Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/332799819

Resensi Buku: Paul F. Knitter Pengantar Teologi Agama-agama

Preprint · May 2019

CITATIONS READS

0 67

1 author:

Haleluya Timbo Hutabarat


Universitas Kristen Duta Wacana
9 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Technical Writing Tutorial View project

Gema Teologika View project

All content following this page was uploaded by Haleluya Timbo Hutabarat on 02 May 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Resensi Buku: Pengantar Teologi Agama-agama

Penulis Paul F. Knitter


Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Terbit versi 2008
Indonesia
Copy Right versi 2014
Indonesia
Halaman 305+xiii
Bahasa Indonesia
Harga Rp. 70.000,-
Reviewer Haleluya Timbo Hutabarat
Kata Kunci Teologi agama-agama, model
penggantian, model
pemenuhan, model mutualis,
model penerimaan, Paul F.
Knitter.

Awalnya, Paul F Knitter berniat merevisi buku terdahulunya No Other Name? A


Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religions (1985). Dalam prosesnya
justru melahirkan buku baru Introducing Theologies of Religions yang dibukukan dan terbit
tahun 2002. Itulah mengapa kedua buku ini serupa tak sama. Yang diresensi ini adalah buku
terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Pengantar Teologi Agama-agama (© 2014).

Studi model berteologi dan dialog antar iman sudah terjadi sejak lama. Yang jamak
dipakai adalah isitilah eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Penggunaan istilah ini
dimunculkan oleh Alan Race dalam Christian and Religious Pluralism: Patterns in Christian
Theology of Religions (1982). Gavin D'Costa juga ikut menggunakan model ini dalam
bukunya Theology and Religious Pluralism: The Challenge of Other Religions (1986). Tokoh
masa kini yang masih merujuk pada model sikap ini misalnya Marianne Moyaert dalam
Fragile Indentities Towards a Theology of Interreligious Hospitality (2011). Paul Knitter,
dalam No Other Name? masih menggunakan tiga istilah ini. Baru dalam buku Introducing
Theologies of Religions yang dijual kisaran Rp. 70.000 ini, Knitter menggunakan istilah dan
pengelompokan yang berbeda, sekaligus menandai perkembangan teorinya.
Display. Meski buku versi Indonesia kurang kece dibandingkan yang asli, buku ini
highly recomended. Selain karena penulisnya ahli kunci dalam teologi agama-agama, juga
karena dalam buku ini sikap Knitter terkait kepelbagaian lebih realistis menyentuh, dan
humanis.

Pendahuluan langsung membelalakkan pembaca pada pluralitas: sebuah fakta


semesta dan sebuah pengalaman lekat dan dekat setiap umat beragama! Sedekat tidur
sekamar kos bareng teman yang berbeda agama, bahkan pengalaman makan bareng dalam
rumah. Diversity bahkan harus diterima sebagai fakta melekat yang tidak terhindarkan!
Tantangan dalam konteks banyak agama ialah, bagaimana memahami ada begitu banyak
jalan agama dan bagaimana memahami agama Kristiani dalam terang berbagai jalan itu.

Di mata Knitter, signifikansi buku ini menyangkut dua hal: peringatan dan undangan.
Peringatan, bahwa memiliki sikap yang serius terhadap agama-agama lain adalah kewajiban.
Umat beragama harus memiliki religiusitas tertentu dalam interaksinya dengan agama-agama
lain! Sebagai undangan, pada semua agama, agar perjumpaan dengan agama lain
dimanfaatkan bagi pembentukan religiusitas iman sendiri. Penulis yakin, untuk menapaki
jalan imannya sendiri, seseorang perlu berjalan dengan yang lain.

Mencerminkan empat model dan sikap "Teologi Agama-agama" penulis, buku ini
ditata atas empat bagian besar yang masing-masing bagian akan dijelaskan oleh tiga bab.
Bagian pertama memperkenalkan "Model Penggantian: Hanya Satu Agama yang Benar".
Bagian kedua mengupas "Model Pemenuhan: Yang Satu Menyempurnakan yang Banyak".
Bagian ketiga menjelaskan apa itu "Model Mutualitas: Banyak Agama Terpanggil untuk
Berdialog". Dan keempat, apa yang dimaksud dengan "Model Penerimaan: Banyak Agama
yang Benar, Biarlah Begitu".

Buku yang sistematikanya mudah diingat ini, diawali bab pendahuluan, 12 bab
penjelasan, dan diakhiri dengan konklusi yang inkonklusif. Untuk tiap bagian, bab pertama
dan kedua akan selalu berisi penjelasan deskriptif seputar model, sedangkan bab ketiga
(bukan bab 3), yang selalu bersubjudul "wawasan dan pertanyaan", berisi mutiara dari model
yang sedang dibahas, sekaligus pertanyaan kritis tentangnya. Penataan berpola ini
memudahkan pembaca untuk melokasi model yang diinginkan. Penggunaan running head,
judul kecil di atas teks, sangat membantu pembaca, mengingatkan main idea lembar di
genggamannya.
Sikap objektif penulis. Terhadap empat kelompok sikap yang ada, penulis ingin
pembaca melihatnya sebagai catatan deskriptif, bukan model anjuran. Pembaca diharapkan,
menggunakan temuannya untuk memperkaya wawasan dan bersikap reflektif terhadap
keunikan tiap-tiap model. Penulis menegaskan bahwa yang ia tawarkan bukan jawaban, tetapi
lebih pada usulan dan bahan diskusi. Kesimpulan pribadi penulis, sebaiknya, dipandang
sebagai sikap pribadinya, sementara pembaca dianjurkan untuk mengambil kesimpulan dan
sikap sendiri. Bahkan jika penamaan model dirasa tidak tepat, penulis tidak keberatan jika
digunakan istilah model A, B, C, dan D saja. Inilah sikap etis penulis. Dalam konklusi,
penulis memperlihatkan suatu mentalitas penting dalam teologi agama-agama: tidak menutup
mata pada pluralitas, terbuka pada relativitas, peka pada pilihan individu dan keunikan
keyakinan seseorang, dan kerendah hati dalam berpendapat.

Usulan konkret penulis adalah dialog dan kerjasama, hal yang berulang ia ditegaskan
dalam pendahuluan dan kesimpulan. Sesama kristen harus berdialog secara ekumenis dan
dengan umat beragama lain harus saling bekerjasama.

Yang ditampilkan dalam resensi berikut, hanya cuilan kata-kata kunci dari masing-
masing model. Membaca langsung bukunya, termasuk yang asli, akan memperoleh kekayaan
argumentasi dan keseruan perkembangan dinamis dari model-model ini. Bacalah buku
Knitter ini, agar melek terhadap kepelbagaian agama, termasuk relasi eksternal-internya
sehingga bisa bijak bersikap reflektif dan apresiatif.

Model Penggantian (Replacement): Hanya Satu Agama yang Benar. Model pertama
ini meyakini, agama Kristen hadir untuk menggantikan semua agama lain karena dipandang
mengandung kekurangan bahkan penyimpangan. Tidak ada wahyu dan keselamatan dalam
agama lain. Misi kelompok ini, semua orang harus memeluk agama Kristen karena itulah
kehendak Allah. Kasih Allah memang universal bagi semua orang, namun kasih di dalam
Yesus bersifat partikular dan tunggal. Dialog dengan agama lain dilakukan dalam rangka
"mengganti". Golongan Kristen yang dikaitkan dengan pandangan ini adalah Protestan
fundamentalis, Evangelis dan Pentakostal. Teolog yang banyak dibahas adalah Karl Barth.
Terlepas dari variasi di dalam (penggantian total atau penggantian parsial), kelompok ini
bersikap keras dalam pandangannya. Jika kebenaran yang Yesus bawa dipahami dan
diterima, seseorang akan berubah secara total!

Terang Injil yang ingin disampaikan kelompok ini dan patut dihargai adalah
penghargaan tertinggi dan sepenuhnya pada Injil dan Perjanjian Baru. Firman Tuhan yang
tertulis harus menjadi pusat dari kehidupan dan identitas Kekristenan. Teologi dalam dialog
dengan agama lain harus berdasarkan superioritas Injil dan Perjanjian Baru.

Terhadap pendekatan ini, penulis mengulas beberapa pertanyaan. Apakah dalam


merumuskan teologi terhadap agama-agama lain, Alkitab mutlak sebagai satu-satunya
referensi? Penulis mencontohkan model berteologi di Asia seperti; teologi Negasi, bahwa
Allah tidak sebatas yang kita tahu; pandangan Hindu, agama bukan ini-bukan itu; Zen-
Buddha: semua agama hanyalah jari yang menunjuk ke bulan tetapi bukan bulan itu sendiri.
Pertanyaan lain, apakah bisa memahami agama lain dengan menggunakan nalar agama
sendiri? Penulis juga mengusulkan agar penganut model ini lebih teliti lagi dalam memahami
agama-agama lain.

Model Pemenuhan (Fulfilment): Yang Satu Menyempurnakan yang Banyak.


Mayoritas, penganut model kedua ini adalah gereja-gereja aliran utama: Lutheran, Reformasi,
Methodis, Anglikan, Ortodoks Yunani, dan Roma Katolik. Dalam menjelaskan model kedua
ini, penulis memuat mayoritas pandangan gereja dan teolog Katolik.

Karena diwakili oleh teologi agama-agama Katolik, teolog yang dikaitkan penulis
dengan model ini adalah Karl Rahner, seorang Jesuit Jerman. Dasar teologi Rahner adalah
bahwa Tuhan itu kasih, seperti tertulis pada 1 Yohanes 3:8. Allah mengaruniakan rahmat
keselamatan kepada tiap-tiap orang. KasihNya bekerja dan mewujud termasuk dalam agama-
agama. Dipahami bahwa agama bisa menjadi jalan keselamatan. Dalam hubungannya dengan
agama lain, Rahner berpendapat bahwa mereka yang tidak mengenal Yesus bisa merasakan
kasih Allah yang menyelamatkan, tetapi tidak begitu jelas. Yesus adalah juru selamat yang
absolut, yang jelas dan pasti. Dengan kehadiran Yesus, Tuhan benar-benar bersama kita dan
ini tidak dapat ditarik kembali. Yesus adalah garansi absolute. Peran Injil adalah
menyempurnakan dan menegaskan.

Tentang dasar dialog dan penghargaan terhadap agama-agama lain dari model ini,
penulis jabarkan dalam bab 5, diwakilkan oleh pandangan dan keputusan gereja Katolik.
Dialogue and Proclamation yang diterbitkan bersama oleh Komisi Dialog Agama-agama dan
Kongregasi bagi Pemberitaan Bangsa-bangsa tahun 1991 merupakan satu contoh keputusan
yang penting. Roh bersifat universal dan melalui agama-agama lain, manusia benar-benar
dapat menemukan dan berhubungan dengan Allah. Menurut model ini, perjumpaan dengan
Yesus tidak mengharuskan seseorang menjadi Kristen, melaikan akan menjadi penganut
agamanya yang lebih baik. Penulis juga mengangkat usulan umat Katolik Asia, termasuk
Indonesia, bahwa dalam berdialog, sosok Yesus lebih ditonjolkan sebaiknya Yesus sebagai
Guru Bijak, sebagai Penyembuh, atau Pembebas, ketimbang sebagai "Satu-satunya Juru
Selamat".

Pertanyaan penulis untuk model ini, contohnya, bagaimana dialog akan memperkaya
umat Kristiani jika Yesus dianggap sebagai yang utuh, memuaskan dan final?

Model Mutualitas (Mutuality): Banyak Agama Terpanggil untuk Berdialog. Hal yang
ingin dicapai dalam model ketiga ini adalah: dialog, kesetaraan, dan keunikan Yesus. Untuk
mencapai itu dipakai tiga jembatan: filosofis-historis, religius-mistik, dan etis-praktis.
Jembatan filosofis historis mengingatkan keterbatasan historis dari semua agama. Selain itu
juga membuka ruang bagi kemungkinan filosofis, bahwa kenyataan ilahi ada di dalam semua
agama. Sedangkan jembatan etis-praktis, berfokus pada masalah kemanusiaan yang bisa
dibahas semua agama seperti kemiskinan, kezaliman, kekerasan, atau gender. Dalam konteks
penderitaan, citra Yesus yang tepat didialogkan adalah sebagai Sang Pembebas. Citra ini
dianggap tidak akan mengurangi pentingnya peran agama lain termasuk tokohnya.

Tetapi tentunya model dialogis-mutualis ini tetap menyisakan ruang pertanyaan-


pertanyaan. Karena sangat menekankan dialog dan kebersamaan, maka ada pertanyaan
tempat pentingnya keunikan masing-masing agama. Selain itu, karena lebih menekankan
kebersamaan, apa yang berbeda dimiliki agama lain, yang dalam pendekatan lain sering
dipertentangkan, malah cenderung diterima dan direlatifkan.

Model Penerimaan (Acceptance): Banyak Agama yang Benar, Biarlah Begitu.


Mutiara dari pendekatan ini adalah hukum kasih pada sesama. Kita baru benar-benar
mengasihi jika kita menerima ke-liyan-an orang lain. Ini berarti, secara positif menolerir,
menghargai, serta menerima perbedaan dan identitas yang unik. Tidak menguasai,
memanipulasi, apalagi membatasi. Menurut model ini kegagalan umat Kristiani adalah
memandang dan bereaksi terhadap orang lain dari perspektif, bahasa-kultul-religi, sendiri.
Karena itu cenderung menghakimi. Yesus sendiri memanggil kita untuk bersekutu tetapi
dengan tidak mengorbankan kepelbagaian.

Pertanyaan terhadap model penerimaan adalah soal isolasionisme, relativisme,


fideisme. Dengan cenderung menerima begitu saja, karena yakin bahwa teks satu agama
tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa agama lain, model ini berpotensi membiarkan orang
terpenjara dalam sudut pandangnya sendiri (isolasionisme), terkungkung dalam "teks"
agamanya sendiri. Model ini juga berpotensi mengarah pada relativisme absolute. Artinya,
karena tiap agama serba benar dengan caranya (komprehensif total), dan tiap agama tidak
bisa dikritik dan tidak menerima masukan. Bahaya lain adalah fideisme, suatu situasi yang
tidak bisa diterangkan oleh umat beragama kepada orang lain bahkan diri sendiri mengapa
mereka meyakini apa yang mereka pegang. Jika fideisme dibiarkan akan menimbulkan
masalah iman buta (arbitrer).

Konklusi yang Inkonklusif. Buku versi Indonesia ditutup dengan kesimpulan yang
berjudul "Konklusi yang Infonklusif", istilah buku aslinya "An Inconclusive Conclucion"
(Knitter 2002, 238). Ini juga menjadi bagian yang memiliki daya tarik tersendiri karena
mencerminkan sikap mental kekinian penulis, sekaligus menegaskan posisinya dalam teologi
agama-agama. Akui penulis, jika buku No Other Name? lebih teocentris, maka dalam
bukunya yang ini, tempat bagi sisi humanis lebih diutamakan. Sepertinya, pemilihan empat
istilah bermotif pertimbangan humanis ini. Sikap realistis juga terlihat dari pernyatannya
bahwa dalam berteologi terhadap agama-agama lain, interen kekristenan sendiri punya
banyak model dan pandangan. Penulis juga mengakui bahwa pluralisme bukan masalah yang
mudah dan bahkan mungkin tidak memiliki jawaban pasti. Ia menunjukkan penghargaannya,
bahwa tiap-tiap model, memiliki terang Injilnya masing-masing dan tidak bisa disalahkan
begitu saja. Melihat fakta ini, simpul penulis, ternyata memiliki satu Teologi Agama-agama
tidaklah mungkin. Baginya, adalah bijak jika pluralitas kekristenan ini justru dipandang
sebagai kesempatan positif untuk saling melengkapi, saling mengingatkan, saling
menyeimbangkan. Model temuan terbuka ini penulis sebut sebagai konklusi yang bersifat
inkonklusif.

Selamat membaca bukunya.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai