Anda di halaman 1dari 24

FRAKTUR SUPRAKONDILAR -INTERKONDILAR

FEMUR

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:

Radiyan Meidhiyanto

22010116210048

Pembimbing:

dr. Kamal Adib, Sp.OT, MKes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Judul referat : Fraktur Suprakondilar-Interkondilar Femur

Pembimbing : dr. Kamal Adib, Sp. OT, MKes

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro

Semarang, 18 Desember 2017

Pembimbing,

dr. Kamal Adib, Sp. OT, MKes


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri berdampak pada peningkatan
mobilitas masyarakat. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kejadian kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia setelah penyakit jantung
dan stroke. Setiap tahun sekitar 60 juta penduduk Amerika Serikat mengalami trauma dan 50%
diantaranya memerlukan tindakan medis, dimana 3,6 juta (12 %) diantaranya membutuhkan
perawatan di Rumah Sakit. Diantara pasien fraktur tersebut terdapat 300 ribu orang menderita
kecacatan yang bersifat menetap sebesar 1% sedangkan 30% mengalami kecacatan sementara. 1
Tulang manusia memiliki fungsi penting yang lebih dari sekedar jaringan pembentuk tubuh
manusia. Secara garis besar tulang memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi mekanik, fungsi
sintetik, dan fungsi metabolik. Fungsi mekanik yaitu fungsi tulang sebagai protektor bagi organ
di dalam tubuh, membentuk struktur tubuh manusia, sebagai anggota gerak bersama dengan
ligamen, tendon, dan otot yang memungkinkan tubuh untuk dapat bergerak, dan juga berfungsi
sebagai konduksi getaran suara sehingga memungkinkan manusia untuk dapat mendengarkan
suara. Fungsi sintetik yaitu fungsi tulang sebagai pusat produksi sel darah, dalam hal ini adalah
sumsum tulang yang berada di cavitas sentral di dalam tulang yang berfungsi penting
menghasilkan sel darah merah dan sel darah putih. Fungsi metabolik adalah fungsi di mana
tulang menjadi tempat penyimpanan mineral, kalsium dan fosfor serta lemak (asam lemak) yang
tersimpan di sumsum tulang (yellow bone marrow) menjadi cadangan mineral dan energi ketika
dibutuhkan, selain itu tulang berperan penting dalam keseimbangan asam basa dengan
kemampuannya melepaskan dan mengasorbsi garam alkalin yang turut membantu
menyeimbangkan keseimbangan pH dalam tubuh. Fungsi-fungsi tulang tersebut dapat terganggu
dengan adanya kejadian trauma yang menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan tulang.1
Trauma jaringan tulang dan otot seringkali ditemukan pada 85% penderita trauma tumpul.
Trauma pada jaringan tulang yang berat menunjukkan adanya gaya besar yang mengenai tubuh.
Trauma jaringan tulang dan otot harus diperiksa dan ditangani secara tepat dan memadai agar
tidak membahayakan nyawa dan anggota gerak. 2
Kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur
humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab terbesar fraktur femur adalah
kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh kecelekaan mobil, motor, atau kendaraan
rekreasi (62,6%) dan jatuh dari ketinggian (37,3%).3 Fraktur femur adalah terputusnya
kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Femur merupakan
tulang terkeras dan terpanjang pada tubuh, oleh karena itu butuh kekuatan benturan yang besar
untuk menyebabkan fraktur pada femur. Insiden fraktur femur sebesar 1-2 kejadian pada per
10.000 jiwa penduduk setiap tahunnya. Kebanyakan penderita berusia produktif antara 25 – 65
tahun, laki-laki lebih banyak menderita terutama pada usia 30 tahun. Penyebab fraktur sangat
bervariasi, baik akibat kecelakaan ketika mengendarai mobil, sepeda motor, dan kecelakaan
ketika rekreasi.1,2
Lokasi Fraktur femur dibagi secara garis besar menjadi 3 yaitu proksimal (18.8%), tengah
(58.1%) dan Distal (23.1%) dimana dapat menyebabkan pasien jatuh ke dalam syok. Oleh
karena itu insidensi fraktur femur suprakondilar – interkondilar (distal) harus segera ditangani
sebagai suatu kegawat daruratan. Berdasarkan latar belakang diatas dan melihat besarnya
komplikasi yang ditimbulkan fraktur femur suprakondilar- interkondilar, maka penulis tertarik
untuk membuat suatu literatur khusus yang membahas mengenai Fraktur femur suprakondilar-
interkondilar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi femur3

Femur merupakan tulang terpanjang dan terkeras yang ada pada tubuh dan
dikelompokkan ke dalam ekstremitas bagian bawah. Di sebelah atas, femur bersendi dengan
acetabulum untuk membentuk articulatio coxae dan di bawah dengan tibia dan patella untuk
membentuk articulatio genus. Ujung atas femur memiliki caput, collum, trochanter major, dan
trochanter minor.

Gambar 1 Anatomi Femur

Caput membentuk dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae.
Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yang berguna sebagai tempat
melekatnya ligamentun capitis femoris. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dari arteri
obturatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis.
Collum yang menghubungkan caput dengan corpus berjalan ke bawah, belakang, dan
lateral serta membentuk sudut 125° dan lebuh kecil pada perempuan dengan sumbu panjang
corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah karena adanya penyakit.

Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan yang besar pada taut antara collum dan
corpus. Linea intertrocanterica menghubungkan kedua trocanter ini di bagian anterior, tempat
melekatnya ligamentum iliofemorale dan di bagian posterior oleh crista intertrochanterica yang
menonjol, pada crista ini terdapat tuberculum quadratum.

Corpus femoris permukaan anteriornya lebih licin dan bulat, sedangkan permukaan
posterior mempunyai rigi yang disebut linea asoera. Pada linea ini melekat otot-otot dan septa
intermuskularis. Garis tepi linea melebar ke atas dan ke bawah. Tepi medial berlanjut ke distal
sebagai crista supracondylaris medialis yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus
medial. Tepi lateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada
permukaan posterior corpus, tepatnya dibawah trochanter major terdapat tuberositas glutea
sebagai tempat melekatnya musculus gluteus maximus. Corpus melebar kearah ujung distalnya
dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya yang disebut facies poplitea.

Ujung bawah femur memiliki condyli medialis dan lateralis yang bagian posteriornya
dipisahkan oleh insisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus ikut serta dalam
pembentukan articulatio genus. Diatas condyli terdapat epicondylus lateralis dan medialis.
Tuberkulum adductorum dilanjytkan oleh epicondylus medialis.

Ruang fascia anterior tungkai atas diisi oleh musculus sartorius, muskulus iliacus,
musculus psoas, musculus pectineus dan musculus cuadriceps femoris. Dipersarafi oleh nervus
femoralis ruang anterior facia tungkai atas dialiri pembuluh darah arteri femoralis. Ruang fascia
medial tungkai atas diisi oleh musculus gracilis, musculus adductor longus, musculus adductor
magnus, musculus obturatorius externus dengan dipersarafi oleh nervus obturatorius ruang
fascial medial diperdarahi oleh arteri profunda femoris dan arteri obturatoria. Ruang fascia
posterior tungkai atas diisi oleh musculus biceps femoris, msculus semitendinosus, musculus
semimembranosus, dan sebagian kecil musculus adductor magnus (otot-otot hamstring)/
dipersarafi oleh nervus ischiadicus ruang fascia posterior tungkai atas diperdarahi oleh cabang-
cabang arteri profunda femoris.
2.2 Definisi Fraktur femur

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan
sesuai dengan jenis dan luasnya yang biasanya disebabkan oleh rudapaksa atau tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.5
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur, kondisi fisik
tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah harus diketahui terlebih
dahulu. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan
memuntir (shearing).5
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan membengkok,
memutar dan tarikan akibat trauma yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan
sedangkan trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan extensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.5
Tekanan pada tulang dapat berupa: (1) tekanan berputar yang dapat menyebabkan fraktur
bersifat spiral atau oblik, (2) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, (3)
tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur
dislokasi, (4) kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya
pada vertebra, (5) trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z, (6) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo
akan menarik sebagian tulang.6

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki-laki dewasa. Femur merupakan tulang terkeras dan terpanjang pada tubuh, oleh
karena itu butuh kekuatan benturan yang besar untuk menyebabkan fraktur pada femur 2. Patah
pada daerah ini dapat disertai perdarahan hebat karena femur dialiri oleh arteri besar (arteri
femoralis). Pemeriksaan tanda-tanda perdarahan wajib dilakukan pada fraktur tertutup (perabaan
pulsasi arteri)9. Pada fraktur terbuka, bebat tekan merupakan pilihan utama untuk membantu
mengurangi perdarahan. Perdarahan yang cukup banyak dapat mengakibatkan penderita jatuh ke
dalam syok.
2.3 Etiologi

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur, kondisi


fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah harus diketahui terlebih
dahulu. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan
memuntir (shearing).5
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan membengkok,
memutar dan tarikan akibat trauma yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan
sedangkan trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan extensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.5
Tekanan pada tulang dapat berupa: (1) tekanan berputar yang dapat menyebabkan fraktur
bersifat spiral atau oblik, (2) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, (3)
tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur
dislokasi, (4) kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya
pada vertebra, (5) trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z, (6) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo
akan menarik sebagian tulang.6

Berdasarkan penyebab terjadinya fraktur femur, dapat dibedakan menjadi tiga


berdasarkan besar energi penyebab trauma6, yaitu:
a. High energy trauma atau trauma karena energi yang cukup besar, jenis
kecelakaan yang menyebabkan terjadinya fraktur jenis ini antara lain adalah
trauma kecelakaan bermotor (kecelakaan sepeda motor, kecelakaan mobil,
pesawat jatuh, dsb); olahraga—terutama yang olahraga yang berkaitan dengan
kecepatan seperti misalnya: ski, sepeda balap, naik gunung; jatuh, jatuh dari
tempat tinggi; serta luka tembak.7
b. Low energy trauma atau trauma karena energi yang lemah, karena struktur femur
adalah struktur yang cukup kuat, ada kecenderungan trauma karena energi yang
lemah lebih disebabkan karena tulang kehilangan kekuatannya terutama pada
orang-orang yang mengalami penurunan densitas tulang karena osteoporosis;
penderita kanker metastasis tulang dan orang yang mengkonsumsi kortikosteroid
jangka panjang juga beresiko tinggi mengalami fraktur femur karena kekuatan
tulang akan berkurang. 7
c. Stress fracture atau fraktur karena tekanan, penyebab ketiga dari fraktur femur
adalah tekanan atau trauma yang berulang. Trauma jenis ini mengakibatkan jenis
fraktur yang berbeda karena biasanya terjadi secara bertahap. Trauma tekanan
berulang mengakibatkan kerusakan internal dari struktur arsitektur tulang. Fraktur
jenis ini seringkali terjadi pada atlet atau pada militer yang menjalani pelatihan
yang berat. Fraktur jenis ini biasanya mempengaruhi area corpus femoris.7

2.4 Klasifikasi dan gejala klinis

Secara umum, klasifikasi fraktur dibagi menjadi: 2, 5

1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar.

- Fraktur tertutup

Fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

- Fraktur terbuka

Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak. Menurut Gustilo, derajat fraktur terbuka adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Derajat fraktur terbuka 2,5

Derajat Luka Kerusakan Jaringan Fraktur

I Luka akibat Sedikit kerusakan Fraktur simpel,


tusukan fragmen jaringan, tidak terdapat transversal, oblik
tulang, bersih, tanda trauma yang hebat pendek atau sedikit
ukuran < 1 cm kominutif

II Luka > 1 cm, Kerusakan jaringan Dislokasi fragmen


sedikit sedang, tidak ada avulsi tulang jelas
terkontaminasi kulit

III Luka lebar, rusak Kerusakan jaringan hebat Kominutif,


hebat, kontaminasi termasuk otot, kulit, dan segmental, fragmen
hebat struktur neurovaskuler tulang ada yang
hilang

IIIa Luka lebar dan Jaringan lunak cukup Kominutif atau


rusak hebat menutup tulang yang segmental yang
patah hebat

IIIb Luka lebar dan Kerusakan hebat dan Kominutif yang


rusak hebat, kehilangan jaringan, hebat
kontaminasi hebat terdapat pendorongan
periosteum, tulang
terbuka

IIIc Luka lebar dan Kerusakan arteri yang Kuminutif yang


rusak hebat, memerlukan perbaikan hebat
kontaminasi hebat tanpa memperhatikan
tingkat kerusakan
jaringan lunak

- Fraktur dengan komplikasi


Fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union, nonunion dan
infeksi tulang.

2. Menurut etiologis

- Fraktur traumatik

Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.

- Fraktur patologis

Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis pada tulang
maupun di luar tulang, misalnya tumor, infeksi atau osteoporosis.
- Fraktur stres

Terjadi karena beban lama atau trauma ringan yang terus-menerus pada suatu tempat
tertentu, misalnya fraktur pada tulang tibia atau metatarsal pada tentara atau
olehragawan yang sering berlari atau baris-berbaris.

3. Menurut gambaran radiologis

Klasifikasi ini berdasarkan atas:

- Lokalisasi

a. Diafisial

b. Metafisial

c. Intraartikuler

d. Fraktur dengan dislokasi

- Konfigurasi

a. Fraktur transversal

b. Fraktur oblik

c. Fraktur spiral

d. Fraktur Z

e. Fraktur segmental

f. Fraktur kominutif

j. Fraktur impaksi

k. Fraktur pecah (burst)

l. Fraktur epifisis

- Ekstensi

a. Fraktur komplit

Apabila garis patah yang melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.
b. Fraktur inkomplit

Apabila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti buckle fracture,
hairline fracture, dan green stick fracture.

- Hubungan antar fragmen tulang

a. Tidak bergeser (undisplaced)

b. Bergeser (displaced), dapat terjadi dalam 6 cara yaitu; bersampingan, angulasi,


rotasi, distraksi, impaksi dan over riding.

Manifestasi klinis fraktur femur secara umum adalah sebagai berikut :

a) Nyeri
b) Ketidak mampuan untuk menggerakkan kaki
c) Deformitas
d) Bengkak

Dampak dari fraktur femur menyebabkan adanya gangguan pada aktivitas individu dimana
rata-rata individu tidak bekerja atau tidak sekolah selama 30 hari, dan mengalami keterbatasan
aktivitas selama 107 hari.

Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai ke distal tulang. Berdasarkan letak
patahannya, fraktur femur dekategorikan sebagai2:

a. Fraktur leher femur


b. Fraktur trokanterik
c. Fraktur subtrokanterik
d. Fraktur diafisis
e. Fraktur suprakondiler
f. Fraktur kondiler
Gambar 2 Anatomi Lokasi Fraktur Femur

2.5 Fraktur suprakondiler femur dan fraktur interkondiler

Fraktur Suprakondiler femur sering bersama-sama dengan fraktur interkondiler yang


memberikan masalah pengelolaan yang lebih kompleks Penyebab tersering adalah trauma energi
tinggi pada dewasa muda, atau pada pasien dengan osteoporosis pada pasien berumur tua.

Manifestasi klinis yang sering terjadi pada fraktur suprakondiler-interkondiler adalah:

 Bengkak pada lutut


 Nyeri saat gerak lutut
 Hilangnya pulsasi arteri tibialis

Fraktur suprakondiler dan interkondiler sendiri memiliki beberapa klasifikasi

1. Menurut Neer, Grantham, Shelton (1967)


- Tipe I : Fraktur suprakondiler dan kondiler bentuk T
- Tipe IIA : Fraktur suprakondiler dan kondiler dengan sebagian metafisis (bentuk Y)
- Tipe IIB : Sama seperti IIA tetapi bagian metafisis lebih kecil
- Tipe III : Fraktur suprakondiler komunitif dengan fraktur kondiler yang tidak total
Gambar 3 Klasifikasi Fraktur Suprakondiler dan Interkondiler Femur(Neer, granthamand
shelton)

2. Klasifikasi menurut Seinsheimer (1980)13


Tipe Deskripsi Keterangan
I Nondisplaced
IIA 2 bagian, melibatkan sendi Pada pasien osteoporosis
patellofemoral
IIB Kominutif, melibatkan Pada pasien osteoporosis
permukaan sendi
patellofemoral
IIIA Epicondilus medial, meluas Melibatkan sendi
hingga interkondilar patellofemoral, tapi tidak
melibatkan femorotibial
IIIB Epicondilus lateral, meluas Melibatkan sendi
hingga interkondilar patellofemoral, tapi tidak
melibatkan femorotibial
IIIC Mengenai kedual epikondilus Melibatkan sendi
hingga interkondiler patellofemoral, tapi tidak
melibatkan femorotibial
IVA Epikondilus medial hingga
sendi femorotibial
IVB Epikondilus lateral hingga
sendi femorotibial
IVC Fraktur kompleks Kominutif, dengan berbagai
kombinasi
Gambar 4 Klasifikasi menurut Seinsheimer
3. Klasifikasi menurut Muller (1990)
2.6 Penatalaksanaan

Sebelum melakukan penanganan pada suatu fraktur, perlu dilakukan pertolongan pertama
pada penderita seperti pembebasan jalan nafas, penilaian ventilasi, menutup luka dengan verban
steril, penghentian perdarahan dengan balut tekan dan imobilisasi fraktur sebelum diangkut
dengan ambulans. Penderita dengan fraktur multipel biasanya datang dengan syok sehingga
diperlukan resusitasi cairan dan transfusi darah serta pemberian obat anti nyeri.2,9

Penanganan fraktur mengikuti prinsip umum pengobatan kedokteran yaitu jangan membuat
keadaan lebih jelek, pengobatan didasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat, seleksi
pengobatan dengan tujuan khusus seperti menghilangkan nyeri, memperoleh posisi yang baik
dari fragmen, mengusahakan terjadinya penyambungan tulang dan mengembalikan fungsi secara
optimal, mengingat hukum penyembuhan secara alami, bersifat realistik dan praktis dalam
memilih jenis pengobatan, dan seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual2.

Diagnosis fraktur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang lengkap mengenai


kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme trauma; pemeriksaan fisik yang
lengkap dan menyeluruh, serta pemeriksaan imejing menggunakan foto polos sinar-x.
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok,
anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum
tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan resusitasi untuk menstabilkan kondisi
pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain, misalnya
pada fraktur patologis sebagai salah satu penyebab terjadinya fraktur.6
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal
dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei pada
seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi5

b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
palpasi adalah sebagai berikut:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna
kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai6

c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.6

2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis.
Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan
masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk
pengobatan selanjutnya.6

3. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan adanya fraktur
sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan
sebagai konfirmasi adanya fraktur, menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur,
untuk melihat adakah kecurigaan keadaan patologis pada tulang, untuk melihat benda
asing—misalnya peluru, dan tentunya untuk menentukan teknik pengobatan atau
terapi yang tepat.6
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of two, yaitu:
dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan
lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan di bawah
sendi yang mengalami fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya
dilakukan foto pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis; dua kali
dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi.6

Terdapat empat prinsip dalam penanganan fraktur, yaitu:2,5,9

1. Recognition, dengan mengetahui dan menilai keadaan fraktur dari anamnesis, pemeriksaan
klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk
fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
2. Reduction, reduksi fraktur apabila diperlukan. Posisi yang baik adalah alignment dan
aposisi yang sempurna. Reduksi terbaik adalah kontak minimal 50% dan overriding <0,5
inchi pada fraktur femur.
3. Retention, immobilisasi fraktur menggunakan Skin traction. Skin raction merupakan
pilihan terbaik dan tatalaksana yang dapat dilakukan oleh dokter umum9.
4. Rehabilitation, mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin.
2.7 Metode penanganan fraktur
2.7.1 Fraktur tertutup2,7
1. Konservatif
Penanganan fraktur secara konservatif dapat berupa:
a. Imobilisasi dengan bidai eksterna
Indikasi: fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan seperti
fraktur femur.
b. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna dengan menggunakan gips
Indikasi: diperlukan manipulasi pada fraktur displaced dan diharapkan dapat direduksi
dengan cara tertutup dan dipertahankan.
c. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi
Dilakukan dengan beberapa cara yaitu traksi kulit dan traksi tulang.
d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi
Indikasi: bila reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak memungkinkan,
mencegah tindakan operatif, terdapat angulasi, overriding, dan rotasi yang beresiko
menimbulkan penyembuhan tulang abnormal, fraktur yang tidak stabil pada tulang panjang
dan vertebra servikalis, fraktur femur pada anak mupun dewasa9 .
Terdapat empat jenis traksi kontinu yaitu traksi kulit, traksi menetap, traksi tulang serta
traksi berimbang dan traksi sliding.
2. Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang
Metode ini merupakan metode operatif dengan cara membuka daerah fraktur dan fragmen
direduksi secara akurat dengan penglihatan langsung menggunakan metode AO.
Indikasi reduksi terbuka dengan fiksasi interna: diperlukan fiksasi rigid misalnya pada
fraktur leher femur, fraktur terbuka, fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi dengan
baik, eksisi fragmen yang kecil, fraktur epifisis, dan fraktur multipel pada tungkai atas dan
bawah.
Indikasi reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna: fraktur terbuka grade II dan II, fraktur
dengan infeksi, fraktur yang miskin jaringan ikat, fraktur tungkai bawah pada penderita
diabetes melitus.
3. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis
Protesis merupakan alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian
tulang yang nekrosis. Biasanya digunakan pada fraktur leher femur dan sendi siku pada
orang tua yang terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nonunion.
3 Fraktur terbuka
Fraktur terbuka merupakan keadaan gawat darurat ortopedi yang memerlukan penanganan
terstandar untuk mengurangi resiko infeksi dan masalah penyembuhan. Prinsip dasar penanganan
fraktur terbuka adalah:2,8
1. Obati fraktur sebagai kegawatdaruratan
2. Evaluasi awal dan diagnosis kelainan yang dapat menyebabkan kematian
3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, kamar operasi dan setelah operasi
4. Segera lakukan debridemen dan irigasi
5. Ulangi debridement 24-72 jam berikutnya
6. Stabilisasi fraktur
7. Biarkan luka terbuka 5-7 hari
8. Lakukan bone graft autogeneous secepatnya
9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena

Tahap pengobatan fraktur terbuka:1,8

1. Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis untuk
mengeluarkan benda asing yang melekat. Jumlah cairan yang digunakan berbeda
tergantung pada derajat fraktur terbuka, untuk derajat I digunakan tiga liter, derajat II enam
liter, dan derajat III 10 liter. Larutan antibiotik dapat digunakan walaupun belum banyak
literatur yang membahasnya. Detergen (sabun) dapat pula digunakan untuk mengurangi
jumlah kuman. Hindari penggunaan larutan antiseptik karena bersifat toksik pada jaringan.
2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya dapat menjadi tempat kolonisasi kuman
sehingga diperlukan tindakan eksisi operatif pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia,
otot dan fragmen yang lepas (debridemen). Debridemen harus dilakukan dalam 6 jam
pasca trauma untuk mencegah infeksi dan bila perlu dapat diulangi 24 sampai 48 jam
berikutnya.
3. Pengobatan fraktur
Fraktur dengan luka hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau resuksi terbuka dengan
fiksasi eksterna. Traksi skeletal dapat digunakan pada fraktur pelvis dan fraktur femur
untuk sementara. Fiksasi eksternal dianjurkan pada fraktur derajat IIIA dan IIIB.
4. Penutupan kulit
Bila fraktur terbuka telah ditangani dalam waktu kurang dari enam jam, sebaiknya kulit
ditutup. Luka dapat dibiarkan terbuka selama beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari.
Prinsipnya adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang dapat mengakibatkan kulit
menjadi tegang.
5. Pemberian antibiotik
Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, saat dan sesudah tindakan operasi.
Antibiotik yang dianjurkan pada fraktur terbuka derajat I adalah golongan sefalosporin,
derajat II golongan sefalosporin dan aminoglikosida, dan derajat III golongan sefalosporin,
penisilin dan aminoglikosida.
6. Pencegahan tetanus
Semua pendertia dengan fraktur terbuka harus diberikan pencegahan tetanus. Pada
penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup diberikan toksoid dan bagi yang
belum dapat ditambahkan pemberian 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).

2.6 Komplikasi fraktur


2.6.1 Komplikasi segera
Komplikasi yang dapat timbul segera setelah terjadinya fraktur dapat berupa trauma kulit
seperti kontusio, abrasi, laserasi, luka tembus akibat benda asing maupun penetrasi kulit oleh
fragmen tulang, avulsi dan skin loss, perdarahan lokal, ruptur arteri atau vena, kontusio arteri
atau vena dan spasme arteri, komplikasi neurologis baik pada otak, sumsum tulang belakang atau
saraf perifer serta komplikasi pada organ dalam seperti jantung, paru-paru, hepar dan limpa2,5.
2.6.2 Komplikasi awal
Komplikasi awal yang dapat terjadi adalah nekrosis kulit-otot, sindrom kompartemen,
trombosis, infeksi sendi dan osteomielitis. Dapat juga terjadi ARDS, emboli paru dan tetanus2,5.
2.6.3 Komplikasi lanjut
Komplikasi lanjut akibat fraktur dapat berupa penyembuhan abnormal dari fraktur seperti
malunion ununion delayed union, osteomielitis kronik, gangguan pertumbuhan, patah tulang
rekuren, osteomielitis kronis, ankilosis, penyakit degeneratif pasca trauma dan kerusakan saraf.
Compartement Syndrome merupakan komplikasi yang harus diwaspadai dan dicegah, kejadian
compartment syndrome dapat memperburuk kualitas hidup pasien2,5,9.
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma
langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh
laki-laki dewasa. Penyebab fraktur femur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu
lintas.
Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai ke distal tulang. Berdasarkan letak
patahannya, fraktur femur dekategorikan sebagai fraktur leher femur, fraktur trokanterik, fraktur
subtrokanterik, fraktur fraktur diafisis, fraktur suprakondiler, dan fraktur kondiler. Gejala klinis
dapat dilihat sesuai klasifikasi fraktur femur. Fraktur suprakondiler-interkondiler sering terjadi
bersamaan, maka keduanya tidak dapat dipisahkan
Anamnesis mengenai mekanisme trauma, pemeriksaan fisik di regio yang dicurigai terdapat
fraktur, serta pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menegakkan diagnosis fraktur femur.
Tatalaksana fraktur femur seperti tatalaksana fraktur pada umumnya dengan prinsip rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Pemasangan scin traction merupakan penanganan paling tepat
pada fraktur tertutup femur bagi dokter umum.
Komplikasi yang dapat timbul segera setelah terjadinya fraktur dapat berupa trauma kulit
seperti kontusio, abrasi, laserasi, luka tembus akibat benda asing maupun penetrasi kulit oleh
fragmen tulang, avulsi dan skin loss, perdarahan lokal, ruptur arteri atau vena, kontusio arteri
atau vena dan spasme arteri. Compartement Syndrome merupakan komplikasi yang harus
diwaspadai dan dicegah, kejadian compartment syndrome dapat memperburuk kualitas hidup
pasien.
\DAFTAR PUSTAKA
1. <http://www.med-health.net/functions-of-bones.html> diakses pada 15 desember 2017.
2. Aukerman, Douglas F. Femur Injuries and Fractures.
<http://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#showall> diakses pada 15
desember 2017.
3. Desiartama A, Aryana W. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika, Vol. 6 No.5, Mei, 2017.
4. Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: ECG (4)
5. American College of Surgeon Committee of Trauma (ACSCOT). 2008. Advanced
Trauma Life Support for Doctor. Chicago: ATLS Student Course Manual.
6. Alan Graham Appley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th edition.
Butterworths Medical Publications. 2010.
7. <http://orthoanswer.org/hip/femur-fractures/definition.html> diakses pada 15 Desember
2017
8. Behrman S W, Fabian T C, Kudsk K A, Taylor J C, J Trauma. 1990; 30: 792-798.
Improved outcome with femur fractures: Early vs delayed fixation
9. James E Keany, MD. Femur Fracture. In site
<http://emedicine.medscape.com/article/824856-overview#showall> diakses pada 15
desember 2017
10. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen, John W.
Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4th Edition. Mosby Elsevier.
United States. 2007. Page 408-410
11. Holmes, Erskin J., Misra, Rakesh R. A-Z of Emergency Radiology. Cambridge
University, 2004. Page 140-143
12. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt William
& Wilkins. 2007
13. Seinsheimer, F., 3rd (1980). “Fractures of the distal femur.” Clin Orthop Relat Res (153):
169-179.

Anda mungkin juga menyukai