Anda di halaman 1dari 29

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Diare
2.1.1 Definisi Diare
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Berdasarkan waktu terbagi menjadi :
a. Diare Akut :
Terjadi akut dan berlangsung paling lama 3-7 hari.
b. Diare berkepanjangan :
Berlangsung lebih dari 7 hari.
c. Diare kronik :
Berlangsung lebih dari 14 hari.

2.1.2 Epidemiologi
Kejadian diare di negara berkembang antara 3,5- 7 episode setiap anak
pertahun dalam dua tahun pertama dan 2-5 episode pertahun dalam 5 tahun
pertama kehidupan. Departemen kesehatan RI dalam surveinya tahun 2000
mendapatkan angka kesakitan diare sebesar 301/1000 penduduk, berarti
meningkat dibanding survei tahun 1996 sebesar 280/1000 penduduk, diare masih
merupakan penyebab kematian utama bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001
mendapatkan angka kematian bayi 9,4% dan kematian balita 13,2%.
Distribusi Penyakit Diare Berdasarkan umur sekitar 80% kematian diare
tersebut terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. data terakhir menunjukkan bahwa
dari sekitar 125 juta anak usia 0-11 bulan, dan 450 juta anak usia 1-4 tahun yang
tinggal di negara berkembang, total episode diare pada balita sekitar 1,4 milyar
kali pertahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi usia di bawah 0-
11 bulan sebanyak 475 juta kali dan anak usia 1-4 tahun sekitar 925 juta kali
pertahun.

2.1.3 Etiologi
Secara garis besar diare disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak 16
- Infeksi virus : Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis),
Adenovirus, Rotavirus (paling sering), Astrovirus
Insidensi : Rotavirus (25 – 40%), Astrovirus (4-9%)
- Infeksi bakteri : Vibrio, E. Coli (paling sering) Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas
Insidensi : Campylobacter Jejuni (6-8%), Salmonella (3-7%), E.coli
(3-5%)
- Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Strongyloides, Oxyuris)
Insidensi : Criptospiridium (1-3%), Giardia Lamblia (1-3%)
- Infeksi jamur : Candida albicans
a. Infeksi parenteral, yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat
pencernaan seperti OMA, tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan lain-lain. Keadaan ini terutama terjadi pada anak
berumur di bawah dua tahun
1. Faktor non infeksi
a. Faktor malabsorbsi
- Malabsorbsi lemak
- Malabsorbsi protein
- Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering adalah intoleransi
laktosa
a. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan
tertentu
b. Faktor psikologis : rasa takut dan cemas
c. Faktor imunodefisiensi
d. Sebab-sebab lain

2.1.4 Patofisiologi dan Patogenesis


Ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit berperan penting pada
patogenesis diare, terjadi perubahan absorbsi dan sekresi cairan dan elektrolit,
yang dapat meningkatkan terjadinya dehidrasi. Peningkatan pengeluaran cairan
dapat terjadi oleh karena :
 Sekresi yang meningkat pada diare infeksi.
 Osmotik oleh karena adanya bahan-bahan dalam lumen usus.
 Moti1itas usus yang meningkat.

Patofisologi tipe – tipe diare :


1. Gangguan osmotik (diare osmotik)
Diare Osmotik dapat disebabkan oleh :
a. Malabsorbsi makanan
b. Kekurangan kalori protein
c. BBLR
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap sehingga
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare yang disebut diare osmotik.
Biasanya dapat dikurangi dengan berpuasa, perbedaan tekanan osmolar
tinja > 40. Disebabkan oleh defisiensi disakaridase, insufisiensi pankreas,
pertumbuhan koloni bakteri yang meningkat pesat, dan intake laktulosa.

2. Gangguan sekresi (Diare sekretorik)


Diare sekretorik dapat disebabkan oleh :
a. Infeksi kuman-kuman patogen atau virus
b. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan
kimia, makanan (misalnya makanan yang beracun atau terlalu pedas),
atau karena adanya gangguan psikis
c. Defisiensi imun, terutama SIgA (Secretory Immunoglobulin A), yang
mengakibatkan kuman atau virus atau jamur bahkan flora normal dapat
berlipat ganda dalam usus
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare
timbul karena peningkatan isi rongga usus. Ini disebut diare sekresi. Sekresi ion
yang aktif menyebabkan hilangnya cairan obligat. Diare yang terjadi biasanya
memiliki ciri-ciri BAB yang cair, tidak terpengaruh dengan berpuasa, adanya
peningkatan Na+ dan K+ dalam tinja.
Disebabkan oleh infeksi virus (Rotavirus), infeksi bakteri (Kolera, Entamoeba
coli enterotoxigenik, Escherichia coli, Stafilokokus aureus), protozoa (Giardia,
Isospora, Cryptosporidium) kelainan yang berhubungan dengan AIDS (termasuk
Mycobakteri), obat-obatan (teofilin, kolkisin, prostaglandin, diuretik).
Inflamasi, nekrosis dan kerusakan mukosa dari koloni saluran pencernaan
adalah akibat dari pelepasan prostoglandia oleh sel-sel inflamasi menyebabkan
diare yang bersifat sekretorik. Tinja mengandung sel PMN (Poli Morfonuklear)
dan darah dalam jumlah yang banyak (Gross Blood).
Disebabkan oleh infeksi bakteri (Campilobakter, Salmonella, Shigella,
Yersinia, E-coli), parasit (Entamoeba histolytica), penyakit Crohn, iskemik
intestinal
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus
menurun akan terjadi gangguan osmotik. Ciri-ciri pada kasus diare ini memiliki
rentang waktu yang teratur, atau disertai dengan konstipasi. Disebabkan oleh
penyakit Diabetes melitus (DM), insufisiensi adrenal, hipertiroid, penyakit
vaskular kolagen, antibiotik (eritromisin).

4. Gangguan absorpsi
Terjadi biasanya akibat tindakan manipulasi bedah (reseksi usus yang luas)
sehingga menyebabkan kurangnya permukaan absorpsi untuk lemak dan
karbohidrat, cairan dan elektrolit dapat pula terjadi spontan karena fistul
enteroenterik.
Port D’entree
1. Transmisi secara langsung(direct)
a. Feces-oral
- Bakteri : tertelan/terminum makanan yang terkontaminasi bakteri
a) Tertelan makanan yang mengandung toksin. Toksin dapat
berasal dari Staphylococcus aureus, Vibrio spp., dan
Clostridium perfrigens. Tertelan ekostoksin (jenis neurotoksin)
dari Clostridium botulinum.
b) Tertelan organisme yang mensekresikan toksin. Organisme ini
berproliferasi pada lumen usus dan melepaskan enterotoksin.
c) Tertelan organisme yang bersifat enteroinvasif. Organisme ini
berproliferasi, menyerang dan menghancurkan sel epitel
mukosa usus. Misalnya Escherichia coli, Salmonella spp.,
Bacillus cereus, Clostridium spp, Vibrio cholerae,
Campylobacter, Yersinia enterocolitica, Staphylococcus aureus.
- Virus : tertelan melalui makanan
a) Misalnya Echovirus, Rotavirus, Norwalk virus.
- Protozoa : kista matang yang tertelan/terminum
a) Misalnya Entamoeba histolytica, Balantidium coli, Giardia
lamblia, Cryptosporodium parvum.
- Jamur : flora normal pada esofagus, akan menginvasi usus pada
pasien yang immunocompromised
a) Misalnya, Candida albicans.
- Cacing : tertelan telur matang atau larva yang mengkontaminasi
makanan/minuman
a) Misalnya Ascaris lumbricoides, Strongyloides
stercoralis, Trichuris trichiura.
b. Inhalasi atau respiratory droplets
1. Penyebaran melalui kuman yang terhirup secara langsung ataupun
tidak sengaja terhirup/tertelan kuman yang dibatukkan.
2. Jarang atau bahkan tidak pernah sebagai media transmisi untuk
protozoa, cacing dan jamur.
3. Sering berperan sebagai media transmisi untuk virus. Misalnya,
Adenovirus, Mycobacterium tuberclosis.
2. Transmisi secara tidak langsung (indirect)
a. Arthropoda sebagai vektor
Yaitu arthropoda membawa bentuk infeksius dari kuman. Arthropoda
dapat mengkontaminasi makanan atau langsung menginfeksi manusia
dengan gigitan.
b. Melalui cairan parenteral
Yaitu biasanya infuse parenteral yang diberikan di rumah sakit. Cairan
intra-vena bisa saja terkontamintasi bakteri. Contohnya, Clostridium.

Patogenesis
Patogenesis infeksi bakteri :
- Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran gastrointestinal
- Di lambung, bakteri akan dibunuh oleh asam lambung, tetapi apabila
jumlah bakteri cukup banyak, ada bakteri yang dapat lolos sampai ke
dalam duodenum
- Di dalam duodenum, bakteri akan berkembang biak sehingga jumlahnya
mencapai 100 juta koloni atau lebih per mililiter cairan usus halus
- Dengan memproduksi enzim mucinase, bakteri akan mencairkan lapisan
lendir yang menutupi permukaan sel epitel mukosa usus sehingga bakteri
dapat masuk ke dalam membran sel epitel mukosa
- Ada dua cara bergantung pada bakteri apa yang menginfeksi :
 Bakteri langsung menginvasi sel epitel mukosa usus sehingga sel epitel
rusak, terbuka, dan lepas
 Bakteri mengeluarkan toksin yang menyebabkan ATP menjadi cAMP.
cAMP merangsang sekresi cairan usus tanpa menimbulkan kerusakan
sel epitel usus. Cairan ini menyebabkan dinding usus akan
mengadakan kontraksi sehingga terjadi hipermotilitas untuk
mengalirkan cairan ke bawah atau ke usus besar
 Tetapi, ada pula bakteri yang mampu melakukan kedua infeksi tersebut
- Melalui jalur mana pun bakteri menginfeksi, akan menyebabkan
gangguan sehingga kerja usus halus maupun usus besar abnormal dan
menjadi diare. Diare ada yang bercampur lendir dan darah yang disebut
disentri.

Tiga cara umum infeksi bakteri :


a. Kemampuan untuk menempel pada dinding mukosa usus
Untuk dapat menyebabkan penyakit, suatu bakteri harus mempunyai
kemampuan untuk melekat pada dinding mukosa usus. Sebab, jika tidak,
bakteri akan terbawa bersama aliran darah. Perlekatan ini dibantu oleh
adhesin (protein yang diekspresikan pada permukaan organisme).
b. Kemampuan untuk mensekresikan enterotoksin
Organisme yang bersifat enterotoksigenik memproduksi polipeptida yang
menyebabkan diare. Polipeptida itu sendiri telah memiliki sifat sekresi
sehingga memicu tubuh untuk menyeksresinya. Toksin akan disekresikan
tanpa menyerang sel mukosa usus. Misal, Enterotoxigenic Escherichia coli
menyebabkan traveler’s diarrhea, Enterohemorrhagic Escherichia coli yang
menyekresikan Shiga toxin. Shiga toxin dalam bentuk sitotoksin
menyebabkan nekrosis sel epitel.
c. Kemampuan untuk menginvasi
Contohnya Shigella disentri yang menyebabkan kerusakan yang fatal pada
sel.

Patogenesis infeksi virus


1. Adsorpsi (Attachment)
Virus diabsorpsi sel inang melalui reseptor spesifik. Prinsipnya berdasar
pada mekanisme elektrostatik dan dipermudah oleh ion logam terutama Mg2+.
Tahap ini merupakan tahap inisiasi virus dalam memasuki sel inang.
2. Entry (Penetration)
Virus menembus sel. Genom virus memasuki sel. Membran sel mengalami
invaginasi sekitar virus partikel. Virus melekat dalam vakuola pinositik.
Proses ini dipengaruhi oleh suhu dan zat penghambat fagositosis.
3. Uncoating
Protein coat dari virus disingkirkan dengan bantuan enzim lisozim dari sel
inang. Asam nukleat bebas dan akhirnya masuk ke dalam sel dan membentuk
mRNA.
4. Transkipsi
5. Translasi
6. Komponen virus dibentuk dalam sitoplasma dan nukleus sel inang.
7. Assembly (Penyusunan Kembali)
Sintesa baru molekul asam nukleat dan protein struktural maupun non
struktural menjadi partikel virus yang baru.
8. Release(Pelepasan)
Virus dilepaskan melalui budding membran sel.
9. Virus dapat menyebar dari satu sel ke sel lain tanpa ada virus yang dilepas
keluar sel.
10. Beberapa virus mampu menyatukan bahan genetiknya dengan genom sel
inang sehingga sel menjadi produktif.

Patogenesis infeksi protozoa


Biasanya, manusia terinfeksi melalui kista matang dalam feses. Kista
masuk melalui rute gastrointestinal. Kista tahan terhadap asam lambung sehingga
bisa sampai ke usus halus. Dalam keadaan lingkungan yang mendukung, kista
dapat berubah menjadi bentuk tropozoit yang patogen. Bentuk patogen inilah
yang akan menginvasi sel mukosa usus yang menyebabkan diare.

Patogenesis infeksi jamur


Misalnya : Candida albicans
Infeksi jamur ini termasuk infeksi opportunistik. Artinya, dalam keadaan
normal, jamur ini tidak menimbulkan gejala penyakit. Tetapi, akan menginfeksi
pada orang yang immunocompromise. Candida albicans hidup sebagai flora
normal pada mukosa usus halus. Bila terdapat faktor predisposisi, bakteri ini dapat
menginvasi mukosa usus halus dan menimbulkan gejala diare.

Patogenesis infeksi cacing


1. Bentuk infeksius bisa bermacam-macam bergantung cacing apa yang
menginfeksi, bisa dalam bentuk telur matang maupun larva.
2. Infeksi bisa terjadi karena tertelan bersama makanan/minuman, transmisi
vektor, inhalasi, autoinfeksi maupun menembus kulit/jaringan subkutan.
3. Bentuk infeksius cacing kemudian akan mengembara dan melalui tahap lung
passage terlebih dahulu, kecuali Trichinella spiralis.
4. Melalui bronkus, trakea dan akhirnya sampai di laring.
5. Jika larva tertelan lagi, maka cacing akan mulai menginfeksi melaui rute
gastrointestinal.
6. Cacing akan masuk ke usus halus atau usus besar dan tumbuh menjadi cacing
dewasa.
7. Cacing akan mulai mengeluarkan toksin dan menginfeksi epitel.

2.1.5 Manifestasi Klinis diare


Gejala diare oleh berbagai penyebab :
Gejala klinik Rotavirus Shigella Salmonella
Masa tunas 12-72 jam 24-48 jam 6-72 jam
Panas ++ ++ ++
Enek&muntah sering jarang sering
Nyeri perut tenesmus tenesmus kram tenesmus kolik
Nyeri kepala - + +
Lamanya sakit 5-7 hari > 7 hari 3-7 hari
Sifat tinja
Volume sedang sedikit sedikit
Frekuensi 5-10x/hari >10x/hari sering
Konsistensi cair lembek lembek
Lendir - - -
Darah - sering kadang
Bau - + busuk
Warna kuning-hijau merah-hijau kehijauan
Leukosit - + +
Lain – lain anorexia kejang + sepsis +

Gejala klinik ETEC EIEC Kolera


Masa tunas 6 - 72 jam 6 - 72 jam 48-72 jam
Panas - ++ -
Enek&muntah - - sering
Nyeri perut + tenesmus,kram kram
Nyeri kepala - - -
Lamanya sakit 2 – 3 hari variasi 3 hari
Sifat tinja
Volume banyak sedikit banyak
Frekuensi sering sering terus-menerus
Konsistensi cair lembek cair
Lendir - - -
Darah - + -
Bau + tidak amis khas
Warna tak berwarna merah-hijau air cucian beras
Leukosit - + -

Gejala dehidrasi :
1. Penilaian dehidrasi menurut kehilangan berat badan
a. Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2½%
b. Dehidrasi ringan, bila terjadi penurunan berat badan 2½-5%
c. Dehidrasi sedang, bila terjadi penurunan berat badan 5-10%
d. Dehidrasi berat, bila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%

2. Penilaian dehidrasi menurut Maurice King (1974)

Nilai untuk gejala


Tanda 0 1 2
Keadaan umum sehat gelisah, cengeng, mengigau, koma,
ngantuk, apatik syok
Kekenyalan kulit normal sedikit kurang sangat
kurang
Mata normal sedikit cekung sangat cekung
Ubun-ubun besar normal sedikit cekung sangat cekung
Mulut normal kering kering /sianotik
Nadi kuat sedang kecil

Skor :
< 7  dehidrasi ringan
7 – 13  dehidrasi sedang
> 13  dehidrasi berat

3. Penilaian dehidrasi menurut osmolaritas

GEJALA HIPOTONIS ISOTONIS HIPERTONIS


Rasa haus - + +
Berat badan menurun sekali menurun menurun
Turgor kulit menurun sekali menurun tidak jelas
Kulit/selaput lendir basah kering kering sekali
Gejala/SSP apatis koma iritable,kejang,
hiperefleksia
Sirkulasi sangat lemah cepat & lemah cepat & keras
Tekanan darah sangat rendah rendah rendah
Na plasma < 131 mEq/L 131 - 150 mEq/L > 150 mEq/L

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis
b. pH dan kadar gula dalam tinja
c. Biakan dan uji resistensi (bila perlu)
2. Pemeriksaan darah
a. Darah lengkap
b. pH, cadangan alkali dan elektrolit untuk menentukan keseimbangan
asam basa
c. Kadar ureum-kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal
3. Duodenal intubation
Untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif
(terutama pada diare kronik)

2.1.6 Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat
terjadi berbagai macam komplikasi seperti :
1. Kehilangan air (dehidrasi)
 Kejang (terutama pada dehidrasi hipertonik)
2. Gangguan keseimbangan asam-basa
 Asidosis metabolik
3. Hipoglikemia
4. Gangguan Gizi
 Malnutrisi energi protein
5. Gangguan Sirkulasi
 Syok hipovolemik
6. Hipokalemi (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,
bradikardia)
7. Intoleransi laktosa sekunder

2.1.7 Penatalaksanaan
Dalam garis besarnya pengobatan diare dapat dibagi dalam :
a. Mencegah dan menanggulangi dehidrasi
b. Mengobati kausa diare
c. Pengobatan simtomatik
d. Mencegah dan menanggulangi gangguan gizi

Mencegah dan menanggulangi Dehidrasi


Jenis Cairan
Ada 2 jenis cairan yaitu :
1. Cairan rehidrasi oral (CRO)
a) Cairan rehidrasi oral dengan formula lengkap yang mengandung NaCl,
KCl, NaHCO3 dan glukosa atau penggantinya, yang dikenal dengan
nama oralit
b) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung keempat komponen
diatas, misalnya larutan garam-gula (LOG), larutan tepung beras-
garam, air tajin, air kelapa dan lain-lain cairan yang tersedia di rumah,
disebut CRO tidak lengkap.
2. Cairan rehidrasi parenteral (CRP - IV)
Sebagai hasil rekomendasi Seminar Rehidrasi Nasional ke I s/d IV
dan Pertemuan Ilmiah Penelitian Diare, Litbangkes (1982) digunakan
cairan Ringer Laktat sebagai cairan rehidrasi parenteral tunggal untuk
digunakan di Indonesia, dan cairan inilah yang sekarang terdapat di
Puskesmas-Puskesmas dan di rumah-rumah sakit di Indonesia. Pada diare
dengan penyakit penyerta (KKP, jantung, ginjal) cairan yang dianjurkan
adalah Half Strength Darrow Glukose.

Cara Pemberian Cairan


Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau
parenteral. Pemberian secara oral dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai
sedang dapat menggunakan pipa nasogastrik, walaupun pada dehidrasi ringan dan
sedang, bila diare profus dengan pengeluaran air tinja yang hebat (>100
ml/kg/hari) atau muntah hebat (severe vomiting) dimana penderita tak dapat
minum samasekali, atau kembung yang sangat hebat (violent meteorism) sehingga
rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka dapat dilakukan rehidrasi panenteral
walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk dehidrasi berat
dengan gangguan sirkulasi.
Selama pemberian cairan parenteral ini, setiap jam perlu dilakukan evaluasi :
 Jumlah cairan yang keluar bersama tinja dan muntah
 Perubahan tanda-tanda dehidrasi
Hal ini sangat perlu karena jika tidak ada perbaikan samasekali maka
tatalaksana pemberian cairan harus diubah (kecepatan tetesan harus ditingkatkan).
Sebaliknya kalau terdapat gejala overhidrasi (edema palpebra), kecepatan tetesan
harus dikurangi. Juga concomitant losses sangat bervariasi sehingga setiap
penderita perlu mendapat pengawasan secara individual. Segera setelah tanda-
tanda dehidrasi hilang, terapi pemeliharaan (maintenance therapy) harus dimulai
dengan jalan pemberian CRO dan makanan kembali diberikan.

Tatalaksana Diare Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)


Penilaian derajat dehidrasi

Penilaian A B C
Keadaan Umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai
atau tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung
dan kering
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering


Rasa haus Minum biasa, Haus, ingin Malas minum
tidak haus minum banyak atau tidak bisa
minum
Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat
lambat
Hasil Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
pemeriksaan ringan/sedang
Terapi Rencana Terapi Rencana Terapi Rencana Terapi
A B C

RENCANA TERAPI A (Tanpa dehidrasi)


 Tidak perlu dirawat
 Makan dan minum seperti biasa
 Oralit 5-10 cc/Kgbb/diare cair
Kapan dibawa ke petugas kesehatan :
 Tidak terlihat perbaikan dalam 3 hari, atau
 Buang air besar cair dan sering sekali
 Muntah berulang-ulang
 Sangat haus sekali, makan dan minum sedikit
 Demam, tinja bercampur darah
RENCANA TERAPI B (Dehidrasi ringan-sedang)
 Dipantau di ruang observasi
 Oralit 75 cc/Kgbb/3-4 jam
 Re-evaluasi setelah 3-4 jam :
 Tidak dehidrasi, minum/makan baik dan diare tidak bertambah 
pulang
 Tetap dehidrasi atau minum kurang atau diare bertambah  lanjutkan
observasi (kalau perlu pasang IVFD)
 Dehidrasi berat  rawat dengan IVFD
RENCANA TERAPI C (Dehidrasi berat)

 Rawat inap dan pemantauan ketat


 IVFD : Ringer laktat
Umur Inisial (30cc/Kgbb/jam) Selanjutnya (70
cc/Kgbb/3jam)
Bayi < 12 bulan 1 Jam 5 jam
Anak >12 bulan ½ - 1 jam 2 ½-3 jam
 Re-evaluasi tiap 1-2 jam
Mengobati Penyebab Diare
Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). Antibiotika
hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera, shigella,
karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali
pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena
bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak atau
bayi yang menunjukkan secara klinis gejala yang berat serta berulang atau yang
menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau gejala sepsis.
Pada penderita diare antibiotika hanya boleh diberikan kalau :
 Ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopik dan/atau
biakan
 Pada pemeriksaan makroskapik dan/atau mikroskopik ditemukan darah
pada tinja
 Secara klinis terdapat tanda-tanda yang menyokong infeksi enteral
 Di daerah endemik kolera (diberi tetrasiklin)
 Pada neonatus jika diduga terjadi infeksi nosokomial

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain 19


Kolera : Tetrasiklin 50mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 2 hari )
Furasolidon 5mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 3 hari )
Shigella : Trimetoprim 5-10mg/kg/hari
Sulfametoksasol 25-50mg/kg/hari
Dibagi 2 dosis ( 5 hari )
Asam Nalidiksat : 55mg/kg/hari dibagi 4 ( 5 hari )
Amebiasis : Metronidasol 30mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 5-10 hari)
Untuk kasus berat :
Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg ( maks 90mg )
( im ) s/d 5 hari tergantung reaksi ( untuk semua umur )
Giardiasis : Metronidasol 15mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 5 hari )

Probiotik
Probiotik (Lactic acid bacteria) merupakan bakteri hidup yang
mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan
kolonisasi bakteri probiotik di dalam lumen saluran cerna sehingga seluruh
epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor
dalam sel epitel usus, sehingga tidak terdapat tempat lagi untuk bakteri
patogen untuk melekatkan diri pada sel epitel usus sehingga kolonisasi bakteri
patogen tidak terjadi. Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik
dapat dipakai sebagai cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang
disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, pseudomembran
colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang
tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea).
Mikroekologi mikrobiota yang rusak oleh karena pemakaian
antibotika dapat dinormalisir kembali dengan pemberian bakteri probiotik.
Mekanisme kerja bakteri probiotik dalam meregulasi kekacauan atau
gangguan keseimbangan mikrobiota komensal melalui 2 model kerja
rekolonisasi bakteri probiotik dan peningkatan respon imun dari sistem imun
mukosa untuk menjamin terutama sistem imun humoral lokal mukosa yang
adekuat yang dapat menetralisasi bakteri patogen yang berada dalam lumen
usus yang fungsi ini dilakukan oleh secretory IgA (SIgA).

Pengobatan simtomatik
a. Anti Diare
Obat-obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat seperti
antispasmodic/ spasmolitik atau opium (Papaverin, Extractum belladona,
Loperamid, Kodein) justru akan memperburuk keadaan karena akan
menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan
menyebabkan terjadinya perlipatgandaan (overgrowth) bakteri, gangguan
digesti dan absorpsi. Obat-obat ini hanya berkhasiat untuk menghentikan
peristaltik saja, tetapi justru akibatnya sangat berbahaya. Diarenya
terlihat tidak ada lagi tetapi perut akan bertambah kembung dan dehidrasi
bertambah berat yang akhirnya dapat berakibat fatal untuk penderita.
b. Adsorbents
Obat-obat adsorbents seperti kaolin, pectin, charcoal (norit,
tabonal), bismuth subbikarbonat dan sebagainya, telah dibuktikan tidak
ada manfaatnya.
c. Stimulans
Obat-obat stimulans seperti adrenalin, nikotinamide dan
sebagainya tidak akan memperbaiki renjatan atau dehidrasi karena
penyebab dehidrasi ini adalah karena kehilangan cairan (hipovolemik
syok) sehingga pengobatan yang paling tepat adalah pemberian cairan
secepatnya.
d. Antiemetik
Obat antiemetik seperti chlorpromazine (largactil) terbukti selain
mencegah muntah juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan
bersama tinja. Pemberian dalam dosis adekuat (sampai dengan 1
mg/kgbb/hari) cukup bermanfaat.
e. Antipiretik
Obat antipretik seperti preparat salisilat (asetosal, aspirin) dalam
dosis rendah (25 mg/kgbb/hr) ternyata selain berguna untuk menurunkan
panas yang terjadi sebagai akibat dehidrasi atau panas karena infeksi
penyerta, juga mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja.

Mencegah dan menanggulangi gangguan gizi


Amatlah penting untuk tetap memberikan nutrisi yang cukup selama diare,
terutama pada anak dengan gizi yang kurang. Minuman dan makanan jangan
dihentikan lebih dari 24 jam, karena pulihnya mukosa usus tergantung dari nutrisi
yang cukup. Bila tidak maka hal ini akan merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya diare kronik. Pemberian kembali makanan atau minuman secara cepat
sangatlah penting bagi anak dengan gizi kurang yang mengalami diare akut dan
hal ini akan mencegah berkurangnya berat badan lebih lanjut dan mempercepat
kesembuhan. Air susu ibu dan susu formula serta makanan pada umumnya harus
dilanjutkan pemberiannya selama diare.
Penelitian yang dilakukan oleh Lama More RA dkk menunjukkan bahwa
suplemen nukleotida pada susu formula secara signifikan mengurangi lama dan
beratnya diare pada anak oleh karena nucleotide adalah bahan yang sangat
diperlukan untuk replikasi sel termasuk sel epitel usus dan sel imunokompeten.

2.1.8 Pencegahan Diare


a. Memberikan ASI
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi, komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna diserap secara
optimal oleh bayi. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik
dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut
memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir
pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap
diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus
pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare.
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama
kehidupan, risiko mendapat diare adalah 30x lebih besar. Pemberian susu
formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu
formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga
mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

b. Memperbaiki makanan pendamping ASI


Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut
merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan
pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare
ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian
makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian kapan, apa dan
bagaimana makanan pendamping ASI diberikan. Ada beberapa saran yang
dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik
yaitu :
 Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi
teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak
berumur 6 bulan atau lebih.
 Berikan makanan lebih sering (4x sehari) setelah anak berumur 1 tahun,
berikan semua makanan yang dimasak dengan baik 4-6x sehari teruskan
pemberian ASI bila mungkin.
 Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian
untuk energi.
 Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-
buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.
 Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak.
 Suapi anak dengan sendok yang bersih.
 Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat
yang dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.

c. Menggunakan air bersih yang cukup


Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur
fekal oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut,
cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari
tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
mengunakan air bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai
dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah. Yang harus diperhatikan oleh
keluarga : Ambil air dari sumber air yang bersih, ambil dan simpan air dalam
tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk
mengambil air, pelihara atau jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang
dan untuk mandi anak-anak, gunakan air yang direbus, cuci semua peralatan
masak dan makan dengan air yang bersih dan cukup.

d. Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan
sebelum makan.

e. Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap
penyakit diare. Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke
tempat buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah,
jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari
sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki.

f. Membuang tinja bayi yang benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya, hal ini
tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak
dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar. Yang
harus diperhatikan oleh keluarga : Kumpulkan segera tinja bayi atau anak
kecil dan buang ke jamban. Bantu anak-anak buang air besar di tempat yang
bersih dan mudah dijangkau olehnya. Bila tidak ada jamban pilih tempat
untuk membuang tinja anak seperti di dalam lubang atau di kebun kemudian
ditimbun. Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan
dengan sabun.

2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia dalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan
kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan
ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).

2.2.2 Patofisiologi Pneumonia


Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi partikel
di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing
melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis
kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan
drainase melalui sistem limfatik. Faktor predisposisi pneumonia : aspirasi,
gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertusis, penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens
mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik , benda asing atau disfungsi silier.
Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi
benda asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya
pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil
terjadi melalui aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan
pneumonia bakteri dan virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia
tersering pada bayi dan anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan
dengan meningkatnya umur. Pada pneumonia yang berat bisa terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan gagal nafas.

2.2.3 Diagnosis pneumonia


Anamnesis
- Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi
terus menerus, sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang
(pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit. Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat
saja:
 Pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50x/menit
 Pada anak umur 1tahun – 5 tahun : > 40 x /menit
- Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunanan kesadaran, kejang atau kembung sehingga sulit dibedakan
dengan meningitis, sepsis atau ileus.
Pemeriksaan fisis
- Tanda yang mungkin ada adalah suhu ≥ 390 C, dispnea : inspiratory effort
ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan
sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena,
perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar
suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa
ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Pemeriksaan penunjang
- Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis
bergeser ke kiri.
- Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar
PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya.
Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas.
- Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil yang positif tetapi
dapat membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap
penanganan awal.
- Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh
lapangan paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis biasanya
sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada infeksi
mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada keadaan
klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai :
 Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris
 Penebalan pleura pada pleuritis
 Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura,
pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel

2.2.4 Diagnosis banding pneumonia


 Bronkiolitis
 Payah jantung
 Aspirasi benda asing
 Abses paru
Khusus pada bayi :
 Meningitis
 Ileus

2.2.5 Komplikasi pneumonia


- Pleuritis
- Efusi pleura/ empiema
- Pneumotoraks
- Piopneumotoraks
- Abses paru
- Gagal nafas

2.2.6 Tatalaksana pnemonia


1. Indikasi masuk rumah sakit :
a. Ada kesukaran nafas, toksis
b. Sianosis
c. Umur kurang 6 bulan
d. Ada penyulit, misalnya :muntah-muntah, dehidrasi, empiema
e. Diduga infeksi oleh Stafilokokus
f. Imunokompromais
g. Perawatan di rumah kurang baik
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotika oral
2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal, monitor dengan
pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi
mekanik.
3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral).
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui
selang nasogastrik.
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
7. Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan
dugaan penyebab Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila
tidak ada perbaikan klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotik
sampai anak dinyatakan sembuh. Lama pemberian antibiotik tergantung :
kemajuan klinis penderita, hasil laboratoris, foto toraks dan jenis kuman
penyebab :
 Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral
 Haemophylus influenzae/Streptokokus pneumonia : cukup 10-14 hari
Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan,
gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka
panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera
dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan antibiotik :
sefalosporin generasi 3.
Dapat dipertimbangkan juga pemberian :
- Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii
- Anti viral (Aziclovir , ganciclovir) pada pneumonia karena CMV
- Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia
karena jamur
- Imunoglobulin

KESIMPULAN
An. Usia mengalami diare akut dan dehirasi ringan sedang karena pada
anmnesis ditemukan,,, dan pemeriksaan fisik ditemukan... sehingga pada anak
ini diberikan tatalaksana berupa rehidrasi oral 75cc/kgBB yaitu sebanyak lebih
dari setengah gelas aqua besar. Lalu berikan zinc selama 10 hari dan lanjutkan
pemberian makanan pendamping ASI.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N


Am 2003; 21 : 437-51.
2. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson
HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB
Saunders, 2003 : 1432-5.
3. Diare dalam buku pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan
tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta : DepKes RI;2008
4. Depkes.Diare.from http://www.depkes.go.id/downloads/Diare.pdf
5. Armon K. Stephenson T, Macfaul R, Eccleston P, Warneke U. An evidence and
consensus based guideline for acute diarrhea management Arch Dis Child
2001;85:132-42
6. Salazar-Lindo E. Santisteban-Ponces J, Chea –WooE,Gutierez M. Rececaddotril
in treatment of acute watery diarrea in children N. Eng J med 23003;34;463-7
7. Curtis V. and Cairncross S. Effect of Washing Hands with Soap on Diarrhea Risk.
A Systematic Review. Lancet Infectious Diseases,3(5):275-28.2003
8. Canavan, A, Arant BS. Diagnosis and Management of Dehydration in Children.
Am Fam Physician.2009.Oct 1;80(7):692-96.
9. Harris C, Wilkinson F, Mazza D, Turner T. Evidence based guideline for the
management of diarrhoea with or without vomiting in children.Aust Fam
Physician. 2008 Jun;27(6 Spec No):22-9.

Anda mungkin juga menyukai