Referat Penyakit Jantung Rematik Rsu Haji
Referat Penyakit Jantung Rematik Rsu Haji
Pembimbing :
dr. Dian Fajarwati Sp.JP
Penyusun:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
Referat telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Kedokteran
Jantung Rumah Sakit Umum Haji Surabaya.
2
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Penyakit Jantung Rematik”.
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya yang dilaksanakan di RSU Haji Surabaya. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing, khususnya
kepada dr.Dian Fajarwati, Sp.JP selaku pembimbing, dan semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya referat ini.
Tulisan referat ini masih jauh dari kesempurnan. Dengan
kerendahan hati, penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan mengharapkan saran
dan kritik yang membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Penulis
3
Daftar Isi
I. Pendahuluan .......................................................................................... 5
1. Definisi .......................................................................................... 6
2. Etiologi .......................................................................................... 6
4. Diagnosa ........................................................................................ 9
A. Anamnesis .................................................................................... 10
B. ManifestasiKlinis.......................................................................... 10
6. Tatalaksana .................................................................................. 16
7. Komplikasi .................................................................................. 21
8. Prognosis ..................................................................................... 22
4
I. Pendahuluan
Demam rematik (DR) adalah gangguan autoimun sistemik terkait infeksi
streptokokus sebelumnya, yang merupakan penyebab utama penyakit jantung
rematik (PJR) pada orang dewasa. Kejadian demam rematik dan prevalensi
penyakit jantung rematik bervariasi secara substansial di antara negara-negara. Di
banyak negara berkembang, insiden demam rematik akut mendekati atau melebihi
200 per 100.000, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 per
100.000. Pada tahun 2002, lebih dari 3500 kematian dikaitkan dengan Demam
rematik akut atau kronis di Amerika Serikat (Meadows et al., 2005)
Sejak paruh pertama abad ini, telah terjadi penurunan bertahap dalam
kejadian demam rematik di Amerika Serikat, Jepang, dan sebagian besar negara
Eropa. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kesehatan masyarakat dan kondisi
kehidupan, pengembangan antibiotik modern, serta pergeseran strain endemik
kelompok A Streptococcus (GAS). Wabah demam rematik lokal telah terjadi di
Amerika Serikat pada pertengahan 1980-an. Demam rematik lebih umum di antara
populasi berisiko tinggi untuk faringitis streptokokus, seperti pada organisasi
kemiliteran, tenaga pendidik, dan orang-orang dengan status sosial ekonomi
rendah. Biasanya terjadi antara usia 5 dan 18 tahun dan jarang terjadi sebelum usia
5. Kemungkinan pada usia ini tingkat imun tidak sebaik pada orang usia dewasa.
(Meadows et al., 2005)
5
II. Pembahasan
1. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai
katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung
reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya (Marijon et
al., 2012).
2. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus group A pada individu yang mempunyai faktor 2
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling
banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup
aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun (Marijon
et al., 2012).
6
Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik (Marijon et al., 2012).
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun (Cunningham, 2012).
7
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh
(Chorianopoulos et al., 2009).
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya
dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang
terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti
protein M (Chorianopoulos et al., 2009).
8
Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic
heart disease pada lesi-lesi valvular (Carapetis et al., 2016).
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-
70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan
korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena
peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar
akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan
atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri.
Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan
juga dapat terjadi (Eacts et al., 2018).
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup
aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain,
dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan
hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan (Eacts et al., 2018).
4. Diagnosa
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
9
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat (Helena and
Grant, 2015).
A. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak
menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik,
seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis,
kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah. Gejala spesifik yang kemudian muncul
adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan
atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait
dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever
sebelumnya (Helena and Grant, 2015).
B. Manifestasi Klinis
Manifestasi dibagi menjadi 2, yaitu (Helena and Grant, 2015):
Mayor
Minor
Manifestasi Mayor
1. Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis.
Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak
nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada
pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia
yang tidak sesuai dengan tingginya demam.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung. Gagal
jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang parah atau
miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer. Friction rub
10
pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup, suara jantung
melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan
tamponade perikardium yang mengancam
No Gangguan Manifestasi
1. Stenosis Mitral
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras
2. Regurgitasi Mitral
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
3. Stenosis Aorta
4.. Regurgitasi Aorta
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
2. Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang
paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki,
siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
11
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau
tiga minggu
3. Chorea Sydenham
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa
bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini
mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,
dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga
minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya
emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak
disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini
semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat
4. Eritema Marginatum
5. Nodulus Subkutan
12
Manifestasi Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu
2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat
pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan
penyakit.
Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
13
protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah
merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever
terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure atau
meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan
dalam diagnosis rheumatic fever aktif (Press, 2011).
- Kultur tenggorok
14
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik (Press,
2011).
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Dasar Diagnosis
Tabel Kriteria WHO 2002 -2003 dalam mendiagnosis Demam Rematik
(DR) dan Penyakit Jantung Rematik (PJR)
15
RHD - Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
mendiagnosis sebagai RHD
5. Diagnosa Banding
Infeksi saluran pernafasan atas
Gastroenteritis akut
Infeksi saluran kemih
Anemia
Bronchopneumonia
Demam Typhoid
Demam dengue
Babesiosis
(Engel et al., 2014)
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah (Press, 2011).
a. Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang
16
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring yang berulang (Press, 2011).
17
Clarithromycin 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis 2B
(Biaxin) (maksimal, 250 mg 2x sehari), selama 10
hari
Profilaksis Sekunder
18
Rheumatic Fever 10 tahun atau sampai usia 21 tahun IC
dengan karditis (pilih yang terlama)
tapi tanpa
penyakit jantung
residu (tanpa
penyakit katup
persisten)
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan
19
gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya,
pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini
tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin (Baddour et al., 2015).
Obat-obat utuk gagal jantung pada penyakit jantung rematik (Baddour et al.,
2015).
Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5
mcg/kg/hari dosis pemeliharaan
Diuretik:
Furosemide -). 0,5 – 2 mg/kg/hari,
Metolazone -). 0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretic (Peters et al., 2010).
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis
sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut terlewati,
baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17 Sesuai dengan anjuran
20
Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut (Peters
et al., 2010) :
e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik,
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi (Eacts et al., 2018).
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu
dilakukan operasi (Eacts et al., 2018).
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak
dikerjakan (Eacts et al., 2018).
7. Komplikasi
Penyakit jantung rematik dapat menyebabkan komplikasi diantaranya
Stenosis katup mitral
Regurgitasi katup mitral
Stenosis katub aorta
Regurgitas katup aorta
21
Stenosis katup pulmonal
Gagal jantung
Atrial Fibrilasi
Infective Endocarditis
(Engel et al., 2014)
8. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak
episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh
semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan
awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar (Zühlke and Mayosi,
2013).
22
Daftar Pustaka
23
forms of inflammatory arthritis’, (January 1966), pp. 325–331. doi:
10.1136/ard.2009.113696.
24