Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

“PTERYGIUM GRADE 4 OS”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata

RSUD Ambarawa

Pembimbing :

dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Disusun oleh :

Harits Hammam Adhadi


H2A011023

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA

RSUD AMBARAWA

2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
PTERIGIUM GRADE 4 OS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Harits Hammam Adhadi
H2A011023

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

dr. Retno Wahyuningsih, Sp. M


Tanggal :

2
PENDAHULUAN

Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea

dan , biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular yang bersifat degeneratif dan

infasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal

maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pada potongan yang tegak

lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang melekat pada

konjuntiva memanjang pada sumbunya.

Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan

suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh

iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab

paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang

diterima oleh mata. Ultraviolet baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam

hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh factor-faktor lain seperti zat alergen,

kimia dan zat pengiritasi lainnya.

Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung

pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar

kurang dari 2% untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah

garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang

prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran

ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional

hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative

terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara

3
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Pasien Rawat Jalan (Poliklinik Mata)
Nama : Tn. S
No. Rekam Medis : 114184 - 2016
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Agama : Islam
Alamat : Kalices 02/03 Kebondalem, Jambu
Pekerjaan : Buruh
Tanggal Pemeriksaan : 8 November 2016
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 8 November
2016 pukul 10.00 WIB di Poli Mata RSUD Ambarawa
Keluhan Utama:
Ada seperti daging tumbuh di mata kanan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSUD Ambarawa Poliklinik Mata dengan keluhan
utama ada seperti daging tumbuh di mata kiri pasien. Awalnya kurang lebih
23 tahun yang lalu saat pasien masih SMA, pasien sudah merasa ada seperti
daging kecil yang tumbuh di mata kiri pasien dibagian dekat hidung.
Kemudian keluhan dirasakan makin lama makin membesar. Hingga kurang
lebih 5 tahun yang lalu pasien merasa daging yang tumbuh tersebut sudah
menutupi matanya yang bagian hitam sehingga membuat pasien susah untuk
melihat. Saat ini pasien merasa matanya kirinya terasa kabur saat melihat
disertai dengan perih jika mata kiri terkena cahaya, debu, atau angin. Tidak
ada riwayat trauma pada mata.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sakit yang sama : disangkal
- Riwayat sakit mata lain : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal

4
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat penyakit gula : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
- Riwayat pemakaian kacamata : Tidak pernah menggunakan kacamata
- Pasien berobat dengan biaya BPJS
- Pasien memiliki kebiasaan mengucekmata
- Pasien bekerja sebagai buruh bangunan
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 8 November 2016 pukul 10.30
WIB di Poli Mata RSUD Ambarawa
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmhg
- Nadi : 80 x/menit
- Respiratory rate : 25 x/menit
- Suhu : 36°C
4. Status Generalis
Kepala : Bentuk normocephal
Wajah : Nyeri ketok sinus (-), edema (-), wajah kanan dan kiri simetris (+)
Telinga : Normotia, sekret -/-, gendang teliang intak +/+
Hidung : Deviasi septum (-), Massa -/-, secret -/-
Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (+), coated tongue(-)
Tenggorokan : Hiperemis (-), uvula ditengah, arcus faring simetris kanan
kiri
Tonsil T1-T1 tenang

5
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), trakea
ditengah (+), JVP 5-2 cmH2O
Thoraks :
a. Pulmo :
i. Inspeksi :
1. Statis : Normochest, lesi (-), dinding dada simetris
kanan dan kiri
2. Dinamis: Pergerakan dinding dada simetris kanan
dan
kiri, retraksi sela iga (-)
ii. Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
iii. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
iv. Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing
-/-
b. Cor :
i. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
ii. Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V, thrill (-)
iii. Perkusi :
1. Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis
dekstra
2. Batas jantung kiri ICS V linea midclavikularis
sinistra
3. Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra
iv. Auskultasi : BJ 1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
a. Inspeksi : Perut cembung, supel
b. Auskultasi : BU (+)
c. Palpasi : NT (-), Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba,
shifting dullness (-)
d. Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

6
Ekstremitas :
a. Atas : akral hangat +/+, edema -/-, CTR < 2 detik
+/+
b. Bawah : akral hangat +/+, edema -/-, CTR < 2 detik
+/+
5. Status Oftalmologis

OD OS
Oculi Dekstra Pemeriksaan Oculi Sinistra
6/10 Visus 1/60
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Sensus coloris Tidak dilakukan
Trikiasis (-), distikiasis (-), Cilia Trikiasis (-), distikiasis (-),
madarosis (-), krusta (-) madarosis (-), krusta (-)
Spasme (-), tertutup rapat Palpebra superior Spasme (-), tertutup rapat
(+), terbuka sempurna (+), (+), terbuka sempurna (+),
massa (-), radang (-), edema massa (-), radang (-), edema
(-),ekteropion (-), (-),ekteropion (-),
enteropion (-), ptosis (-) enteropion (-), ptosis(-)
Spasme (-), tertutup rapat Palpebra inferior Spasme (-), tertutup rapat
(+), terbuka sempurna (+), (+), terbuka sempurna (+),
massa (-), radang (-), edema massa (-), radang (-), edema
(-),ekteropion (-), (-),ekteropion (-),
enteropion (-) enteropion (-)
Corpal (-), injeksi (-), tumor Konjungtiva Corpal (-), injeksi (-), tumor
(-), edema(-), coble stone(-) palpebralis (-), edema(-), coble stone (-)

7
Hiperemis (-), sekret serous Konjungtiva fornix Hiperemis (-), sekret serous
(-), udem (-), corpal (-) (-), udem (-), corpal (-)
Injeksi konjungtiva (- Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva
),injeksi silier (-),mix (+),injeksi silier (-), mix
injeksi (-), hiperemis (+), injeksi (-) hiperemis (+),
selaput segitiga di nasal
bola mata dengan apeks
mencapai pupil
Normal Kedudukan bola Normal
(Ortoforik) mata dan gerakan (ortoforik)
bola mata
Ikterik(-), hiperemis(-), Sclera Ikterik(-),hiperemis(-),
tertutup selaput segitiga di
nasal bola mata dengan
apeks mencapai pupil
Jernih (+), arcus senilis (+), Cornea Jernih (+), arcus senilis (+)
infiltrat (-), ulkus (-), infiltrat (-), ulkus (-),
sikatrik(-), udem (-), sikatrik(-), udem (-),
neovaskularisasi (-), neovaskularisasi (-),ada
bagian yang tertutup selaput
segitiga di nasal bola mata
dengan apeks mencapai
pupil
Kedalamancukup, jernih, Camera oculi Kedalamancukup, jernih,
hifema (-), hipopion (-) anterior hifema (-), hipopion (-)
Bentuk reguler (+), sinekia Iris Bentuk reguler (+), sinekia
(-), kripte melebar (-), (-), kripte melebar (-),
neovaskularisasai (-) neovaskularisasi(-)
Bulat, central, reguler, Pupil Bulat, central, reguler,
diameter (dbn ±3-4 mm), diameter (dbn ±3-4 mm),

8
reflekcahaya (+), reflekcahaya (+),
leukokoria (-) leukokhoria (-)
Jenih, Dalam batas normal Lensa Jernih, Dalam batas normal
Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tekanan bola mata Tidak dilakukan

IV. RESUME :
Seorang laki – laki datang berusia 40 tahun datang dengan keluhan ada
seperti daging tumbuh di mata kirinya. Keluhan mulai timbul kurang lebih 23
tahun lalu dan semakin lama keluhan semakin membesar sehingga menutupi
mata bagian hitam pasien. Saat ini pasien merasa matanya kirinya terasa
kabur saat melihat disertai dengan perih jika mata kiri terkena cahaya, debu,
atau angin.
Dari pemeriksaan status lokalis mata didapatkan : Visus menurun (+)
yaitu 6/10 OD dan 1/60 OS, konjungtiva bulbi hiperemis (+), injeksi
konjungtiva (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal yang mengarah ke
limbus kornea dan tampak apeks mencapai pupil .
V. DIAGNOSA DIFFERENSIAL
1. Pterigium
2. Pseudopterigium
3. Pinguekula
VI. DIAGNOSA KERJA
Pterigium Grade IV OS
VII. TERAPI PTERYGIUM
1. Farmakologik
a. Xytrol ed fls No 1
S6 dd gtt 1 OS
Xytrol :
Dexametason
Neomisin
Polymisin B Sulfat

9
2. Non farmakologik
a. Menghindari pajanan matahari, menghindari debu
b. Menggunakan kacamata atau topi jika keluar
c. Rencana Pembedahan (pterygium sudah mencapai pupil dan
mengganggu tajam penglihatan)
3. Edukasi (Pterigium)
- Menghindari paparan sinar matahari, debu, asap, dan angin
- Menggunakan kacamata pelindung ultraviolet atau menggunakan
topi
VIII. PROGNOSIS
a) Quo ad vitam : bonam
b) Quo ad sanationam : dubia ad bonam
c) Quo ad functionam : dubia ad bonam
IX. USUL DAN SARAN
1. Anjuran pemeriksaan penunjang yang dilakukan prooperasi :
a. Pemeriksaan laboratorium :
 Darah rutin
 Gula Darah Sewaktu
 HbsAg
b. Elektrokardiografi (EKG)
2. Rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam untuk mengetahui adakah
kontraindikasi dilakukan operasi pada pasien ini.
3. Anjuran rawat inap untuk mempersiapkan operasi

10
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya
sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan
kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan
semilunar pada cantus.1,2,3
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal yang meluas ke daerah kornea. Pterygium
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium
akan berwarna merah. 4
II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu
daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai
22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah
garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien
di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko

11
daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah
dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.5,6
III. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat
ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini
disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10
mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan
tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva,
yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan
inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi
dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem
lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari
limbus.7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7

Gambar 1. Anatomi konjungitiva


1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi

12
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi
zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara
pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai
dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat
secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola
mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7

13
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma.
Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada
tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi
mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan
stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan
fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada
nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian
menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi
papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada
bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring),
yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks
bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.7
IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui
secara pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan
ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara
kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A
juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang
mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif

14
akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan
yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus
dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab
pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan
mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal
limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan
pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai
dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis
dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan
atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya
keturunan (faktor herediter). 8
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui
namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra
violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea

15
sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat
memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 8
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya
(radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif. 11
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. 8
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,
polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen
pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi
seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi
adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran
Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
a. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia
banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada
usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia
dekade dua dan tiga. 8

16
b. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang
sering dengan sinar UV. 8
c. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah
distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi
banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan
bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium
yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang
menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang
kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih
besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
d. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
e. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan
secara autosomal dominan. 8
f. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor
penyebab pterygium. 8
g. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-
partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya pterygium. 8
V. KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9
Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh
darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari

17
kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
Tipe III : Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan
zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai
kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum


mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea.

18
Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil


sehingga mengganggu penglihatan.

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2


yaitu:
a. Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari
pterygium)
b. Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan
harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
b. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
VI. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan
sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain.
UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang

19
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti
TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami
degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan
granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan
kadang terjadi displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi
atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi
fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi
daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut
ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan
eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat
khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area
hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8

20
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
 Mata sering berair dan tampak merah,
 Merasa seperti ada benda asing (terasa mengganjal),
 Dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,
 Pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. 1,6,8
 Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar
mata (sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan
pada permukaan kornea.
 Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah
akibat dari iritasi dan peradangan
Pterygium memiliki tiga bagian :

A. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi
dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini
juga merupakan area kornea yang kering.
B. Bagian whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah
lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
C. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi

21
dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang
paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan10
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.6
IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti
UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata

22
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
a. Progresif, resiko rekurensi > luas
b. Mengganggu visus
c. Mengganggu pergerakan bola mata
d. Masalah kosmeti
e. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
f. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
g. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan
operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterygium di antaranya adalah:8
A. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.
B. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relatif kecil.
C. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
D. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
E. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,
Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

23
Amniotic membrane transplantation
Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation,
yaitu teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang
merupakan lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung
membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular. Dalam
dunia oftalmologi, membran amnion ini digunakan sebagai draft dan
dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan untuk merekonstruksi
permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur. Dokumentasi
pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De
Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka
kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga
Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan
mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen
membran basalis dari membran amnion ini serupa dengan komposisi
dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori terkini menyatakan bahwa
membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem cells dan
cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan
meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi,

24
hal tersebut dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas
normal untuk mengurangi scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme
ini membantu penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek
epitel, dan ulserasi stromal. 9
Indikasi AMT
1. Eksisi pterigium
Setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan
sebuah defek konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh
sendiri, dijahit secara langsung melalui pendekatan primer, diberikan
graft dengan sebuah autograft konjungtiva, atau diberikan graft
dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid intraoperatif pada
defek jaringan yang mengitarinya. 9
2. Rekonstruksi permukaan konjungtiva
Selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik
rekonstruksi konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor
konjungtiva yang meninggalkan defek, maka defek tersebut akan
diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan penggunaan
AMT untuk pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat
digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada kasus
konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu
laporan lainnya menyatakan bahwa trabeculectomy bleb dapat
diperbaiki dengan membran amniotik. 9
3. Defisiensi stem sel Limbal
Membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi
stem sel Limbal parsial dan total. Pada kasus-kasus kehilangan stem
sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi dan perlu penggunaan
bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-
kasus yang parsial, membran amniotik menunjukkan dapat
meningkatkan epitelisasi dan memperbaiki penglihatan dengan dan
tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9

25
Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik
yang diolah di laboratorium pada membran amniotik lalu
mentransplantasikan jaringan gabungan ini pada kornea yang rusak
berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.9
Prosedur
Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan
membran amniotik yang diambil dari plasenta pada saat operasi sesar
dan diawetkan hingga digunakan pada permukaan okuler. Tersedia
teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane dan lazim
digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan
sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara
pembedahan dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable.
Adesivitas jaringan biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan
AMT pada permukaan okuler.9
Resiko
Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular
yang tidak terlihat. Secara umum, membran amniotik didapatkan dari
donor potensial yang menjalani operasi sesar yang telah diskrining
untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis. Plasenta
kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang seimbang,
penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion
dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril,
ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan
gliserol. Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh
use atau menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius.
Hingga saat ini tidak ada laporan mengenai transmisi penyakit menular
pada AMT. 9
X. DIAGNOSIS BANDING
1. Pseudoperygium
Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium.
Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada

26
konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana pada
pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik
dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera
kimiawi dan termal. Memiliki sejarah peradangan sebelumnya,
kehadiran di satu mata, lokasi selain meridian horisontal, konfigurasi
yang tidak menyerupai "sayap". Pseudopterygium menyebabkan nyeri
dan penglihatan ganda. Untuk membedakannya dengan pterygium
pseudopterygium memiliki ciri khas yaitu tidak melekat pada limbus
kornea. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi,
eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera
dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11

2. Pinguekula
Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula
yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah
nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa
karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik.
Paparan sinar ultraviolet bukan merupakan faktor risiko terjadinya
pinguekula. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus
tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11

27
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12
Pra-operatif:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah
astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang
berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak
kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh
pterygium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen
(thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan
eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara
umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:

28
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,
graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan
ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia
atau nekrosis sklera dan kornea
3. Pterygium rekuren.
XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi
Umum: edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
6. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009.
7. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
8. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].
Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
9. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available
from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm .
10. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007.
[cited 2011 October 23]. Available from :
http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
11. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook
Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000
12. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
13. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available
from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-
up/complications.html

30

Anda mungkin juga menyukai