Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

Ilmu Penyakit Dalam

Syok Anafilaktik

Pembimbing :

dr. Doddy Widjanarko, SpPD

Penyusun :
Nawwaf Abdullah
20190420005
Anjas Ifnu Subodro
20190420053

Fakultas Kedokteran

Universitas Hang Tuah

Surabaya

2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Referat telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr.
Mohammad Soewandhie Surabaya.

Surabaya, 12 Agustus 2019

Pembimbing

dr. Doddy Widjanarko, SpPD

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb., Salam Sejahtera, Om Santi Santi Om, Namo Buddhaya.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya.Penulis telah menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Syok
Anafilaktik”.

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya yang dilaksanakan di RSAL Dr Ramelan Surabaya. Ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing, khususnya kepada dr.Doddy Widjanarko,
SpPD, dan kepada semua pihak terkait yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
kasus ini.

Tulisan laporan kasus ini masi jauh dari sempurna. Dengan kerendahan hati, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga tulisan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera, Om Santi Santi Om, Namo Buddhaya.

Surabaya,12 Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................2

2.1 Definisi...............................................,....................................................................2

2.2 Epidemiologi..........................................................................................................2

2.3 Etiologi....................................................................................................................2

2.4 Patofisiologi............................................................................................................3

2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................................7

2.6 Diagnosi .................................................................................................................8

2.7 Diagnosi Banding...................................................................................................9

2.8 Tatalaksana...........................................................................................................10

2.9 Komplikasi...........................................................................................................13

2.10 Prognosis.............................................................................................................13

2.11 Pencegahan.........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN

Anafilaksis adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemis, berat, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut
sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, syok anafilaktik adalah
suatu kondisi yang membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat (Badan POM RI, 2014).

Angka kejadian anafilaksis di seluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal ini
dikarenakan “under-recognition” dari pasien dan paramedis serta “under-diagnosis” dari
tenaga medis profesional. Menurut The American College of Allergy, Asthma, and
Immunology Epidemiology of Anaphylaxis, insidensi terjadinya anafilaksis di dunia berkisar
antara 30 – 950 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. Di tingkat pelayanan dasar,
anafilaksis sering diartikan sebagai penyebab kematian yang tidak diketahui. Kematian oleh
karena anafilaksis sering tidak terdiagnosis dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari
saksi mata, investigasi kematian yang kurang lengkap, temuan patologi pada pemeriksaan
post-mortem yang sedikit dan kurangnya pemeriksaan laboratorium yang spesifik (Simons,
2012).

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Tanda dan gejala yang paling umum
didapatkan adalah pada kulit, antara lain urtikaria, angioderma, dan pruritus, yang dengan
cepat diikuti oleh tanda dan gejala pada sistem organ lainnya. Tantangan bagi para dokter
adalah mengenali dengan cepat tanda dan gejala anafilaksis, serta dengan cepat memberikan
terapi dengan tepat. Keterlambatan tindakan akan sangat memengaruhi mortalitas penderita
(Sedana, 2015).

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam jiwa dan


menimbulkan gejala sistemik/generalisata.Ditandai dengan onset yang cepat dengan jalan
napas, pernapasan, atau masalah sirkulasi yang mengancam jiwa; biasanya, tetapi tidak
selalu, terkait dengan perubahan kulit dan mukosa. Reaksi ini dapat terjadi melalui
mekanisme imunologis (baik IgE dependent maupun IgE independent) atau anafilaksis yang
melibatkan mekanisme lain (Sedana, 2015:EAACI, 2013).

2.2 Epidemiologi
Dari tahun 1999 hingga 2009, di AS untuk anafilaksis meningkat (persentase tahunan
sekitar 2,2%), berkisar antara 0,63 - 0,76 / juta populasi (186-225 kematian per tahun) dan].
Dalam ulasan lain tentang 2458 kematiana phaphaxaxis dari tahun 1999 hingga 2010, obat-
obatan (58,8%) pemicu yang paling umu,. diikuti oleh induser yang tidak diketahui (19,3%),
racun (15,2%) dan makanan (6,7%). Kematian dikaitkan dengan usia yang lebih tua dan
faktor demografi lainnya (Simons, 2015).

Hasil dari 10 studi Eropa menunjukkan kejadian antara 1,5 hingga 7,9 per 100.000
orang per tahun dengan studi dari Inggris menunjukkan peningkatan penerimaan dengan
anafilaksis selama dua dekade terakhir. Berdasarkan tiga studi berbasis populasi Eropa,
prevalensi diperkirakan 0,3% (95% CI, 0,1-0,5). Secara keseluruhan, tingkat fatalitas kasus
untuk anafilaksis rendah, yaitu di bawah 0,001%. Beberapa faktor yang mempengaruhi
insidensi dan keparahan anafilaksis dapat dilihat pada gambar 2.1 (EAACI, 2013).

2
Gambar 2.1 Berbagai faktor yang mempengaruhi insidensi dan keparahan anafilaksis
(Simons, 2012)

2.3 Etiologi

Anafilaksis dapat dicetuskan oleh berbagai hal. Makanan merupakan pencetus


anafilaksis yang paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa muda. Sedangkan
obat-obatan dan gigitan serangga merupakan pencetus terjadinya anafilaksis pada dewasa
sedang dan orang tua. Anafilaksis idiopatik juga sering terjadi pada dewaasa muda dan
orang dewasa (Simons, 2011).

Beberapa pencetus anafilaksis yang spesifik bersifat universal di dunia, namun ada
beberapa pencetus yang dapat menyebabkan anafilaksis di daerah tertentu. Pencetus yang

3
berupa makanan dapat berbeda-beda tergantung dari kebiasaan makan setempat, pajanan
makanan dan bagaiman mempersiapkan makanan tersebut. Di Amerika Utara dan beberapa
negara di Eropa dan Asia, makanan yang dapat mencetuskan anafilaksis adalah susu sapi,
telur ayam, kacang, kerang dan ikan (Simons, 2012).

Obat-obatan seperti antimikroba, antivirus dan antijamur merupakan pencetus umum


terjadinya anafilaksis hampir di seluruh dunia namun bervariasi pula di beberapa negara.
Sebagai contoh, penisilin yang diberikan secara intramuskular merupakan pencetus
anafilaksis di negara yang menggunakannya untuk demam rheuma. Obat anti tuberkulosis
(OAT) juga sering menjadi penyebab anafilaksis di beberapa negara. Anafilaksis dapat
dicetuskan oleh agen kemoterapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis
seperti antibodi monoklonal. Selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal
(Simons, 2012).

Gambar 2.2 Berbagai faktor pencetus dan mekanismenya (Simons, 2012)

4
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras
untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa
pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena.
Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras yang hiperosmolar. Selain itu
imunoterapi dan uji kulit (terutama uji intradermal) juga dapat berpotensial menyebabkan
anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti
masker, endotracheal tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis
(Sedana, 2015).

Anafilaksis dikategorikan idiopatik ketika tidak ada pencetus yang dapat diidentifikasi
meskipun telah dilakukan uji alergen pada kulit dan pengukuran kadar serum IgE (Sedana,
2015).

2.4 Patofisiologi
Anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1. Reaksi
tipe 1 disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah tubuh terpajan
dengan alergen. Pajanan dengan antigen akan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Imunoglobulin E (IgE) alergen spesifik.
IgE mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel Mast dan basofil yang
memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE (Fce-R1). Pada pajanan yang kedua dengan
alergen akan menimbulkan ikatan silang (cross-linking) antara antigen dan IgE spesifik yang
diikat oleh sel Mast. Ikatan ini akan menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel dan
menyebabkan penurunan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang
menimbulkan degranulasi sel Mast. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran mediator
farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel Mast dan Basofil yakni histamin, heparin,
leukotrin, ECF (Eosinophil Cemotacting Factor) dan berbagai sitokin seperti interleukin dan
TNF-α (Baratawidjaja, 2009).

5
Gambar 2.3 Patogenesis reaksi hipersensitivitas tipe 1

Selain melalui mekanisme imunologi, anafilaksis dapat terjadi melalui mekanisme


non imunologis yakni dengan aktivasi langsung dari sel mast (Gambar 2.3). Sel Mast dapat
diaktifkan dan melepas mediator atas pengaruh PAF (Platelet Activating Factor), C3a, C5a,
PGF2α fosfolipase, kimotripsin dan sengatan serangga. Bahan seperti adrenalin, β-stimultan,
PGE1, PGE2 dan ketoifen menghambat degranulasi, sedangkan berbagai faktor non imun
seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan
menyebabkan degranualsi sel Mast (Gambar 2.4) (Baratawidjaja, 2009).

Gambar 2.4 Faktor yang memacu degranulasi sel mast

6
Pelepasan mediator amin vasoaktif melalui degranulasi sel Mast tersebut dapat
menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi,
serta kerusakan jaringan dan anafilaksis. Pelepasan amin vasoaktif ke dalam sirkulasi darah
dapat menyebabkan vasodilatasi luas di seluruh tubuh dan peningkatan permeabilitas
kapiler, sehingga menyebabkan kehilangan plasma dalam sirkulasi dalam jumlah yang besar.
Hal ini dapat menyebabkan pasien jatuh dalam keadaan syok yang mengancam jiwa karena
perfusi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak adekuat (Baratawidjaja, 2009; Katzung, 2001).

2.5 Manifestasi klinis

1) Gejala dan tanda pada kulit


Rasa panas dan kesemutan pada kulit gejala awal yang timbul diikuti dengan
kemerahan pada kulit (flushing), pruritus, urtikaria, dengan atau tanpa angioderma
2) Sistem Respirasi
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat, rhinorea
b. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak nafas, stridor, edema, spasme
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme,takipneu
3) Sistem Kardiovaskuler
a. Chest pain
b. Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia
c. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard
4) Sistem Gastro Intestinal
Nyeri abdomen, mual muntah atau diare. Kadang dijumpai perdarahan rektal yang
terjadi akibat iskemia atau infark usus
5) Sistem Integumen, Mata, SSP
Mata : Gatal, lakrimasi, edema periorbital, eritema pada konjungtiva

SSP : disorientasi, pingsan, kejang, gelisah (Sedana, 2015).

7
2.6 Diagnosa
Diagnosis Anafilaksis terutama didasarkan pada riwayat terjadinya alergi, termasuk
semua pajanan dan kejadian selama terjadinya episode anafilaksis, seperti olahraga, obat-
obatan yang diminum, riwayat minum etanol, infeksi akut seperti common cold, dan lain-
lain. Kunci diagnosis dari anafilaksis adalah adanya gejala dan tanda spesifik yang
mendadak dalam beberapa menit atau jam setelah terpajan suatu alergen dan diikuti dengan
gejala dan tanda yang semakin meningkat beberapa jam kemudian (Simons, 2011).

Kriteria diagnosis Anafilaksis menurut WAO 2011 (World Allergy Organization)


adalah :

1. Terdapat onset akut penyakit (menit sampai jam) yang bermanifestasi di kulit, jaringan
mukosa atau keduanya (berupa urtikaria, gatal, kemerahan, pembengkakan pada bibir,
tonsil, uvula)
DAN SALAH SATU GEJALA BERIKUT:

A). Gangguan respirasi (dispnea, bronkospasme, stridor, PEF (Peak Expiratory Flow)
menurun, hipoksemia)
B). Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi end-organ
(hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia) ATAU
2. Dua atau lebih gejala berikut yang terjadi dalam beberapa menit sampai jam setelah
pajanan alergen tertentu (likely allergen)
A). Melibatkan mukosa dan kulit (urtikaria, gatal, kemerahan, pembengkakan pada bibir,
tonsil, uvula)
B). Gangguan respirasi (dispnea, bronkospasme, stridor, PEF (Peak Expiratory Flow)
menurun, hipoksemia)
C). Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi end-organ
(hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia)
D). Gejala gastrointestinal yang menetap (nyeri perut, muntah) ATAU
3. Adanya penurunan tekanan darah yang terjadi dalam beberapa menit sampai jam setelah
terpajan alergen yang diketahui (known allergen)
A). Bayi dan Anak : penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 30% atau tekanan darah
sistolik yang rendah menurut usia

8
B). Dewasa : Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan sistolik lebih
30%

2.7 Diagnosis banding

Beberapa keadaan yang menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi anafilaksis yaitu
reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik atau angiodema
herediter (Sedana, 2015).

1. Reakasi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau
pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada reaksi

9
vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun,
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis.
2. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak nampak tanda-tanda
obstruksi saluran nafas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi dan
enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard akut.
3. Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian oabt antidiabetes atau obat lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
turun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran nafas maupun kelainan kulit.
Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi
hipoglikemik.
4. Pada reaksi histerik tidak dijumpai tanda-tanda gagal nafas, hipotensi ataupun sianosis.
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital
dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik.
Sering pasien mengeluh paraestesia.
5. Sindroma angioderma neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang menyeruapi
anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angiodema saluran nafas bagian atas dan sering
dijumpai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps vaskuler. Adanya
riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai penurunan inhibitor CI esterase
mendukung adanya sindroma angiodema neurotik herediter.
6. Sindroma karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindroma ini ditandai dengan
adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus dan rasa panas di sekitar kulit. Tetapi
tidak dijumpai adanya urtikaria atau angiodema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
serotonin darah meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi indol asam asetat dalam
urin meninggi.

2.8 Tatalaksana

Anafilaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang medis. Pendekatan yang


sistematis dalam menangani anafilaksis sangatlah penting. Penanggulangan syok dimulai
dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki
oksigenasi tubuh, dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada
penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan

10
kausal. Berikut adalah pendekatan sistematis dalam tatalaksana anafilaksis menurut WOA,
2011 :

1. Menilai kondisi pasien dengan cepat


2. Jika memungkinkan, menyingkirkan pajanan alergen dari tubuh pasien (melepas IV line
dari obat yang dimasukkan, menghentikan injeksi obat)
3. Menilai Airway, Breathing, Circulation, Status Kesadaran, kondisi kulit dan
mengestimasi berat badan pasien
4. Memanggil bantuan
5. Secara simultan, melakukan injeksi epinefrin 1:1000 secara intramuskular pada paha
bagian mid-anterolateral dengan dosis 0,01 mg/kgBB. (maksimum dosis dewasa 0,5 mg,
anak 0,3 mg). Catat waktu injeksi dan jika perlu bisa diulang dalam 5 – 15 menit.
Kebanyakan pasien dapat merespon dengan pemberian 1 – 2 dosis.
6. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan lakukan elevasi pada tungkai bawah
7. Jika ada indikasi :
 beri oksigen 6-8 lpm dengan masker / oropharingeal tube
 resusitasi cairan guyur NaCl 0,9% 1 – 2 liter
 lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi, respiratory rate
dan oksigenasi pasien.

11
Gambar 2.6 Tatalaksana dasar Anafilaksis (Simons, 2011)
12
2.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain reaksi bifasik (berulang), syok ireversibel
(anafilaksis protracted), kegagalan multi organ, dan koagulasi intravaskular diseminata
(Sedana, 2015).

2.10 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan keadaan kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi (Sedana, 2015).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakitkardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit,obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu darimulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin (Sedana, 2015).

2.9 Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik


terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis.
Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik (Sedana, 2015).

Pengobatan penyakit penyerta seperti asma atau kardiovaskular secara optimal,


menghindarai sebisa mungkin penggunaan obat penyekat β nonspesifik dan penghambat
ACE karena obat tersebut dapat memperparah eposede anafilaksis, serta penyekat β dapat
menggangu terapi epinefrin dan β-agonist (Sedana, 2015).

Penderita didiagnosa sebagai anafiilaksis yang dicetuskan oleh latihan fisik, maka
penderita dianjurkan untuk membatasi dan menghentikan latihan bila timbul gejala
prodromal (Sedana, 2015).

13
DAFTAR PUSTAKA

Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA). 2015. ASCIA


Information For Patient, Consumers and Carers. Australia

Badan POM RI.2014. Buletin Berita MESO. Volume 32, No.2 , November 2014

Baratawidjaja, Karnen G. dan Rengganis, Iris. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI

EAACI.2013. European Academy of Allergy and Clinical Immunology Short title: EAACI
Anaphylaxis Guidelines Journal.

Katzung G,Bertram. 2001. Farmakologi Dasar Dan klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC

Sedana, Made Putra. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya. Airlangga University
Press. 378-380

Simons, Estelle. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal

Simons, Estelle. 2012. 2012 Update World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal

Simons, Estelle. 2014.Emergency departerment diagnosis and treatment of anaphylaxis: a


practice parameter. World Allergy Organization Journal

Simons, Estelle. 2015. 2015 update of the evidance base: World Allergy Organization
Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization
Journal

14

Anda mungkin juga menyukai