Anda di halaman 1dari 17

KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitelial yang menutupi
permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh Regaud dan
Schmincke pada tahun 1921.1

I. ANATOMI NASOFARING
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung. Nasofaring
akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata dan akan terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap dan dinding belakang
dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada
dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang
disebut dengan torus tubarius. Pada bagian lateral, berbatasan dengan muara tuba eustachii.
Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol seperti menara yang disebut torus
tubarius. Bagian atas dan samping torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut
dengan fossa rosenmuller. Di daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.2

II. EPIDEMIOLOGI
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak
ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah). Prevalensi KNF
di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar datang berobat dalam
stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi buruk.3
Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan
keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit. Distribusi KNF di Indonesia hampir
merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan
Sadikin Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus dan 11
kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota
lainnya.3
KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada penduduk Cina bagian
selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia).3
KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai
puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF banyak dijumpai pada laki-laki
dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan apa sebabnya belum dapat dijelaskan secara pasti
mungkin terdapat kaitan dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.4

III. ETIOLOGI (faktor risiko)


Etiologi karsinoma nasofaring berhubungan dengan virus Ebstein Barr, faktor genetik, dan
faktor lingkungan.
1. Virus Epstein Barr (EBV)
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA dengan kapsid ikosahedral dan termasuk
dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV berhubungan dengan beberapa penyakit seperti
limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan karsinoma nasofaring (EBV-1 dan EBV-2).
EBV dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Namun, dapat pula
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa
faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.3,5
2. Genetik
Karsinoma nasofaring bukan termasuk tumor genetik. Namun, karsinoma nasofaring pada
kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisa genetik
menunjukkan gen HLA (Human Leukocyte Antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan merupakan gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom
p450 2E1 merupakan enzim yang bertanggungjawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamin dan karsinogen.6
Analisa genetik pada populasi endemik menunjukkan bahwa orang dengan gen HLA-A2,
HLA-B17 dan HLA-Bw26 memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring.
Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya
kelemahan lokus pada regio HLA. Orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak
pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.6
3. Lingkungan
Ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung sejumlah
besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP)
yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.
Merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang
mengandung formaldehide dan juga debu kayu/asap kayu bakar kemungkinan dapat
mengaktikan kembali infeksi dari EBV. Resiko untuk menderita KNF pada perokok
meningkat 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok serta ditemukan
juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil
dari mengurangi frekuensi merokok.
Terdapat juga hubungan antara terjadinya KNF, infeksi EBV, dan penggunaan CHB (Chinese
Herbal Medicine). Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus
EBV yang laten seperti TPA (Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan
tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang
ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya
transformasi cell mediated immunity dari EBV, dan mempromosikan pembentukan KNF.6

IV. PATOFISIOLOGI
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit.
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Mula-
mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 (reseptor
virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B menyebabkan limfosit
B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum
dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, terdapat dua reseptor yang diduga berperan
dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris
Imunoglobin Receptor).6
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu
· sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi
· EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali
· terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan sifat
sel menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten yaituEBERs,EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. 6
· Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.
· Protein transmembran LMP2A dan LMP2B à menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.
· Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam transformasi sel) menjadi
perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi Factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang
meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

V. KLASIFIKASI
Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi keratinizing squamous
cell carcinoma, non keratinizing squamous cell carcinomaterdiri
atas differentiated dan undifferentiated, serta Basaloid Carcinoma.1,2,4
Sedangkan, ketentuan dari WHO tahun 1978, membagi karsinoma nasofaring menjadi 3
yaitu:
1. Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin/intercellular
bridge/keduanya.
2. Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement
cell pattern)
3. Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal
berukuran besar/sel dengan bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi
sel-sel radang limfosit.

VI. HISTOPATOLOGI
1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi dari
selsquamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-
pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian
tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi.
Dijumpai adanya keratin pearls.4,5,6
2. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinomamemperlihatkan
gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas
dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan
dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti
lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.4,5,6

3. Undifferentiated Carcinoma
Gambaran undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak
berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesikular inti, membesar dan
khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-
sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih.
Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak,
khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-
sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun
jarang).4,5,6
Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds (terdiri dari kumpulan sel-
sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel
limfosit) dan tipe Schmincke (sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan
sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma). Inti sel tumor
berbeda antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma. Pada karsinoma
nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu,
dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Pada malignant lymphomabiasanya pinggirnya
lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau
amphofilik.4,5,6 Undifferentiated carcinoma memberi arti suatu kanker dimana sel-sel kanker
tersebut sangat imatur dan primitif. Biasanya carcinoma yang memiliki sifat seperti ini lebih
ganas.
.
4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel basaloid
berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit.
Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya
peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara
komponen basaloid dan squamous jelas.6

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis dilakukan dengan mencari keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF).
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah
nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.7
Tabel 5. Formula Digby15
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor
primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan
subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.7
Gejala karsinoma nasofaring antara lain:3
1. Gejala pada hidung
· Epistaksis (keluarnya darah biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali
bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu)
· Pilek yang tidak sembuh
· Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau
2. Gejala pada telinga
· Gangguan pendengaran hantaran
· Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
· Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii (karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa
rosenmulleri) sehingga terjadi tuba oklusi, Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun
sehinga terjadi tinitus. Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini
dari karsinoma nasofaring.
3. Gejala pada mata
· Diplopia.
Tumor merayap masuk melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N.
VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan keluhan
berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
4. Gejala pada saraf kranial
Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita. Gejalanya
berupa:
· Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah
· Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial
· Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N.
XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring atau laring, m.
Sternocleidomastoideus, m. Trapezeus.
· Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
· Kesukaran pada waktu menelan
· Afoni
5. Metastasis ke khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Pembesaran dari kelenjar getah
bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Metastasis sel-sel
tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah
bening bagian samping (limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan
infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot
dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh
pasien.6
.
2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior
(tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.7

3. Pemeriksaan Patologi
Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histopatologik. Diagnosis histopatologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsi
cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),
· Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi
kelenjar getah bening servikalis.7
· Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter
disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.6

4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk melihat massa tumor nasofaring dan massa tumor yang
menginvasi jaringan sekitarnya yaitu dengan menggunakan
· Foto polos
· Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada
nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama
pada dasar tengkorak.
· Magnetic Resonance Imaging (MRI), lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor
dari peradangan. MRI lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis pada retrofaringeal dan
kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT
tidak dapat mendeteksinya.6

5. Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti-EA (early antigen) dan IgA anti-VCA (Viral Capsid Antigen)
untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Pemeriksaan IgA anti-EA biasanya hanya digunakan untuk menentukan prognosis
pengobatan. Virus juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia dantekhnik PCR.6
VIII. STADIUM
Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for International
Cancer Control) tahun 2002.3
Tabel 1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya3
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas di nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2A à Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring
T2B à disertai perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Tabel 2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional3


N Pembesaran kelenjar getah bening regional
NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau
terletak di dalam fossa supraklavikula
N3A à ukuran lebih dari 6 cm
N3B à di dalam fossa supraklavikula

Tabel 3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh3


M Metastasis jauh
MX Metastasis jauh tidak dapat
dinilai

Tabel 4. Stadium penyakit3


Stadium 0 T1 N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium T2a N0 M0
IIa
Stadium T1 N1 M0
IIb
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium T1 N2 M0
III
T2a, N2 M0
T2b
T3 N2 M0
Stadium T4 N0, N1, N2 M0
IVa
Stadium Semua N3 M0
IVb T
Stadium Semua Semua N M1
IVc T

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari nasofaring
diklasifikasikan sebagai berikut : 3
· Tis : Carcinoma in situ
· T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat,
tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
· T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dinding lateral.
· T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
· T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial (atau keduanya)

IX. KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas menuju dasar tengkorak melalui foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan N. III, N. IV. N.VI juga menekan N. II yang memberikan kelainan
· Neuralgia trigeminus ( N. V )
Neuralgia rigeminal merupakan suatu nyeri padawajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti
terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
· Ptosis palpebra ( N. III )
· Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi sekitarnya.
Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retripharing dimana ada
kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N.XI, N. XII dengan manifestasi
gejala antara lain:
· N. IX à kesulitan menalan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan
pengecapan pada sepertiga belakang lidah.
· N . X à h iper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi
dan saliva.
· N. XI à kelumpuhan/atrofi otot trapezius, otot sternokleidomastoideus serta hemiparese
palatum mole.
· N. XII à hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
· Sindrom horner à kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis,
onoftalmus dan miosis.
3. Sel-sel kanker dapat mengalir bersama aliran getah bening atau darah menuju organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring. Dalam penelitian lain, ditemukan bahwa karsinoma
nasofaring dapat bermetastasis jauh menuju paru-paru (20%), tulang (20%), hati (10%), otak
(4%), ginjal (0.4%), dan tiroid (0.4%).

X. TATALAKSANA
Pengobatan utama bagi pasien KNF adalah radioterapi, namun sebaiknya juga
dikombinasikan dengan kemoterapi. Pemberian tambahan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin,
dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara
yang cukup memuaskan.3 Undifferentiated carcinoma lebih radiosensitif sedangkan non
keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang paling tidak radiosensitif.6 Tatalaksana
berdasarkan stadium dibagi menjadi:
· Stadium 1 : radioterapi
· Stadium II dan III : kemoradiasi
· Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi
· Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi3

Salah satu efek samping dari radioterapi adalah mulut akan teras kering yang disebabkan oleh
kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor ketika penyinaran. Cara mengatasinya adalah
menganjurkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi
dan makan/mengunyah sesuatu yang rasanya asam sehingga meragsang keluarnya air liur.
Gangguan lain yaitu mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena
fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual.3
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan apabila terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran selesai. Namun,
sebelumnya tumor induk harus sudah hilang (diperiksa radiologi dan serologi) dan tidak
ditemukan adanya metastasis jauh.3
Apabila pasca pengobatan lengkap dan tumor masih tetap ada (residu)/kambuh kembali
(residitif) serta timbul metastasis jauh (seperti ke tulang, paru, hati, otak), pengobatan yang dapat
dilakukukan hanya pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan
paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala dan
memperpanjang usia.3
Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan
nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis
tumor. 3

XI. PENCEGAHAN
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikprotein EBV yang dimurnikan pada
penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.
2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengu bah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
4. enyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat.
5. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA (screening) secara massal yang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

XII. PROGNOSIS
Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan angka bertahan
hidup 5 tahun untuk stadium I 98%, stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B
73%. Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell
carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya.6
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor seperti:

· Stadium yang lebih lanjut


· Usia lebih dari 40 tahun
· Laki-laki daripada perempuan
· Ras Cina
· Adanya pembesaran kelenjar leher
· Adanya kelumpuhan saraf otak dan adanya kerusakan tulang tengkorak
· Adanya metastasis jauh

XIII. BENJOLAN DI LEHER


Benjolan dianggap signifikan apabila telah mencapai ukuran 1,5 cm. Benjolan (masa) di leher
dengan ukuran <1,5 cm hanya membutuhkan observasi rutin kecuali ditemukannya peningkatan
level keganasan. Ketiga penyebab yang dapat menimbulkan benjolan di leher adalah neoplasma
(kanker), masa jinak, dan infeksi.8
1. Benjolan karena kanker
Karakteristiknya adalah nyeri, berbentuk keras, imobile, melekat dengan jaringan disekitarnya,
membesar perlahan.
A: Kanker dari nasofaring, kelenjar parotis
B: Kanker dari kelenjar submandibular, 2/3 anterior lidah, dasar mulut, gum, ataupun rongga
mulut
C: Kanker lidah
D: Kanker nasofaring, scalp poaterior, telinga, tulang temporal, dasar tengkorak
E: Kanker rongga mulut, faring, tonsil, dasar lidah, laring
F: Kanker tiroid, sinus piriformis, esofagus bagian atas, paru
G: Kanker tiroid.8
2. Benjolan karena masa jinak
Berupa masa jinak (non-karsinoma) yang dapat muncul di setiap tempat di leher, meliputi kista,
inflamasi nodus limfa, lipoma, dan sebagainya. Karakteristik masa jinak ini adalah berbatas
tegas, dan dapat digerakkan.
A: Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)
B: Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s), glomus jugulare
(paraganglioma)
C: Tumor kelenjar submandibularis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)
D: Lymphadenitis
E: Anomali branchial cleft, tumor badan karotis (paraganglioma), schwannoma
F: Kista duktus tiroglossal, laringocele
G: Kista tiroid, goiter.8
3. Benjolan karena infeksi
Infeksi yang sering terjadi di leher diakibatkan limfadenitis (inflamasi kelenjar limfe akibat
infeksi di tempat lain pada daerah kepala dan leher). Jika limfadenitis sangat memburuk, maka
dapat terbentuk akses di leher. Proses infeksi dapat menyebabkan masa ini bersifat nyeri, merah,
hangat.
A: Mastoiditis
B: Parotitis
C: Sialadenitis submandibular
D: Infeksi anomali branchial cleft
E: Infeksi duktus tiroglossus
F: Tiroiditis8

XIV. LIMFADENOPATI (gangguan pada kelenjar limfe)


Penyebab utama limfadenopati yaitu keganasan dan infeksi. Penyebab lain antara lain:
1. Reaktivasi infeksi kronis: misalnya TB

2. Tumor primer berupa tumor hodgkin, non-Hodgkin

3. Tumor sekunder akibat metastasis

4. Autoimun: lupus eritematosa sistemik, artritis rematoid, AIDS


Tiga bentuk limfadenopati adalah:
a. Follicular hyperplasia à infeksi, autoimun, reaksi non-spesifik

b. Paracortical hyperplasia à infeksi virus, penyakit kulit, reaksi non-spesifik

c. Sinus histiocytosis à pada pembersigan dari ekstremitas, lesi inflamasi dankeganasan.9

XV. KESIMPULAN
Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien pada pemicu III (Pak Maman), kemungkinan
pasien menderita karsinoma nasofaring (berdasarkan tanda dan gejala KNF). Untuk menegakkan
diagnosis secara pasti, dibutuhkan pemeriksaan histopatologik (patologi anatomi) dengan
spesimen hasil biopsi dari tumor tersebut. Dan perlu pmeriksaan penunjang lain
seperti radioimaging.

XVI. DAFTAR PUSTAKA


1. Bernand B. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare Disease. Biomed
Central. 2006.
2. S Leu-Yi, Jhen-Chuan Lee. Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx, Oropharynx and
Hypopharynx. Original Article. J. Chinese Oncol. Soc. Vol 25. 2009: p.102-13.
3. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. hlm. 182-
187.
4. Mills SE. Squamous Cell Carcinoma. In: Stenbergs Diagnostic Surgical Pathology. 4th Ed.
Lippicoltt William&Wilkins; 2004: p. 974-7.
5. Bailey BJ MD, Jhonson JT MD. Newlands SD,MD,PhD, MBA. Nasopharyngeal Cancer in
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th Ed. Volume 2. Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2001. p.1657- 67.
6. Piasiska H. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Kota
Medan Tahun 2009 [tesis]. Medan: FK USU; 2010.
7. Tambunan, WG. Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC; 1991. p.67-87.
8. Chang C. Neck Masses (online). Cited 5 Mar 2012 [Updated 30 September 2011]. Available
from: URL http://www.fauquierent.net/neckmass.htm
9. Longmore M,Wilkinson I, Turmezei T,Cheug CK. Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7th
Ed. United States, New York: Oxford University. p. 179.

Anda mungkin juga menyukai