Anda di halaman 1dari 12

Laporan kasus

EPILEPSI

Oleh : Siti Hardiyanti

SUPERVISOR

Dr.dr. Jumraini Tamasse, Sp. S

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016
I. IDENTITAS
Nama : L.A
Umur : 7 tahun / 31 Oktober 2007
Kelamin : Perempuan
Agama : Katolik
Suku/Bangsa : Flores/ Indonesia
Pekerjaan : Siswi SD
Alamat : Maccini dusung, kerung-kerung
Masuk Rumah Sakit : 01 Maret 2016
Jam : 11.30

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : sering bengong
Anamnesis Terpimpin : bengong/melongo dialami sejak pukul 08 pagi frekuensi kurang
lebih 10 kali dan durasi kurang lebih 1 menit. Pada saat bengong mata pasien seperti
memandang jauh kedepan, namun setelah 1 menit pasien melakukan aktivitas kembali
tanpa ada perasaan bingung, terkadang pasien sering kali menggerak-gerakan jari tangan
berulang-ulang. Pada saat umur 2 bulan pernah mengalami kejang demam. Kemudian
pada saat umur 2 tahun juga pasien pernah jatuh. Setelah jatuh pasien mengalami kejang
seluruh tubuh kemudian mulut berbusa dan kehilangan kesadaran, namun setelah itu
pasien langsung tertidur. Kemudian kejang dirasakan lagi saat umur 5 tahun. Pasien
riwayat berobat teratur, namun hampir 2 bulan belakangan ini pasien tidak berobat
teratur. Riwayat kelahiran normal, BB cukup, dan usia kehamilan ibu cukup bulan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status umum :
Kondisi Umum : pasien sakit sedang dan Gizi baik
Tanda-tanda vital
BP : 100/70 mmHg
HR : 60 kali/menit reguler, kuat angkat
RR : 20 kali/menit
T : 35,7o C

Pemeriksaan Dalam
Kepala : Anemia (-), icterus (-), sianosis (-)
Leher : dalam batas normal
Dada : Jantung : bunyi jantung pekak, murmur (-), gallop (-)
Paru –paru : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : tidak ada pembesaran pada Hepar dan Lien
Status Neurologi
GCS : E4M6V5 (Compos mentis )
FKL : Normal
Rangsang Menings : Kaku kuduk (-), Kernign’s sign (-)
Nervi Cranialis : Pupil bundar, isokor, diameter 2 mm/2mm . Refleks cahaya
langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+.
Nervi cranialis lain : dalam batas normal

Fungsi Motorik :

Pergerakan : Kekuatan : Tonus :


N N 5 5 N N
N N 5 5 N N

Reflek fisiologis :
BPR N N KPR N N

TPR N N APR N N

Reflex patologis :

Fungsi sensoris : dalam batas normal

Fungsi Autonom : BAK : normal

BAB : normal

IV. DIAGNOSIS KERJA


- Diagnose klinis : General Tonic Clonic seizure
- Topis : Hemisfer
- Etiologis : suspect childhood Absence Epilepsy (CAE)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- EEG

VI. PENGOBATAN
1. Asam Valproat 10 mg 2x1
2. Luminal / fenobarbital 30 mg 2x1
3. Vit.B6 2x1

VII. ANJURAN

VIII. PROGNOSA
- Quad Ad Vitam : Dubia
- Qua Ad Sanationem : Dubia

IX. RESUME
4. Seorang perempuan 7 tahun masuk rumah sakit dengan epilepsy tipe lena.
Bengong/melongo dialami sejak pukul 08 pagi frekuensi kurang lebih 10 kali dan
durasi kurang lebih 1 menit. Pada saat bengong mata pasien seperti memandang jauh
kedepan, namun setelah 1 menit pasien melakukan aktivitas kembali tanpa ada
perasaan bingung, terkadang pasien sering kali menggerak-gerakan jari tangan
berulang-ulang. Pada saat umur 2 bulan pernah mengalami kejang demam. Kemudian
pada saat umur 2 tahun juga pasien pernah jatuh. Setelah jatuh pasien mengalami
kejang seluruh tubuh kemudian mulut berbusa dan kehilangan kesadaran, namun
setelah itu pasien langsung tertidur. Kemudian kejang dirasakan lagi saat umur 5
tahun. Riwayat berobat teratur, namun hampir 2 bulan belakangan ini pasien tidak
berobat teratur. Riwayat kelahiran normal, BB cukup, dan usia kehamilan ibu cukup
bulan. Dari pemeriksaan didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, GCS
compos mentis. Pada status neurologis dan nervi cranilis lainnya dalam batas normal.
Fungsi motorik, sensorik dan otonom dalam batas normal. Diagnose klinis general
tonic clonic seizure, diagnose topis di hemisfer, dan diagnose etiologis suspect e.c
childhood absence epilepsy (CAE). Adapun pengobatan yang diberikan adalah Asam
Valproat 10 mg 2x1 , luminal 30 mg 2x1, dan vitamin B.6 2x1. Adapun prognosa dari
pasien ini Dubia.
X. DISKUSI

DEFINISI

Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang sebagai akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara intermitten, yang disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan
oleh berbagai etiologi. (PERDOSSI, 2003)

Etiologi Epilepsi
1. Idiopatik
etiologi tdk diketahui, tdk terdapat lesi struktural di otak, tdk ada defisit neurologik.
Diperkirakan: genetik
2. Simptomatik
bangkitan epilepsi disebabkan oleh lesi struktural otak, mis: cedera kepala, infeksi
SSP, tumor otak, dll
3. Kriptogenik
dianggap simptomatik, tetapi belum diketahui penyebabnya, ct: West Syndrome,
Lennox-Gestaut Syndrome.
PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan


neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan
inhibitori (irani, 2009). Defisiensi neurotransmiter inhibitori
seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti
glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas
pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas
kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas
menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang
juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase
yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron
(Nordli,2006)

Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal
Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan
Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada
membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam
penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan
glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan
memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-
propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara
glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan
topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga
glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah
menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi
(Wibowo, 2006 ). Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang
menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.
Petit Mal Epilepsi (absence epilepsy, epilepsi tipe lena)

Childhood Absence Epilepsy (CAE) : onset 4-8 tahun, puncaknya pada usia 6-7tahun
Juvenile Absence Epilepsy (JAE) : onset 9-13 tahun.
Adapun perbedaan CAE dan JAE adalah :

Childhood Absence Epilepsy (CAE) adalah :


Onset: 4 – 8 tahun
Frekwensi serangan lebih sering
Durasi serangan lebih singkat
EEG: 3Hz spike & wave

Juvenile Absence Epilepsy (JAE) adalah :


Onset: 9 – 13 tahun
Frekwensi serangan lebih kurang
Durasi serangan lebih panjang
EEG: 3-4Hz spike and wave
Adapun gambaran klinisnya adalah :

Gangguan kesadaran mendadak (‘absence’),


Berlangsung beberapa detik sampai 20 detik.
Serangan terjadi 10 – 100 x/hari
Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
Mata memandang jauh ke depan (seperti melongo, bengong), atau berkedip-kedip.
Mungkin terdapat automatism.
Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula
Bangkitan dapat dipicu oleh hiperventilasi.

Pada keadaan stres akan terjadi hiperventilasi dimana kadar CO2 dalam darah
meningkat yang akan menyebabkan sel otak melepaskan letupan muatan listrik yang
abnormal di luar kehendak. Pada sebagian orang hiperventilasi ini dapat
menyebabkan serangan epilepsi (Harsono, 2011).

Mediator stres seperti corticotropin-releasing hormone (CRH), corticosteroids, dan


neurosteroids berkonstribusi terhadap patogenesis epilepsi. Hormon corticosteron dan
hormon stres yang lain dengan cepat meningkatkan kadar calsium yang masuk, hal ini
dapat menyebabkan cedera saraf kemudian akan terjadi depolarisasi. Kadar steroid
yang tinggi dapat meningkatkan atau mempercepat patogenesis epilepsi. CRH
berperan dalam memrpomosikan rangsangan di hipocampus, CRH akan
meningkatkan semburan spontan dan kemudian akan terjadi penekanan
hiperpolarisasi setelah terjadi letupan potensial
aksi yang berlebihan (Joels, 2009).
PENANGANAN EPILEPSI
Hal-hal yg perlu diperhatikan dalam pengobatan epilepsi :
- Tujuan pengobatan adalah membebaskan penderita dari serangan epilepsi dengan
dosis yang memadai tanpa menimbulkan gejala toksik.
- Terdapat minimum 2 bangkitan dlm setahun
- Pengobatan epilepsi : sifat individual dan berlangsung lama, minimal 2-4 thn bebas
serangan
- Sekitar 75% kasus dapat ditanggulangi baik dengan satu / kombinasi obat
- Dianjurkan pengobatan dengan satu jenis obat.
Prinsip terapinya adalah Mulai dgn monoterapi ,start low and go slow.

Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,
kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik (Lacy, 2009 ). Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis
GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang
langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium ( Gidal, 2005 ).
Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (Lacy, 2009). Efek samping yang
sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual,
muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin
ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan.
Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang
berat dari penggunaan asam valproat adalah
hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan
peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai
menyebabkan kerusakan hati ( Gidal, 2005 )

Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-
klonik ( Lacy, 2009 ). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah
menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek
sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak
telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama ( McNemara, 2008 ). Aksi
utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na
dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung
terhadap reseptor GABA ( Harsono, 2007 ) (aktivasi reseptor barbiturat akan
meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA ( Irani, 2009 ) dan meningkatkan
konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate
excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition ( Harsono, 2007 ).
Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20
mg/kg 1kali sehari ( Weiner, 1999). Efek samping SSP merupakan hal yang umum
terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah
kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak
dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan
kulit, dan Stevens-Johnson syndrome ( Gidal, 2005).

PROGNOSIS
- Remisi 95% kasus.
- Absans persistens: jarang (6%).
- Berkembang menjadi GTCS pada saat remaja atau dewasa 40%.
DAFTAR PUSTAKA

Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology


Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-1048

Harsono., 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Ed 5. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press

Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8, 65-66,
144

International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for


Epilepsy (IBE)., 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy.
Geneva
Irani, Vidia, M., 2009, Gambaran Efektivitas Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi Yang
Menjalani Rawat Inap Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 41-70

Joëls M., 2009. Stress, The Hippocampus, And Epilepsy. Epilepsia

Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American Pharmacists Association

Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI)., 2003. Diganosis Epilepsi.


Jakarta : PERDOSSI.

McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh alih
bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524

Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 3, EGC, Jakarta,
1023, 1034, 2135-2138

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85.

Anda mungkin juga menyukai