Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


RSU HAJI SURABAYA
PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Pembimbing :
dr. Dian Fajarwati Sp.JP

Penyusun:

Moch. Reza Fadillah 2019.042.0001

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Referat telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Kedokteran
Jantung Rumah Sakit Umum Haji Surabaya.

Surabaya, 29 Juli 2019


Pembimbing

dr.Dian Fajarwati, Sp.JP

2
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Penyakit Jantung Rematik”.
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya yang dilaksanakan di RSU Haji Surabaya. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing, khususnya
kepada dr.Dian Fajarwati, Sp.JP selaku pembimbing, dan semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya referat ini.
Tulisan referat ini masih jauh dari kesempurnan. Dengan
kerendahan hati, penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan mengharapkan saran
dan kritik yang membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Surabaya, 29 Juli 2019

Penulis

3
Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ 2

KATA PENGANTAR ................................................................................ 3

I. Pendahuluan .......................................................................................... 5

II. Pembahasan ....................................................................................... 6

1. Definisi .......................................................................................... 6

2. Etiologi .......................................................................................... 6

3. Pathogenesis dan Pathofisiologi .................................................... 6

4. Diagnosa ........................................................................................ 9

A. Anamnesis .................................................................................... 10

B. ManifestasiKlinis.......................................................................... 10

5. Diagnosa Banding ....................................................................... 16

6. Tatalaksana .................................................................................. 16

7. Komplikasi .................................................................................. 21

8. Prognosis ..................................................................................... 22

Daftar Pustaka ........................................................................................... 23

4
I. Pendahuluan
Demam rematik (DR) adalah gangguan autoimun sistemik terkait infeksi
streptokokus sebelumnya, yang merupakan penyebab utama penyakit jantung
rematik (PJR) pada orang dewasa. Kejadian demam rematik dan prevalensi
penyakit jantung rematik bervariasi secara substansial di antara negara-negara. Di
banyak negara berkembang, insiden demam rematik akut mendekati atau melebihi
200 per 100.000, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 per
100.000. Pada tahun 2002, lebih dari 3500 kematian dikaitkan dengan Demam
rematik akut atau kronis di Amerika Serikat (Meadows et al., 2005)

Sejak paruh pertama abad ini, telah terjadi penurunan bertahap dalam
kejadian demam rematik di Amerika Serikat, Jepang, dan sebagian besar negara
Eropa. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kesehatan masyarakat dan kondisi
kehidupan, pengembangan antibiotik modern, serta pergeseran strain endemik
kelompok A Streptococcus (GAS). Wabah demam rematik lokal telah terjadi di
Amerika Serikat pada pertengahan 1980-an. Demam rematik lebih umum di antara
populasi berisiko tinggi untuk faringitis streptokokus, seperti pada organisasi
kemiliteran, tenaga pendidik, dan orang-orang dengan status sosial ekonomi
rendah. Biasanya terjadi antara usia 5 dan 18 tahun dan jarang terjadi sebelum usia
5. Kemungkinan pada usia ini tingkat imun tidak sebaik pada orang usia dewasa.
(Meadows et al., 2005)

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1


November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per
100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara
berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia
akibat penyakit tersebut. Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui
secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000
anak sekolah (Made, 2018)

5
II. Pembahasan
1. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai
katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung
reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya (Marijon et
al., 2012).

2. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus group A pada individu yang mempunyai faktor 2
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling
banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup
aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun (Marijon
et al., 2012).

3. Pathogenesis dan Pathofisiologi


Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas
dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut.
Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan
demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap
terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga
menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui
sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis

6
Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik (Marijon et al., 2012).

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik


berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis (Eacts
et al., 2018).

Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun (Cunningham, 2012).

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme


penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini
sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini
memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility
complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang
apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis
rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik
Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga
menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase,
dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya
untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi
tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh
memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme

7
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh
(Chorianopoulos et al., 2009).

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta


hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1)
Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak
identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau
antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup
kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi
reseptor permukaan (Cunningham, 2012).

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya
dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang
terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti
protein M (Chorianopoulos et al., 2009).

Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,


Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan
katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular (Carapetis et al., 2016).

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga


memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6%
populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik
marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas
II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart
disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol
imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada
reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral.

8
Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic
heart disease pada lesi-lesi valvular (Carapetis et al., 2016).

Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan


verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah
proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan
parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae
yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut
mengalami kerusakan (Carapetis et al., 2016).

Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-
70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan
korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena
peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar
akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan
atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri.
Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan
juga dapat terjadi (Eacts et al., 2018).

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup
aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain,
dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan
hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan (Eacts et al., 2018).

4. Diagnosa
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat

9
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat (Helena and
Grant, 2015).

A. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak
menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik,
seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis,
kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah. Gejala spesifik yang kemudian muncul
adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan
atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait
dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever
sebelumnya (Helena and Grant, 2015).

B. Manifestasi Klinis
Manifestasi dibagi menjadi 2, yaitu (Helena and Grant, 2015):

 Mayor
 Minor

 Manifestasi Mayor
1. Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis.
Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak
nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada
pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia
yang tidak sesuai dengan tingginya demam.

Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung. Gagal
jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang parah atau
miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer. Friction rub

10
pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup, suara jantung
melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan
tamponade perikardium yang mengancam

No Gangguan Manifestasi
1. Stenosis Mitral
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras

2. Regurgitasi Mitral
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung

3. Stenosis Aorta
4.. Regurgitasi Aorta
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)

2. Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang
paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki,
siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien

11
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau
tiga minggu

3. Chorea Sydenham

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa
bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini
mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,
dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga
minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya
emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak
disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini
semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat

4. Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang


terjadi kurang dari 10% kasus. 12 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-
kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan
ekstremitas.

5. Nodulus Subkutan

Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus


terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan
persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas
kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri,
tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi
beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu
sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat

12
 Manifestasi Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu
2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat
pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan
penyakit.

Tabel Kriteria Jones

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor


Karditis Klinis :
Poliartritis Migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan
bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea Sydenham Laboratorium:
Erythema Marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu
Nodul Subkutan erythrocyte sedimentation rate (ESR)
atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.

 Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada


pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive

13
protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah
merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever
terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure atau
meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan
dalam diagnosis rheumatic fever aktif (Press, 2011).

- Rapid Test Antigen Streptococcus

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A


secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 % (Press, 2011).

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis


rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada
minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik >
333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B
mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal
titer anti-DNase B = 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia
sekolah (Press, 2011).

- Kultur tenggorok

Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya


streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic
fever atau rheumatic heart disease mulai muncul (Press, 2011).

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan


kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.

14
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik (Press,
2011).

c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk


mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium,
dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan,
regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic
fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang
menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi
chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-lateral (Press, 2011).

 Dasar Diagnosis
Tabel Kriteria WHO 2002 -2003 dalam mendiagnosis Demam Rematik
(DR) dan Penyakit Jantung Rematik (PJR)

Kategori Diagnosis Kriteria

Rheumatic Fever serangan pertama - Dua mayor


- Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya

Rheumatic Fever serangan ulang tanpa - Dua mayor


RHD - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya

Rheumatic Fever serangan ulang - Dua minor


dengan RHD - ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
sebelumnya

Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya


Karditis reumatik insidious atau bukti infeksi SBHGA

15
RHD - Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
mendiagnosis sebagai RHD

5. Diagnosa Banding
 Infeksi saluran pernafasan atas
 Gastroenteritis akut
 Infeksi saluran kemih
 Anemia
 Bronchopneumonia
 Demam Typhoid
 Demam dengue
 Babesiosis
(Engel et al., 2014)

6. Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah (Press, 2011).

a. Terapi Antibiotik

Profilaksis Primer

Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang

16
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring yang berulang (Press, 2011).

Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi


dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang
ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan
juga efek samping (Press, 2011).

Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral


adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24
jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin
G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan
penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan
terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung
rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena
rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah) (Press,
2011).

Agen Dosis Evidence


Rating
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral satu kali IB
sehari selama 10 hari

Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 600,000 unit IB


IM sekali

Penicillin V potassium  Pasien dengan BB < 27 kg IB


diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
 Pasien dengan BB > 27 kg: 500

Untuk Pasien Alergi


Penisilin
Azithromycin 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 mg) oral 2B
(Zithromax) 1x sehari selama 5 hari

17
Clarithromycin 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis 2B
(Biaxin) (maksimal, 250 mg 2x sehari), selama 10
hari

Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 1.8 2B


g/hari), dibagi menjadi 3 dosis, untuk 10
hari

Profilaksis Sekunder

Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya


rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah (Press, 2011).

Agen Dosis Evidence Rating


Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 IA
lb) 600,000 unit IM setiap
4 minggu sekali

Pasien berat > 27 kg:


1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali

Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari IB

Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 IB


lb): 0.5 g oral 1x sehari

Pasien berat > 27 kg (60 IB


lb) kg: 1 g oral 1x sehari

Durasi Profilaksis Sekunder untuk Demam rematik (Press, 2011).

Tipe Durasi setelah serangan Evidence Rating


Rheumatic Fever 10 tahun atau sampai usia 40 tahun IC
dengan karditis (pilih yang terlama) ; profilaksis
dan penyakit seumur hidup mungkin diperlukan
jantung residu
(penyakit katup
persisten)

18
Rheumatic Fever 10 tahun atau sampai usia 21 tahun IC
dengan karditis (pilih yang terlama)
tapi tanpa
penyakit jantung
residu (tanpa
penyakit katup
persisten)

Rheumatic Fever 5 tahun atau sampai usia 40 tahun IC


tanpa karditis (pilih yang terlama)

b. Terapi Anti Inflamasi

Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon


cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah
aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi
pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami
perburukan. Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari (Baddour et al., 2015).

Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan


dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari.
Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi
yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi (Baddour et al., 2015).

C. Terapi gagal jantung

Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan

19
gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya,
pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini
tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin (Baddour et al., 2015).

Obat-obat utuk gagal jantung pada penyakit jantung rematik (Baddour et al.,
2015).

Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5
mcg/kg/hari dosis pemeliharaan

Diuretik:
Furosemide -). 0,5 – 2 mg/kg/hari,
Metolazone -). 0,2 – 0,4 mg/kg/hari

Vasodilator: -). Dimulai 0,25 mg/kg dosis


Captopril percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
Sodium nitroprusside -). 0,5 – 10 mcg/kg/min infus,
digunakan bila gagal jantung sulit
dikontrol.
Inotropik: -). 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
Dobutamine
Dopamine -). 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

d. Diet dan Aktivitas

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretic (Peters et al., 2010).

Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis
sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut terlewati,
baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17 Sesuai dengan anjuran

20
Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut (Peters
et al., 2010) :

e. Terapi Operatif

Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik,
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi (Eacts et al., 2018).

a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu
dilakukan operasi (Eacts et al., 2018).

b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut


(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease
yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau
penggantian katup (Eacts et al., 2018).

c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak
dikerjakan (Eacts et al., 2018).

d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau


kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup (Eacts et
al., 2018).

7. Komplikasi
Penyakit jantung rematik dapat menyebabkan komplikasi diantaranya
 Stenosis katup mitral
 Regurgitasi katup mitral
 Stenosis katub aorta
 Regurgitas katup aorta

21
 Stenosis katup pulmonal
 Gagal jantung
 Atrial Fibrilasi
 Infective Endocarditis
(Engel et al., 2014)

8. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak
episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh
semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan
awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar (Zühlke and Mayosi,
2013).

Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.


Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60% (Zühlke and Mayosi,
2013).

22
Daftar Pustaka

Baddour, L. M. et al. (2015) Therapy , and Management of Complications.


doi: 10.1161/CIR.0000000000000296.

Carapetis, J. R. et al. (2016) ‘Acute rheumatic fever and rheumatic heart


disease’. doi: 10.1038/nrdp.2015.84.

Chorianopoulos, E. et al. (2009) ‘The role of endothelial cell biology in


endocarditis’, pp. 153–163. doi: 10.1007/s00441-008-0687-4.

Cunningham, M. W. (2012) ‘Streptococcus and rheumatic fever’, 24(4), pp.


408–416. doi: 10.1097/BOR.0b013e32835461d3.

Eacts, C. S. et al. (2018) ‘Guidelines on the management of valvular heart


disease ( version 2012 ) The Joint Task Force on the Management of Valvular Heart
Disease of the European Society of Cardiology ( ESC ) and the European’, (March),
pp. 2451–2496. doi: 10.1093/eurheartj/ehs109.

Engel, M. E. et al. (2014) ‘Characteristics , complications , and gaps in


evidence-based interventions in rheumatic heart disease : the Global Rheumatic
Heart Disease Registry ( the REMEDY study )’, (November 2012), pp. 1–9. doi:
10.1093/eurheartj/ehu449.

Helena, R. and Grant, C. (2015) ‘Acute rheumatic fever’, 3443(July), pp. 1–


8. doi: 10.1136/bmj.h3443.

Made, P. (2018) ‘PENYAKIT JANTUNG REMATIK’, (1102005135).

Marijon, E. et al. (2012) ‘Rheumatic heart disease’, The Lancet. Elsevier


Ltd, 379(9819), pp. 953–964. doi: 10.1016/S0140-6736(11)61171-9.

Meadows, T. A. et al. (2005) Manual of Cardiovascular Medicine 3rd


Edition.

Peters, M. J. L. et al. (2010) ‘EULAR evidence-based recommendations for


cardiovascular risk management in patients with rheumatoid arthritis and other

23
forms of inflammatory arthritis’, (January 1966), pp. 325–331. doi:
10.1136/ard.2009.113696.

Press, D. (2011) ‘The worldwide epidemiology of acute rheumatic fever and


rheumatic heart disease’, 1(434). doi: 10.2147/CLEP.S12977.

Zühlke, L. and Mayosi, B. M. (2013) ‘Echocardiographic Screening for


Subclinical Rheumatic Heart Disease Remains a Research Tool Pending Studies of
Impact on Prognosis’, pp. 1–7. doi: 10.1007/s11886-012-0343-1.

24

Anda mungkin juga menyukai