Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bencana alam sudah bukan menjadi hal yang baru didengar di Indonesia. Gempa
bumi sering melanda di beberapa kota dan provinsi di wilayah-wilayah Indonesia,
gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan banjir bandang, mewarnai bencana-bencana
alam yang terjadi di Indonesia terutama akhir-akhir ini.
Tingginya tingkat bencana alam di Indonesia bisa di lihat dari posisi Indonesia
dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam
terjadi. Indonesia, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, Indonesia
menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan
gunung berapi, dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk
banjir. (BBC Indonesia 22 agustus 2011). United Nations International Stategy for
Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan
Risiko Bencana) memberikan informasi Berbagai bencana alam mulai gempa bumi,
tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan
rawan terjadi di Indonesia. Bahkan dalam masalah korban bencana alam tsunami dari 265
negara indonesia berada di peringkat pertama dengan 5.402.239 orang terkena
dampaknya, bencana alam tanah longsor dari 162 negara Indonesia peringkat pertama
dengan 197.372 orang terkena dampaknya, bencana alam gempa bumi. Dari 153 negara
Indonesia meraih peringkat ketiga dengan 11.056.806 orang terkena dampaknya, dan
bencana alam banjir dari 162 negara Indonesia berada diurutan ke-6 dengan 1.101.507
orang yang terkena dampaknya. (alamandahs :2011)
Indonesia menjadi daerah rawan bencana karena beberapa alasan. Pertama karena
faktor alam. Negeri kita ini berdiri di atas pertemuan rangkaian mediterania dan
rangkaian pasifik, dengan proses pembentukan pegunungan, hal ini yang menyebabkan di
Indonesia banyak terjadi gempa bumi. Gunung-gunung berapinya juga masih banyak
yang aktif sekitar 140 gunung yang masih aktif. Kedua adalah faktor iklim yang tropis di
Indonesia yang menyebabkan curah hujan yang cukup tinggi sehingga memudahkan
terjadinya pelapukan, tanah yang tidak stabil, banyak tanah yang rusak sehingga potensi
bencana longsor terjadi sangat memungkinkan.
Selain kedua faktor tempat bertemunya rangkaian mediterania dan rangkaian
pasifik juga faktor iklim, faktor lain yang mempengaruhi tingginya ancaman bencana di
Indonesia adalah dari sisi non alam. Negeri kita berpenduduk padat, terutama di Pulau
Jawa dan Sumatera. Kalau kawasan timur Indonesia mungkin belum begitu banyak.
Infrakstuktur kita tidak didesain sesuai dengan kondisi alam itu. Bangunan rumah, juga
bangunan besar seperti gedung, belum banyak disesuaikan dengan kondisi alam ini.
Akibat terjadinya bencana-bencana tersebut dampak yang ditimbulkan sangatlah
kompleks, selain masalah pengungsi, kerusakan infrastruktur, terputusnya jalur
komunikasi dan transportasi menjadi masalah kompleks lainnya. Kerusakan-kerusakan
fisik dan psikis pun tentunya menjadi meningkat. Bencana membuat mereka kehilangan
keluarga, sanak dan sodara, harta benda dan harus hidup di pengungsian. Hal ini memicu
terjadinya gangguan psikologi di diri mereka. Seperti yang di kemukakan oleh
Davison&Neale (1966) bahwa akibat terjadinya bencana alam seseorang yang berada di
lingkungan yang terkena bencana tersebut memungkinkan terkena gangguan psikologis,
dan gangguan psikologis tersebut diantaranya trauma, stres berat, stres akut dan Post-
Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Menurut Monahan (1993), trauma terjadi secara mendadak dan luar biasa,
sehingga memaksa seseorang untuk menguasai dan menghadapi perasaannya. Kejadian
yang mendadak ini membuat para korban menjadi bingung, timbulnya prilaku-prilaku
aneh akibat tekanan yang di hadapinya. Mereka yang merasakan penderitaan ini sangat
wajar, jika mengalami gangguan seperti bingung, sedih, takut dan merasa kehilangan.
Seperti yang di kemukanakan Midicastore, 2006) bahwa terdapat beberapa gejala stress
pasca trauma, yaitu respon emosi yang tumpul, lepas atau berkurang, merasa bahwa
dirinya tidak nyata, tidak mampu mengingat bagian yang penting dari peristiwa traumatik
itu sendiri.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dasar dari stress release ?
2. Bagaimanakah konsep dasar dari bencana ?
3. Bagaimanakah assessment atau pengkajian yang dilakukan terhadap korban bencana
alam ?
4. Apa sajakah treatment/terapi yang diberikan pada korban bencana ?
5. Bagaimanakah evaluasi program treatment atau terapi pada korban bencana ?
3. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami konsep dasar dari stress release.
2. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami konsep dasar dari bencana.
3. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami assessment atau pengkajian yang
dilakukan terhadap korban bencana.
4. Agar mahasiswa mengetahui jenis-jenis treatment/terapi yang diberikan pada korban
bencana.
5. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami evaluasi program treatment atau terapi
pada korban bencana.
4. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa mengenai bencana, dan bagaimana cara mengatasi bencana tersebut dan juga
efek samping yang ditimbulkan bencana tersebut pada warga yang menjadi korban.
Mahasiswa diharapkan mampu memberikan usaha terbaik pada pertolongan korban
bencana ketika dihadapkan pada kejadian yang sama.
BAB III
PEMBAHASAN
A. STRESS REALESE
1. Pengertian Stress
a. Menurut Hans Selye, stress adalah respons manusia yang bersifat nonspesifik terhadap
setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya (Pusdikes,Dep.Kes.1989).
b. Stress adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental
atau beban kehidupan) Dadang Hawari.2001
c. Stress adalah suatu kekuatan yang mendesak atau mencekam, yang menimbulkan suatu
ketegangan dalam diri seseorang (Soeharto Heerdjan,1987)
d. Secara umum yang dimaksud stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang dapat
menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi dan lain-lain
e. Stress adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri dan karena itu sesuatu yang
dapat mengganggu keseimbangan kita (Maramis,1999)
f. Menurut Vincent Cornelli, sebagaimana dikutip oleh Grant Brect (2000) bahwa yang
dimaksud stress adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun
penampilan individu didalam lingkungan tersebut.
2. Penyebab Stress
Timbulnya stress pada seseorang diawali dengan adanya stimuli yang mengawali atau
mencetuskan perubahan yang disebut dengan stressor. Stressor menunjukan suatu
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis
psikologis sosial, lingkungan, perkembangan spiritual atau kebutuhan kulturan (Potter &
Perry,1997).
Macam-macam stressor:
a. Stressor internal
Berasal dari dalam diri seseorang
b. Stressor eksternal
Berasal dari luar diri seseorang
Karakteristik Stressor:
a. Makna stressor
Bila stressor tersebut bermakna dalam hidup individu tersebut maka responnya akan
besar
b. Lingkup stressor
Bila stressornya luas, maka responnya akan besar
c. Lamanya stressos
Bila stressor tersebut lama maka responnya akan besar
d. Jumlah stressor
Bila stressor yang ada bermacam-macam dalam waktu yang sama maka responnya
akan besar
e. Kuatnya stressor
Makin kuat stressor dirasakan maka makin tinggi pula responnya.
Dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai faktor (Kozier & Erb,1983 dikutip Keliat
B.A.,1999) yaitu:
a. Sifat stressor
Pengetahuan individu tentang stressor tersebut dan pengaruhnya pada individu
tersebut.
b. Jumlah stressor
Banyaknya stressor yang diterima individu dala waktu bersamaan.
c. Lama stressor
Seberapa sering individu menerima stressor yang sama. Makin sering individu
mengalami hal yang sama maka akan timbul kelelahan dalam mengatasi masalah
tersebut.
d. Pengalaman masa lalu
Pengalaman individu yang lalu mempengaruhi individu menghadapi masalah.
e. Tingkat perkembangan
Tiap individu tingkat perkembangannya berbeda
Menurut Maramis (1999), ada empat sumber atau penyebab stress psikologis, yaitu:
a. Frustasi
Hal ini timbul karena kegagalan dalam mencapai tujuan selain itu adanya aral
melintang. Frustasi sendiri ada yang bersifat intrinsik dan frustasi ekstrinsik.
b. Koflik
Hal ini dapat terjadi karena seseorang tidak mampu memilih antara dua atau lebih
macam keinginan, kebutuhan atau tujuan.
c. Tekanan
Timbul karena adanya tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Tekanan ini dapat berasal
dari individu dan luar individu.
d. Krisis
Krisis adalah suatu keadaan yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat menimbulkan
terjadinya stress.
3. Penggolongan Stress
Apabila ditinjau dari penyebab stress, menurut Sri Kusmiati dan Desminiarti (1990),
dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Stress fisik
Disebabkan oleh adanya suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah,
suara amat bising, sinar yang terlalu terang atau tersengat arus listrik.
b. Stress kimiawi
Disebabkan oleh asam basa kuat, obat-obatan, zat beracun, hormon atau gas.
c. Stress mikrobiologik
Disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang dapat menimbulkan penyakit.
d. Stress fisiologik
Disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan, organ atau sistemik sehingga
menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.
e. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan
Disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga
tua.
f. Stress psikis atau emosional
Disebabkan oleh gangguan hubungan interpersonal, sosial, budaya atau keagamaan.
Sedangkan menurut Brench Grand (2000), stress ditinjau dari penyebabnya hanya
dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Penyebab makro
Menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan, seperti: kematian, perceraian, pensiun,
luka batin dan kebangkrutan.
2. Penyebab mikro
Menyangkut peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti: pertengkaran rumah
tangga, beban pekerjaan, masalah apa yang akan dimakan dan antri.
4. Tahapan Stress
Menurut Dr.Robert J.Van Amberg (1979) sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dadang
Hawari (2001), bahwa tahapan stress adalah sebagai berikut:
a. Stress tahap pertama (paling ringan)
Stress yang disertai dengan perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan,
mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan
penglihatan menjadi tajam.
e. Relaksasi
f. Visualisasi
Selain kiat diatas ada beberapa teknik singkat untuk menghilangkan stress,
misalnya melakukan pernafasan dalam, mandi santai dalam bak, tertawa, pijat,
membaca, kecanduan positif (melakukan sesuatu yang disukai secara teratur),
istirahat teratur dan mengobrol.
B. BENCANA
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau
antar komunitas masyarakat, dan teror. Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut
WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala
tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi
kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa
manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar
(BAKORNAS PBP).
2. Jenis Bencana
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan.
Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya
adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran
bahan kimia dan lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup
luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan gunung,
tornado dan lainnya.
3. Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase
preimpact, fase impact dan fase postimpact.
a. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
b. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
c. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
C. Assessment Bencana
Indonesia merupakan salah satu negara yang tergolong rawan terjadinya bencana alam,
hal ini terkait dengan keadaan geografisnya yang terletak antara dua samudra besar,
berada diwilayah lempeng tektonik, dan dilewati oleh jalur gunung berapi. Kondisi ini
berpotensi menimbulkan bencana seperti tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, dll.
CONTINUAL
INDIKATOR RAPID ASSESMENT DETAIL ASSESSMENT
ASSESSMENT
No
Hal-hal yang harus diperhatikan selama menjalankan assessment
1. Perhatikan data yang sudah ditemukan oleh JANGAN beri pengharapan
sumber lain. atau janji-janji pada semua
pihak
2. Fokuskan pada kebutuhan yang darurat/ JANGAN abaikan sumber-
mendesak sumber yang tersedia
3. Dalam mengumpulkan data, mulailah dari pihak
berwenang lokal, kemudian cek silang dengan
masyarakat
4. Katakan pada semua pihak bahwa pekerjaan kita
hanyalah mengumpulkan data, dan keputusan
bukan diambil oleh kita
C. Pemberian treatment/terapi
Setelah dilakukan assessment dan korban bencana alam telah dibagi kedalam
kelompok-kelompok sesuai dengan jenis gangguan yang mereka alami dan berdasarkan
usia korban, maka tindakan psikolog selanjutnya adalah memutuskan terapi apa yang
sesuai untuk menangani gangguan psikologis tersebut agar gangguan psikologis tersebut
tidak berkepanjangan dan tidak berkembang menjadi lebih buruk. Terapi yang tepat
adalah menggunakan gabungan terapi kelompok dengan terapi yang lain. Ada berbagai
macam terapi yang bisa digabungkan dengan terapi kelompok, diantaranya yaitu terapi
person centered; terapi behavioral; terapi bermain (terutama untuk anak-anak); terapi
agama; terapi menulis; terapi musik; terapi kognitif behavioral; dll. Pemberian terapi ini
dilakukan untuk mengatasi konflik a-sadar klien (pendekatan psikoanalitik), membantu
penerimaan diri klien secara optimal (pendekatan humanistik dengan klien sebagai pusat
dalam proses terapi), mengintegrasikan perasaan-perasaan yang konflik (pendekatan
gestalt), mendapat makna kehidupan (pendekatan existensial), restrukturisasi pola piker
yang cenderung memojokkan diri sendiri (kognitif), mengajarkan keterampilan untuk
perilaku yang lebih efektif (behavioristic). Dalam melakukan terapi psikologis tersebut,
diharapkan psikolog klinis mampu :
a. Menjalin relasi menolong dengan korban bencana alam melalui pendekatan psikologis;
b. Mendengar aktif terhadap eksplorasi psikis yang dilakukan oleh korban bencana alam
melalui keluhan-keluhannya;
c. Menjalin kerja sama dengan korban bencana alam untuk mencari jalan keluar bagi
persoalan psikologis yang sedang mereka dihadapi, sekaligus meningkatkan optimasi
potensi fungsi mental mereka;
d. Mengajarkan keterampilan dalam mengatasi tekanan (stres) dan mengendalikan otonomi
para korban dalam meningkatkan efektivitas kehidupan mereka bersikap empatik, artinya
psikolog memasuki dunia pengalaman para korban secara utuh dan penuh, melihat dunia
mereka seperti mereka melihat dunianya , tanpa ada penilaian. Psikolog tetap netral dan
otonom; tidak kehilangan otonomi dan tidak hanyut dalam pengalaman itu (seperti dalam
simpati).
f. Membantu para korban untuk mengatur diri mereka sendiri, memilih prioritas dan
membuat perencanaan akan kehidupan mereka di masa depan.
g. Menggunakan bahasa non-verbal seperti sentuhan tangan, penumpangan tangan,
penggunaan minyak dan sebagainya untuk trauma, stress and distress releasing, bila
memungkinkan dan sesuai dengan budaya setempat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam pemberian terapi seorang psikolog
harus memperhatikan faktor usia karena mengingat bahwa masing-masing kelompok
umur memiliki ciri khas dengan penanganan yang berbeda pula. Oleh karena itu, terapi
yang diberikan pun tidak bisa disamaratakan. Terapi untuk orang tua, remaja dan anak-
anak harus berbeda. Terapi untuk orang tua bisa berupa terapi kelompok yang
dikombinasikan dengan terapi terapi person centered, terapi agama, dan terapi kognitif
behavioral. Bentuk dari terapi tersebut bisa berupa briefing (penerangan ringkas) dan
debriefing (tanya jawab/ wawancara), stress relief exercise (latihan membebaskan diri
dari stress), dll. Menurut Prof Tian Oei, Ph.D (Senin, 31 Januari 2005), dalam
memberikan terapi tersebut seorang psikolog harus melakukan empowerment (member
kuasa) pada para korban bencana, agar mereka tidak helpless/bergantung pada seorang
psikolog. Jadi, tugas seorang psikolog hanyalah menunjukkan jalan yang harus mereka
tempuh dan meyakinkan mereka bahwa mereka dapat melakukannya. Contoh dari bentuk
terapi yang bisa dilakukan untuk orang tua adalah tanya jawab mengenai keluhan rasa
jenuh tinggal dikam pengungsi dengan menggunakan pendekatan person centered. Dari
tanya jawab tersebut seorang psikolog dapat memberikan penjelasan mengenai masalah
yang sebenarnya dialami korban, misalnya ternyata permasalahan pokok mereka adalah
kurangnya kegiatan yang dilakukan seperti memasak, sehingga para ibu-ibu bisa
melakukan kegiatan tersebut untuk membantu melupakan beban psikologis yang
menimpa mereka. Begitu juga dengan bapak-bapak bisa melakukan kerja bakti
membersihkan lingkungan sekitar misalnya. Tetapi tetap harus diingat bahwa seorang
psikolog hanya berfungsi sebagai supervisor, sehingga seorang psikolog harus
mengizinkan mereka untuk memutuskan apa yang ingin mereka lakukan.
Terapi untuk remaja juga bisa berupa terapi kelompok yang dikombinasikan dengan
terapi terapi person centered, terapi agama, dan terapi kognitif behavioral. Bentuk dari
terapi tersebut bisa berupa briefing (penerangan ringkas) dan debriefing (Tanya jawab/
wawancara), stress relief exercise (latihan membebaskan diri dari stress) dan juga berupa
sekolah darurat. Dalam sekolah darurat pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
terapi kelompok dan terapi agama. Sedangkan bentuk terapi yang lain yaitu briefing
(penerangan ringkas) dan debriefing (tanya jawab/ wawancara), stress relief exercise
(latihan membebaskan diri dari stress) bisa dilakukan pada saat liburan sekolah selama 18
jam dengan melibatkan guru-guru dari sekolah yang bangunannya hancur dan rusak
berat. Untuk mengefektifkan terapi tersebut, seorang psikolog harus meningkatkan
ketrampilan dari guru-guru yang mengajar yaitu berupa ketrampilan psikologis untuk
menangani siswa korban gempa, keterampilan pengelolaan diri (self-management),
memahami kharakteristik siswa korban gempa baik dilihat dari budaya dan psikologis,
ketrampilan untuk mendeteksi trauma bagi siswa SMP dan SMA. Sedangkan terapi untuk
anak-anak bisa berupa terapi kelompok yang dikombinasikan dengan terapi bermain dan
terapi agama. Bentuk dari terapi tersebut bisa berupa sekolah darurat. Menurut Dra Avin
Fadila Helmi Msi secara umum sekolah darurat tersebut menyelenggarakan proses belajar
mengajar dengan memperhatikan aspek lingkungan, psikis, sosial, dan tetap mengacu
pada konsep religiusitas. Persiapan proses pembelajaran di sekolah darurat itu disusun
dalam tiga fase, yakni menyiapkan model, modul, dan pematangan relawan yang akan
diterjunkan di lapangan. Selain melalui sekolah darurat tersebut beberapa kegiatan yang
bisa diterapkan untuk mengurangi beban psikologis anak adalah menghimpun anak-anak
dan mendongeng untuk menghibur mereka, serta mengajak mereka bermain untuk
melupakan trauma. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk Trauma Center seperti
yang telah dilakukan oleh Kak Seto bersamasama dengan pemerintah. Pendirian Trauma
Center tersebut ditujukan untuk menangani gangguan traumatis pada anak-anak yang
menjadi korban bencana alam. Menurut Kak Seto cara yang paling cepat membantu
menyembuhkan trauma anak adalah dengan memberikan cinta, perhatian, dan dunia
indah untuk bermain.
Perlu diingat bahwa kehidupan anak-anak tidak bisa lepas dari orang tuanya. Oleh karena
itu, selain pemberian terapi tersebut Dr Michael Wasserman dari Ochsner Clinic
Foundation di New Orleans, Louisiana, menghimbau kepada para orang tua agar mereka
berhati-hati dalam memberikan informasi mengenai bencana alam tersebut kepada anak
anak karena kemungkinan besar secara emosi anak-anak masih belum mampu
"mengunyah"-nya. Selain itu, Wasserman juga menghimbau agar orangtua jangan
menghindari topik tersebut, tetapi menyampaikannya dalam bahasa yang sesuai untuk
umur anak. Orang tua seharusnya mendengarkan dan menjawab pertanyaan yang
diajukan anak, namun orang tua sebaiknya tidak terlalu banyak memberikan informasi.
Menurut Wasserman orang dewasa dapat menenteramkan hati anak tanpa harus terlalu
banyak memperingatkan (over-alarming). Selain metode terapi yang telah dijelaskan di
atas, dr G Pandu Setiawan, SpKJ, (Direktur Pelayanan Medik dan Gigi Spesialis Depkes)
menyatakan bahwa penanganan korban bencana alam juga perlu diupayakan melalui
media intervensi seperti pemberian obat-obatan serta metode pendampingan yang
dilakukan relawan sampai para korban
merasa nyaman dan aman untuk melanjutkan hidup mereka lagi. Oleh karena itu, dalam
penanganan korban bencana alam seorang psikolog klinis harus bekerjasama dengan
pihak lain yaitu dokter, psikiater, perawat, pekerja sosial, petugas psiko-sosial, pemuka
agama, pemuka adat, tokoh masyarakat dan para relawan
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Stress itu adalah gangguan yang berasal dari lingkungan atau pun penampilan individu
di dalam lingkungan itu yang menyebabkan berubahkan kebutuhan seseorang sehingga
dapat mengganggu keseimbangan individu di dalam lingkungan. Bencana merupakan
peristiwa yang mengakibatkan kerugian dalam aspek ekologi, ekonomi , psikologi dan lain
sebagainya,tentunya akan memberikan dapat stress dalam jumlah besar kepada individu.
Agar stress tersbut dapat ditanggulangi dengan sebaik-baiknya seharusnya kita dapat
melakukan assessment bencana secara rinci, tepat, cepat , akurat serta dapat memilih
metode assessment bencana yang sesuai dengan keadaan di lapangan. Dari sana kita akan
mampu memberikan terapi/treatment yang tepat untuk para korban bencana, dapat
dikelompokan sesuai dengan gangguan psikologisnya dan umur. Dalam memberikan terapi
psikolog harus dapat menjalin relasi, kerjasama, pendengar yang aktif, melatih
keterampilan korban, dan bahasa non verbal. Yang terakhir psikolog juga harus melakukan
evaluasi terhadap terapi yang diberikan agar mengetahui kemajuan psikologis korban
bencana, apakah metode terapi yang diberikan sudah sesuai dan menambah perkembangan
psikologis para korban bencana.
2. Saran
Bagi mahasiswa keperawatan agar materi ini benar-benar dipahami karena akan
membantu juga dalam memberikan pelayanan di masyarakat ketika terjadi bencana
sehingga kita mampu mengimplementasikan materi ini .
DAFTAR PUSTAKA
Potter, Perry. 2007. Basic Nursing Essentials for Practise. 6th Ed. Canada: Mosby Elsevier.
KELOMPOK 4