Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MAKROGNATIA DAN MIKROGNATIA

DISUSUN OLEH:

Made Larashati Putri Wijaya


G 99181041
Periode: 29 April – 12 Mei 2019

PEMBIMBING :
drg. Sandy Trimelda, Sp.Ort.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
MAKROGNATIA
A. Definisi

Makrognatia juga disebut dengan megagnitia. Makrognatia ditandai


dengan pertumbuhan yang berlebih pada mandibula atau maksila di atas ukuran
yang seharusnya dimana manifestasi klinisnya lebih menonjol pada puncak
pertumbuhan rahang yaitu sekitar usia 12,2 tahun pada wanita dan 14 tahun pada
pria (Joshi et al, 2014).

Gambar 1. Gambaran intra oral dan ekstraoral makrognatia sebelum


dilakukan treatment (Patel et al, 2015)

Gambar 2. Gambaran radiologi makrognatia (Patel et al, 2015)

2
B. Etiologi
Etiologi macrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberentia
yang berlebih yang dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat dapatan
melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan
macrognatiaadalah Gigantisme pituitary, Paget’s Disease, dan akromegali
(Morokuma, et. al, 2010).
Makrognatia terjadi karena perkembangan protuberantia yang berlebih.
Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon pertumbuhan berlebihan
yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma). Penderita biasanya
menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang muka dan
rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal, hipertrofi
tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula) yang dapat
menyebabkan rahang menonjol (prognatisme) (Morokuma, et. al, 2010).
C. Patofisiologi

Makrognatia disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan akibat pelepasan


hormon pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa
jinak (adenoma). Brophy mengatakan bahwa ligamen articular menjadi
longgar dan memungkinkan mandibula untuk bergerak ke depan. Ketika gigi
anterior rahang bawah tumbuh untuk pertama kali, rahang
bawah akan mendesak maju, sehingga bagian posterior rahang bawah lebih
luas dibandingkan bagian anterior rahang atas. Keadaan ini terus berkembang
sehingga dapat menyebabkan makrognatia (Lubowitz, 2011).

D. Diagnosis

Diagnosis makrognatia berdasarkan pemeriksaan fisik dan penunjang.


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ukuran rahang yang lebih besar dari
normal, rusaknya keselarasan gigi dan terjadi maloklusi, sulitnya artikulasi yang
tepat dan kesulitan bicara, serta kesulitan pemberian makan pada anak-anak.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto rontgen gigi dan skull ray.

3
E. Terapi

Pada makrognatia penatalaksanaan berupa bedah ortognatik (orthognathic


surgery). Orthognatic surgery adalah teknik pembedahan dengan melakukan
reposisi dari maxilla, mandibula atau dagu. Pembedahan ini digunakan untuk
mengkoreksi adanya deformitas dentofacial. Tujuan yang diharapkan dari
pembedahan ini adalah didapatkannya fungsi (oklusi) dan untuk facial aesthetic
(Kyechoyan, 2013).

Gambar 2. Post treatment pada makrognatia (Patel et al, 2015).

Gambar 3. Gambaran radiologis post treatment makrognatia (Patel et al,


2015).

4
MIKROGNATIA

A. Definisi

Mikrognatia dikarakteristikkan dengan adanya hipoplasia mandibular


yang menyebabkan penyempitan dagu (Boaz et al, 2012) Morokuma
mendefinisikan mikrognatia dengan kondisi malformasi wajah yang ditandai
dengan hipoplasia mandibular yang mengakibatkan dagu menjadi sempit atau
kecil (Morokuma et al, 2010). Dalam kasus ini baik maksila maupun mandibula
dapat terkena. Biasanya ditemukan bersamaan dengan mikroglossi (lidah kecil).
Jika micrognathia, mikroglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan
disebut Sindroma Pierre Robin. Diperkirakan insidensinya 1:8.500 hingga
1:20.000 pada bayi lahir di dunia.

Gambar 4. Pasien usia 16 tahun dengan mikrognatia dan ankilosis sendi


temporomandibular (Tomonari et al, 2017)

5
Gambar. Radiografi sebelum dilakukan treatmen pada pasien
mikrognatia. A. Lateral cephalogram, B. Posteroanterior xephalogram, C. Foto
Panoramic (Tomonari et al, 2017)

B. Epidemiologi
Tidak ditemukan adanya data pasti terkait insidensi mikrognatia di Indonesia.
Namun secara keseluruhan pada studi populasi yang dievaluasi dari satu institusi
di Amerika Serika menunjukkan insidensi mikrognatia dalah 1 per 1600
kelahiran membuat mikrognatia termasuk kedalam kelainan yang jarang terjadi.
Berdasarkan data statistik dari populasi di Indonesia, Crude Birth Rate di
Indonesia tahun 2010 adalah 18,4, sehingga dapat disimpulkan insidensi dari
mikrognatia adalah sekitar 4.308 per tahunnya (Boaz et al, 2012).
C. Etiologi

Mikrognatia bisa terjadi karena adanya deformasi akibat tekanan


pada saat fetus. Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang
dalam uterus ataupun faktor ibu seperti primigravida, panggul sempit,
abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, kehamilan kembar. Etiologi
hipoplasia mandibular masih belum jelas. Hal ini mungkin terjadi akibat
hasil dari malformasi posisi, abnormalitas pertumbuhan intrinsik, atau oleh
sebuah kelainan jaringan ikat. Beberapa usaha telah dilakukan untuk

6
menjelaskan mengapa janin dengan mikrognatia disertai dengan sindrom
yang berbeda-beda (Copel, 2012). Mikrognatia biasanya disertai dengan
sindrom genetik (seperti Pierre Robin syndrome, Hallerman-Streiff
syndrome, progeria, Teacher- Collins syndrome, Turner syndrome, Smith-
Lemli-Opitz syndrome, Russel-Silver syndrome, Seckel syndrome, Cri du
cat syndrome, dan Marfan syndrome); abnormalitas kromosomal (terutama
trisomi 18 dan triploidi); dan obat-obat teratogenik (seperti methotrexate)
(Arulkumaran et al, 2011).

Mikrognatia akan mengakibatkan perubahan bentuk dentofasial dan


terganggunya fungsi pengunyahan, pembentukan fonetik maupun
penampilan anak. Dengan demikian ada kemungkinan anak akan
mengalami gangguan pertumbuhan, baik secara fisik maupun psikologis.
Gangguan kraniofasial seperti mikrognatia memiliki faktor risiko tinggi
terhadap apnea karena adanya obstruksi jalan nafas, terutama ditemukan
pada bayi yang baru saja lahir. Mikrognatia menjadi faktor risiko obstruksi
jalan nafas atas karena hipoplasia mandibula menyebabkan retroposisi dari
basis lingua ke arah lumen faring (Rachmiel, 2012, Vawter-Lee, 2016.
Cielo, 2016). Tidak semua pasien dengan mikrognatia mengalami obstuksi
jalan nafas. Beberapa pasien memiliki jalan nafas yang paten, tetapi
obsturuksi muncul saat pasien tertidur atau sedang diberi makan (Sesenna,
2012)

D. Patofisiologi

Perkembangan struktur-struktur anatomik yang berbeda pada mandibula


dan pertumbuhan keseluruhan dari mandibula diatur oleh beberapa faktor,
seperti aktifitas otot-otot mastikasi prenatal, pertumbuhan lidah, nervus alveolar
inferior dan percabangannya, serta perkembangan dan migrasi gigi. Karena
perkembangan mandibula pada janin normalnya melibatkan proses
multifaktorial, maka kelainan perkembangan otot-otot mastikasi atau nervus-
nervusnya dapat menyebabkan hipoplastik mandibula. Kegagalan pembentukan

7
mandibula membuat posisi lidah lebih ke atas, mencegah palatina lateral
menyatu di garis tengah dan menjelaskan bahwa mikrognatia disertai dengan
adanya bibir sumbing (Copel, 2012).

Perkembangan normal mandibula dapat terganggu oleh faktor genetik atau


lingkungan (kromosom dan sindrom non kromosom) atau hanya oleh faktor
lingkungan saja. Pada beberapa kondisi neuromuskular terjadi kontraktur sendi
temporomandibular yang mencegah mulut terbuka. Hal ini berhubungan dengan
mikrognatia sekunder di mana terjadi kegagalan perkembangan mandibular
(Copel, 2012).

E. Klasifikasi
1) Mikrognatia sejati (true micrognathia)

Keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia rahang.

2) Mikrognatia palsu (false micrognathia)

Keadaan mikrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang terletak
lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan mandibula.

F. Diagnosis

Distres pernafasan pada neonatus dapat terjadi akibat kegagalan


oksigenasi atau ventilasi. Pasine dengan mikrognatia biasanya akan mengalami
apnea dekstruktif akibat adanya glossoptosis di dasar lidah. Tanda klinis yang
muncul disebabkan oleh rahang kecil yang belum tumbuh. Saat membuka bibir,
biasanya pada neonatus ada ketidakselarasan dari tepi alveolar, sementara pada
pasien yang lebih tua ada ketidakselarasan gigi. Dagu kecil atau, pada pasien
dewasa, sering tumbuh tetapi memiliki tampakan dagu yang mengalami
penyusutan. Manifestasi klinis dari mikrognatia meliputi:

 Kerusakan keselarasan gigi, menyempitnya cavum oris dan maloklusi

 Dagu yang mengalami penyusutan dengan wajah yang kecil

8
 Kesulitan pemberian makanan pada anak-anak
 Kesulitan dalam menyebutkan artikulasi yang tepat dan berbicara
 Dapat muncul snoring, nafas tiba-tiba berhenti saat tidur (obstructive sleep
apnea) (Thimmapa et al, 2009)
Dari pemeriksaan radiologis didapatkan adanya ukuran mandibula yang
lebih kecil. Mikrognatia pada fetus dapat didiagnosis dengan ultrasonografi
(USG).

Gambar 5. Mikrognatia pada janin usia kehamilan 23 minggu tampak


pada USG (Paladini, 2010)
G. Terapi

Penatalaksanaan pada mikrognatia dibedakan menjadi 2 yaitu prenatal dan


postnatal. Penatalaksanaan prenatalnya berupa mengurangi tekanan intrauterin
dan memperpanjang masa kehamilan. Penatalaksanaan postnatal meliputi
tatalaksana jalan nafas akibat adanya obstruksi dan mandibular distraction
osteogenesis (MDO). Tatalaksana jalan nafas penting untuk segera dilakukan
sebelum terjadinya obstruksi kronis yang dapat menyebabkan retensi karbon
dioksida, vasokonstriksi pulmoner, gagal jantung kanan dan gangguan
pertumbuhan. Tatalaksana jalan nafas yang dulu sering dilakukan pada
mikrognatia dengan obstruksi berat adalah trakeostomi permanen.
MDO merupakan teknik pembedahan untuk memperpanjang mandibula
dengan cara bilateral corticotomi atau osteotomi pada corpus mandibula dan
selanjutnya diisi dengan alat internal atau eksternal yang kemudian dapat dilepas
setelah celah terisi oleh tulang baru. Alat eksternal memiliki keuntungan berupa

9
lebih memperpanjang ukuran mandibula dan dapat diganti dengan alat lain tanpa
operasi dibawah general anestesi. Akan tetapi, alat internal bersifat lebih nyaman
untuk pasien, walaupun efek memperpanjang mandibula tidak sebaik alat
eksternal dan membutuhkan operasi untuk dilepas. Teknik ini digunakan untuk
menghindari dilakukannya trakeostomi pada anak dengan obstruksi jalan nafas
atas yang berat dan merupakan tatalaksana efektif pada anak dengan
mikrognatia. Anak post-MDO mengalami peningkatan saturasi oksigen dan
adanya perbaikan dari gejala sleep apnea. Dari pemeriksaan CT Scan axial dan
sagital, didapatkan adanya pelebaran pada lumen faring post MDO (Rachmiel,
2012; Cielo, 2016).

Gambar. Kiri: kondisi pre-operatif. Pasien dengan mikrognatia. Kanan:


kondisi post operatif, satu tahun setelah Mandibular Distraction (Boaz et al,
2012).

Gambar. Kiri: kondisi pre-operatif. Pasien dengan mikrognatia. Kanan:


kondisi post operatif, satu tahun setelah Mandibular Distraction (Boaz et al,
2012).

10
Gambar. Bayi dengan sindrom Treacher-Collins dilakukan tindakan
Mandibular Distraction. A.Kondisi pre-operatif, B. Mandibula dilebarkan
sepanjang 16 mm.

Gambar 6. Anak dengan Pierre-Robins syndrome yang dipasang


trakeostomi (Rachmiel, 2012)

Gambar 7. CT scan axial dan sagital pada pasien mikrognatia post MDO
(Rachmiel, 2012)

11
Gambar. Radiografi post treatment. A. Lateral cephalogram, B.
Posteroanterior cephalogram, C. Foto Panoramic

H. Prognosis

Prognosis kelainan mikrognatia ini bergantung pada ada tidaknya kelainan


anomali. Beratnya mikrognatia bisa jadi merupakan kegawat-daruratan neonatal
yang disebabkan karena adanya obstruksi jalan napas oleh lidah pada cavitas oral
yang kecil. Bila sebelumnya telah dibuat diagnosis prenatal terhadap kecurigaan
micrognatia ini, maka seorang ahli anak harus hadir saat proses kelahiran bayi
yang menderita kelainan ini dan mempersiapkan intubasi pada bayi
(Arulkumaran et al., 2011).

Dalam sebuah studi retrospektif di Harvard Medical School didapatkan


data bahwa dari 20 fetus yang didiagnosis prenatal sebagai mikrognatia, hanya
4 dari 20 fetus (20%) tersebut yang dapat bertahan hidup. Sementara itu, ada
25% fetus yang memiliki kariotipe yang abnormal. Hanya ada 3 fetus (15%)
dengan mikrognatia yang dapat ditentukan dengan temuan sonografi, dua di
antaranya dapat hidup, yakni satu fetus dengan keterbatasan pertumbuhan

12
intrauterin dan satu lagi dengan sindrom Pierre-Robin. Berdasarkan hasil studi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fetus yang didiagnosis in utero
sebagai mikrognatia memiliki prognosis yang buruk dan memiliki resiko tinggi
mengalami defek kongenital serius (Nyberg et al., 2003).

13
KESIMPULAN

Mikrognatia dan makrognatia merupakan kelainan pada rahang yang dapat


disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah gagalnya pembentukan
mandibular pada mikrognatia dan berlebihnya produksi hormon pertumbuhan pada
makrognatia. Kondisi yang terkait dengan mikrognatia merupakan kelainan
kromosom, kelainan neuromuskuler, gangguan gen tunggal, dan sindrom lainnya.
Penyebab mikrognatia dapat terjadi secara kongenital dan didapat. Prognosis
kelainan mikrognatia ini bergantung pada ada tidaknya kelainan anomali. Prognosis
mikrognatia janin umumnya buruk, meskipun kromosom janin normal. Pada
mikrognatia dapat dilakukan tatalaksana pre natal dan post natal, sementara pada
makrognatia dapat dilakukan tatalaksana berupa pembedahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Arulkumaran S, Regan L, Papageorghiou A, Monga A, Farquharson D (2011).


Oxford Desk Reference: Obstetrics and Gynaecology. Oxford University
Press. New York.
Cielo CM, Taylor JA, Vossough A, Radcliffe J, Thomas A, Bradford R, Lioy J,
Tapia IE, Assadsangabi R, Shults J, Marcus CL (2016). Evolution of
Obstructive Sleep Apnea in Infants with Cleft Palate and Micrognathia.
Journal of clinical sleep medicine: JCSM: official publication of the
American Academy of Sleep Medicine, 12(7), 979-87.
Heireman S, Delaey C, Claerhout I, Decock CE (2011). Restrictive extraocular
myopathy: A presenting feature of acromegaly. Indian J Ophthalmol, 59(6):
517-519.
Joshi N, Hamdan AM, Fakhouri WD (2014). Skeletal malocclusion: A
developmental disorder with a life-long morbidity. Journal of Clinical
Medicine Research, 6(6): 399-408.
Khechoyan D. Y. (2013). Orthognathic surgery: general considerations. Seminars
in plastic surgery, 27(3), 133-136.
Lubowits A (2011). Macrognathia. (http://www.medindia.net/patients
/patientinfo/pagets_macrognathia.htm). Diakses – 17 Januari 2019
Morokumo et al. 2010. Abnormal fetal movement, micrognathia and pulmonary
hypoplasia: a case report. BMC Pregnancy Childbirth, 10: 46.
Nyberg, D.A., McGaham, J.P., Pretorius, D.H., Pilu, G., Diagnostic Imaging of
Fetal Anomalies. Lippincott Williams & Walkins. USA. 2003
Paladini, D. (2010), Fetal micrognathia: almost always an ominous finding.
Ultrasound Obstet Gynecol, 35: 377-384.
Patel, U., Agrawal C., Ramani, A., Lalakiya H. (2015). Early orthopaedic correction
of class III malocclusion with alternate rapid maxillary expansion and
constriction (ALT-RAMEC) and face mask : case report. International
Journal of Advanced Research, 3(1):1288-1291
Rachmiel, A., Emodi, O., & Aizenbud, D. (2012). Management of obstructive sleep
apnea in pediatric craniofacial anomalies. Annals of maxillofacial surgery,
2(2), 111-5.
Sesenna, E., Magri, A. S., Magnani, C., Brevi, B. C., & Anghinoni, M. L. (2012).
Mandibular distraction in neonates: indications, technique, results. Italian
journal of pediatrics, 38, 7.
Tomonari, H., Takada, H., Hamada, T., Kwon, S., Sugiura, T., & Miyawaki, S.
(2017). Micrognathia with temporomandibular joint ankylosis and
obstructive sleep apnea treated with mandibular distraction osteogenesis

15
using skeletal anchorage: a case report. Head & face medicine, 13(1), 20.
doi:10.1186/s13005-017-0150-4

Vawter-Lee, M. M., Seals, S. S., Thomas, C. W., & Venkatesan, C. (2016). Clinical
Reasoning: A neonate with micrognathia and hypotonia. Neurology, 86(8),
e80-4.

16

Anda mungkin juga menyukai