Anda di halaman 1dari 2

Mendengar percakapan mas Hamid dan mas Maman kudhu ngguyu, kudhu ngakak sekaligus

kudhu ngamuk. Wkwkwkw


Karena saya berada di samping mas maman sambil ngerjakan tugas Daring, sampek gak
konsen.

Mas maman pasti akan bersikukuh dengan reason dan argumennya sendiri. Walaupun semua
itu kadang tidak senada dengan ekspektasi nyata. Ok fine, anggaplah dia lagi latihan
komunikasi private sama mas Hamid. Hehe....
Watak keras, begitu-pun dengan saya, keras juga (Kalo jodoh gak kan kemana. Uhuk ). Kami
seringkali adu argumen dengan pendapat masing-masing dalam suatu problem. Saya
orientasi kemajuan, mas maman orientasi Qona’ah (neriman ing pandum). Hadza min fadhli
Robby... Sampek saya meyakini “Jika mas Maman tidak mau saya ajak maju bersama, saya
akan maju sendiri”. Karena kalo saya ngikuti aturan mas Maman terus kapan saya akan maju.
Secara tidak tertulis, saya mewarisi estafet perjuangan pedahulu saya untuk khidmah lil
ummah. Wajib...!!!

Jujur, kondisi kami sungguh berbeda. Saya anak pertama dengan sebajek tanggung jawab
keluarga, sedangkan mas Maman anak bungsu yang seakan tak punya tanggungan hidup.
Hal itu membentuk mindset kami terbentuk berbeda. Perbedaan itu Rochmatal lil ‘alamin, kami
dibesarkan dalam kondisi keluarga dan pendidikan yang berbeda. Maaf, karena memang
orang tua saya belum pernah berada di keadaan finansial yang mapan.
Yang saya herankan dari mas Maman, koq ada ya manusia yang gak punya etos kerja dan
gak mau maju. Mungkin argumen saya salah ya, punya etos kerja namun dengan prosentase
yang minim. Hehehe... saya selalu berdo’a semoga segera mendapatkan hidayah.
Mas maman memang bukan tipe manusia penjilat yang pingin selalu dipuji orang (sifat itu
persis ayah saya). Beliau apa adanya dan lillahi Ta’ala. Saya menghargai itu karena memang
tidak semua orang punya sifat unik seperti itu. (Read : bawaan orok). Tapi masalah “relation”
dengan lek amak, menurut saya beliau berdua punya beberapa kesamaan sifat dan karakter
(Maklum, satu produk. Hehe). Dan hal itu kadang yang membuat mereka sulit disatukan kayak
air dan minyak, sama-sama keras dan gak mau ngalah. (Wah ini nih yang menentang teori
kesamaan sifat tapi tak bisa nyatu. Hehe). Dan yang saya heran, koq ya seorang paman yang
seharusnya dianggap orang tua sendiri, gak mau nerima dengan watak dan karakter
ponakannya sendiri.
Saya seringkali debat dan adu argumen dengan lek Amak di suatu forum dan di grup YTPNU,
dan hal itu bukan hal baru lagi, wes beken malah. Hahaha...Tapi saya husnudzon lek Amak
mantan aktivis, beliau faham dengan perbedaan pendapat dalam suatu forum. Walaupun
ujung-ujung-nya pendapat saya gak didengar, tapi paling tidak saya bisa menjadi
penyambung lidah dari yang di dalam hati saya dan guru yang lain. Salahe dewe, saya kan
dulu muridnya, saya diajari berfikir kritis, dan sekarang malah jadi senjata makan tuan.
Wkwkwk...

Saya sebagai istri tidak mau memberatkan mas Maman, toh kita bisa berjuang dan berkarya
dimanapun dan kapanpun, walaupun tidak dengan washilah peninggalan abah yai. Karena
cucu abah yai Kholil bukan hanya mas Maman saja. Pastinya secara de jure semua cucu
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap peninggalan abah yai. Kalo cucu yang lain
bebas memilih kehidupan mereka, kenapa tidak dengan kita???

Do’akan saya sabar mas, begitupun dengan orang tua dan keluarga saya. Orang tua saya
menerima mas maman apa adanya, tapi tidak dengan saya. Seringkali saya ngersulo dalam
hati. Insyaallah setelah musim haji, saya akan nabung buat pendaftaran Haji. Wes tak niati.
Tabungan saya dibagi (buat menyelesaikan kuliyahnya adek yang sekarang sudah semester
akhir, pengobatan intensif ayah, ngejoki rumahnya ibuk dan tabungan haji). Saya masih belum
kefikiran untuk daftarkan mas maman juga. Biarkan dia berikhtiyar sendiri. Jujur, kadang
saya-pun su’udzon mas maman akan berbuat sama seperti mas Mahsun. Biarkan semua
berjalan dengan semestinya sesuai denga skenario taqdir-Nya...

Yeaaaaaccchhh... beban anak pertama begitu berat, seperti beratnya rindu (By : Dilan). Saya
terpacu untuk selalu maju dalam mengembangkan potensi, meski dengan segudang
keterbatasan. Tapi saya yakin, bersama taqdir IA berikan kekuatan. Bismillah, biidznillah...

Great regard : _Bintu Huzaimi_


Salam literasi
Jangan lupa bahagia...

Anda mungkin juga menyukai