Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hospitalisasi merupakan proses perawatan karena penyakit yang

diderita, sehingga dapat menyebabkan perubahan dari perilaku normal dan

menjadi pengalaman yang mengancam bagi setiap orang (Asmadi, 2008).

Kondisi hospitalisasi dapat menyebabkan timbulnya stress dan kegelisahan

bagi anak karena adanya perubahan lingkungan dan status kesehatan pada

anak. Pada anak usia prasekolah keadaan yang tidak menyenangkan yang

paling besar dialami adalah kondisi sakit (Laili, 2006 dalam Murniasih &

Andhika, 2007).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS tahun 2013,

jumlah anak usia (prasekolah 3-5 tahun) yang mengalami hospitalisasi di

Indonesia adalah 35,9% dari total jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan

data tersebut, sebanyak 2,8% anak (usia 0-4 tahun), dan 1,3% anak (usia 5-

14 tahun) mengalami hopitalisasi. Menurut studi pendahuluan oleh peneliti,

jumlah anak yang mengalami hospitalisasi di RS Tentara dr.Soepraoen

Malang pada bulan Mei hingga September 2016 dengan rentang usia 1-4

tahun sebanyak 200 anak (36,1%). Hospitalisasi anak usia prasekolah di RS

dr. Soepraoen Malang banyak disebabkan oleh penyakit demam berdarah,

diare dan gastroenteritis dimana pada satu bulan terakhir terdapat 23 anak

yang mengalami hospitalisasi akibat diare dan 15 anak karena DBD.

Berdasarkan data diatas membuktikan bahwa prevalensi anak prasekolah

yang mengalami hospitalisasi cukup besar.

Proses hospitalisasi menyebabkan keadaan yang tidak

menyenangkan pada anak. Berbagai hal yang tidak menyenangkan yaitu

1
2

perpisahan orang tua, kehilangan kontrol, serta takut akan cedera tubuh dan

nyeri. (Hockenberry, Wilson & Winkelstein, 2009) Hospitalisasi yang dialami

oleh seorang anak dapat menyebabkan berbagai pengalaman yang bersifat

traumatik dan menimbulkan kecemasan. Apabila anak mengalami

kecemasan yang tinggi saat dirawat di rumah sakit, maka besar sekali

kemungkinan anak akan mengalami disfungsi perkembangan (Laili, 2006

dalam Murniasih & Andhika, 2007). Saat di rumah sakit anak diharuskan

menghadapi lingkungan yang asing berupa pemberi asuhan yang tidak

dikenal baik itu medis ataupun keperawatan dan gangguan terhadap gaya

hidup. Anak sering kali mengalami prosedur yang menyebabkan nyeri,

kehilangan kemandirian dan berbagai hal yang tidak mereka ketahui

(Murtutik & Wahyuni, 2013).

Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan gangguan emosional

berupa stres yang merupakan cara tubuh bereaksi terhadap ketegangan,

kegelisahan, rasa takut dan hal yang tidak menyenangkan (Budi & Galuh,

2009). Hal ini disebabkan oleh Lingkungan fisik rumah sakit seperti

bangunan atau ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas

rumah sakit, maupun lingkungan sosial sesama pasien anak serta sikap

petugas kesehatan itu sendiri (Yusuf & Syamsudin, 2013). Gangguan

emosional pada anak dapat terjadi akibat perpisahan dengan orangtua.

Respon terhadap perpisahan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap

protes (phase of protest), tahap putus asa (phase of despair), dan tahap

menolak (phase of denial). Pada tahap protes dan putus asa anak akan

memperlihatkan perilaku agresi (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2005).

Agresi adalah sikap yang cenderung menggunakan perwujudan

perilaku dalam cara atau interaksi yang bersifat antagonis kepada orang lain.

(Tremblay, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap


3

Badan RSUD dr. M. Ashari Kabupaten Pemalang, dengan jumlah responden

68 orang didapatkan hasil 43 orang (61,8%) menyatakan mengalami stres

emosi selama dirawat di rumah sakit, sedangkan 26 orang (32,8%)

menyatakan tidak mengalami stres emosi akibat perawatan yang dialaminya.

Stres emosi yang dialami anak saat dirawat di rumah sakit menimbulkan

reaksi tindakan agresi seperti menendang dan memukul terhadap tenaga

kesehatan (Triyanto, 2006). Hasil penelitian di Rumah Sakit Eka Bumi

Serpong Damai (BSD) tahun 2013, bahwa 10 orang anak usia pra sekolah

yang sedang di hospitalisasi melakukan tindakan penolakan saat tindakan,

seperti mendorong perawat yang akan melakukan tindakan agar menjauh.

Anak juga dapat menganiaya perawat secara verbal dengan menggunakan

kata-kata kasar, sehingga menyebabkan terhentinya prosedur yang harus

dilakukan.

Berdasarkan data dan hasil penilitian diatas peneliti menyimpulkan

keadaan hospitalisasi dapat menimbulkan berbagai macam reaksi dan salah

satunya adalah reaksi berupa sikap agresi. Sikap agresi yang biasa

ditunjukkan oleh anak usia prasekolah adalah menangis, menendang, dan

memukul saat dilakukan tindakan sehingga menyebabkan terhambatnya

proses perawatan anak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fitri (2016)

yang menyatakan respon anak saat hospitalisasi ditunjukkan dengan

berbagai cara yaitu : cara menangis (17 orang), cara menyerang (10 orang),

menjerit (15 orang), berontak (13 orang), gangguan tidur (12 orang), tidak

nafsu makan (13 orang), dan tidak kooperatif (11 orang).

Anak yang mengalami hospitalisasi membutuhkan terapi yang dapat

memberikan kenyamanan pada lingkungan baru, ketenangan dan relaksasi,

sehingga tindakan agresi terhadap orang lain yang dilakukan anak dapat

berkurang. Salah satu terapi untuk menurunkan tingkat agresi tersebut


4

adalah terapi menggunakan hewan atau biasa disebut pet therapy (Cole,

2009).

Pet Therapy adalah terapi atau intervensi psikologis dan sosial

intregratif terstruktur untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa yang

bertujuan untuk meningkatkan fungsi fisik, kognitif, prilaku, sosial dan

emosional klien (Jegatheesan et al., 2013). Terapi hewan yang biasa

digunakan dalam psikoterapi berupa hewan kecil, seperti hamster, marmut,

kelinci dan bahkan ikan. Menurut Smith (2012) terapi menggunakan hewan

dapat menurunkan perilaku kekerasan, dan mengurangi stres pada anak-

anak. Interaksi dengan hewan cenderung menurunkan tingkat kecemasan,

sehingga dapat mengurangungi onset, dan keparahan terkait dengan stres

yang dialami anak saat hospitalisasi. Hewan-hewan yang merupakan hewan

peliharaan dapat memberikan dukungan sosial dan dapat memberikan efek

mirip dengan hubungan sesama manusia. Anak dapat melakukan interaksi

dengan hewan, seperti membelai hewan dan menonton ikan di akuarium

(Allen et all., 2007). Pemberian terapi menggunakan hewan kecil seperti ikan

hias dalam akuarium memiliki kelebihan yaitu ikan hias merupakan hewan

yang memiliki tingkat membahayakan untuk lingkungan sekitar yang sangat

minimal dan dapat dilakukan di lembaga dengan pembatasan hewan seperti

rumah sakit, panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan sekolah ( Morrison,

2007).

Terapi menggunakan hewan dapat dilakukan pada semua golongan

usia termasuk anak-anak yang cenderung melakukan tindakan negatif akibat

hospitalisasi. Interaksi anak dengan hewan peliharaan tersebut dapat

membantu sekresi serotonin, prolaktin dan oksitosin, yaitu hormon hormon

yang berperan dalam perbaikan suasana hati, meningkatkan motivasi, dan

psikologis kesejahteraan. Keberadaan hewan peliharaan juga membantu


5

menurunkan tingkat stres, meningkatkan rasa nyaman, menurunkan rasa

kesepian dan kebosanan, serta memberikan relaksasi pada anak yang

mengalami hospitalisasi (Allen et al., 2007).

Berdasarkan uraian tersebut serta banyaknya prevalensi anak

dengan tindakan agresi saat hospitalisasi, peneliti tertarik untuk meneliti

tentang pengaruh terapi hewan terhadap penurunan tingkat agresi akibat

hospitalisasi pada anak usia prasekolah di Rumah Sakit Tk. II dr.Soepraoen

Malang.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh Terapi Hewan terhadap penurunan tingkat

agresi akibat hospitalisasi pada anak usia preschool di Rumah Sakit

dr.Soepraoen Malang?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan pengaruh Terapi Hewan terhadap penurunan tingkat

agresi akibat hospitalisasi pada anak usia preschool di Rumah Sakit

dr.Soepraoen Malang?

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis perbedaan tingkat agresi sebelum dan sesudah

pada kelompok kontrol di Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang

2. Menganalisis perbedaan tingkat agresi sebelum dan sesudah

pada kelompok eksperimen di Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang


6

3. Menganalisis pengaruh perlakuan terapi hewan terhadap tingkat

agresi pada anak usia prasekolah (3-5 tahun) yang mengalami

hospitalisasi di Rumah Sakit dr. Soepraoen Malang

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Praktis

1. Institusi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam

pelayanan keperawatan anak sakit, sehingga mampu meningkatkan

mutu pelayanan khususnya bagi pasien anak

2. Pengguna layanan kesehatan

Menambah kepuasan pelayana keperawatan bagi pasien

dan keluarga.

1.4.2 Manfaat Akademik

1. Bagi peneliti

Menambah wawasan bagi peneliti tentang pengaruh terapi

hewan terhadap tingkat agresi anak usia preschool (3-5 tahun) yang

mengalami hospitalisasi.

2. Bagi penelitian selanjutnya

a. Sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan untuk metodologi

penelitian yang selanjutnya

b. Sebagai gambaran informasi bagi penelti berikutnya

Anda mungkin juga menyukai