Syok Anafilaktik
Pembimbing :
Penyusun :
Nawwaf Abdullah
20190420005
Anjas Ifnu Subodro
20190420053
Fakultas Kedokteran
Surabaya
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Referat telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr.
Mohammad Soewandhie Surabaya.
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya.Penulis telah menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Syok
Anafilaktik”.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya yang dilaksanakan di RSAL Dr Ramelan Surabaya. Ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing, khususnya kepada dr.Doddy Widjanarko,
SpPD, dan kepada semua pihak terkait yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
kasus ini.
Tulisan laporan kasus ini masi jauh dari sempurna. Dengan kerendahan hati, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga tulisan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera, Om Santi Santi Om, Namo Buddhaya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................1
2.1 Definisi...............................................,....................................................................2
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................2
2.3 Etiologi....................................................................................................................2
2.4 Patofisiologi............................................................................................................3
2.8 Tatalaksana...........................................................................................................10
2.9 Komplikasi...........................................................................................................13
2.10 Prognosis.............................................................................................................13
2.11 Pencegahan.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14
iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN
Anafilaksis adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemis, berat, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut
sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, syok anafilaktik adalah
suatu kondisi yang membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat (Badan POM RI, 2014).
Angka kejadian anafilaksis di seluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal ini
dikarenakan “under-recognition” dari pasien dan paramedis serta “under-diagnosis” dari
tenaga medis profesional. Menurut The American College of Allergy, Asthma, and
Immunology Epidemiology of Anaphylaxis, insidensi terjadinya anafilaksis di dunia berkisar
antara 30 – 950 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. Di tingkat pelayanan dasar,
anafilaksis sering diartikan sebagai penyebab kematian yang tidak diketahui. Kematian oleh
karena anafilaksis sering tidak terdiagnosis dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari
saksi mata, investigasi kematian yang kurang lengkap, temuan patologi pada pemeriksaan
post-mortem yang sedikit dan kurangnya pemeriksaan laboratorium yang spesifik (Simons,
2012).
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Tanda dan gejala yang paling umum
didapatkan adalah pada kulit, antara lain urtikaria, angioderma, dan pruritus, yang dengan
cepat diikuti oleh tanda dan gejala pada sistem organ lainnya. Tantangan bagi para dokter
adalah mengenali dengan cepat tanda dan gejala anafilaksis, serta dengan cepat memberikan
terapi dengan tepat. Keterlambatan tindakan akan sangat memengaruhi mortalitas penderita
(Sedana, 2015).
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Dari tahun 1999 hingga 2009, di AS untuk anafilaksis meningkat (persentase tahunan
sekitar 2,2%), berkisar antara 0,63 - 0,76 / juta populasi (186-225 kematian per tahun) dan].
Dalam ulasan lain tentang 2458 kematiana phaphaxaxis dari tahun 1999 hingga 2010, obat-
obatan (58,8%) pemicu yang paling umu,. diikuti oleh induser yang tidak diketahui (19,3%),
racun (15,2%) dan makanan (6,7%). Kematian dikaitkan dengan usia yang lebih tua dan
faktor demografi lainnya (Simons, 2015).
Hasil dari 10 studi Eropa menunjukkan kejadian antara 1,5 hingga 7,9 per 100.000
orang per tahun dengan studi dari Inggris menunjukkan peningkatan penerimaan dengan
anafilaksis selama dua dekade terakhir. Berdasarkan tiga studi berbasis populasi Eropa,
prevalensi diperkirakan 0,3% (95% CI, 0,1-0,5). Secara keseluruhan, tingkat fatalitas kasus
untuk anafilaksis rendah, yaitu di bawah 0,001%. Beberapa faktor yang mempengaruhi
insidensi dan keparahan anafilaksis dapat dilihat pada gambar 2.1 (EAACI, 2013).
2
Gambar 2.1 Berbagai faktor yang mempengaruhi insidensi dan keparahan anafilaksis
(Simons, 2012)
2.3 Etiologi
Beberapa pencetus anafilaksis yang spesifik bersifat universal di dunia, namun ada
beberapa pencetus yang dapat menyebabkan anafilaksis di daerah tertentu. Pencetus yang
3
berupa makanan dapat berbeda-beda tergantung dari kebiasaan makan setempat, pajanan
makanan dan bagaiman mempersiapkan makanan tersebut. Di Amerika Utara dan beberapa
negara di Eropa dan Asia, makanan yang dapat mencetuskan anafilaksis adalah susu sapi,
telur ayam, kacang, kerang dan ikan (Simons, 2012).
4
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras
untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa
pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena.
Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras yang hiperosmolar. Selain itu
imunoterapi dan uji kulit (terutama uji intradermal) juga dapat berpotensial menyebabkan
anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti
masker, endotracheal tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis
(Sedana, 2015).
Anafilaksis dikategorikan idiopatik ketika tidak ada pencetus yang dapat diidentifikasi
meskipun telah dilakukan uji alergen pada kulit dan pengukuran kadar serum IgE (Sedana,
2015).
2.4 Patofisiologi
Anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1. Reaksi
tipe 1 disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah tubuh terpajan
dengan alergen. Pajanan dengan antigen akan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Imunoglobulin E (IgE) alergen spesifik.
IgE mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel Mast dan basofil yang
memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE (Fce-R1). Pada pajanan yang kedua dengan
alergen akan menimbulkan ikatan silang (cross-linking) antara antigen dan IgE spesifik yang
diikat oleh sel Mast. Ikatan ini akan menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel dan
menyebabkan penurunan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang
menimbulkan degranulasi sel Mast. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran mediator
farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel Mast dan Basofil yakni histamin, heparin,
leukotrin, ECF (Eosinophil Cemotacting Factor) dan berbagai sitokin seperti interleukin dan
TNF-α (Baratawidjaja, 2009).
5
Gambar 2.3 Patogenesis reaksi hipersensitivitas tipe 1
6
Pelepasan mediator amin vasoaktif melalui degranulasi sel Mast tersebut dapat
menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi,
serta kerusakan jaringan dan anafilaksis. Pelepasan amin vasoaktif ke dalam sirkulasi darah
dapat menyebabkan vasodilatasi luas di seluruh tubuh dan peningkatan permeabilitas
kapiler, sehingga menyebabkan kehilangan plasma dalam sirkulasi dalam jumlah yang besar.
Hal ini dapat menyebabkan pasien jatuh dalam keadaan syok yang mengancam jiwa karena
perfusi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak adekuat (Baratawidjaja, 2009; Katzung, 2001).
7
2.6 Diagnosa
Diagnosis Anafilaksis terutama didasarkan pada riwayat terjadinya alergi, termasuk
semua pajanan dan kejadian selama terjadinya episode anafilaksis, seperti olahraga, obat-
obatan yang diminum, riwayat minum etanol, infeksi akut seperti common cold, dan lain-
lain. Kunci diagnosis dari anafilaksis adalah adanya gejala dan tanda spesifik yang
mendadak dalam beberapa menit atau jam setelah terpajan suatu alergen dan diikuti dengan
gejala dan tanda yang semakin meningkat beberapa jam kemudian (Simons, 2011).
1. Terdapat onset akut penyakit (menit sampai jam) yang bermanifestasi di kulit, jaringan
mukosa atau keduanya (berupa urtikaria, gatal, kemerahan, pembengkakan pada bibir,
tonsil, uvula)
DAN SALAH SATU GEJALA BERIKUT:
A). Gangguan respirasi (dispnea, bronkospasme, stridor, PEF (Peak Expiratory Flow)
menurun, hipoksemia)
B). Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi end-organ
(hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia) ATAU
2. Dua atau lebih gejala berikut yang terjadi dalam beberapa menit sampai jam setelah
pajanan alergen tertentu (likely allergen)
A). Melibatkan mukosa dan kulit (urtikaria, gatal, kemerahan, pembengkakan pada bibir,
tonsil, uvula)
B). Gangguan respirasi (dispnea, bronkospasme, stridor, PEF (Peak Expiratory Flow)
menurun, hipoksemia)
C). Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi end-organ
(hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia)
D). Gejala gastrointestinal yang menetap (nyeri perut, muntah) ATAU
3. Adanya penurunan tekanan darah yang terjadi dalam beberapa menit sampai jam setelah
terpajan alergen yang diketahui (known allergen)
A). Bayi dan Anak : penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 30% atau tekanan darah
sistolik yang rendah menurut usia
8
B). Dewasa : Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan sistolik lebih
30%
Beberapa keadaan yang menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi anafilaksis yaitu
reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik atau angiodema
herediter (Sedana, 2015).
1. Reakasi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau
pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada reaksi
9
vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun,
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis.
2. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak nampak tanda-tanda
obstruksi saluran nafas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi dan
enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard akut.
3. Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian oabt antidiabetes atau obat lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
turun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran nafas maupun kelainan kulit.
Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi
hipoglikemik.
4. Pada reaksi histerik tidak dijumpai tanda-tanda gagal nafas, hipotensi ataupun sianosis.
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital
dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik.
Sering pasien mengeluh paraestesia.
5. Sindroma angioderma neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang menyeruapi
anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angiodema saluran nafas bagian atas dan sering
dijumpai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps vaskuler. Adanya
riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai penurunan inhibitor CI esterase
mendukung adanya sindroma angiodema neurotik herediter.
6. Sindroma karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindroma ini ditandai dengan
adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus dan rasa panas di sekitar kulit. Tetapi
tidak dijumpai adanya urtikaria atau angiodema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
serotonin darah meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi indol asam asetat dalam
urin meninggi.
2.8 Tatalaksana
10
kausal. Berikut adalah pendekatan sistematis dalam tatalaksana anafilaksis menurut WOA,
2011 :
11
Gambar 2.6 Tatalaksana dasar Anafilaksis (Simons, 2011)
12
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain reaksi bifasik (berulang), syok ireversibel
(anafilaksis protracted), kegagalan multi organ, dan koagulasi intravaskular diseminata
(Sedana, 2015).
2.10 Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan keadaan kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi (Sedana, 2015).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakitkardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit,obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu darimulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin (Sedana, 2015).
2.9 Pencegahan
Penderita didiagnosa sebagai anafiilaksis yang dicetuskan oleh latihan fisik, maka
penderita dianjurkan untuk membatasi dan menghentikan latihan bila timbul gejala
prodromal (Sedana, 2015).
13
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI.2014. Buletin Berita MESO. Volume 32, No.2 , November 2014
Baratawidjaja, Karnen G. dan Rengganis, Iris. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI
EAACI.2013. European Academy of Allergy and Clinical Immunology Short title: EAACI
Anaphylaxis Guidelines Journal.
Katzung G,Bertram. 2001. Farmakologi Dasar Dan klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC
Sedana, Made Putra. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya. Airlangga University
Press. 378-380
Simons, Estelle. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal
Simons, Estelle. 2012. 2012 Update World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal
Simons, Estelle. 2015. 2015 update of the evidance base: World Allergy Organization
Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization
Journal
14