Anda di halaman 1dari 30

I.

IDENTITAS

A. PENDERITA

1. Nama : An. M
2. Jenis Kelamin : laki - laki
3. Usia : 1 tahun 2 bulan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jl. Kyai Sahlan 27 no 30 RT 07 RW 03
Desa / Kelurahan Manyar/ Kecamatan Gresik/
Kabupaten Gresik
6. Alloanamnesis : Ibu kandung pasien
7. Tanggal pemeriksaan : 26 april 2018 pukul 23.15 WIB
8.
B. ORANG TUA
1. Nama : Tn. S / Ny. R
2. Umur : 30 th/29 th
3. jenis kelamin: L/P
4. Agama : Islam/islam
5. pekerjaan : pedagang ikan/ ibu rumah tangga
6. status perkawinan: menikah/menikah
7. jumlah anak : 1 orang
8. alamat lengkap : Jl. Kyai Sahlan 27 no 30 RT 07 RW 03
Desa / Kelurahan Manyar/ Kecamatan Gresik/
Kabupaten Gresik

1
C. GENOGRAM (minimal 3 generasi)

Tn.B
60 th

Ny. R Tn. S Ny.A Tn. J


29 th 30 th 33 th 40 th

An.M
14 bln

Keterangan:

Laki –laki

Perempuan

Meninggal

Pasien

2 Tinggal satu rumah


D. INTERAKSI DALAM KELUARGA

Status Keterangan
Nama Usia Pekerjaan
No Sex Hubungan Keluarga Perkawinan Domisili Serumah
(Inisial) (Bln/Th) (deskripsi lengkap)
Ya Tdk
(TK, K, J, D)
1 Tn. B L 60 th tidak bekerja Kakek kandung D - Tdk
2 Tn S L 30 th Pedagang ikan Ayah Kandung K Ya -
3 Ny.R P 29 th Ibu rumah tangga Ibu kandung K Ya -
4 An. M L 27 th - Pasien (anak) TK Ya -
5 Ny. A P 33 th Guru Bibi K - Tdk
Tn. J L 40 th Wiraswasta (Toko) Paman K - Tdk

3
II. DATA DASAR KESEHATAN

STATUS MEDIS (Klinis)

KU : Sesak napas

RPS : Pasien sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,


Pasien mengalami sesak yang ditandai dengan napas yang
cepat . pasien tampak rewel tetapi tak tampak biru maupun
pucat pada pasien . menurut ibu pasien kadang terdengar
bunyi ngik-ngik. 2 hari Sebelum sesak pasien mengalami
demam. Demam naik mendadak, dengan suhu yang tidak
diukur oleh orang tua pasien. Keluhan demam disertai
dengan batuk berdahak dan pilek. Batuk berdahak berwarna
putih dan kental, namun tidak ada darah. Tidak ada
mencret, Muntah dialami pasien sebanyak 3 kali dalam
sehari, berisi lendir dan susu yang diminum oleh pasien.
Sudah diberi obat sanmol oleh ibu pasien demam berkurang
Pasien kemudian dibawa ke IGD RSMG pada jam 6 pagi
dan dilakukan nebulasi dan diberi obat puyer ,sesak
berkurang dan demam turun lalu pulang. namun setelah
dirumah, keluhan sesak kambuh dan tidak membaik,
sehingga dibawa kembali ke IGD RSMG.

Pemeriksaan Fisik

Berat badan= 11 kg

Keadaan umum : tampak sesak

Kesadaran : Kompos mentis, GCS 456

Tanda vital :

Tekanan Darah : TDE

Nadi : 142x/ menit, regular, lemah

4
RR : 52 x/ menit

Suhu : 38,4 ° C

SpO2 : 96%

Pemeriksaan generalis:

Kepala

Kulit dan wajah : dalam batas normal

Mata : konjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

Hidung : pernafasan cuping hidung (-)

Lidah dan bibir : bibir kering (-), lidah kotor(-), faring hiperemis (+)

Leher : tidak ada pembesaran KGB

Thorax

Paru :

-Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi intracostal (-)

-Palpasi : nyeri tekan (-)

-Perkusi : sonor (+/+)

-Auskultasi : ronchi (+/+), wheezing (+/+)

Jantung :

-Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat

-Palpasi : ictus kordis tidak teraba, tidak kuat angkat

-Perkusi :-

-Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen :

5
Inspeksi : Distensi abdomen (-)

Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-)

Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), turgor kulit normal

Auskultasi : Bising usus (+), Normal

Ekstremitas : Akral hangat kering merah, Capillary Refill Time < 2 detik,
Ptekie (-), oedem (-)

RPD :

- Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.


- Sering batuk maupun pilek sebelumnya hanya di bawa ke bidan dan diberi
obat batuk
- Riwayat kejang demam disangkal.

RPK:

- Ayah : alergi debu dan udara dingin, berupa gatal – gatal, asma (-)
- Ibu : asma (+)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan Keluarga :

Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Ayah kandung pasien bekerja
sebagai pedagang , sedangkan ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien
tinggal bersama ayah danibu. Ayah pasien sering merokok, namun jarang merokok
di dalam rumah. Kondisi lingkungan rumah pasien tidak terlalu padat, ventilasi di
rumah pasien kurang baik. Pasien tidur menggunakan kasur kapuk. Memiliki
hewan peliharaan ayam di dekat rumah.Jaminan yang digunakan adalah BPJS.
Tidak ada tetangga maupun warga sekitar rumah pasien yang memiliki keluhan
sama dengan pasien

Riwayat Kehamilan

Saat hamil ANC rutin di bidan, riw.tekanan darah tinggi saat hamil (-), konsumsi
obat-obatan selama hamil (-), konsumsi jamu (-).

6
Riwayat Kelahiran :

Pasien merupakan anak pertama, Aterm / Spontan / ditolong bidan / BBL 3000 g /

Langsung menangis / asfiksia (-) / cyanosis (-) / ikterik (-) / kel.kongenital (-)

Riwayat Imunisasi :

BCG : 1 x, usia 1 bulan

Polio : 1 x, usia 1 bulan

Hepatitis B : 1x, saat lahir

DPT : 3x, saat usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan

Campak : 1x, usia 9 bulan

Riwayat Tumbuh Kembang :


o Angkat kepala : 3 bulan
o Telungkup : 5 bulan
o Duduk sendiri : 7bulan
o Merangkak : 12 bulan
o Jalan : 13 bulan
o Bicara kata : 13 bulan
Riwayat Gizi :
- ASI selama 4 bulan, kemudian susu formula sampai sekarang

7
Riwayat Sosial, Budaya, Ekonomi , Lingkungan

UPAYA & PERILAKU KESEHATAN


KETERANGAN
NO KOMPONEN URAIAN UPAYA & PERILAKU (RASIONAL ATAU
IRRASIONAL)
Rutin mengikuti posyandu balita setiap bulan
1 Promotif Rasional
Mengikuti program imunisasi
Memakaikan pakain yang hangat
2 Preventif Rasional
Menghindari paparan asap rokok dengan cara ayahnya merokok diluar rumah
Pasien pergi berobat jika ada keluhan kesehatan
3 Kuratif Rasional
Jika demam diberikan obat penurun panas

Istirahat
4 Rehabilitatif Rasional
Meneruskan pemberian makanan dan susu formula

8
STATUS SOSIAL

NO KOMPONEN KETERANGAN (Deskripsikan dengan lengkap dan jelas)


Pasien menghabiskan waktu nya dirumah, tetapi terkadang diajak ibu nya bertemu dengan tetangga
Pasien sudah bisa berdiri dan berjalan
1 Aktifitas sehari-hari
Antara jam 13.00-15.00 pasien tidur siang

- TB= 80 cm
- BB= 11 kg
2 Status Gizi - Makan 2-3 kali/hari Makan berupa bubur kasar nasi dengan lauk seperti tempe , telur. Ibu pasien
jarang memerikan buah- buahan dan sayuran
- Minum susu formula
3 Pekerjaan -

4 Jaminan Kesehatan BPJS

FAKTOR RESIKO LINGKUNGAN

9
KOMPONEN
NO KETERANGAN
LINGKUNGAN
 Rumah di kawasan padat penduduk. Rumah milik pribadi ukuran 10x9 m2, berdinding tembok, lantai
berkeramik, ventilasi kurang
 Kamar pasien menggunakan kasur kapuk , menggunakan kipas angin
1 Fisik
 Sumber penerangan listrik, pencahayaan cukup
 MCK 1 buah, milik pribadi, Septic tank ditanam dibawah banguanan rumah
 Dapur bersebelahan dengan MCK menggunakan penyekat
 Menanam tumbuhan di dalam pot yang diletakkan didepan rumah
2 Biologi
 memelihara hewan ayam 3 ekor ,di letakkan dibelakang rumah didekat dapur
 SPAL melalui selokan kecil
3 Kimia  Sumber air minum dari sumur
 Dikamar menggunakan obat nyamuk elektrik
 Hubungan antara pasien dengan keluarga baik dan harmonis
4 Sosial
 Hubungan dengan tetangga juga baik
 Ibu tidak mengerti cara untuk memperlancar ASI sehingga tidak keluar dan anak minum susu
5 Budaya
formula sejak usia 4 bulan
 Hubungan ibu dan pasien dekat dan mendapat kasih sayang
6 Psikologi
 Pasien bertemu ayah nya pada saat pagi dan menjelang tidur malam
 Rumah warisan dari orang tua ibu
 Pendapatan keluarga diperoleh dari ayah pasien
7 Ekonomi
 Perabot rumah tangga milik sendiri
 Sumber penghasilan ayah Rp. 1.500.000/bulan
8 Ergonomi  Pasien tidur menggunakan kasur kapuk

10
III. DIAGNOSIS HOLISTIK (Lima ASPEK)
Aspek 1:
- Chief complain : sesak, demam, batuk, pilek
- Fear : takut jika sesak nya terus menerus
- Wishes/hope : berharap segera sembuh
Aspek 2:
- Clinical diagnosis : Bronkiolitis
- Differential Diagnosis : 1. Bronkopneumonia
2. Asma

Aspek 3:
- Belum mengerti pentingnya nutrisi dari makan dan ASI sebagai faktor

menjaga imunitas tubuh


Aspek 4:

- Keadaan ekonomi keluarga cukup


- Keadaan pendidikan keluarga pasien yang cukup
- Pasien mendapatkan perhatian dan kasih sayang cukup dari ibu, namun ayah

pasien jarang bersama pasien karena pekerjaannya


- pasien tidur menggunakan kasur kapuk
- memiliki hewan peliharaan di dekat rumah
- ayah pasien sering merokok

Aspek 5

Skala fungsi sosial tingkat 5

11
IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF :

No Aspek Dx Holistik Penatalaksanaan Komprehenship yang dapat dilakukan oleh penderita


(Uraian permasalahan/penyebab maslah kesehatan berdasarkan (Langkah Operasional)
tiap aspek)
1 Personal: Promotif:

- Chief complain : sesak, demam, batuk, pilek - Rutin mengikuti posyandu dan imunisasi
- Fear : takut jika sesak nya terus menerus
- Wishes/hope : berharap segera sembuh - Edukasi kepada orang tua pasien tentang nutrisi makanan yang bisa
diberikan kepada pasien agar dapat meningkatkan imunitas tubuh
- Mengurangi faktor resiko memperberat sakit pasien seperti debu dan
2 Klinis: faktor alergen lain seperti kasur kapuk bisa diganti dengan bahan lain.

- Clinical diagnosis: Bronkiolitis Preventif:


- differential diagnosis: bronkopneumonia dd asma - Meningkatkan imunitas tubuh dengan makan – makanan yang bergizi
dan susu
3 Internal: - Menghindari faktor- faktor yang memperberat sakit pasien deperti debu

Belum mengerti pentingnya nutrisi dari makan dan ASI sebagai dan bahan alergen seperti kasur kapul, kewan peliharaan
-
faktor menjaga imunitas tubuh Kuratif:

12
4 Eksternal: - Rawat jalan
- O2 nasal kanul 2 Lpm
- Keadaan ekonomi keluarga cukup - paracetamol syr 120 mg/5ml 1cth 3-4x / hari
- Keadaan pendidikan keluarga pasien yang cukup - nebul ventolin ½ +Nacl 2 cc
- Pasien mendapatkan perhatian dan kasih sayang cukup - Diet TKTP
Monitoring :
dari ibu, namun ayah pasien jarang bersama pasien
- Vital sign
karena pekerjaannya - Keluhan : : sesak, demam, batuk, pilek
- pasien tidur menggunakan kasur kapuk
Rehabilitatif:
- memiliki hewan peliharaan di dekat rumah
- ayah pasien sering merokok - Istirahat yang cukup
-
- Makan makanan yang bergizi
5 Fungsi Sosial:

Tingkat 5 aktivitas sehari-hari mutlak tergntung pada orang lain

(orang tua).

13
V. RESUME KASUS

2.1 Definisi

Bronkiolitis merupakan penyakit saluran pernapasan bawah yang

ditandai dengan batuk disertai peningkatan kerja pernapasan (work of breathing)

dan sering mempengaruhi kemampuan anak untuk makan.1 Bronkiolitis adalah

istilah yang digunakan pada mengi (wheezing)yang terjadi pertama kali akibat

infeksi virus pada saluran respiratori.2

2.2 Epidemiologi

Bronkiolitis merupakan penyebab tersering anak di rawat di Rumah

Sakit. Sekitar 1% - 3% anak akan mengalami bronkiolitis pada tahun awal

kehidupan dan 2% - 3% dari anak yang mengalami bronkiolitis memerlukan

perawatan di Rumah Sakit.1 Angka kejadian bronkiolitis menurun tajam pada usia

1- 5 tahun, dan selanjutnya jarang terjadi.2

Anak dengan penyakit paru kronik seperti displasia bronkopulmer,

penyakit jantung bawaan, kelemahan sistem neuromuskuler atau defisiensi sistem

imun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami bronkiolitis berat yang

berpotensi fatal. Anak mendapatkan infeksi setelah terpajan dengan anggota

keluatga yang terinfeksi, atau melalui kontak dengan tang yang terkontaminasi

sekret penderita. Di Amerika Serikat, puncak kejadian tahunan terjadi pada akhir

musim dingin dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Anak laki – laki

lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan anak perempuan dengan rasio 1,5 : 1.2

Hal yang khas pada bronkiolitis akut adalah inflamasi respiratori dan

terjadinya obstruksi respiratori akibat pembengkakan pada bronkiolus yang

14
berkaliber kecil dan mengakibatkan timbulnya aliran ekspirasi yang inadekuat.

Sebagian besar kasus bronkiolitis berat terjadi pada bayi, hal ini terjadi akibat

kaliber saluran respiratori yang lebih kecil dan sistem pertahanan respiratori yang

masih imatur.2

Infeksi ditularkan melalui kontak langsung dengan sekret dari saluran

pernapasan orang yang terinfeksi. Di Amerika Serikat, bronkiolitis terjadi selama

2-4 bulan, dimulai pada bulan Oktober / November dan memuncak pada bulan

Januari atau Februari. Sedangkan 93% kasus terjadi antara bulan November dan

awal April, kasus sporadis dapat terjadi sepanjang tahun. Dalam iklim tropis /

subtropis, angka kejadian lebih lama dan tampaknya berkorelasi dengan musim

hujan. Tingkat serangan dalam keluarga setinggi 45% dan lebih tinggi di pusat

penitipan anak. Tarif dari infeksi nosokomial dapat berkisar 20-47%.

2.3 Etiologi

Penyebab utama bronkiolitis adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV)

yaitu sekitar 50% - 90%, diikuti oleh human meta pneumovirus, virus influenza,

virus parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, dan yang peling jarang yaitu , dan

yang peling jarang yaitu Mycoplasma pneumonia.2

2.4 Faktor Risiko

Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko terjadinya bronchiolitis4 :

 Usia kurang dari 3 bulan.


 Berat badan lahir rendah, sering terjadi pada bayi prematur.

15
 Usia kehamilan (bayi lahir < 29 minggu merupakan faktor risiko

tinggi terinfeksi RSV dan perlu perawatan di Rumah Sakit).


 Bayi dari keluarga sosial ekonomi yang rendah
 Lingkungan yang kurang baik (tempat penitipan anak, atau ada

anggota keluarga yang terinfeksi RSV)


 Orangtua perokok
 Penyakit paru kronik, seperti displasia bronkopulmoner
 Gangguan neurologi kongenital yang berat
 Penyakit jantung bawaan
 Penyakit defisiensi immun kongenital
 Anomali saluran pernapasan

2.5 Patofisiologi

Bronkiolus merupakan saluran pernapasan kecil (diameter < 2 mm)

dimana krtilago dan kelenjar submukosa sangat sedikit. Bronkiolus terminalis

merupakan tempat konduksi terakhir dari saluran pernapasan. Asinus (yaitu, unit

pertukaran gas paru – paru) terdiri dari bronkiolus, saluran alveolus, dan alveolus.

Lapisan nronkiolus terdiri dari sel – sel clara yang dapat mensekresi surfaktan dan

sel neuroendokrin yang merpakan sumber dari produk bioaktif seperti

somatostatin, endotelin, dan serotonin.4

Perlukaan atau cedera pada bronkiolus dan akibat interaksi antara sel –

sel inflamasi dan sel mesenkim akan menyebabkan beragam kelainan patologis

dan sindrom klinis. Efek dari cedera bronkiolus dimulai dari 18 – 24 jam setelah

infeksi berupa : peningkatan sekresi mukus; kontriksi dan obstruksi bronkiolus;

kematian sel alveolus, debris, dan invasi virus; air trapping; atelektasis;

penurunan ventilasi yang menyebabkan mismatch ventilasi – perfusi; dan sesak

napas.4

16
Mekanisme immunoligi yang kompleks berperan dalam patogenesis

bronkiolitis. Reaksi alergi tipe 1 yang di mediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

sangat berhubungan dengan bronkiolitis. Bayi yang mendapat ASI dengan

kolostrum yang kaya akan immunoglobulin A (IgA) dapat melindungi anak dari

bronkiolitis. 4,11,12

Nekrosis pada epitel saluran pernapasan merupakan lesi awal pada

bronkiolitis dan terjadi dalam 24 jam setelah infeksi. 12 Proliferasi dari sel – sel

goblet terjadi akibat dari sekresi mukus yang meningkat, sedangkan regenerasi

epitel dengan epitel non ciliated merusak sistem pembersihan

(clearance).Infiltrasi limfosit dapat mengakibatkan edema pada submukosa.4

Sitokin dan kemokin, dirilis oleh sel epitel pernapasan yang terinfeksi,

memperkuat respon imun dengan meningkatkan perekrutan seluler ke dalam

saluran pernapasan yang terinfeksi. Interferon dan interleukin (IL) - 4, IL – 8, dan

IL – 9 yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada sekresi pernapasan pasien

yang terinfeksi.4,13,14

Inflamasi saluran pernapasan, edema mukosa dan debris akan

menyebabkan obstruksi bronkiolus, yang menyebabkan hiperinflasi, peningkatan

resistensi jalan napas, atelektasis, dan gangguan ventilasi – perfusi. Proses

terjadinya bronkokonstriksi belum dapoat dijelaskan. Bayi lebih sering terinfeksi

karena saluran pernapasannya kecil, high closing volumes, dan insufisiensi

ventilasi kolateral. Proses pemulihan dimulai dengan regenerasi epitel bronkiolus

setelah 3 – 4 hari. Namun silia tidak muncul sampai 2 minggu, sehingga

pembersihan sekret didominasi oleh makrofag.4

17
Infeksi dimulai dari saluran pernapasan bagian atas, kemudian menyebar

ke saluran pernapasan bagian bawah dalam beberapa hari. Infeksi dari virus ini

akan menyebabkan inflamsi pada bronkiolus ditandai dengan infiltrasi sel darah

putih pada peribronkial terutama sel – sel mononuklear dan edema pada

submukosa dan tunika adventicia. Edema terjadi akibat dari perlukaan langsung

oleh virus ataupun secara tidak langsung melalui aktivasi respon immun.3

Edema, peningkatan sekresi mukus dan kerusakan epitel saluran

pernapasan disertai nekrosis akan menyebabkan obstruksi parsial atau total

saluran pernapasan, udara terperangkap (air trapping), atelektasis dan gangguan

ventilasi yang akan menyebabkan hipoksemia dan peningkatan kerja pernapasan.3

2.6 Diagnosis
 Anamnesis
-
Sering terjadi pada anak usia < 2 tahun insiden tertinggi usia 3 – 6

bulan.
-
Anak yang menderita bronkiolitis mengalami demam atau riwayat

demam, namun jarang terjadi demam tinggi.


-
Rhinorrhea, nasal discharge (pilek), sering timbul sebelum gejala lain

seperti batuk, takipneu, sesak napas, dan kesulitan makan.


-
Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama muncul pada

bronkiolitis. Batuk kering dan mengi khas untuk bronkiolitis.


-
Poor feeding. Banyak penderita bronkiolitis mempunyai kesulitan

makan yang berhubungan dengan sesak napas, namun gejala tersebut

bukan hal mendasar untuk diagnosis bronkiolitis.

18
-
Bayi dengan bronkiolitis jarang tampak “toksik”. Bayi dengan tampilan

toksik seperti mengantuk, letargis, gelisah, pucat, motling, dan takikardi

membutuhkan penanganan segera.8,12


 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
-
Takipneu
-
Takikardi
-
Demam (38 ℃– 39 ℃)
-
Retraksi dinding dada (subkosta, interkostal, dan supraklavikula)

sering terjadi pada bronkiolitis. Bentuk dada tampak hiperinflasi dan

keadaan tersebut membedakan bronkiolitis dan pneumonia.8,11


-
Wheezing, rales (47% kasus)
-
Hipoksia
 Pemeriksaan Laboratorium
-
Pulse Oximetry. Bayi dengan saturasi oksigen ≤ 92%

membutuhkan perawatan di ruang intensif. Bayi dengan saturasi ≥ 94%

pada udara ruangan dapat dipertimbangkan untuk dipulangkan.8


-
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak memberikan hasil yang

spesifik dan tidak diperlukan untuk menegakan diagnosis bronkiolitis.

Pada pemeriksaan laboratorium sering ditemukan leukositosis ringan

(12.000 – 16.000 sel /µL) tetapi ini tidak bersifat spesifik.2


-
Ujiantigen (uji immunofluoresensi atau uji ELISA [enzyme linked

immunosorbent assay]) dari sekret nasofaringeal untuk mendeteksi RSV,

virus parainfluenza, virus influenza, dan adenovirus merupakan test yang

paling sensitif untuk mengkonfirmasi terjadinya infeksi. Untuk

mendiagnosis bronkiolitis karena virus, pemeriksaan yang dilakukan

dengan waktu yang singkat adalah pemeriksaan PCR (polymerase chain

reaction).2
-
Pemeriksaan radiografi menunjukkan hiperinflasi dan infiltrat

(patchy infiltrate), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan

pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula

19
ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat

sekret pekat bercampur sel – sel mati yang menyumbat, air trapping,

diafragma mendatar, dan peningkatan diameter anteroposterior.9

2.7 Penatalaksanaan
Terapi bronkiolitis terdiri dari terapi suportif, termasuk pemantauan

fungsi respiratori, pengendalian demam, hidrasi yang baik, penghisapan lendir

dari saluran respiratori atas dan pemberian oksigen. Pemberian oksigen dengan

menggunakan nasal kanula seringkali diperlukan. Pada kasus gagal napas atau

apnea, tindakan intubasi dan bantuan mesin ventilator diperlukan.2,8,13


Indikasi rawat inap pada kasus bronkiolitis adalah usia kurang dari 6

bulan, distres respiratori sedang sampai berat, hipoksemia (PO2< 60 mmHg atau

saturasi oksigen < 92% pada suhu kamar), apneu, ketidakmampuan untuk

menerima makanan secara oral dan kurangnya fasilitas perawatan yang ada di

rumah. Rawat inap pada pasien bronkiolitis risiko tinggi harus dipertimbangkan,

pemberian bronkodilator dan preparat kortikosteroid belum terbukti efektif

sebagai terapi bronkiolitis.2


a. Terapi Suportif
-
Oksigen : pemberian kanula pada hidung dapat mengurangi tingkat

intubasi pada bayi dengan bronkiolitis. Pemberian oksigen tambahan

dapat dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen transkutan

lebih tinggi dari 90%.4,14


-
Pemeliharaan hidrasi : bayi dengan bronkiolitis dapat mengalami

dehidrasi sedang akibat dari penurunan intake cairan dan peningkatan

kehilangan cairan akibat demam dan takipneu. Terapi parenteral

mungkin diperlukan pada pasien yang tidak mampu untuk mengambil

cairan melalui mulut atau yang memiliki tingkat pernapasan yang lebih

20
tinggi dari 70 kali / menit. Pasien dengan episode apnea harus

memiliki akses ke hidrasi IV.4


-
Ventilasi mekanik : Bayi dengan bronchiolitis dan apnea berulang atau

peningkatan kerja pernapasan dengan kegagalan pernafasan terkadang

membutuhkan ventilasi mekanis. Perlakukan pasien ini penuh

dukungan, memberikan oksigen yang cukup, ventilasi, dan hidrasi.

Continuous positive airway pressure (CPAP) dan intermittent

mandatory ventilation(IMV) dengan positive end-expiratory

pressure(PEEP) telah berhasil digunakan untuk mengobati bayi

bronkiolitis. Beberapa studi telah melihat ke dalam penggunaan

surfaktan dan oksida nitrat dalam kasus-kasus gangguan pernapasan

parah. Namun, hasilnya tidak cukup meyakinkan untuk mendukung

penggunaan rutin di bronchiolitis. Sebuah meta-analisis dari beberapa

penelitian kecil menunjukkan bahwa terapi surfaktan dapat

mempersingkat durasi ICU tinggal pada anak-anak yang menjalani

ventilasi untuk bronkiolitis berat. Heliox adalah campuran dari oksigen

(20-30%) dan helium (70-80%) yang memiliki viskositas rendah dari

udara. Ini telah berhasil digunakan dalam kasus-kasus obstruksi jalan

napas, croup, operasi saluran napas, dan asma untuk mengurangi upaya

pernapasan selama periode compromise jalan napas. Beberapa studi

telah menunjukkan peningkatan skor gangguan pernapasan pada

pasien bernapas Heliox dan telah menyarankan bahwa menggabungkan

Heliox dengan hidung CPAP dapat membuat intubasi yang tidak

perlu.4,15
b. Terapi Farmakologi

21
-
Bronkodilator : bronkodilator sering digunakan pada pasien dengan

bronkiolitis, dimana tidak ada penelitian yang cukup untuk mendukung

pendekatan ini sebagai pengobatan rutin. Salah satu pendekatan praktis

adalah penggunaan bronkodilator hanya pada pasien yang

menunjukkan perbaikan klinis setelah penggunaan awal dari agen

ini.1,16
pemakaian beta agonis umumnya adalah untuk obstruksi jalan napas

dan hiperreaktivitas bronkus. Efek terhadap bersihan mukosiliar jalan

napas adalah meningkatkan frekuensi getaran silia dengan stimulasi

reseptor beta2 dan peningkatan sinyal cyclic adenosine

monophosphate (cAMP). Efek bronkodilatasi akan meningkatkan arus

ekspirasi sehingga meningkatkan efektivitas batuk dalam melakukan

pembersihan jalan napas. Batuk dan arus udara adekuat menjadi usaha

bersihan mukosiliar utama pada kondisi hipersekresi mukus yang berat

dan lama, sehingga bronkodilator sangat membantu dalam kondisi

tersebut.9,17
-
Antiviral dan antibiotik: terapi antivirus tidak rutin dianjurkan untuk

kasus bronkiolitis. Meskipun ribavirin memiliki potensi untuk

mengurangi lama pemakaian ventilasi mekanik dan rawat inap, efek ini

tidak konsisten dan tidak cukup untuk mendukung pada penggunaan

infeksi RSV. Namun, AAP menunjukkan bahwa terapi aerosol ribavirin

dapat dipertimbangkan pada bayi dan anak-anak yang berisiko tinggi

terinfeksi RSV : bayi dengan penyakit jantung bawaan yang berat

(termasuk hipertensi pulmonal), displasia bronkopulmoner, cystic

fibrosis, dan penyakit paru-paru kronis lainnya; bayi dengan penyakit

22
imunosupresif yang mendasari dan bayi yang sakit parah dengan atau

tanpa ventilasi mekanik; pasien rawat inap usia < 6 minggu atau yang

memiliki kondisi yang mendasarinya (misalnya, beberapa anomali

kongenital atau penyakit metabolik neurologis tertentu). Studi

terkontrol plasebo belum menemukan ribavirin efektif secara klinis

pada anak dengan bronkiolitis. Studi jangka panjang tindak lanjut dari

ribavirin belum konsisten menunjukkan efek menguntungkan pada

fungsi paru. Selain itu, terapi ini sangat mahal.4


-
Anti inflamasi : Plint et al menemukan bahwa menggabungkan

deksametason dan epinefrin dapat mengurangi penerimaan bayi

dengan bronkiolitis di UGD untuk dirawat di rumah sakit. Dalam

percobaan ini, 800 bayi ditugaskan untuk 1 dari 4 kelompok perlakuan

(nebulisasi epinefrin dan deksametason oral, epinefrin nebulasi dan

plasebo oral, plasebo nebulasi dan deksametason oral, atau plasebo

nebulasi dan plasebo oral). Hanya bayi dalam kelompok epinefrin-

deksametason secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk

dirawat di rumah sakit dalam waktu 7 hari pengobatan. Plint et al

menemukan bahwa menggabungkan deksametason dan epinefrin dapat

mengurangi penerimaan rumah sakit untuk bayi dengan bronkiolitis

dirawat di UGD. Dalam percobaan ini, 800 bayi ditugaskan untuk 1

dari 4 kelompok perlakuan (nebulized epinefrin dan deksametason

lisan, epinefrin nebulasi dan plasebo lisan, plasebo nebulasi dan

deksametason lisan, atau plasebo nebulasi dan plasebo oral). Hanya

bayi dalam kelompok epinefrin-deksametason secara signifikan lebih

kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit dalam waktu 7

23
hari pengobatan. Sumner et al, menggunakan data dari percobaan

Canadian Bronchiolitis Epinefrin steroid, ditemukan epinefrin dan

deksametason menjadi perawatan yang paling hemat biaya untuk

bronkiolitis pada bayi berusia 6 minggu sampai 12 bulan. 16,18


-
Salin hipertonik : berdasarkan penelitian, penggunaan nebulasi 3%

saline hipertonik mrupakan pengobatan yang aman, murah, dan efektif

untuk bayi yang dirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis akibat

virus. Dalam secara acak, double-blind trial dari 187 bayi yang lebih

muda dari 18 bulan dengan bronkiolitis akut, Al-Anshari et al

menemukan bahwa nebulisasi dengan saline hipertonik 5% aman dan

lebih baik dari garam 0,9%, dan lebih baik dari saline hipertonik 3%.4
Inhalasi salin hipertonis mempengaruhi bersihan mukosiliar melalui

beberape mekanisme :
-
Efek mukolitik dengan memutuskan ikatan ion antar molekul gel

sehingga mengurangi ikatan silang dan belitan dan pada akhirnya

mengurangi viskositas sputum dan memecah DNA mukoprotein

sehingga mukoprotein dapat dicerna oleh enzim proteolitik.


-
Efek ekspektoran dengan menarik cairan secara osmotik dari dalam

sel sehingga meningkatkan kandungan air pada ASL (airway

surface liquid).
-
Memicu batuk sehingga menimgkatkan daya bersihan jalan napas.
-
Mengurangi produksi biofilm Pseudomonas aeruginosa.
-
Meningkatkan kadar dua thiol (glutation dan tiosianat) yang

bersifat protektif terhadap sel oksidatif.9,19


c. Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada tidak dapat direkomendasikan dengan baik. Dalam 3 uji

klinis bayi dirawat di rumah sakit yang tidak memakai ventilasi dimana

membandingkan teknik getaran dan teknik perkusi dalam posisi drainase

postural tanpa intervensi, hasilnya tidak ada perbedaan yang sehubungan

24
dengan lama tinggal di rumah sakit, kebutuhan oksigen, atau keparahan

skor klinis pada bayi dengan bronkiolitis. 4 Sebuah 2012 Cochrane review,

yang termasuk 9 studi anak-anak muda dari 2 tahun dengan bronkiolitis

akut, menegaskan bahwa fisioterapi dada tidak mengurangi keparahan

penyakit, meningkatkan parameter pernapasan, memperpendek lama

tinggal di rumah sakit, atau mengurangi kebutuhan oksigen pada pasien

rawat inap yang tidak di pasang ventilasi. Berbagai modalitas fisioterapi

dada (getaran dan perkusi atau teknik ekspirasi paksa) telah menunjukkan

hasil yang sama negatif.4

2.8 Komplikasi dan Prognosis

Pada umumnya anak yang mendapat perawatan di Rumah Sakit akan

membaik dalam waktu 2 – 5 hari hanya dengan terapi suportif. Periode

terjadinya mengi dapat bervariasi. Setelah anak di rawat di rumah sakit

mungkin saja terjadi takipneu dan hipoksia, yang mengarah pada gagal napas

sehingga membutuhkan bantuan mesin ventilator. Kemungkinan terjadinya

apneu merupakan perhatian utama pada bayi muda yang mengalami

bronkiolitis.2,20

Sebagian besar kasus bronkiolitis akan sembuh sempurna, walaupun

dapat terjadi kelainan minor pada fungsi paru dan hipereaktivitas bronkus

yang menetap selama bebrapa tahun. Penyakit ini mungkin kambuh tetapi

umumnya ringan, tetapi tetap harus dinilai dan diperlakukan sama seperti saat

episode bronkiolitis pertama kali terjadi. Insidens terjadinya asma umumnya

lebih tinggi pada anak yang pernah dirawat dengan bronkiolitis saat bayi,

tetapi hal ini belum dapat diterangkan apakah kejadian ini bersifat kausal atau

25
jika anak rentan terhadap asma lebih memiliki kecenderungan untuk dirawat

di rumah sakit bila mengalami bronkiolitis. Angka kematian pada penyakit ini

adalah sekitar 1% - 2%, dan angka kematian tertinggi terjadi pada bayi

dengan fungsi jantung ataupun sistem imun yang terganggu.2

2.9 Pencegahan

Pemberian injeksi palivizumab (antibodi monoklonal spesifik RSV)

setiap bulannya, sebelum musim penyakit RSV memberikan proteksi

terhadap penyakit RSV berat. Palivizumab direkomendasikan terutama pada

anak berusia kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru kronok (displasia

bronkopulmoner), bayi berat lahir sangat rendah (very low birth weight), dan

pada bayi dengan penyakit jantung kongenital, baik sianotik maupun non-

sianotik. Imunisasi influenza pada anak berusia lebih dari 6 bulan dapat

melindungi anak dari penyakit terkait infeksi virus influenza.2,14

DAFTAR PUSTAKA

1. Nice guidline. 2015. Bronchiolitis in Children : Diagnosis and


Management. National Institute for Health and Care Excellence. Pg. 1 –
32.
2. Hegar, Badriul. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Elsevier. Hal. 256 – 257.
3. Oymar, K., Skjerven, O.H, Mikalsen, B.I., 2014. Acute Bronchiolitis in
infants, a review. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitatiom and
Emergency Medicine. Pg. 1 – 10.

26
4. Maraqa, Nizar. 2017. Bronchiolitis. Pediatric General Medicine.
Medscape.
5. Papoff P, Moretti C, Cangiano G, et al. Incidence and predisposing factors
for severe disease in previously healthy term infants experiencing their
first episode of bronchiolitis. Acta Paediatr. 2011 Jul. 100(7):e17-23.
6. Stockman LJ, Curns AT, Anderson LJ, Fischer-Langley G. Respiratory
syncytial virus-associated hospitalizations among infants and young
children in the United States, 1997-2006. Pediatr Infect Dis J. 2012 Jan.
31(1):5-9.
7. World Health Organization. Health in 2015. Global Health Observatory
data. Available at http://www.who.int/gho/database/en/. December 2015;
Accessed: July 8, 2016.
8. Pudjadi, A., Hegar, B., Handryastuti, S., dkk,. 2009. Pedoman Pelayanan
Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 30 – 33
9. Anam, S., Kaswandani, N., Indawati, W., dkk. 2017. Better Respiratory to
the Health of All Indonesian Children. Indonesia Pediatric Respirology
Meeting 7th. UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 141 –
162.
10. Hospital Care of Children in 2016. Bronchiolitis. Available at
http://www.ichrc.org/441-bronkiolitis
11. Irwan dkk, 2016. Diagnosis Dan Penanganan Terkini Bronkiolitis Pada
Anak. CDK-241 vol 43 no. 6.
12. Suprianto, B, 2006.Infeksi Respiratorik Bawah Akut Pada Anak. Sari
pediatri vol. 8 no.2 hal 100-106
13. Maraqa,N, 2018. Bronchiolitis. Division of Pediatric Infectious Diseases
and Immunology,University of Florida College of Medicine at
Jacksonville. https://emedicine.medscape.com/article/961963-overview
14. American Academy Of Pediatric.2006. Clinical Practice Guideline: The
Diagnosis, Management, And Prevention Of Bronchiolitis.
http://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/134/5/e1474.full.pd
f
15. Gavin, R, 2010. Bronchiolitis . Starship Children’s Health Clinical
Guideline.
http://www.adhb.govt.nz/starshipclinicalguidelines/_Documents/Bronchiol
itis.pdf

27
16. Subanada, IB, 2009. Faktor- faktor yang berhubungan dengan bronkiolitis
akut. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD-RSUP Sanglah,
Denpasar. Sari pediatri vol. 10 no. 6
17. National Institute For Health And Care Excellent. 2015. Bronchiolitis In
Children: Diagnosis And Management.
https://www.nice.org.uk/guidance/ng9/resources/bronchiolitis-in-children-
diagnosis-and-management-pdf-51048523717
18. Oymar, K, 2014. Acute Bronchiolitis In Infant:Rview. Scandinavian
Journal Of Trauma Resusitation Et Emergency Medicine.
http://www.sjtrem.com/content/22/1/23
19. Cornelli, Et Al. 2012. Bronchiolitis. Pediatric Emergency Care Vol 28: 99-
103
20. Sharma, BS. 2016. Diagnosis & Management of Bronchiolitis in Children:
An Update. Austin J Emergency & Crit Care Med. 2017; 4(1): 1053.

Lampiran

28
Gambar :ruang tamu

Gambar : kamar madi

29
Gambar : pasien dan ibunya

30

Anda mungkin juga menyukai