DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING :
drg. Sandy Trimelda, Sp.Ort.
2
B. Etiologi
Etiologi macrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberentia
yang berlebih yang dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat dapatan
melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan
macrognatiaadalah Gigantisme pituitary, Paget’s Disease, dan akromegali
(Morokuma, et. al, 2010).
Makrognatia terjadi karena perkembangan protuberantia yang berlebih.
Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon pertumbuhan berlebihan
yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma). Penderita biasanya
menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang muka dan
rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal, hipertrofi
tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula) yang dapat
menyebabkan rahang menonjol (prognatisme) (Morokuma, et. al, 2010).
C. Patofisiologi
D. Diagnosis
3
E. Terapi
4
MIKROGNATIA
A. Definisi
5
Gambar. Radiografi sebelum dilakukan treatmen pada pasien
mikrognatia. A. Lateral cephalogram, B. Posteroanterior xephalogram, C. Foto
Panoramic (Tomonari et al, 2017)
B. Epidemiologi
Tidak ditemukan adanya data pasti terkait insidensi mikrognatia di Indonesia.
Namun secara keseluruhan pada studi populasi yang dievaluasi dari satu institusi
di Amerika Serika menunjukkan insidensi mikrognatia dalah 1 per 1600
kelahiran membuat mikrognatia termasuk kedalam kelainan yang jarang terjadi.
Berdasarkan data statistik dari populasi di Indonesia, Crude Birth Rate di
Indonesia tahun 2010 adalah 18,4, sehingga dapat disimpulkan insidensi dari
mikrognatia adalah sekitar 4.308 per tahunnya (Boaz et al, 2012).
C. Etiologi
6
menjelaskan mengapa janin dengan mikrognatia disertai dengan sindrom
yang berbeda-beda (Copel, 2012). Mikrognatia biasanya disertai dengan
sindrom genetik (seperti Pierre Robin syndrome, Hallerman-Streiff
syndrome, progeria, Teacher- Collins syndrome, Turner syndrome, Smith-
Lemli-Opitz syndrome, Russel-Silver syndrome, Seckel syndrome, Cri du
cat syndrome, dan Marfan syndrome); abnormalitas kromosomal (terutama
trisomi 18 dan triploidi); dan obat-obat teratogenik (seperti methotrexate)
(Arulkumaran et al, 2011).
D. Patofisiologi
7
mandibula membuat posisi lidah lebih ke atas, mencegah palatina lateral
menyatu di garis tengah dan menjelaskan bahwa mikrognatia disertai dengan
adanya bibir sumbing (Copel, 2012).
E. Klasifikasi
1) Mikrognatia sejati (true micrognathia)
Keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia rahang.
Keadaan mikrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang terletak
lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan mandibula.
F. Diagnosis
8
Kesulitan pemberian makanan pada anak-anak
Kesulitan dalam menyebutkan artikulasi yang tepat dan berbicara
Dapat muncul snoring, nafas tiba-tiba berhenti saat tidur (obstructive sleep
apnea) (Thimmapa et al, 2009)
Dari pemeriksaan radiologis didapatkan adanya ukuran mandibula yang
lebih kecil. Mikrognatia pada fetus dapat didiagnosis dengan ultrasonografi
(USG).
9
lebih memperpanjang ukuran mandibula dan dapat diganti dengan alat lain tanpa
operasi dibawah general anestesi. Akan tetapi, alat internal bersifat lebih nyaman
untuk pasien, walaupun efek memperpanjang mandibula tidak sebaik alat
eksternal dan membutuhkan operasi untuk dilepas. Teknik ini digunakan untuk
menghindari dilakukannya trakeostomi pada anak dengan obstruksi jalan nafas
atas yang berat dan merupakan tatalaksana efektif pada anak dengan
mikrognatia. Anak post-MDO mengalami peningkatan saturasi oksigen dan
adanya perbaikan dari gejala sleep apnea. Dari pemeriksaan CT Scan axial dan
sagital, didapatkan adanya pelebaran pada lumen faring post MDO (Rachmiel,
2012; Cielo, 2016).
10
Gambar. Bayi dengan sindrom Treacher-Collins dilakukan tindakan
Mandibular Distraction. A.Kondisi pre-operatif, B. Mandibula dilebarkan
sepanjang 16 mm.
Gambar 7. CT scan axial dan sagital pada pasien mikrognatia post MDO
(Rachmiel, 2012)
11
Gambar. Radiografi post treatment. A. Lateral cephalogram, B.
Posteroanterior cephalogram, C. Foto Panoramic
H. Prognosis
12
intrauterin dan satu lagi dengan sindrom Pierre-Robin. Berdasarkan hasil studi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fetus yang didiagnosis in utero
sebagai mikrognatia memiliki prognosis yang buruk dan memiliki resiko tinggi
mengalami defek kongenital serius (Nyberg et al., 2003).
13
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15
using skeletal anchorage: a case report. Head & face medicine, 13(1), 20.
doi:10.1186/s13005-017-0150-4
Vawter-Lee, M. M., Seals, S. S., Thomas, C. W., & Venkatesan, C. (2016). Clinical
Reasoning: A neonate with micrognathia and hypotonia. Neurology, 86(8),
e80-4.
16