang semakin cepat melewati hutan
belantara menjelang lembah itu.

Ucapan Pungguh Tolol itu menjadi pikiran Aji Mlati. Lalu ketika si tolol
berhasil mengejarnya hingga melangkah berdampingan. Aji Mlati bertanya :
“Kak Tolol, apa betul ketinggian pendekar itu tergantung dari mutu syair
yang dia ucapkan?”

“Maka belajarlah ilmu syair dariku, dik Aji manis”, ujar si Tolol sembari
ketawa ngakak.

KEADAAN santai yang dialami para murid Ki Ca Hya itu berbeda dengan yang
sedang dialami oleh Ki Harwati.

Dia sedang bertapa dalam keadaan kesurupan, lalu mendengar wisik suara
halus ; “Cegat mereka ! Rebut pedang Tien Yuan dari tangan Aji Mlati, lalu
bunuh dia dan semua kawan-kawannya ! Sesungguhnya, jika pedang itu ada
ditangan kamu, kamu akan sakti terutama jika kembaran pedang Tien Yuan itu
sempat kau peroleh. Ayoh, bangkit, dan hancurkan dia sampai modar!”

Harwati loncat dari guha Bukit Bunga ! Apa bunyi bisikan itu ternyata
menjadi bukti nyata. Dia melihat pendekar yang masih perawan dengan pedang
dipinggang belakang.

“Inikah dia, lblis?” tanya Harwati.

“Betul. Dialah Aji Mlati, cucu Ki Ca Hya yang ilmunya tertinggi diantara
tujuh pendekar harimau”.

“Siapa yang satu lagi?”

“Itu Pungguh Tolol, murid Ki Ca Hya. Tapi itu lawan gecel!”

“Katakan padaku, sebelum aku habisi nyawa mereka nama Kitab yang dipegang
oleh Ki Ca Hya, lblis !”

“Semua kitab syair. Kitab Kebun Senjata, Kitab Muka Jelek. Tapi sabarlah!
Kau rebut dulu pedang sakti itu. Dan tebaslah lehernya dangan pedang itu,
baru kau nanti pergi ke padepokan Ki Ca Hya dan ambil semua kitab dan
senjatanya. Ada 99 senjata ampuh padanya, termasuk Pedang Ratu Kelabang!”

“Kepala Harwati menggerumat mendengar wisik Iblis itu. Dia langsung


berteriak lantang meloncat ke udara dengan bersalto di udara lalu mendarat
tepat tujuh langkah didepan Aji Mlati dan Pungguh Tolol serta lima pendekar
murid utama. “Kau harus tahu , aku Ki Harwati, salah seorang pewaris ilmu
harimau. Aku akan merajai seluruh kawasan 100 bukit para pendekar ini! Jadi
rasanya lucu kalau anak perawan remaja semacam kau menyelipkan pedang di
pinggangmu”.

“Ha-ha-ha. Gertak sambel. Belum kenal siapa aku ya?”

Pungguh Tolol masih terkakak ketika dia belum sempat mencabut Pedang
Ularnya sudah disabet pinggangnya sehingga dia berteriak sembari jungkir
balik menabrak lima pendekar murid utama yang kesemuanya jatuh tersungkur.

“Ha-ha...aku tidak lecet segores pun. Aku sudah bangun”, ujar Pungguh yang
memang sudah memasang kuda-kuda untuk menangkis pelbagai kemungkinan.

Aji Mlati melihat ke arah Pungguh Tolol. Ketika itulah Harwati menyerbu
dengan jurus selang semaruk birahi, mengeleparkan tubuh Aji Mlati dan
mencoba merebut pedangnya tetapi Aji Mlati sempat berkelit meloncat dengan
jurus bangau berkelit, sehingga dua gebrakan tangan Aji Mlati sekaligus
menetak ubun kepala Harwati, sehingga Harwati sempoyongan. Ketika itulah
Aji Mlati cepat mencabut pedang Tien Yuan yang sakti itu.

Ketika dia maju dengan jurus kembangan, dia mendengar wisik ; “Jangan bunuh
dia. Tetak tubuhnyad engan punggung pedangmu saja!”

Aji Mlati kuatir itu bisik godaan. Dia langsung meloncat dengan jurus sayap
kibas bangau, sembari mengayunkan pedang ke arah leher Ki Harwati. Dengan
nafas didesak keatas, Harwati sudah ke udara dan Aji Mlati cuma menebas
angin belaka!

Aji Mlati blingsatan. Dengan suara geram dia maju beberapa langkah. Pungguh
Tolol mencoba mau mengacak-acak pikiran Harwati. Maka dia loncat ketengah
menjadi penghalang Harwati yang rupanya siap menyerang, serangan jurus
cakar elang yang semestinya menghantam Aji Mlati , ternyata mengenai
Pungguh Tolol yang muncul ketengah. Akibatnya dia menderita luka parah pada
punggungnya terkena cakaran elang Harwati dan menjerit membebaskan diri
dengan menggeliat beberapa kali. Keadaan inilah yang digunakan oleh Aji
Mlati . Dia sabetkan pedangnya tetapi pedang itu membalik sendiri. Sehingga
punggung pedang itulah yang mengenai kepala Harwati. Akibat terbaliknva
pedang itu secara otomatis, maka otomatis pula tubuh Aji Mlati terbalik dan
harus sempoyongan karena kaki menggebrak bumi terlalu keras.

Harwati semakin buas. Dia maju. Maju dan maju beberapa langkah. Dan Aji
Mlati terpaksa mundur-mundur, dan mundur beberapa langkah. Ketika itulah
dia mendangar wisik lagi : “Sudah aku peringatkan, pedang Tien Yuan jangan
dipakai untuk melukai lawanmu! Bikin saja kepalanya benjol dengan
menetakkan punggungnya, atau bagian tubuh lainnya bengkak membiru terkena
tetakan punggung pedangmu!”

“Siapa tuan!?” Aji Mlati bertanya dengan tetap mundur terus.

“Aku kakekmu, Aji !”

Soal jawab dalam wisik ini memungkinkan konsentrasi terpecah, sehingga


ketika Aji Mlati mengayunkan pedang bertepatan dengan loncatan Harwati,
pukulan punggung pedang tak begitu kuat. Pedang itu malah direbut Harwati !

DENGAN satu sentakan ke samping, pedang Tien Yuan sudah direbut oleh Ki
Harwati vang kesetanan itu. Pungguh Tolol menganggap hal itu gawat sekali,
Maka dia menghamburkan diri ke udara, dan menggebrit ke bawah dengan dua
dengkul menjepit dua bahu Harwati, sehingga Harwati sulit untuk mengayunkan
pedangnya.

Aji Mlati loncat menubruk punggung pedang dari samping, dan dia terlempar
lagi ke samping karena gagal melakukan rebutan! Pungguh Tolol pun terlempar
ketika dua kuakan sayap elang jurus lepas jepitan itu dilakukan oleh
Harwati. Harwati menggebrak ke samping , menetak kepala Pungguh Tolol
dengan mata pedang Tien Yuan, tetapi satu suara gaib terdengar serentak
pedang itu menetak ; “Tabu !”

Pedang Tien Yuan membal, bahkan terlepas dari pegangan Harwati. Pedang
diudara itu jadi rebutan dua pendekar wanita yang berusaha saling cepat
meloncat ke udara dengan dahsyatnya, tetapi Aji Mlatilah yang lebih dulu
memegang gaganq pedang itu.
Pedang itu ia sabetkan dengan mata pedangnya Tertuju ke tubuh Harwati
tetapi lagi-lagi pedang itu membalik sendiri, sehingga terdengar bunyi
gedebug yang keras. Punggung pedang itu mengenai tulang punggung Harwati,
sehingga ketika dia jatuh ditanah dia terhuyung menyeimbangkan tubuh, “Aku
menyerah”, ujar Harwati dengan menghatur sembah pada Aji Mlati yang maju
dengan cepat, hampir menebaskan pedangnya ke kepala lawannya.

“Jangan layani, hantam terusl” perintah Pungguh Tolol, yang membuat Aji
Mlati tanpa pikir menghantamkan mata pedangnya ke batok kepala Harwati
tetapi lagi-lagi bukan mata pedang itu membacok kepala musuhnva, melainkan
pedang sakti itu membalik dan kepala musuh cuma terkena punggung pedang
itu. Malahan karena kerasnya pembalikan pedang secara otomatis itu, Aji
Mlati terguling beberapa kali setelah tetakan mengenai sasaran. Kening
Harwati bencok sebesar telur itik.

“Ampun, kalian berdua kebal. Aku menyerah dan ingin berguru pada kalian”,
ujar Harwati seraya meratapkan tangisnya. Ratapan tangis itu menggoda ki
PungguhTotol yang berkata pada Aji Mlati “Kali ini dia benar”.

“Aku sungguh mau belajar”, ujar Harwati meratap lagi, menyembah dan mencium
kaki Aji Mlati. Bertepatan dengan itu pula, lima pendekar murid utama
bangun dari pingsannya yang cukup lama.

“Kalian berlima mengawasi tawanan yang akan belajar ini”, ujar Pungguh
Tolol pada lima murid utama.

Mari kita lanjutkan perjalanan, dik Aji”, ujar si Tolol yang kemudian
berha-ha-ha dengan cekakak panjang hingga lembah itu bergetar.

Langkah dimulai. Aji Mlati seperti menggiring Harwati yang jalan di depan.
Lima pendekar dibagi tiga orang dua dua orang seperti menjepitnya. Pungguh
Tolol tertawa seraya menyamber sebuah kelapa muda berpohon rendah.
Sepanjang jalan dia mengambil kulit kelapa, lalu menotok batok dan minum
sendirian, lalu makan daging kelapa muda itu.

“Repot kalau kawasan ini tidak ada warung. Aku kepingin mengemis lagi”,
kata Pungguh Tolol.

“Ini kawasan sakti”. kata Harwati tiba-tiba.

“Darimana kau tahu ha?” tanya Pungguh Tolol.

“Aku mengetahuinya dari pendekar Iblis”.

“Apa kesaktian Bukit ini?”

“Bunganya, Bunga Wijayakusuma. Aku bertapa di kulit guha kecil sana , agar
mendapatkan kesaktian bunga Wijayakusuma itu. Tapi kalian sudah keburu
datang. Hah, aku senang bisa berguru dengan kalian supaya bisa membaca
Kitab Kebun Senjata”.

“Jangan dengar omongan orang gila, dik Aji”, ujar Pungguh Tolol.

“Tapi darimana kamu mengetahui Kitab Kebun Senjata itu, hei gila?”

“Semua dari Guruku, Pendekar Iblis”.

“Kami kuatir kau menyamar untuk belajar, padahal kau ingin mencuri kitab
pusaka kakekku”, ujar Aji Mlati.

Tanpa diduga, Ki Harwati membalik berkelebat, lalu merampas pedang dari


tangan Aji Mlati, tetapi dengan cepat dia sudah meloncat ke pohon dan dahan
seloncat demi seloncat bagai meloncatnya burung katung. Yang tampak hanya
kilatan pedang, yang berbinar berkelip terkena sinar matahari, lalu
hilanglah Harwati dan pedang Tien Yuan sakti itu secara mempesona.

Sungguh mengherankan, Aji Mlati maupun Pungguh Tolol apalagi lima murid
utama itu, barulah sadar bahwa pedang sudah dirampas dan dilarikan setelah
Harwati lenyap dari mata diantara pohonan.

“Kita celaka”, ujar Pungguh Tolol, “Kita tertipu ilmu iblis.

Itulah kesalahanku paling besar. Jangan-jangan pedang itu akan menggorok


Guru!”

APA yang difirasatkan oleh Ki Pungguh Tolol itu, sekalipun dia orang
tolol , bisa saja menjadi kenyataan. Sebab, kenyataannya, Ki Ca Hya sedang
duduk bersila di depan air terjun rahasia. Beliau sedang tafakur bertapa.
Beliau sedang merasakan pergolakan darahnya bergetar lebih cepat. Matanya
terpejam. Tapi karena golak darah bergetar semakin cepat maka beliau
membuka matanya. Dan dia amat kaget seketika. Sebab air terjun itu, yang
biasanya teratur turunnya dengan irama dan tatanan yang baik, hati ini
dirasakan kacau.

Lalu Ki Ca Hya mengangguk-angguk kepala seraya berkata sendiri : “Aku tahu,


ada yang tidak beres pada cucuku”.

Dan tiba-tiba ilmu pandang tembus Ki Ca Hya melihat getaran cahaya


melintang pada air terjun itu. Panjangnya sekira panjang sebuah pedang,
Lalu Ki Ca Hya mancoba berdialog ; “Kamukah itu Ki Tien Yuan?”

Tak terdengar wisik. Lalu Ki Ca Hya menanya lagi : “Jika kamu Ki Tien Yuan,
coba jelaskan bentukmu itu dimataku!”

Hanya sekilas, getaran cahaya yang melintang itu memang berbentuk pedang,
lalu lenyap, dan air terjun tadi mulai teratur kembali. Ki Ca Hya lantas
berdiri, mundar mandir di depan air terjun rahasia itu. Kemudian dia
pejamkan mata, dia menatap jauh dalam pejam mata mencoba memperkuat pandang
tembusnya seraya berbisik : “Siapa yang memegangmu sekarang Ki Tien Yuan?”

Sekelebatan , jelas, bukan Aji Mlati. Barulah Ki Ca Hya yakin, bahwa yang
memegang pedang sakti itu tak lain adalah puteri Ki Putih Kelabu. Harwati!

“Celaka orang ini” , Ki Ca Hya menggerutu seraya berhening diri sejenak


untuk mengambil keputusan. Dan dengan cekatan kemudian beliau meninggalkan
tempat itu, menaiki tangga batu dan muncul pada pintu rahasia yang berada
dilantai ruang perpustakaan kitab-kitab.

Serta merta ketika tiba di atas, sebuah kitab jatuh. Kitab itu Kitab Kebun
Senjata. Anehnya kitab itu terkembang sendirinya, membuka halaman yang
penuh syair. Tentu mata Ki Ca Hya tidak menyia-nyiakan petunjuk akan adanya
makna gaib dari terbukanya kitab itu. Maka dia membaca syair di halamanitu:

Senjata elang adalah cakarnya,

senjata bangau sayapnya,

sanjata harimau taringnya,

siapa yang memahami ini

selamat sudah pasti,

dari semua yang penting

bukan otot yang melenting

tapi bijaksana

untuk sampai ke Bukit Bunga

“Bukit Bunga?” tanya Ki Ca Hya, “Bukankah Bukit Bunga adalah tempat


terakhir para pendekar suhu?”

Dia meneruskan membaca syair berikutnya:

Ada pedang yang melukai

Yang ampuh membuat cacat

para pendekar yang menunda mati

yang terpaksa menyamar


menjadi tukang ngamen, pengemis

atau ahli nujum rahasia

sebelum dia mati abadi

di Bukit Bunga.......

Kini, setalah membaca syair ini barulah Ki Ca Hya yakin, bahwa direbutnya
pedang Tien Yuan oleh Ki Harwati adalah di Bukit Bunga. Dia sudah melarang
pedang Tien Yuan itu melalui kiriman wisik pada sang cucu, agar tidak
melukai Harwati, sebab Harwati adalah puteri saudara segurunya, Ki Putih
Kelabu. Kini, mau apa sebenarnya Ki Harwati? Oh, mungkin dia menghendaki
Kitab Kebun Senjata ini.

Kalau demikian, apa umurku akan berakhir? Apa dia akan bertempur denganku,
dengan menggunakan pedang Tien Yuan, sehingga aku cacad? Lalu aku melariken
diri ke Bukit Bunga, menyamar jadi tukang ngamen dan pengemis? Atau mungkin
menjadi juru ramal rahasia-rahasia?

Belum pernah Ki Ca Hya sebingung itu.Dia tiba-tiba ingat bahwa kematian


Gurunya dahulu dimulai dengan pertanda Kitab Kebun Senjata dan kisah syair
mengenai Bukit Bunga. Apakah aku akan mati, atau cacad? Apa mungkin pedang
Tien Yuan yang aku wariskan kepada cucuku mampu mempan menggores wajahku ?
Bukankah itu tabu? Atau masih ada lagi rahasia dalam Kitab Kebun Senjata
ini yang belum semua terungkap bagiku? Belum pernah Ki Ca Hya segentar
detik-detik itu. Lalu kegentaran itu bertambah lagi dengan bisikan
hatinya ; Tentulah sebelum pedang itu direbut terjadi pertarungan dahsyat
antara cucuku Aji Mlati dengan Harwati! Apa cucuku sudah dia tewaskan?
Dimana letak ilmu Pungguh Tolol yang sudah dicurinya dariku sampai
dibiarkannya Aji Mlati tewas?

Kebingungan yang jarang terjadi pada seorang Guru Besar, akhirnya terjadi
jua!

BAIK Kl Ca Hya, begitupun Ki Harwati, keduanya sama-sama terkeiut. Dan


karena itu, tanpa pasang kuda-kuda lagi Ki Harwati langsung menyerang
begitu pun Ki Ca Hya langsung menangkis serangan dengan pedang sakti Tien
Yuan “itu. Serangan itu amat dahsyat, tetapi pedang sakti itu jungkir balik
tak karuan sehingga ia seperti mabok, padahal pedang itu sendirilah yang
mabok.

Sekali-sekali memang serangan pedang sakti itu mengenai kepala atau


punggung Ki Ca Hya. Tetapi sudah merupakan takdir yang tidak dapat
dipungkiri, pedang itu sepertinya menghindari ketabuan benda sakti.

Harwati gelagapan agak gugup, lalu menghentikan serangan. Tapi tangannya


masih menjinakkan pedang yang sepertinya masih belum mangakhiri
kemabokannya biarpun tinggal sedikit.

“Tidak semua pedang dan senjata sakti diijinkan untuk melukaiku, nak.
Kecuali Pedang Ratu Kalabang menurut babad nenek moyang persilatan. Tapi
pedang Tien Yuan? Itu adaiah pedang yang temyata bukan hakmu memegangnya
tetapi kau juga belum mengetahui pantangannya”, ujar Ki Ca Hya.

Dengan nada hormat, Ki Harwati barkata ; “Memang ilmu tuan sangat tinggi,
Tuan Guru. Apakah ilmu tuan yang sakti itu, tuan?”

“Bukan ilmuku yang tinggi. Tetapi kesaktian pedang itulah yang belum kau
ketahui”, ujar Ki Ca Hya.

“Apa kesaktian pedang ini, Tuan Guru?” tanya Ki Harwati.

“Partama, dia harus sesuai dengan trah. Yaitu, yang memegangnya harus dari
asal keturunan. Bukankah sebelum kau pegang, pedang ini milik Aji Mlati,
pendekar perawan itu? Kan demikian?”

“Betul, tuan Guru”.

“Jadi kau tidak berhak memegangnva apalagi memilikinya”, ujar Ki Ca Hya.

“Lalu, hal kedua apa, Tuan Guru?” tanya Harwati.

“Hal kedua adalah kesaktian pedang itu. Ini kau perbuat dalam ruangan.
Dalam ruangan begini, dia tidak akan makan orang. Pedang ini, sesuai dengan
namanya hanya mampu dibawa main di lapangan dan kebun, Tidak dalam rumah”,
ujar Ki Ca Hya.

“Lalu apa lagi?” tanya Harwati.

“Juga tidak akan melukai siapapun yang satu trah dengan pedang ini. Aku
dengan pandangan tembusku sempat melihat bagaimana buasnya kamu ingin
merebut pedang ini, lalu kamu akan menyerang memenggal lehar Pungguh Tolol
muridku. Dia bukan dari trah kami. Tetapi dia tidak dapat kau penggal
karena dia salah seorang muridku yang sudah mendapatkan ijasah persilatan
Guru Muda, Jadi kau jangan sembarang hantam, nak, Aku merasa kau ini cukup
aneh, puteri seorang pendekar. . . tapi berlaku curang”.

Harwati terdiam beberapa saat. Dia bertanya ; “Tuan Guru, memang kenal
siapa aku, he?”

“Aku tahu kau puteri Ki Karat”, ujar Ki Ca Hya. “Tahukah kau siapa ayahmu
itu, nak? Tahu?”

“Dia pendekar harimau, Tuan”,


“Bukan itu saja. Ki Karat adalah sedulurku dalam ilmu persilatan. Kami satu
guru. Jadi amat janggal, orang yang merupakan turunan pendekar hebat begini
masih mau melakukan pekerjaan tengik seperti kau”, ujar Ki Ca Hya.

“Jadi kalau begitu saya berhak anda didik, Tuan Guru”, ujar Harwati,

“He he he...kau rupanya berminat belajar denganku. Baik, baiklah, semua ini
semoga saja mendapatkan restu. Tidak sulit bagiku mengisi ilmu pada turunan
Ki Karat. Tetapi apakah aku bisa mengetahui dimana sekarang Aji Mlati?”
“Aku kurang tahu, Tuan Guru”, ujar Ki Harwati.

Dia tidak berdusta. Kendati dalam otaknya melancar berbagai rencana. Lalu
Ki Ca Hya mempersilahkan Ki Harwati : “Silakan anda menunggu saya di ruang
sebelah ini”.
“Tuan mau kemana?” tanya Ki Harwati.

“Saya minta anda perbuat apa yang sudah kusebut saja”, ujar Ki Ca Hya.

Harwati tahu itu sebuah perintah pendekar besar. Haruslah dia turuti. Dia
keluar dari ruang itu, lalu Ki Ca Hya memasuki pintu rahasia dilantai untuk
melakukan kontak dengan Aji Miati.

Tapi Ki Harwati? Dia merasa aman ditinggal. Dia memasuki ruang lain, Ruang
Kebun Senjata. Dia menghitung ada sekitar seratus senjata berjejer,
semuanya menggiurkan.

Dia yakin, jika dia ambil satu, maka akan ketahuan. Maka dia ambil saja
sebuah pedang yang sudah dibacanya nama pedang itu terlebih dahulu. Tak
sulit baginya membaca tulisan Sanskrit itu, yang terjemahannya adalah
“Pedang Mawar Berduri”. Tentu pedang ini amat sakti. Maka ditukarnya Pedang
Tien Yuan dengan itu.

SETELAH memegang Pedang Mawar Berduri itu, keberaniannya dirasanya menjadi


amat luar biasa. Tapi dia merasa perlu segera meninggalkan padepokan Ki Ca
Hya dengan segera, sebelum dia kepergok. Dengan langkah seribu Ki Harwati
berkelebat meninggalkan padepokan itu, larinya cepat bagaikan angin
beliung, dan menjelang senja saja sudah tujuh buah bukit yang dia lewati,
Tetapi setiba di Bukit Bunga, Ki Harwati melihat sebuah pemandangan aneh.
Udara pun jadi pengap. Bukit itu seakan-akan sedang disirami debu dari
langit. Lalu bau debu itu terasa oleh hidungnya. Sehingga dia mundur. Dan
dia pun ingat dengan kesaktian Bukit Bunga ini, seperti yang pemah
dituturkan ayahnya, Ki Karat, dulu semasa dia masih kanak. Ki Karat pernah
berfatwa, agar jika dia besar kelak harus berhati-hati jika nasib akan
melintasi Bukit Bunga. Bukit itu amat sakti, ada kembang abadi Wijayakusuma
di sana . Dan kembang itu pantang dipetik atau dipindahkan.
Tadi, sebelum Harwati melihat debu hitam turun dari langit, dia melihat dua
orang melintasi bukit itu. Dia curiga yang melintasi itu adalah Aji Mlati
dan Ki Pungguh Tolol.

Karena yakin, dia mulai mengitari bukit itu. Dia akan memeras mareka. Dan
akan menakut-nakuti mereka.

Begitu dia kitari setengah putaran Bukit Bunga itu, dia langsung melihat Ki
Pungguh Tolol masih membersihkan wajahnya yang terkena debu. Begitu Harwati
melihat Aji Mlati, langsung saja dia berteriak mengancam ; “Jangan maju
lagi lebih dari selangkah, atau…matil”

Aji Mlati gemetaran melihat pedang terhunus. Dan Pungguh Tolol tidak bisa
ketawa, malah setengah teriak ; “Wah, itu pedang Mawar Berduri!”

“Memang aku pemilik syah pedang ini, yang diberikan oleh Ki Ca Hya
kepadaku!” ujarnya berdusta.

“Jadi anda sudah ketemu kakek?” tanya Aji Mlati.

“Aku sudah ketemu kakek itu. Karena aku puteri Ki Karat yang menjadi
sahabatnya, maka aku diberikannya sebuah pedang sakti untuk penjaga diri.
Kalian berdua rupanya belum kenal, bahwa Ki Harwati adalah puteri pendekar
harimau Ki Karat?”

“Aku pernah mendengar nama pendekar besar itu. Tapi apa memang mungkin
orang seperti kamu adalah puteri Ki Karat?, he?Ha ha ha, jangan marah. Kami
berdua mencari kau untuk meminta kembali pedang Tien Yuan itu tuan!”

Harwati tertawa menyeringai dan berkata : “Justru aku mendapat Tugas utama
dari Guru Besar untuk menyelamatkan kalian berdua agar tidak terjebak
dengan kepikunan!”
“Kepikunan?” mata Pungguh Tolol terbelalak.

“Lho, apa kalian tidak mengerti isyarat hujan debu? Tahukah kalian bahwa
bukit ini Bukit Bunga. Bukan sembarang bukit. Disini pendekar lahir, disini
pula pendekar berakhir, Kuharap kaiian berdua, jika ingin selamat, jangan
banyak cerewet. lkuti langkahku!” Pungguh Tolal, biarpun dengan ketololan
paling suka menghubungi satu soal dengan Kitab-kitab yang dia baca, rasanya
memang pernah mendengar mengenai kesaktian Bukit Bunga Ini,

“Kita ikut Guru Muda ini, dik Aji”, ujar Pungguh Tolol begitu dia melihat
Aji Mlati bimbang.

Kebimbangan ini adalah getaran hati yang risau, Padahal getaran gelombang
tembus ruang sedang dikirimkan oleh Ki Ca Hya kepadanya saat itu. ketika
Guru Besar itu sedang bersemedi dihadapan air terjun. Semedinya menjadi
kacau. Timbul keraguan bahwa puteri Ki Karat, sedulur silatnya, akan
melakukan khianat!

Hubungan tembus ruang yang dilakukan beliau dengan Aji Mlati menemui
kebuntuan, Firasatnya yang tajam lantas membatalkan semua jalaran gelombang
batin. Ditinggalkannya air terjun rahasia Itu. Lalu dia naik ke atas dan
tiba di Ruang Kebun Senjata. Mulanya dilihatnya semua senjata itu tak
kurang satupun. Tetapi setelah beliau akan pergi meninggalkan ruang itu,
mendadak dia ingat ada satu senjata yang memancarkan sinar. Tak lain itu
tentu pedang Tien Yuan. Dan dengan langkah agak tergesa melangkahlah dia
menuju tempat senjata Tien Yuan itu.

Geram beliau berkata ; “Celaka! Pedang sakti Mawar Berduri ditukarnya


dengan pedang cucuku!”

Sikapnya menjadi gelisah. Biasanya dia tidak pernah keluar dari


padepokannya, kecuali bila penting. Selama ini dia sudah cukup mengirimkan
getaran saja, tanpa jasad yang pergi. Kayaknya,kali ini, dia memerlukan
pergi. Jasadnya seakan-akan harus pergi mencari Ki Harwati, yang semena-
mena telah mencuri pedang sakti Mawar Berduri.

Ketika itu terbayang oleh Ki Ca Hya, sebuah prahara berkepanjangan akan


menimpa kawasan seratus bukit.

Benarlah firasat itu. Sebab yang berfiasat sudah membaca babad prahara,
kitab mengenai segala huru hara dunia persilatan di kawasan ini. Dan yang
membacanya adalah Ki Ca Hya.... ............

DAN desa Lilep menjadi korbannya yang pertama. Dalam perjalanan melintasi
sebelas bukit, Aji Mlati dan Pungguh Tolol maupun Ki Harwati mengalami
kelaparan hebat
“Tak ada jalan lain, dik Aji, Kita harus merampok desa ini”, ujar Ki
Harwati.
“Dengan kekerasan?”

“Tentu dengan kekerasan”,

“Bagaimana jika di kawasan sini ada pendekarnya?”

“Jangan kuatir. Aku akan darahi dengan pedang Mawar Berduri ini”, ujar Ki
Harwati yang langsung menggedor pintu warung yang sudah tutup di malam itu.

Desa Lilep yang sudah tidur terbangunlah dari tidurnya. Ki Rai Tamsil yang
berwatak tenang muncuI keluar pinlu dan berteriak: “Siapa yang mabok lagi
disini . ..malam ini... menggedor pintu, ha?”

“Maju kau Aji Mlati. Hajar dia dengan sayap kupu-kupumu!”, ujar Ki Harwati
pada Aji Mlati, yang langsung berkelebat dengan dua tiga kali loncatan, dan
dalam tiga detik tiga kepak tangan jurus sayap kupu-kupu menjiprat muka
orang tetua itu.

“Aduh, siapa kamu anak perawan durhaka?”

Tetua desa itu bangkit, lalu Ki Harwati memerintah Pungguh Tolol: “Mana
pelajaranmu dari Guru Besar yang harus menyambat mulut manusia yang suka
mengutuk?”

“Baik, aku akan sumbat mulutnva”, ujar Pungguh Tolol.

Pungguh ketawa terbahak seraya terbang ke udara, dan hinggap di atap rumah
serta berseru : “Hayo, seluruh isi rumah, lelaki perempuan keluarl Kami
bertiga lapar! Kami butuh makan, ha-ha-ha,.!”

Beberapa orang keluar. Dan mereka melihat tetua desa Rai Tamsil dihajar
habis-habisan oleh Aji Mlati, sementara Pungguh Tolol sudah turun melayang
dari bubungan atap, dan langsung menyikat delapan orang lelaki yang
kelihatannya sok ingin melawan.

Sekaligus, Pungguh Tolol sembari ketawa menghajar Rai Tamsil, namun anehnya
Rai Tamsil mengibas dengan gerak kupu-kupu, mengenai mata Pungguh Tolol.
Bahkan, setelah kena hajaran Pungguh Tolol, Rai Tamsil sepertinya mampu
pula memainkan silat bangau putih dengan jurus-lurus yang jitu.

Hal ini membuat Ki Harwati jadi geram.

Dia jadi geram karena sepertinya dikecoh oleh Aji Mlati maupun Pungguh
Tolol. Dan memang dalam dunia persilatan ada orang-orang tertentu yang
menghajar lawan tetapi kenyataannya justru “mengisi lawan” dengan sistem
hajaran itu,

Makin banyak dan semakin banyak orang-orang awam desa ini yang secara cepat
mendapat isian ilmu Bangau Putih setelah dihajar Pungguh Tolol, lain
mendapatkan pula jurus Kupu-kupu, bahkan 18 jurus penting yang mereka
perdapat setelah terkena hajar Aji Mlati.

“Hentikan!” teriak Ki Harwati ketika Pungguh dan Aji Mlati sepertinya


menyiksa beberapa orang awam.

Aji Mlati menoleh. Dia terkena hantaman dari belakang oleh orang yang baru
saja dia hajar. Tendangan itu berupa jurus kupu-kupu bangkit birahi dan
menyebabkan Aji Mlati berjumpalitan menuju arah Ki Harwati berdiri. Begitu
sampai didekatnya, Harwati mengeluarkan jurus elang menciprat sayap,
sehingga Aji Mlati bergeleparan ditanah.

Pungguh Tolol melihat sedulurnya terkena cipratan elang itu, kontan jadi
marah dan menyerang Harwati seketika itu jua. Harwati memutar tubuh dengan
jurus elang mengitari sarang tapi dengan tuntas memainkan jurus ciprat
sayapnya, sehingga Pungguh Tolol pun jatuh bergeleparan.

Harwati mendadak memutar tubuh karena mendengar bagaikan suara kepak elang,
yang memang jurus kepak elang itu pulalah yang dimainkan Aji Mlati terhadap
Ki Harwati.

Pertarungan jurus elang lawan jurus elang yang sama membuat perkelahian
dahsyat bagai dua binatang buas sedang berkelahi, Harwati sewaktu akan
mencabut pedangnya teringat petuah Ki Ca Hya kepadanva. Karena dia merasa
percuma main senjata, maka dia menangkis dan menyerang Aji Mlati dengan
tangan kosong.

Tiba-tiba ada penduduk yang berteriak-teriak, disusul oleh teriakan berikut


yang dahsyat. Bunyi berdengung terdengar, dan Harwati loncat dan berdiri
seraya cepat berteriak: “Ayoh tinggalkan desa ini! Ada bencana serangan
lebah!”

“Oi, itu jutaan lebah menyerbu!” teriak Pungguh Tolol. Dia raih tangan Aji
Mlati, dan Ki Harwati pun ikut lari tunggang langgang bersama pendekar
Pungguh Tolol dan Aji Mlati, kearah kidul.

Mereka bertiga benar-benar dikejar rasa takut, karena dalam dunia


persilatan, semua gerak alam semesta termasuk binatang-binatang seperti
lebah yang menyerbu bisalah dianggap sebagai “ngalamat”, pertanda.

DAN penduduk desa Lilep yang begitu paniknya mendadak tercengang sewaktu
lebah-lebah yang ribuan mendesing itu mendadak lenyap. Ketika itu terdengar
ringkik kuda. Tampak seorang wanita turun dari kuda lain memancangkan tali
kekang pada tempat yang tersedia.

Pak Bokoh, pemilik warung, membuka pintu dan bertanya :


“Siapa tuan?”

“Saya pengembara”. sahut wanita itu, yang tampaknya begitu ramah tapi patut
untuk dicurigai karena bisa pula dia perampok.

“Nama tuan? Boleh saya ketahui?” tanya Pak Bokoh.

“Nama saya Pita Loka”.

“Anda tentu pendekar yang baik”.

“O, jauh dari itu, Pak. Boleh saya dapat setabung nira?” tanya Pita Loka
dan memasuki warung itu.

“Boleh saja. Dan yang meminum setabung nira biasanya pendekar. Anda
pendekar, bukan?”

Pita Loka hanya tarsenyum cerah. Lalu dia terima tabung bambu berisi nira
itu, dan dia minum dengan tegukan kehausan.
“Anda tentu dari berjalan jauh”, Ujar Pak Bokoh.

“Saya dengar tempat ini baru didatangi pendekar, benar itu?”

“Bukan hanya pendekar, tuan jawara, Tapi juga mereka mengacau. Jumlahnya
tiga, Dua wanita dan satu pria, yang suka tertawa-tawa tapi silatnya hebat
sekali. Rai Tamsil jatuh tersungkur dihantamnya”.

Mendengar itu Pita Loka mengangguk-angguk, lalu bertanya:

“Dia kocak dan Tolol, maksud tuan?”

“Ya”.

“Agar tuan ketahui, dialah Pendekar Tolol murid Ki Ca Hya.


Mengapa mereka kesini? Dan mengacau?”

“Mereka kelaparan”, kata Pak Bokoh, “Gaya mereka gaya perampok”.

“O, begitu. Tadi tuan sebut ada dua wanita. Yang satu lagi wanita remaja.
Betulkah terkaanku, Pak?”

“Betul. Dia juga bengis. Tetapi yang lebih bengis pendekar wanita yang satu
lagi”.
“O, yang Pendekar Perawan itu sebetulnya baik. Cuma satu orang yang bengis,
yang wanita itu. Apa dia membawa sebuah pedang?” tanya Pita Loka.

“Jangan selidiki lagi. Saya takut Tak penting bagi saya siapa nama mereka,
yang terang kami penduduk awam semuanya panik, Tapi ada satu hal yang
aneh..,.”

“Katakan padaku Pak!”

“Tiap pukulan yang dihantamkan dua pendekar yang diperintah oleh satu
pendekar terbengis itu, selalu menulari ilmu persilatan pada kami yang awam
dalam ilmu silat. Tapi setelah mereka pergi, kami tak pandai bersilat lagi.
Ilmu apa itu, tuan jawara?” tanya Pak Bokoh.

Pita Loka minta satu tabung nira lagi. Lalu dia meneguknya, dan wajahnya
mulai kemerahan.

“Semua sudah jadi gila. .”, dia menggerutu sendiri bagai seorang yang
mabuk.

Ketika hendak berpamitan untuk pergi, Ki Pita Loka berpesan: “Kalian,


penduduk desa Lilep jangan cemas jika mereka datang lagi. Pedang Mawar
Berduri tidak pernah mendarahi orang-orang yang awam, yang tidak menguasai
dunia persilatan dan tidak ingin pada kegaduhan. Malahan setiap pukulan
dari siapapun yang disurupi oleh kesurupan Pedang sakti Mawar Berduri, akan
terisi ilmu si penyiksa. Percayalah, aku tidak bohong. Aku ini Puterinya Ki
Putih Kelabu”.

“O, Tuan ini puterinya Ki Putih Kelabu? Ayahanda tuan pernah berjasa di
zaman musim rampok 25 tahun yang silam, dimana para perampok yang sudah
sempat membunuh rakyat kami dan memperkosa beberapa gadis dihabisi hancur
lebur oleh ayahanda Tuan. Terima kasih atas kedatangan tuan”.

“Aku sebetulnya ke sini untuk mencari cucu pendekar besar, yang sudah kena
pengaruh penculiknya”.

“Boleh saya tahu nama orang yang tuan cari?” tanya Pak Bokoh.

“Namanya Aji Mlati. Dia dikenal sebagai pendekar perawan.Tapi bapak jangan
rriendapatkan kesan jelek mengenai dirimya, sebab dia sebetulnya bukan dari
golongan ilmu Hitam. Kemana mereka melarikan diri?”

“Ke sebelah kidul sono, tuan Jawara”, ujar Pak Bokoh.

“Terima kasih”, dan Ki Pita Loka langsung loncat naik kudanya, memacu kuda
itu ke arah selatan.

Tapi di selatan, tepatnya di Bukit Limbubu, tiga pendekar itu dicegat oleh
Ki Tunggal Pengkar, yang justru kakinya yang pengkar itu terkenal buas. Dia
dikenal karena sempat membuat gila Ki Tunggal Surya Mulih selama 1000 hari.
Juga dikenal ahli senjata. Maka, begitu dilihatnya Ki Harwati memegang
pedang Mawar Berduri Ki Tunggal Pengkar dengan nada serak membentaknya :
“Anak tolol, sebelum senjata itu melukai dirimu sendiri, sebaiknya serahkan
padaku!”

AJl MLATI, yang pernah diceritakan oleh kakek Ki Ca Hya mengenai pendekar
sombong ini, tidak sempat lagi menunggu waktu, Dalam sekelebatan dia hajar
punggung Ki Tunggal Pengkar, yang kontan membalik dengan menyabet leher Aji
Mlati dengan kaki pengkarnya.Untung Aji Mlati merundukkan kepala, dan
ketika dia dihadang dengan selimpang jurus tangan terkuak, Pungguh Tolol
mencegat hajaran Aji Mlati hingga pendekar perawan itu mental ke samping
dan Pungguh Tolol menyabetkan tendangan sayap elang kawin yang lurusnya tak
bisa ditangkis Ki Tunggal Pengkar menyebabkan wajahnya membekas lima
goresan.

Darah mengucur. Melihat darah mengucur itu, pedang Mawar Berduri langsung
tergetar, bergerak liar dalam pegangan Ki Harwati. Ki Harwati menjinakkan
gerak pedang Mawar Berduri itu dengan jurus -jurus bunga belaka,
menghindari Ki Tunggal Pengkar yang mulai kalap. Darah itu terus mengucur.
Dan Ki Tungga! Pengkar dengan silat pendekar pengkamya mengeluarkan jurus
maut- jurus maut yang tak berbilang ampu. Aji Mlati jungkir balik terkena
seruduk jurus maut kaki pengkar si pendekar kalap, Dia jatuh diunggun
jerami, merintih menghindari diri ketahuan lawan. Pungguh Tolol tahu yang
sudah diderita Aji Mlati. Tiba-tiba dia sendiri terkena serangan si kaki
pengkar, tetapi untung dia bergantung pada janggut pendekar pengkor itu,
dan dua-duanya pun terbanting lima enam kali dalam satu pergumulan
mengerikan. Ki Harwati menunggu sampai berbangkitnya Ki Tunggal Pengkor.
Begitu dia bangkit, dia sabetkan pedangnya ke kaki pangkor itu. Pedang itu
menancap, sulit untuk ditarik atau dicabut, sehingga ketika Ki Tunggal
Pengkor menggelit kesakitan jumpalitan bergulang-guling, maka Ki Harwati
terikut bergulang-guling juga. Hingga pedang sakti itu lepas dari
pegangannya, tinggal di paha Ki Tunggal Pengkor Terbenam begitu saja, Namun
sembari merintih Ki Tunggal Pengkor menggunakan kesempatan baik itu
mencabut pedang itu dengan sekuat tenaga. Akhirnya, biarpun tidak bisa
berdiri, nanun Ki Tunggal Pengkor sudah memegang hulu pedang sakti Itu. Dan
dia berteriak lantang kegirangan tanpa perduli kakinya yang hampir putus :
“Hai, penduduk Bukit Limbubu! Kini terbukti benar, akulah pemilik syah
pedang Mawar Berduri ini, sesuai dengan isi Kitab Kebun Senjata!”

Melihat Ki Harwati lintang pukang melarikan diri, Aji Mlati mencoba merawat
tulangnva yang keseleo terkena sabetan pendekar pengkor. Dia lihat Ki
Harwati sudah menghilang. Juga dia tidak melihat lagi Pungguh Tolol.

Mendadak ketika itu, dalam batinnya menyala tugas seorang ksatria.

Seorang pendekar kesatria sejati menurut kakeknya adalah orang yang


memelihara senjata pusaka, agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kisah bahwa
pendekar Tunggal Pengkor ini adaiah musuh sudah lama dia ketahui. Maka
batinnya berseru : “Rebut pedang itu!”

Melihat penduduk Bukit Limbubu bersorak sorai karena pendekar yang mereka
segani sudah memegang Padang sakti Mawar Berduri itu, maka Aji Mlati
menekan nafas dalam-dalam, bagai harimau menggeram, lalu matanya melihat
satu alu tumbukan padi. Alu itu dia pegang seketika, dan dengan sekuat
tenaga angin beliung Aji Mlati berteriak lantang menyabetkan lesung itu
kiri dan kanan menguakkan orang-orang yang mau mengelu-elukan Ki Tunggal
Pengkor. Alu itu dengan cepat dia hantamkan ke kepala Ki Tunggal Pengkor,
dan pedang sakti itu loncat dari tangannya, ke udara, dan Aji Mlati loncat
ke udara merebut hulu pedang sakti itu.

Begitu iatuh ke tanah, kedua telapak kaki Aji Mlati terbenak sejari dan dia
loncat lagi sehingga tanah yang dipijaknya tadi terbongkar. Lalu dia
berputar bagai angin beliung dengan mata pedang akhirnya menyikat punggung
Ki Tunggal Pengkor, Punggung itu robek, darah muncrat, dan masih sempat
pendekar pengkor itu berseru : “Nanti giliranmu ditebas Puteraku, awas
kau!”

Yang dimaksud puteranya itu adalah anak kecil usia 11 tahun yang berteriak
meratap melihat ayahnya tertelungkup setelah mengancam Aji Mlati. Anak itu
membolak balik tubuh sang ayah, Tapi itu tak mungkin lagi, sebab pendekar
pengkor itu sudah menghembuskan nafasnya. Dia sudah mati.

Aji Mlati bergerak lambat diantara rakyat Bukit Limbubu. Lamban dan penuh
selidik serta kekuatiran. Tapi mereka semuanya cuma tercengang. Dan
mendadak sontak, angin Limbubu berputar-putar di pebukitan itu,
menerbangkan debu dan mencerabut akar pohon-pohon kecil dan menumbangkan
pohonan besar.

Aji Mlati sudah menyingkir dari Bukit Limbubu. Begitu dia turun tangga
bukit yang menuju air terjun dibawah situ, Ki Harwati muncul mengulurkan
tangan pada Aji Mlati: “Bagus, sudah kau jalankan tugas dengan baik. Pedang
ini memang butuh didarahi. Cuma pendekar besar llmu Hitam yang mau dia
makan nyawanya, orang awam dan pendekar pelajar dia tak doyan. Ayoh,
serahkan padaku senjataku itu!” ujar Ki Harwati pada Aji Mlati.

Nada itu tegas. Dan berwibawa. Anehnya Aji Mlati mau saja pada perintah Ki
Harwati. Setelah Ki Harwati memegang senjata sakti itu tampaklah Ki Pungguh
Tolol turun mlorot dari pohon pucung.

KI PITA LOKA memang datang terlambat. Penduduk desa Bukit Limbubu masih
diliputi shock kegentaran. Tanpa ditanya-tanya lagi, penduduk mengisahkan
betapa serunya pertarungan antara Ki Tunggal Pengkor denga Pendekar
Perawan. Tetapi tentu saja mereka tidak menceritakan pada Ki Pita Loka,
siapa dalang di balik pertarungan itu.

Sungguh! Rasa geram Pita Loka membahana menyesakkan dadanya, setelah dia
mendengar keterangan dari berbagai desa-desa yang dilewati, jelas sekali
bahwa dalang dibalik petarungan itu adalah Ki Harwati.

Jika kebetulan dia mendalangi pertarungan Aji Mlati dengan musuh yang cocok
seperti Ki Tunggal Pengkar, masih bisa diterima batin. Kendati sebetulnya
hal itu bisa mencelakakan Aji Mlati. Tetapi barusan saja Pita Loka melewati
desa Pakis Raja, penduduk mengeluh: “Belalah kami, wahai pendekar! Kami
kenal Pungguh Tolol itu dulunya pengemis melarat. Setelah jadi pendekar,
dia merampok ayam-ayam kami bersama pendekar perawan dan satu lagi pendekar
wanita yang bengis memegang pedang”,

“Cobalah maafkan pendekar perawan dan orang tolol itu. Mereka berdua tidak
bersalah. Mereka terkena tegangan gelombang pedang sakti Mawar Berduri yang
memang sedang “butuh makan”.,.....”

“Butuh makan bagaimana?” tanya kepala desa Pakis Raja:

“Pengertiannya mungkin banyak arti. Tapi mata pedang sakti , yang dicuri
seseorang, biasanya butuh makan orang. Dia butuh didarahi, Tapi adakah
diantara penduduk sini yang dilukai pemegang pedang sakti itu? Tidak ada,
bukan?” tanya Pita Loka.
“Tidak ada yang dilukai. Tapi begitu pendekar perawan memukul saya maka
langsung saya kayak kemasukan ilmunya. Saya lantas berani bertempur.
Begitupun yang lainnya, semuanya ketularan ilmu setelah kena gebruk. Kami
harap tuan temui mereka bertiga. Bantai mereka! Ambil senjatanya. Pendekar
macam begituan tidak dibutuhkan oleh masyarakat”, ujar tetua Pakis Raja
itu.

Pita Loka menghabiskan madu dan jamu-jamu hadiah tetua desa itu, lalu dia
melompat ke punggung kudanya. Kedua mata kakinya mengetuk pinggang kuda dan
kuda putih itupun lari dengan tangkas perkasa membelah hutan belantara.
Tujuannya kali ini dengan harapan supaya dapat menangkap Aji Mlati, juga
sekalian Pungguh Tolol, tentu setelah bertarung habis merebut pedang sakti
Mawar Berduri.

Sejarah pedang sakti ini sendiri perlu dicari dalam Kitab Kebun Senjata,
yang tidak sembarang orang bisa membacanya, Ketika Ratu Kerajaan Campa
dilamar oleh Raja Daya dan lamaran itu ditolak, maka Raja Daya mengutuk:
“Jika kamu mawar, kamulah mawar berduri, karena senjatamu adalah warnamu
yang menggairahkan, tetapi menulari penyakit gila pada orang yang kamu
pamerkan kepintaranmu itu!”

Kutukan itulah yang membuat Pedang Mawar Berduri tidak layak dipertontonkan
kepada umum, Karena getarannya akan merasuki siapapun yang terkagum atau
ngeri pada kesaktiannya. Cerita mengenai pedang ini sudah diketahui Pita
Loka sebelum dia mendapatkan kesaktian dari para Guru. Maka, jika dia
memacu kudanya mencari tiga pendekar yang disesatkan hawa nafsu itu, tidak
lain adalah sekedar menyelamatkan senjata sakti dari pegangan yang salah.

Sementara itu, tiga pendekar tukang kacau itu sudah pula memasuki Bukit
Burung. Bukit ini sarang dari para pendekar liar, yang ilmunya kacau balau.
Aji Mlati berjalan di depan, lalu disusul oleh Pungguh Tolol, kemudian baru
menyusul Ki Harwati dengan pedang saktinya.

Sekaligus mereka dicegat oleh lima pendekar liar. Mereka bukan terkesan
pada pendekar perawan yang di depan, melainkan pada pendekar wanita yang
memegang pedang. Pendekar Liar Busung Dada langsung saja berteriak ;
“Kalian bertiga kuharap berhenti!”

Aji Mlati berhenti melangkah. Pungguh Tolol langsung menyiapkan kuda-kuda.


Penduduk berlarian masuk rumah dan menutup pintu. Ki Harwati melihat
gelagat Pendekar Liar Busung Dada ingin memamerkan kepintaran bersilatnya.
Seluruh jurusnya menjijikkan. Pedang yang ditangannya meronta. Ketika
Pendekar liar itu menjuruskan bunga persilatannya kepada Ki Harwati,
langsung saja dia berkelebat dan pedang sakti itu serta merta mendarahi
bahu Pendekar Liar, disusul lagi satu pendekar liar lainnya,satu lagi,
sampai semuanya sudah berjumlah lima terkena tatakan pedang sakti itu pada
bahu-bahu mereka. Darah muncrat, para pendekar liar itu dalam keadaan
sekarat berjumpalitan dengan teriakan-teriakan mengerikan. Sekaratnya lima
pendakar liar ini ditingkah oleh suara ketawa cekakakan Pungguh Tolol. Hal
ini memancing ingin tahunya seorang kakek tua, Suhu E lang, seorang
pendekar yang sudah mengundurkan diri. Suhu berseru : “Busyet! Itu murid Ca
Hya.”

SUHU Elang menggerutu : “Begitu busukkah ilmu Ki Ca Hya sekarang ini,


sehingga dia melepaskan murid kurang ajar dikawasan suci ini ? Kurang asem,
kurang ajar, , ,!” lalu Suhu Elang turun lewat tangga ke ruang bawah, dan
dia diikuti oleh pembantunya yang setia yang sudah 40 tahun melayani dia
sejak berhenti jadi pendekar.

Nolang, pembantu setia itu,bertanya pada Suhu Elang ;

“Dengan mohon ampun terlebih dulu, apa bukan salah Suhu sekarang mendadak
mau pegang senjata lagi?”

“Hei, Nolang, jika pendekar melihat kebatilan, sumpahnya akan berhenti


berkelahi tidak berlaku. Kau lihat, lima muridku sudah tergelimpang terkena
pedang sakti Mawar Berduri yang dipiara oleh Ki Ca Hya. Lalu Ki Ca Hya
mengirim ke sini satu pendekar tolol yang kurang ajar pula, betapa tidak
gemasnva aku! Berikan gembok gudang senjataku, Nolang!”

“Suhu Elang, Sabarlah. Mereka mungkin para pendekar yang sedang belajar.
Jadi mereka petengtengan.” ujar Nolang si pembantu setia.
“Petengtengan sih boleh saja. Tapi kalau sudah sampai bunuh muridku apa aku
harus biarkan bangkai mati di depanku, Nolang ? Huh, mana gembok gudang
senjataku, cepat aku sudah naik pitam”.

Nolang sudah tidak mampu membujuk Suhu Elang yang memang blingsatan mau
melanggar sumpahnya itu. Kunci gembok dia serahkan pada jawara silat Bukit
Burung itu. Pintu gudang senjata itu dia tarik daunnya dengan rada kasar.
Lalu serentet pedang sakti yang sudah dihiasi oleh lenang lelawah dicabut
Suhu Elang sebuah, tentu yang pilihan.

“Demi nyawa lima bangkai murid-muridku yang malang . . .demi hapusnya


serita dari mulut ke mulut bahwa aku guru yang bodoh. . . .demi asalku dari
elang yang masuk selangkang, maka aku pun akan pulang seperti pulangnva
elang, aku rela mati demi mengusir murid-murid Ki Ca Hya itu, biar
andaikata badanku dalam keadaan terpotong-potong”, setelah mengangkat
sumpah itu, pedang Cocor Elang ditebahnya ke dadanya sendiri, sampai membal
tiga kali. Dihampirinya Nolang yang bercucuran airmata. Suhu Elang yang tua
renta itu berkata ; “Terima kasih atas bantuan kamu selama empatpuluh tahun
mendampingiku da!am damai. Kini aku tergoda oleh harga diriku yang dicoreng
oleh murid si Ca Hya, mungkin ini kata-kataku terakhir, nak!”

Lalu Suhu Elang keluar dengan menyandang pedang itu pada bahunya. Penduduk
desa kecil itu melihat Suhu Elang menyandang pedang dibahu.Bagi mereka hal
itu agak aneh, Maka mereka mengintip dari sela-sela lubang dinding rumah
mereka, mau tahu apa arah tujuan Suhu Elang.

Rupanya seperti mereka duga juga, Suhu Elang menuju warung tuak Aja
Tambelan. Disitu memang Ki Harwati, Aji Mlati dan Pungguh Tolol sedang
diempani tuak oleh Aja Tambelan supaya mabok.

Begitu sampai di muka warung tanpa atap itu, Suhu Elang masih tetap
menyandang padang saktinya, berhenti di sana , menatap mata mereka bertiga
dengan tatapan pendekar berpengalaman.

“Siapa diantara kalian bertiga yang sudah mendarahi bumi Bukit Burung
sini?”
Ki Harwati gentar. Apalagi dia merasa agak puyeng sedikit. Pedang sakti
Mawar Berduri yang dipegangnya lalu dia serahkan kepada Aji Mlati yang
tampak tegang menghadapi pendekar tua itu.

Aji Mlati, begitu memegang gagang pedang sakti Mawar Berduri, langsung
membentak pendekar tua berjanggut putih itu dengan nada menantang:

“Pedang sakti ini yang mendarahi bumi tuan. Apa tuan berkeberatan? Jika
tuan berkeberatan, boleh darahi kulit dan daging saya sebagai imbalan”, dan
meloncatlah Aji Mlati Ke belakang.

Pungguh Tolol pun meloncat mundur, sedangkan Ki Harwati sudah entah dimana
lagi saat itu.

Yang jelas, Harwati menutup muka karena seram mendengar bunyi pedang
beradu. Pendekar perawan itu berkelebat bukan karena menguasai ilmu
permainan dengan pedang itu. Tapi justru kuwalahan karena sulit menguasai
permainan yang langkah dan jurusnya terbentuk oleh liarnya si pedang itu.
Mawar Berduri memang lambang kecantikan yang berbahaya, bukan hanya
berbahaya pada yang memegangnya, tapi juga berbahaya bagi orang lain yang
mau memetiknya. Mawar Berduri tampaknya memang bukan milik yang tepat bagi
Aji Mlati, . . itulah pendapat hati Pungguh Tolol ketika dia melihat Aji
Mlati didesak terua oleh Suhu Elang dengan tendangan atas bawah dan bawah
atas, jurus-jurus permainan tinggi yang sebetulnya belum dikuasai Aji
Mlati. Semua permainan Aji Mlati hanyalah jurus kebetulan karena
kemampuannya memegang sekuat tenaga gagang pedang sakti Mawar Berduri itu.
Karena itu pulalah, cara suhu Elang menggunakan pedang Cocor Elang itu
cukup mendapat kesulitan. Terutama ketika sabetan cocor dilayani oleh
terbang mundurnya Aji Mlati dan menclok dibubungan atap rumah penduduk
seraya ketawa ngakak: “He, tua bangka, mari naik ke atas!”

SUHU ELANG memang terpancing oleh teriakan Aji Mlati dari atas bubungan
atap rumah itu, sehingga dengan mengayun pedangnya dua tiga kali terlebih
dahulu, ia kemudian sudah terlontar ke udara. Desingan pedangnya terasa
dikepala Aji Mlati yang cuma berselisih tiga lembar rambut saja. Aji Mlati
berkelit mundur, didesak terus oleh pukulan pedang Cocor Elang itu yang
memang mencocor, ditangkis oleh mata pedang Mawar Berduri yang memang ampuh
sebagai penangkis, Kelihatan asap dan api silih berganti memecah kegelapan
malam ketika mata pedang itu saling beradu tanpa henti. Dan dengan pedang
terus mencocor, mulut Suhu Elang iuga mencocor :

“Aku kagum padamu, pendekar perawan. Keberanianmu tangguh, tapi itu pedang
sebetulnya bukan milikmu, nak!”

“Memang suhu betul, suhu”

“Kamu akan aku cocor terus, tapi rasanya sayang untuk membabat lehermu
pendekar parawan!”

“Suhu berbudi tinggi”.

“Aku penasaran karena senjatamu membabat anak buahku. Sekali babat lima
nyawa. Ada baiknya kau menyerah anak perawan”, ujar Suhu Elang yang terus
tanpa ampun mencocor, sehingga sudah berapa bubungan atap rumah yang
dilompati mundur oleh Aji Mlati. Aji Mlati mundur dan mundur terus, karena
gerak pukulan pedang Cocor Elang itu memang terlalu cepat dan mesti
dilayani dengan jurus mundur.

“Ayoh, menyerahlah, pendekar perawan” , ujar Suhu Elang sembari membabat


bagian bawah kaki Aji Mlati yang membuat gadis perawan itu mempertontonkan
kemampuan mengelaknya dengan loncatan mundur namun menangkis terus serangan
mata pedang itu dengan tangguh sehingga berkali-kali kedengaran beradu nya
dua pedang sakti itu menciptakan bunyi petir menyambar. Kejadian begitu,
malam hari, cuma bisa dilihat oleh ketajaman mata seorang pendekar. Maka,
melihat dua bintik cahaya yang dahsyat beradu dibumbungan atap rumah yang
dilihatnya dari jarak seberang tebing, membuat Ki Ca Hya gregetan, ngeri
dan cemas. Beliau menggerutu ; “Eh, cucuku pasti menghadapi Suhu yang sudah
bertekad berhenti. Seluruh gerak silatnya adalah gerak cocor elang...aduh,
salah-salah cucuku bisa mampus dengan permainan pendekar tua itu..,.
sedangkan dia cuma memakai pedang sakti mawar berduri..,.. aduh, kalau
begini naga-naganya aku tak layak ikut campur, Tapi bagaimana nasib cucuku?

Ketika dia omong sendirian begitu, mendadak omongan itu didengar oleh Ki
Harwati yang terus mundur ngeri .melihat pertarungan hebat itu. Mundur
terus ke tebing dan dengan suara cemas Harwati berkata : “Guru Besar,
bantulah Aji Mlati!”.

“O, kamu yang berhati busuk ! Kamu yang mengumpan cucu dan muridku agar
kami dapat nama jelek....kamu yang jiwamu kotor, ayoh jangan bergerak lari
dari sini lagi!” bentak Ki Ca Hya.

“Saya mesti mengambil pedang Tien Yuan lagi”, ujar Ki Harwati.

“Itu tidak bisa, Aku bukan tertipu oleh kamu! Aku tertipu oleh setan sebab
setan itulah guru kamu!”

“Aji Mlati harus ditolong. Pedang Tien Yuan itulah yang cocok dipegangnya.
Keadaan sudah gawat, tuan Guru Besar!” ujar Ki Harwati.
“Ei. jangan lanjutkan rencanamu, bangsat! Ayoh berhenti!” ujar Ki Ca Hya
yang begitu jengkel melihat kebandelan Ki Harwati yang tampaknya mau pergi
mengambil pedang Tien Yuan dari Kebun Senjata ruangan padepokannya.

“Ei, jangan permainkan diriku sampai dua kali. putera Karat! Ayoh berbalik
sebelum kakimu terkelibat sendiri!”

Ancaman Ki Ca Hya tidak diambil perduli oleh Ki Harwati. Dia terus


melarikan diri meninggalkan tebing itu. Tetapi kakinya terkelibat sendiri,
seakan-akan terikat, menyebabkan dia jatuh bergelimpangan. Dia merasa heran
kakinya tidak bisa terlepas oleh libatan yang sudah diberi kutuk oleh Ki Ca
Hya.

Ki Ca Hya tidak memperhatikan hal itu, karena gelapnya malam Tapi memang
dia ada mendengar, “Tolong cabut kutukmu Guru Besar”, tetapi perhatiannya
terutama pada pemandangan diseberang jurang sana itu, yang tampaknya Aji
Mlati masih mampu menghadapi serangan cocoran Suhu Elang. Dari jauh gerak
cocor pedang itu nyata sekali untuk membedakan tangkisan pedang Mawar
Berduri, Sembari terus mencocor dengan pedang itu mulut Suhu Elang mencocor
Terus ; “Hati-hati kamu telah tiba diujung atap hanya lima rumah lagi.
Kemampuan mundurmu hebat tetapi ruangmu untuk mundur sudah tinggal sedikit
Sebaiknya kamu menyerah, agar kamu aku tunjukkan ilmu yang lebih tinggi,
agar kamu mau mengembara mencari Kitab Rahasia Harimau Putih. Sebaiknya
kamu menyerah sebelum pedangku membutuhkan makan nyawmu, nak!”

Sembari menangkis dengan pedangnva itu, Aji Mlati sempat menyelidik dengan
lirik untuk pastikan apa betul tinggal lima bubungan atap rumah lagi.
Memang betul, malah tinggal empat bubungan atap rumah lagi. Maka dia
bersiasat dengan mengajukan tanya ; “Apa rahasia Kitab Harimau Putih itu,
Suhu?”

“Bagiku rahasianya kamu menyerah sebelum mati”, ujar Suhu Elang.

“Aku memang butuh ilmu harimau”. ujar Aji Mlati, yang kesempatan ini dia
gunakan bukan untuk mundur letapi loncat ke udara sembari menyabet dari
atas ke bawah, yang mangenai bahu Suhu Elang sehingga darah muncrat dari
bahu itu, dan gerak tangannya tak berfungsi lagi seketika itu juga.

Aji Mlati menjadi puas, maklumlah pendekar remaja ! Tapi pada detik dia
puas itu, ludah bertuah Suhu Elang itu sudah beliau semburkan ke bahu yang
tercoak oleh pedang Mawar Berduri tadi, yang telah membuat Aji Mlati lupa
diri.

Begitu terkena ludah bertuah dan bahu itu sembuh seketika, Suhu Elang
mengambil langkah cocor tanpa ampun menyerang Aji Mlati dengan pedang Cocor
Elangnya.

Yang gelisah justru yang menonton kajadian itu dari jauh. Yakni Ki Ca Hya,
yang merasa ada hubungan batin dengan cucunya Aji Mlati. Beliau berdebar-
debar. Tapi dalam perguruannya pada Guru Sakti Kebun Senjata dahulu, dia
sudah diberi pantangan tidak boleh bertarung dengan Suhu Elang yang tak
berbakat jadi guru di Bukit Burung, namun pada suatu ketika akan kembali
bertarung dengan siapapun yang memegang pedang Mawar Berduri. Demikian
petuah kitab persilatan dan gurunya dulu. Kini, dalam kegelisahan menonton
dari jarak jauh, Ki Ca Hya tidak boleh bercabang hati sedikitpun juga..
itulah yang mesti dipertahankannya terus... apalagi hatinya tidak boleh
cenderung untuk menolong sang cucu.

Dalam pada itu, deru telapak kaki kuda mandekati tebing desa Semampir itu.
Penduduk berlarian masuk rumah karena kuatir pendekar berkuda ini adalah
pendekar pengacau. Sekiranya mereka mangetahui itulah Ki Pita Loka, tentu
mereka akan menyambutnya dengan keagungan. Tapi desa ini hanya tempat
mampirnya para pendekar, itu pun sejenak, dan penduduknya tak kenal
berkelahi. Maka tak heran ketika pendekar Pita Loka memasuki desa Semampir
dengan berkuda ini, membuat penduduk menyelamatkan diri. Lalu sunyi senyap
sekitar. Saking sunyinya, Ki Pita Loka sempat mendengar bunyi nafas sesak
seseorang dibalik semak. Dan begitu dilihatnya yang terkena belitan kaki
sendiri itu adalah Ki Harvvati. Pita Loka berkata dengan sinis kepadanya :

“Kakimu tetap akan kena belit selama 40 hari 40 malam, sebab jenis kutukan
begitu hanya mungkin disebabkan kamu mempermainkan seorang Guru Besar”.

“Jangan banyak bicara kamu, karena aku bukan minta tolong padamu”, bentak
Harwati membalas. Kemudian Harwati cuma mendengar telapak kaki kuda yang
berlalu. Lalu tibalah Ki Pita Loka ditepi tebing. Dia menyaksikan dari tepi
tebing ini betapa dahsyatnya cocoran pedang sakti Suhu Elang, pandekar yang
sudah dia kenal.

Ketika Ki Pita Loka mendeckkan lidah bermaksud menyuruh kudanya melangkah,


dia mendengar suara agak berat : “Harap tuan jangan memberikan bantuan pada
dia”.

Pita Loka menoleh, dan mendadak menghatur sembah : “Hai, tuan Guru hadir di
sini!”
“Aku di sini cuma menyaksikan kecemasanku”, ujar Ki Ca Hya.

“Kenapa anda larang saya membantu Aji Mlati, tuan Guru?”

“Murid besar berbeda dengan murid biasa, sebab Murid Besar harus berhadapan
juga dengan Pendekar Besar. Belum kau tahu, bahwa Suhu Elang adalah dulunya
Pendekar Besar?”

“Tapi kenapa dia mengundurkan diri?” tanya Ki Pita Loka.

“Karena dia menggunakan sebuah Kitab yang belum patut dibukanya 40 tahun
yang lalu. Lagipula dia belum berhak membuka kitab itu, pun dia bukan orang
yang berhak membaca Kitab itu!” Ujar Guru Besar Ki Ca Hya.
“Bolehkah saya mengetahuinama Kitab itu, Tuan Guru?”

“Kitab itu tentu engkau sudah kenal, berkat pengalamanmu berguru pada semua
guru besar. Mengapa bertanya padaku, ha?”

“Karena anda Guru Besar. Besar dari semua guru”, ujar Pita Loka.
“Itulah Kitab Rahasia Harimau Putih, kitab yang tidak akan pernah dibaca
oleh angkatan kami. Kitab itu bakal menjadi rebutan angkatan setelah kami,
baik mereka yang berguru pada malaikat atau jin, maupun yang berguru pada
Iblis dan Setan, Saya tahu kamu pasti akan menanyakan kapadaku dimana
bersembunyinya Kitab tersebut. Tapi rasanya tak usahlah saya beritahu
tempat itu, Pita Loka!”

“Saya tahu. Kitab itu tersimpan di perut Bukit Bunga”, ujar Pita Loka yang
membuat Ki Ca Hya sebagai guru besar terpesona kagum keheranan.

M ATA Kl CA HYA terbelalak. Lal dia mengulurkan tangan kepada Ki Pita Loka
seraya berkata : “Katau begitu aku hampir salah kaprah melarangmu
mencampuri pertarungan di seberang sana itu”,

“Memang tuan tak patut meninggalkan padepokan tuan, saya kira”, ujar Pita
Loka.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan pamit. Kunci rahasia Kitab Kebun Senjata
itu adalah anda sendiri, tuan Pita Loka. Rupanya andalah yang tercantum
sebagai pendekar berkuda itu, sebagai juru pemisah dari dua senjata ampuh”.

“Cucu tuan akan pulang sendiri, jangan kuatir, tuan Guru”, ujar Ki Pita
Loka yang serta merta mendepak perut kuda yang dia naiki itu, sehingga kuda
itu meringkik mengangkat dua kali, untuk kemudian bersiluncur dengan
cekatan ketepi tebing itu, Terus bersiluncur dengan kepintaran yang dahsyat
menyusur ke bawah, kemudian naik lagi ke atas jurang yang menuju ke desa
Bukit Burung di seberang itu,

Ki Ca Hya merasa dirinya damai, karena apa yang dia saksikan sekarang Ini
sebagai tercantum dalam Kitab Kebun Senjata :

Maka muncul pendekar berkuda,

Yang sudah membaca

kulit buku

Kitab Rahasia Harimau Putih

kendati belum membaca isi

sebab dialah
yang menjadi juru pemisah

pertarungan dua pedang......

Kuda itu terus dipacu Ki Pita Loka mendaki tebing seberang sana itu,
sementara Ki Ca Hya memandang dengan tercengang. Lalu pendekar tua itupun
segera menghilang dan tak tampak lagi di desa Semampir itu. Suhu Elang,
dengan gerak cepatnya terus mendesak dengan cocor pedangnya, dan dia begitu
yakin ketika berkata ; “Mulanya aku kasihan karena kau cucu pendekar yang
aku segani. Tapi kau benar-benar ingin membunuhku, ya? Kaulah yang harus
mati dengan pedangku, nak!” dia menghambur menyabet dan mencocor lagi
dengan mata pedang Cocor Elang yang menyilaukan itu, tetapi ketika untuk
keenam kalinya dia berkata “. “Mati kau tikus kecil!”, ketika itu pulalah
matanya melihat jelas seorang pendekar wanita berkuda, yang membuat Suhu
Elang ingat syair kebun senjata mengenai pendekar tua yang dilarang
membunuh pendekar muda, bertepatan dengan munculnya pembela diam, pendekar
berkuda.

Sembari tetap mencocor Aji Mlati dengan pedang cocor elangnva, Suhu Elang
berteriak ke arah datangnya Pita Loka: “Kamukah pendekar yang tahu tentang
Kitab Rahasia Harimau Putih?”

“Betul, hentikan pertarungan itu!” ujar Ki Pita Loka.

“Memang pertarungan ini dihabisi yang kalah”, ujar Suhu Elang yang mencoba
melawan baris kalimat syair tentang tewasnya pendekar tua oleh senjata
pendekar muda. Dia sudah lelah, tapi mencocor terus dengan maksud membunuh
Aji Mlati, dengan maksud membantah ramalan-ramalan syair tentang diri
pendekar puncak, tapi matanya sempat terkesima melihat pada pendekar
berkuda Ki Pita Loka, kuatir kalau-kalau dia membantu. Detik terkesima
itulah yang membual Aji Mlati mengayunkan pedang Mawar Berduri kali ini
menyabet bahu pendekar elang itu, namun karena bahu itu banyak keringat
sehingga mata pedang itu meleset menebas leher Suhu Elang. Kepala Suhu
Elang lepas dari lehernya, bergelindingan secara mengerikan bersama
tubuhnya yang jatuh, yang seakan-akan tubuh itu mencari kepalanya yang
copot.

Aji Mlati masih tercengang mengapa dirinya bisa menang. Yang jelas dia
pusing, lalu mual dan muntah. Dia kaget karena dia yang memenangkan
pertarungan itu. Akibatnya dia pingsan dan jatuh dari bubung atap ke bumi.

Dan dalam keadaan masih belum sadar itu, tubuh Aji Mlati diangkat Ki Pita
Loka, lalu dia taruhkan dipunggung kudanya. Lalu tubuh pendekar perawan itu
dia ikat dengan tali sisal nenas, kemudian pedang Mawar Berduri itu
dilesatkan Pita Loka ke angkasa seraya berkata: “Kembalilah kau ke
kandangmu!”

Bagai bola cahaya pedang itu terbang dan menghilang diangkasa. Begitu pula
kuda yang membawa Aji Mlati kembali ke padepokan Ki Ca Hya. Ki Ca Hya,
melihat ada tubuh terikat di punggung kuda itu adalah cucunya, beliau pun
berteriak; “Oh, cucuku tewas juga kau!”

Begitu diguncangnva tubuh Aji Mlati dan Aji Mlati sadarkan diri, pendekar
perawan itu bertanya ; “Kakek, dimana aku sekarang ini?”

“Kau sudah kembali ke padepokan kakekmu lagi, anak hilang”, sahut Ki Ca


Hya, yang tampak begitu girangnva. Dan kegirangan itu malam itu masih
ditambahinya lagi malam itu dengan mengajak Aji Mlati membaca Kitab Kebun
Senjata di ruang perpustakaan beliau.

Ada sebuah syair di kitab itu yang berbunyi :

Ada senjata yang perlu mendarahi

tubuh yang sakti

sekalipun,

Karena sudah menjadi suratan

nasib dan kematian

Lalu dia melayang

Pulang kandang,,,....

Ketika itu seperti terdengar suara gabrug dikamar sebelah. Ki Ca Hya


berdiri manghela lengan Aji Mlati : “Ayoh lihat ke kamar senjata di
sebelah.”

Kakek dan cucu itu masuk ke Kamar Senjata itu. Dan memang tampaklah dua
pedang sepertinya sedang berkelahi. Pedang Tien Yuan dan Pedang Mawar
Berduri.

“Ini milikmu, Aji”, ujar Ki Ca Hya setelah mencabut pedang Tien Yuan dari
tempat pedang Mawar Berduri.

Dan Aji Mlati memegang pedang sakti Tien Yuan itu. Sejak saat itu, konon
menurut kisah orang-orang tua, Aji Mlati lebih banyak belajar di bawah
tanah, didepan air terjun rahasia, tanpa ketemu manusia........

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai