Anda di halaman 1dari 13

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Metode Solidifikasi


Secara umum stabilisasi atau solidifikasi didefinisikan sebagai proses
pencampuran bahan berbahaya dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan untuk
menurunkan laju migrasi dan toksisitas bahan berbahaya tersebut. Sedangkan
solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan
penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap
mempunyai arti yang sama (Roger Spence and Caijun Shi, 2006).
Prinsip kerja stabilisasi atau solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan
kimiawi bahan berbahaya (limbah B-3) dengan cara penambahan senyawa pengikat
sehingga pergerakan senyawa-senyawa B-3 dapat dihambat atau terbatasi dan
membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massif). Teknologi
solidifikasi atau stabilitas umumnya menggunakan bahan aditif semen kapur
(Ca(OH2)). Yaitu semen Portland dengan tipe Portland Cmposite Cement (PCC).
Proses stabilitas atau solidifikasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6
golongan, yaitu :
a. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungus dalam matriks struktur yang besar.
b. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip Macroencapsulation tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik.
c. Precipitation
d. Adsopsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada
bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
e. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya
ke bahan pemadat.
f. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat tosisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama
sekali.

Menurut Roger Spence and Caijun Shi (2006), tata cara kerja stabilitas atau
solidifikasi:
a. Limbah B-3 sebelum distabilisasi atau solidifikasi harus dianalisis
karakteristiknya guna mementukan jenis stabilisasi atau solidifikasi yang
diperlukan terhadap limbah B-3 tersebut.
b. Setelah dilakukan stabilisasi atau solidifikasi, terhadap hasil olahan tersebut
selanjutnya dilakukan uji kuat tekan (Compressive Strength) dengan Soil
Penetrometer Test. Hasil uji kuat tekan harus mempunyai nilai tekanan
minimum sebesar 10 ton/m2.
c. Kemudian dilakuakan uji TCLP untuk mengukur kadar atau konsentrasi
parameter dalam lindi. Hasil uji TLCP sebagaimana dimaksud kadarnya tidak
boleh melewati nilai ambang batas sebagaimana ditetapkan.
d. Hasil olahan yang telah memenuhi persyaratan kadar TCLP dan nilai uji kuat
tekan, disamping bisa dibuang ke landfill juga dimanfaatkan sebagai bahan
konstruksi. Produk solidifikasi biasanya berupa blok monolitik, material
berbasis lempung, granular, dan bentuk fisisk lain yang berupa padatan.

3.1.1. Slag Nikel Sebagai Agregat Kasar Dan Halus


Agregat adalah sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral
lainnya baik berupa hasil alam maupun buatan (SNI No. 1737-1989-F). Menurut
Silvia Sukirman (2003), agregat merupakan butir-butir batu pecah split, kerkil, pasir
atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang berbentuk mineral
padat berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen. Agregat merupakan
komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu 90%-95% agregat berdasarkan
persentase berat atau 75-85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan
demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil
campuran agregat dengan material lain. Bahan yang sebagian besar lebih kecil ¼
(minus seperempat inci -¼) biasanya dianggap sebagai agregat halus. Sedangkan
bahan yang sebagian besar dilingkungan + ¼ dianggap sebagai agregat kasar.

Pengunaan bahan sisa berupa salag nikel sebagai bahan pengganti agregat kasar
pada campuran Hot Rolled Shit-Binder Course merupakan salah satu alternatif solusi
pengadaan material agregat kasar serta sebagai bentuk pemanfaatan limbah yang
secara ekonomis mampu meminimalisir dampak negatif berupa pencemaran
lingkungan dan fenomena social di masyarakat. Untuk membuat slag sebagai agregat
dengan campuran Hot Rolled Shett dilakukan pengujian dengan uji tekan (Marshall
Compression) atau uji kekuatan dan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure
(TCLP) untuk mengetahui nilai volumetrik campuran agregat-aspal panas dan
durabilitas campuran (Marshall Compression) dengan perendaman 24 jam sesuai
persyaratan dan spesifikasi, Departemen Pekerjaan Umum (2005).
a. Uji kuat tekan/ Unconfined Compressive Strength (UCS)
Uji kuat tekan adalah parameter kunci yang digunakan sebagai ukuran
kemampuan monolit bahan solidifikasi untuk menahan tekanan mekanis.
Pengujian kuat tekan material dilakukan untuk mengetahui mutu kuat tekan
suatu material tersebut dengan satuan luasan bidang tekan tertentu.
Unconfined Compressive Strength (UCS) terkait dengan perkembangan
reaksi hidrasi di dalam produk solidifikasi atau stabilitas dan ketahanan
bahan monolit hasil proses solidifikasi atau stabilisasi sehingga merupakan
parameter kunci. Uji ini merupakan salah satu uji yang umumnya digunakan.
b. Uji TCLP atau Toxicity Characteristic Leaching Procedure
Uji TCLP ini dilakukan untuk menentukan mobilitas baik analit organik dan
anorganik yang ada dalam limbah cair, limbah padat, dan multifase.
Biasanya digunakan untuk menentukan apakah limbah termasuk dalam
definisi toksik berdasarkan kategori US-EPA. Analisis TCLP
mensimulasikan kondisi TPA (tempat pembuangan akhir). Seiring waktu air
dan cairan lainnya yang berasal dari limbah akan meresap melalui TPA.
Cairan yang meresap seringkali bereaksi dengan limbah padat dan dapat
menimbulkan resiko kesehatan masyarakat dan lingkungan karena
mengandung kontaminan. Analisis TCLP akan menentukan mana dari
kontaminan yang teridentifikasi toksik (berdasarkan Environmental
Protection Angency atau EPA) dalam bentuk lindi dan konsentrasinya. LC50
(Median Lethal Concentration) adalah uji toksisitas hayati menggunakan
hewan uji untuk mengetahui konsentrasi yang menyebabkan kematian
hewan uji sebanyak 50%. Waktu pengamatan pada umumnya adalah 96 jam
dan biota uji yang digunakan mengacu pada US-EPA. Untuk mengetahui
nilai LC-50, digunakan uji statik. Ada dua tahapan dalam penelitian yaitu:
uji pendahuluan (untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi
yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian
terkecil mendekati 50%) dan uji lanjutan (setelah diketahui batas kritis,
selanjutnya ditentukan konsentrasi berdasarkan seri logaritma konsentrasi).

3.1.2. Slag Nikel Sebagai Subsitusi Parsial Dengan Aditif Serbuk Kaca Dan
Semen Portland Dalam Pembuatan Beton
Beton adalah material yang dibentuk komposit dari bahan batu-batuan yang
direkatkan oleh bahan ikat. Beton dibentuk dari agregat campuran (halus dan kasar)
dan ditambah ddengan pasta semen. Singkatnya dapat dikatakan bahawa semen
mengikat pasir dan bahan-bahan agregat lain (batu kerikil, basalt dan sebagainya).
Nawy (1985) mendefinisikan beton sebagai sekumpulan intraksi mekanis dan
kimiawi dari material pembentuknya. Sedangkan Neville dan Brooks (1987)
mendefinisikan ditinjau dari keragaman material pembentuk beton yaitu bahan yang
terbuat dari berbagai macam tipe semen, agregat dan juga bahan pozzolan slag dan
lain-lain. Dan menurut Supartono (1998) ternyata criteria beton tinggi juga berubah
sesuai dengan perkembangan jaman, beton dikatakan mutu tinggi jika kekuatan
tekannya diatas 50 Mpa sampai 80 Mpa adalah beton mutu sangat tinggi. Ada
beberapa fakta yang mempengaruhi kekuatan beton mutu tinggi:
a. Air
Air tidak boleh mengandung minyak, asam alkali, bahan padat sulfat dan
bahan lainnya yang dapat merusak beton. Sebaiknya digunakan air yang
dapat digunakan untuk minum.
b. Agregat kasar
1. Agregat kasar harus terdiri dari butir-butir yang keras dan tidak berpori,
agregat kasar dapat dipakai apabila jumlah butir-butir pipih tersebut tidak
melampaui 20% dari berat agregat seluruhnya.
2. Agregat kasar tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1% yang
diartikan lumpur adalah bagian-bagian yang dapat melalui ayakan 0,63
mm.
c. Agregat halus
Agregat halus adalah agregat yang semua butirannya menembus ayakan 4,8
mm (ASTM 1982).
d. Semen
Semen adalah hasil industri dari perpaduan bahan baku batu gamping
sebagian bahan utama. Semen yang digunakan dalam pembuatan beton
dengan menggunakan slag nikel ini ialah semen Portland, semen Portland
yang merupakan campuran silikat kalsium, alumunium, kalsium dan dapat
berhidrasi bila diberi air, yaitu semen Portland dengan tipe Portland
Composite Cement (PCC). Portland Composite Cement (PCC) merupakan
bahan pengikat hidrolis hasil penggilingan bersama-sama slag, gypsum dan
satu atau lebih bahan anorganik. Kegunaan semen jenis ini sesuai untuk
konstruksi beton umum, pasangan batu bata, plesetan bangunan khusus
seperti beton para cetak dan paving block.
Pada kegiatan ini slag nikel dihaluskan dan dicampur dengan berbagai variasi
persentase bubuk slag nikel dan semen. Berdasarkan kehalusan slag nikel yang ada,
maka dalam kegiatan ini, beton dibuat dalam tiga jenis spesimen, yaitu:
1. Beton normal tanpa bubuk slag nikel dengan symbol BPOC (beton Ordinary
Portland Cement).
2. Beton dengan campuran bubuk slag nikel dengan specific surface sebesar 284
m2/kg dengan symbol BSSA (Beton Specific Surface A).
3. Beton dengan campuran bubuk slag nikel dengan specific surface sebesar 306
m2/kg dengan symbol BSSB (Beton Specific Surface B).

Dalam kegiatan ini mencoba membandingkan kehalusan bahan campuran bubuk


slag nikel dengan semen, kehalusan semen = 312 m2/kg, sedangkan kehalusan bubuk
slag nikel tipe A lebih kasar dari semen yaitu 284 m2/kg, dan kehalusan bubuk slag
nikel tipe B yaitu 306 m2/kg mendekati kehalusan semen. Sugiri et al, 1998. Subsitusi
parsial yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Dari berbagai variasi persentase subsitusi bubuk slag nikel terhadap semen,
diperoleh bahwa komposisi campuran optimum yang memberikan kuat tekan
maksimum adalah 10% untuk BSSA dan 20% untuk BSSB. Kejadian ini dibuktikan
oleh pengamatan secara visual dari benda uji dimana pori-pori kapiler relatif kecil
dibandingkan dengan jenis campuran lainnya. Faktor lain yang mengandung adanya
peningkatan kekuatan tersebut adalah tingkat kepadatan yang cukup tinggi atau
porositas yang relatif kecil. Hal ini terindikasi oleh pola keruntuhan yang terjadi,
dimana untuk 10% BSSA dan 20% BSSB pola keruntuhannya adalah failure splitting
sedangkan BOPC adalah failure shear. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa
kekuatan tekan beton slag nikel sesudah 28 hari masih memberikan kenaikan
kekuatan yang cukup segnifikan.

3.1.3. Agregat Slag Nikel Sebagai Bahan Pembuatan Jalan


Komponen utama dalam pembuatan jalan ialah agregat 90%-95% agregat
berdasarkan persentase berat atau 75%-85% agregat berdasarkan persentase volume.
Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil
campuran agregat dengan material lain. Penggunaan bahan sisa berupa slag nikel
sebagai bahan pengganti agregat merupakan salah satu alternatif solusi pengadaan
material agregat kasar serta sebagai bentuk pemanfaatan limbah yang secara
ekonomis mampu meminimalisir dampak negatif berupa pencemaran lingkungan dan
fenomena social di masyarakat. Untuk membuat slag sebagai bahan campuran
pembuatan jalan yang telah dijadikan agregat dengan menentukan kualitas agregat
slag sebagai material perkerasan jalan adalah: gradasi, kekersan agregat, bentuk butir,
kemampuan untuk menyerap air dan daya kelekatan terhadap aspal.
Tabel 3.1. Rencana penggunaan bubuk slag nikel
Subsitusi
Kode campuran
Bubuk slag nikel Semen
BOPC 0% 100%
10% 90%
20% 80%
30% 70%
BSSA
40% 60%
50% 50%
60% 40%
10% 90%
20% 80%
30% 70%
BSSB
40% 60%
50% 50%
60% 40%

Adapun hasil kuat tekan rata-ratanya dapat dilihat pada table 3.2.
Table 3.2. Kuat tekan beton rata-rata
Kode Subsitusi Kuat Tekan rata-rata (Mpa)
Beton Semen BTN 3 hari 14 hari 28 hari 56 hari 90 hari
BOPC 100% 0% 49,85 59,88 65,92 66,34 66,54
90% 10% 42,47 54,01 66,71 68,71 70,06
80% 20% 40,89 54,93 62,21 64,38 67,13
70% 30% 36,35 48,76 56,47 64,84 67,96
BSSA
60% 40% 32,15 47,39 54,80 62,17 64,38
50% 50% 23,07 34,27 42,10 53,38 56,09
40% 60% 17,36 28,52 40,81 45,60 51,47
90% 10% 46,47 64,54 67,13 69,33 72,12
80% 20% 36.77 64,13 68,75 70,21 71,87
70% 30% 27,57 51,76 57,59 67,21 69,38
BSSB
60% 40% 28,57 45,76 53,22 58,05 59,96
50% 50% 21,99 35,44 43,31 54,22 57,75
40% 60% 18,99 31,23 41,77 47,72 52,76
*Bubuk slag nikel. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan 1juni 2005

3.2. Pengendalian Dampak Fisik Lingkungan


Pencemaran lingkungan mempunyai dampak yang sagat halus dan merugikan.
Untuk mencegah dampak lingkungan yang terjadi setelah kegiatan penambangan dan
pengolahan berakhir tidaklah mungkin, yang dapat diupayakan adalah mengurangi
dampak yang timbul diantaranya:
1. Habitat flora dan fauna yang rusak diatasi dengan adanya perbaikan kondisi
lapisan tanah dengan memperbaiki tingkat kesuburan tanah setelah itu
dilakukan penghijauan yang merupakan bagian dari reklamasi.
2. Penghijauan sepanjang jalan tambang (jalur hijau) untuk meredam dan
mengurangi kebisingan dan debu yang berterbangan, peningkatan kualitas
jalan berupa perataan dan penyiraman secara teratur.
3. Penggalian endapan mineral dilakukan secara bertahap dengan
memperhatikan kemiringan lereng dengan dimensi dari jenjang, guna
menjaga dari kestabilan lereng dan mengurangi bahaya longsor.
4. Pembuatan sistem penirisan yang dilengkapi dengan kolam pengendapan
yang berfungsi untuk menampung lumpur limbah dan mencegah
terganggunya aliran permukaan. Penirisan ini juga untuk mencegah erosi dan
kelongsoran.
5. Mengurangi kecepatan dengan menjaga keberadaan tumbuhan penutup dan
perlindungan tumbuhan penyangga pada daerah yang lebih rendah disekitar
daerah terganggu dan memasang sarana kendali erosi seperti penghalang
sedimen, serta keseluruhan permasalahan tersebut diatasi dengan cara
reklamasi.

3.2.1. Penanggulangan Secara Teknis


Apabila berdasarkan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
ternyata bisa diduga bahwa mungkin akan timbul pencemaran lingkungan, maka
langkah berikutnya adalah memikirkan penanggulangan secara teknis. Banyak
macam dan cara yang dapat ditempuh dalam penanggulangan secara teknis. Adapun
kriteria yang digunakan dalam memilih dan menentukan cara yang akan digunakan
dalam penanggulangan secara teknis pada faktor berikut:
a. Mengutamakan keselamatan lingkungan
b. Teknologinya telah dikuasai dengan baik
c. Secara teknis dan ekonomi dapat dipertanggung jawabkan
Berdasarkan kriteria tersebut diatas diperoleh beberapa cara dalam hal
penanggulangan secara teknis, antara lain adalah sebagai berikut
a. Mengubah proses
b. Mengganti sumber energi
c. Mengolah limbah
d. Menambah alat bantu

Keempat macam penanggulangan secra teknis tersebut diatas dapat dilakukan secara
bersama-sama tergantung pada kajian dan kenyataan yang sebenarnya.

a. Mengubah Proses
Apabila dalam suatu proses industri dan teknologi terdapat bahan buangan
(limbah) yang berupa zat-zat kimia, maka akan terjadi pencemaran lingkungan
baik melalui pencemaran udara, air maupun pencemaran darat. Keadaan ini
harus dihindari yaitu dengan mengubah proses yang ada dan memenuhi
kriteria yang telah disebut diatas. Beberapa proses dalam kegiatan industri dan
teknologi sesudah banyak yang melakukan cara ini dan ternyata berhasil
dengan baik.
b. Mengganti Sumber Energi
Sumber energi yang digunakan pada berbagai kegiatan industri pertambangan
dan teknologi sebagian besar masih menggunakan bahan bakar minyak.
Seperti telah diuraikan bahwa pemakaian bahan bakar minyak akan
menghasilkan komponen tercemar udara yang berupa gas SO2, NO2, H2S dan
lain sebagainya. Pada tahapan pengolahan bahan bakar fosil bisa diganti
dengan LNG (Liquefied Natural Gases) jika pemakain LNG tidak rugi.
c. Mengolah Limbah
Semua kegiatan industri pertambangan dan teknologi selalu akan
menghasilkan limbah yang menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Pengelolaan limbah dari bahan bangunan industri dan teknologi dimaksudkan
untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Cara pengelolaan limbah ini
sering disebut dengan waste treatmen atau waste management. Cara
mengelola limbah industri dan teknologi tergantung pada sifat dan kandungan
limbah serta tergantung pula pada rencana pembuangan olahan limbah secara
permanen. Salah satunya bisa menggunakan metode Solidifikasi atau
Stabilisasi.

3.2.2. Penanggulangan Secara Non-Teknis


Dalam usaha mengurangi dan menanggulangi pencemaran lingkungan dikenal
dengan istilah penanggulangan secra non-teknis, yaitu suatu usaha untuk mengurangi
dan menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan
perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan mengawasi segala macam
bentuk kegiatan industri pertambangan dan teknologi sedemikian rupa dan memberi
sanksi-sanksi sehingga tidak terjadi pencemran linggkungan.
1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah suatu studi tentang
beberapa masalah yang berkaitan dengan rencana kegiatan yang diusulkan.
Dalam hal ini studi yang dilakukan meliputi kemungkinan terjadinya berbagai
macam perubahan, baik perubahan sosial-ekonomi maupun perubahan biofisik
lingkungan sebagai akibat adanya kegiatan yang diusulkan tersebut. Oleh
karena itu AMDAL bertujuan untuk menduga atau memperkirakan dampak
yang mungkin timbul sebagai akibat suatu kegiatan atau suatu proyek
pembangunan yang direncanakan.
2. Pengaturan Dan Pengawasan Kegiatan
Dalam rangka mengurangi dan menanggulangi dampak pencemaran
lingkungan, perlu dilakukan pengaturan dan pengawasan atas segala macam
kegiatan industri (pertambangan) dan teknologi. Pengaturan dan Pengawasan
ini dimaksudkan agar segala persyaratan keselamatan kerja dan keselamatan
lingkungan dapat dipenuhi dengan baik sehingga kemungkinan terjadinya
pencemaran lingkungan dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Sebagai contoh adalah berdasarkan undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang
sumber daya air terkait dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air dan tidak terjadi keracanan maupun kemungkinan terjadinya
wabah penyakit melalui air minum.
Contoh berikutnya adalah permen lingkungan hidup No.18 Tahun 2009
tentang tata cara perizinan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Melalui surat keputusan mentri negara lingkungan hidup tersebut kegiatan
industri (pertambangan) yang telah beroperasi sebelum surat keputusan mentri
lingkungan hidup tersebut ditetapkan, berkewajiban untuk menjaga agar air
limbah yang dibuang kelingkungan sesuai dengan keuntungan yang ada.
Dengan ketentuan tersebut diharapkan pencemaran lingkungan dapat ditekan
sampai sekecil-kecilnya.

Landasan hukum yang dipakai sebagai acuan dalam peninjauan studi


pengelolaan limbah terhadap lingkungan:
a. Undang-undang Repoblik Indonesia No. 32 Tahun 2009, tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Undang-undang No. 7 Tahun 2004, tentang sumber daya air, terkait dengan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
c. Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014, tentang pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun.
d. Permen lingkungan hidup No. 18 Tahun 2009, tentang tata cara perizinan
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Anda mungkin juga menyukai