Anda di halaman 1dari 25

MATERI PENDEKATAN KONSELING BERPUSAT PADA PRIBADI

1. Latar Belakang
Pendekatan konseling berpusat pribadi dikembangkan oleh Carl Ransom
Rogers pada tahun 1940-an. Munculnya pendekatan ini didasarkan pada konsep
psikologi humanistik sebagai reaksi terhadap directive counseling dan pendekatan
psikoanalisis. Arah perkembangan pendekatan ini perlu dikaji berdasarkan periode
perkembangan yang terjadi pada masing-masing periode.
Periode pertama tahun 1940-an awalnya bernama non directive counseling
yang menekankan pada penciptaan iklim permisif (membebaskan), memusatkan pada
teknik penerimaan dan klarifikasi guna membantu konseli memahami diri sendiri dan
situasi kehidupannya.
Periode kedua tahun 1950-an berganti nama dengan client centered therapy.
Rogers memandang bahwa konseling tidak hanya cukup dengan non direktif saja
tetapi juga memfokuskan pada unsur afeksi individu dengan menghadirkan sejumlah
kondisi fasilitatif yang bisa membuat perubahan terapeutik. Kondisi fasilitastif yang
dimaksudkan dengan cara memunculkan empati, kongruen dan acceptance atay yang
biasa disesbut unconditional positive regard. Client centered juga menekankan
refleksi perasaan klien dan dunia pengalaman klien sehingga mampu
mengembangkan keselarasan konsep diri dan konsep diri idealnya. Paradigma client
centered ini diaplikasikan dalam bidang pendidikan (student centered learning) di
mana kondisi konseling diperlukan bagi perubahan klien. Pengaruh paradigma client
centered kemudian meluas ke bidang lain yang diawali dengan terbitnya karya
monumental Rogers yaitu “on becoming a person” yang memfokuskan pada
kesehatan mental dan bagaimana orang berfungsi secara utuh (fully functioning
person).
Sekitar tahun 1980-an dan 1990-an merupakan pengembangan pendekatan ini
secara meluas dalam bidang pendidikan, industri, kelompok, resolusi konflik, dan
pencarian perdamaian dunia. Pendekatan ini memiliki pengaruh/aplikasi yang sangat
luas dalam berbagai bidang kehidupan. Ruang lingkup pendekatan ini semakin meluas
pada pengaruh person, seperti bagaimana individu mendapatkan, memiliki, membagi
atau melepas power atau kontrol atas dirinya sendiri dan orang lain, sehingga
pendekatan ini dikenal dengan tiga istilah yang sering digunakan yaitu person
centered approach, person centered therapy, atau person centered counseling.
(Corey, 2013).
Pendekatan humanistik menekankan terhadap pengalaman konseli saat
“sekarang dan di sini” (here and now) dibandingkan fokus pada akar permasalahan
saat masa kanak-kanak (psikodinamik) maupun pencapaian pola perilaku baru di
masa yang akan datang (behaviorisme). Oleh karenanya, pendekatan ini meletakkan
konseli sebagai pusat konseling, karena konseli adalah orang yang paling tahu tentang
dirinya dan dapat menemukan tingkah laku yang pantas bagi dirinya. Pendekatan
berpusat pada pribadi mendapatkan sambutan positif dari berbagai kalangan baik
ilmuwan maupun praktisi hingga saat ini karena dirasa masih relevan untuk dipelajari
dan diterapkan.

2. Konsep Dasar
2.1 Pandangan tentang Hakikat Manusia
Pendekatan konseling berpusat pribadi memiliki pandangan bahwa individu
pada dasarnya baik. Rogers menyatakan bahwa manusia memiliki karakteristik
positif, berkembang ke arah yang lebih baik (aktualisasi diri), konstruktif,
realistik, dan dapat diandalkan (Gladding, 2012). Pandangan lain tentang hakikat
manusia dalam perspektif pendekatan konseling berpusat pribadi (Thompson
et.al., 2004) yaitu:
a. Memiliki worth dan dignity dalam diri sehingga layak diberikan penghargaan
(respect)
b. Memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri dan mendapat
kesempatan membuat penilaian yang bijaksana
c. Dapat memilih nilainya sendiri
d. Dapat belajar untuk bertanggungjawab secara konstruktif
e. Memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran dan tingkah lakunya
f. Memiliki potensi untuk berubah secara konstruktif dan dapat berkembang ke
arah hidup yang penuh dan memuaskan (full and satisfying life) atau
aktualisasi diri.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat dijelaskan secara lebih rinci
bahwa hakikat manusia menurut pendekatan berpusat pribadi adalah sebagai
berikut.
a. Manusia mempunyai potensi untuk memahami diri dan mengatasi masalahnya
sendiri
Setiap manusia memiliki kapasitas dan potensi untuk memahami
keadaan yang dialaminya dan mengatur kembali kehidupannya menjadi lebih
baik. Kemampuan untuk memahami segala hal yang terjadi dalam diri
seseorang adalah salah satu cara untuk menekan kecemasan yang
dirasakannya. Ketika seseorang berada dalam kondisi tertentu yang
mengancamnya, maka mereka akan berusaha menggunakan kemampuannya
untuk mengarahkan, membimbing, mengatur dan mengendalikan dirinya pada
kondisi yang lebih baik. Manusia dianggap mampu menentukan isu yang
penting bagi dirinya dan mampu mengambil keputusan untuk memecahkan
masalah dalam dirinya. Manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi,
untuk mencapai kebutuhan tersebut mereka akan berupaya menggunakan
kemampuannya. Dalam dirinya, manusia memiliki kekuatan kreatif untuk
menyelesaikan masalah, mengubah konsep diri mereka dan menjadi lebih
terarah.
b. Berkembang ke arah yang lebih baik (aktualisasi diri)
Kecenderungan manusia untuk berkembang ke arah lebih baik
merupakan wujud dari aktualisasi diri. Manusia memiliki dorongan untuk
mengembangkan kapasitasnya yang mengarah kepada perilaku untuk
mempertahankan, meningkatkan, dan mereproduksi dirinya menuju keutuhan
dan pemuasan dari potensinya. Meskipun manusia memiliki keinginan untuk
memelihara status quo, mereka juga bersedia untuk belajar dan berubah.
Kebutuhan untuk menjadi lebih baik, berkembang dan meraih perubahan
disebut peningkatan diri. Kebutuhan untuk meningkatkan diri terlihat dari
kemauan manusia belajar suatu hal yang tidak menguntungkan mereka secara
langsung. Setiap orang memiliki kesadaran, terarah, dan maju ke arah
aktualisasi diri sejak masa kanak-kanak. Contoh kondisi tersebut dapat diamati
pada motivasi anak kecil untuk berjalan. Proses merangkak sebelum berjalan
pada anak kecil sebenarnya dapat memuaskan kebutuhannya untuk bergerak,
dan berjalan mempunyai asosiasi dengan jatuh dan rasa sakit. Relevansi
dengan pendirian Rogers, bahwa manusia bersedia untuk menghadapi
ancaman dan rasa sakit karena kecenderungan dasar biologis untuk sebuah
organisme memenuhi sifat alamiahnya yang mendasar. Kebutuhan
meningkatkan diri diekspresikan dalam bentuk yang beragam, termasuk rasa
penasaran, keriangan, eksplorasi diri, pertemanan, dan kepercayaan diri bahwa
seseorang dapat meraih pertumbuhan psikologis. Pada dasarnya, aktualisasi
diri merupakan penggerak yang paling umum dan memotivasi keberadaan,
serta mencakup tindakan yang mempengaruhi orang tersebut secara
keseluruhan. Para ahli teori berpusat pada pribadi yakin bahwa masing-masing
individu mampu menemukan arti diri dan tujuan dalam kehidupannya.
c. Manusia melakukan sesuatu berdasarkan persepsinya (subjektif)
Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang
medan fenomenal dan individu itu mereaksi medan itu sebagaimana yang
dipersepsikannya. Oleh karena itu,persepsi individu tentang medan fenomenal
bersifat subyektif. Secara umum, perilaku seseorang dapat diamati dari sudut
pandang orang luar atau sudut pandang orang yang berperilaku itu sendiri.
Dapat dijelaskan bahwa dalam melihat perilaku berasal dari kerangka acuan
eksternal maupun dari kerangka acuan internal-subjektif atau perseptual.
Rogers menuliskan keyakinan fundamentalnya pada yang subjektif, dan
mengatakan bahwa “orang pada dasarnya hidup di dunia pribadi dan
subjektifnya, dan bahkan fungsi paling objektifnya di bidang sains,
matematika, dan semacamnya adalah hasil dari maksud subjektif dan pilihan
subjektif”. Penekanan pada pandangan perseptual subjektif konseli inilah yang
memunculkan istilah “client centered”. Persepsi konseli dianggap sebagai
persepsinya tentang realitas. Satu-satunya realitas yang mungkin diketahui
orang adalah dunia yang dipersepsinya dan dialaminya secara individual pada
saat itu.
d. Setiap manusia pada dasarnya baik sesuai dengan harkat dan martabat
Menurut Rogers, manusia adalah makhluk yang unik dan positif.
Manusia pada dasarnya bermartabat dan berharga serta memiliki nilai-nilai
yang dijunjung tinggi sebagai hal yang baik bagi dirinya. Kebutuhan dan
anggapan positif terhadap manusia merupakan kebutuhan yang dipelajari dan
dikembangkan sejak masa bayi. Apabila individu memperoleh penghargaan
positif dari lingkungannya, ia akan dapat berkembang secara positif. Karakter
baik yang dimiliki manusia akan menciptakan hubungan yang baik pula.
Kapasitas untuk menjalin hubungan pribadi yang baik ditunjukkan dengan cara
menerima orang lain sebagai pribadi yang unik, menghargai orang lain,
menjalin hubungan dengan terbuka dan bebas, serta mengkomunikasikan
kesadaran tentang diri. Hubungan yang terjalin ini ditandai oleh sikap saling
peduli terhadap perkembangan kedua belah pihak.
e. Dapat bertanggung jawab dan konstruktif
Manusia dipandang sebagai individu yang memiliki tanggung jawab atas
perkembangan pribadinya (personal responsibility), bukan hanya merasa
bertanggungjawab kepada orang lain. Kepercayaan pada otoritas dalam dirinya
memberikan pengaruh terhadap penerimaan tanggung jawab atas perilakunya
dan tanggung jawab untuk berbeda dengan orang lain. Orang yang mampu
bertanggungjawab secara pribadi, mampu memegang kendali terhadap
kehidupan mereka. Pengakuan terhadap tanggung jawab pribadi merupakan
bagian sentral dari Self concept orang-orang efektif. Filosofi person centered
mencakup aspek Self control, Self help, dan personal power, dengan harapan
dalam konteks hubungan yang peduli. Oleh karena itu, secara mendasar
manusia itu baik, dapat dipercaya, dan konstruktif tidak merusak dirinya.
Sifat manusia dalam konseling person centered dipandang sebagai individu
yang memiliki potensi, beraktualisasi diri, memiliki kebaikan yang positif,
memiliki kerangka referensi perseptual (subjektif), serta bertanggungjawab dan
konstruktif. Konseling person centered berakar pada kesanggupan individu untuk
sadar dan mampu membuat keputusan sendiri. Asumsi dasarnya dalam konteks
suatu hubungan pribadi dengan kepedulian konselor, konseli mengalami perasaan
yang sebelumnya ditolak atau disimpangkan dan peningkatan Self-awareness.
Konseli diberdayakan melalui partisipasi mereka dalam hubungan konseling.
Mereka mewujudkan potensi mereka untuk tumbuh, utuh, spontan, dan diarahkan
dari motivasi internal (inner-directed).

2.2 Pandangan tentang Kepribadian


Pendekatan berpusat pribadi dibangun atas dua hipotesis dasar yaitu: (1)
setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami keadaan yang menyebabkan
ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya menjadi lebih baik, (2)
kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat terjadi dan
ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan memahami
relasi konseling yang sedang dibangun (Corey, 1986).
Sejak awal, Rogers menekankan pada cara kepribadian itu berubah dan
berkembang, bukan pada aspek struktural kepribadian. Namun, jika ditinjau dari
hakikat pribadi manusia, Rogers mengajukan tiga konstruk pokok dalam teorinya
yaitu:
a. Organisme, adalah individu itu sendiri yang mencakup aspek fisik maupun
psikologis. Organisme merupakan suatu kebulatan diri baik secara pikiran,
perasaan, tingkah laku, wadah fisik baik disadari maupun tidak mereaksi
sebagai kebulatan terhadap medan fenomena untuk memuaskan kebutuhannya
dalam menghadapi pengalaman. Organisme mungkin melambangkan
kesadaran, menolak atau mengabaikan. Jika dijelaskan secara lebih rinci,
pengertian organisme mencakup tuga hal yaitu:
1) Makhluk hidup; organisme adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik
dan psikologisnya, tempat semua pengalaman dan segala sesuatu yang
secara potensial terdapat dalam kesadaran setiap saat yaitu persepsi
seseorang mengenai event yang terjadi di dalam diri dan di dunia
eksternal.
2) Realitas subjektif; organisme menanggapi dunia seperti yang diamati atau
dialaminya. Realita adalah medan persepsi yang yang sifatnya subjektif,
bukan fakta benar-salah. Realita subjektif yang menentukan/ membentuk
tingkah laku.
3) Holisme; organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan
pada satu bagian akan mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan
memiliki makna pribadi atau bertujuan, yakni tujuan mengaktualisasi,
mempertahankan, dan mengembangkan diri.
b. Medan fenomena (phenomenal field), adalah semua hal yang dialami individu
(dunia pribadi) dan menjadi sumber kerangka acuan internal dalam
memandang kehidupan. Dunia pengalaman individu tersebut terus berubah
baik secara internal maupun eksternal, dan beberapa peristiwa ada yang
diamati secara sadar dan ada yang tidak. Dengan kata lain, medan fenomena
merupakan pengalaman hidup yang bermakna secara psikologis bagi individu,
dapat berupa pengetahuan, pengasuhan orang tua, dan hubungan pertemanan.
Adapun deskripsi tentang medan fenomena dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Medan fenomena meliputi pengalaman internal (persepsi mengenai diri
sendiri) dan pengalaman eksternal (persepsi mengenai dunia luar)
2) Medan fenomena meliputi pengalaman yang : (a) disimbolkan (diamati dan
disusun dalam diri sendiri); (b) disimbolkan tetapi diingkari/ dikaburkan
(karena tidak konsisten dengan struktur dirinya); (3) tidak disimbolkan
atau diabaikan (karena diamati tidak mempunyai hubungan dengan struktur
diri). Pengalaman yang disimbolkan itu disadari, sedangkan pengalaman
yang diingkari dan diabaikan itu tidak disadari.

3) Semua persepsi bersifat subjektif, benar bagi dirinya sendiri


4) Medan fenomena seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali
melalui inferensi empatik, pengetahuan yang diperoleh itupun tidak akan
sempurna.
c. Self, adalah struktur kepribadian yang sebenarnya. Self dipandang sebagai
interaksi antara organisme (individu) dengan medan fenomena yang
kemudian membentuk self (“I”/”me”/”saya”). Kesadaran tentang self
membantu seseorang membedakan dirinya dengan orang lain. Self dibagi
menjadi dua yaitu real self (keadaan diri individu saat ini) dan ideal self
(keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa
yang ingin dicapai oleh individu itu). Untuk menemukan Self yang sehat
(the real Self), individu butuh penghargaan, kehangatan, perhatian, dan
penerimaan tanpa syarat. Namun, jika seseorang akan merasa berharga
hanya bila bertingkahlaku sesuai yang dikehendaki orang lain maka yang
akan terbentuk adalah ideal Self. Ketidaksesuaian antara ideal self dan
real self, munculah masalah.

Contoh Ideal Self dan Real Self

Seorang mahasiswa mengira bahwa dia adalah mahasiswa yang


pintar dan tidak pernah menyontek, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar
dengan tingkah lakunya yang bertentangan dengan pikiran itu. Mahasiswa
tersebut ternyata berkali-kali mencoba menyontek dan jarang mengerjakan
tugas-tugas kuliah. Padahal, seharusnya sebagai mahasiswa ia tidak boleh
bertindak begitu.
Pengalaman nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara siapa
saya ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang bagaimana.
Gambar 1. Contoh Ideal Self dan Real Self

2.3 Asumsi Tingkah Laku Bermasalah


Dalam pendekatan konseling berpusat pribadi, seseorang dikatakan menjadi
pribadi yang bermasalah secara psikologis apabila mengalami kondisi penghargaan
bersyarat, inkongruensi (tidak kongruen), memiliki sikap defensif (membela diri) dan
disorganisasi. Secara lebih detail, penjelasan asumsi tingkah laku bermasalah sebagai
berikut.
a. Penghargaan bersyarat (conditions of worth)
Penghargaan bersyarat muncul saat penghargaan positif dari significant other
memiliki persyaratan, saat individu tersebut merasa dihargai dalam beberapa
aspek dan tidak dihargai dalam aspek lainnya. Penghargaan bersyarat menjadi
kriteria penerimaan atau penolakan terhadap pengalaman seseorang. Apabila
individu melihat orang lain menerimanya tanpa melihat tindakannya, maka
dipercaya bahwa individu tersebut dihargai tanpa syarat. Akan tetapi, bila
individu tersebut memiliki persepsi bahwa beberapa perilaku yang
dilakukannya mendapat persetujuan atau tidak, maka individu tersebut melihat
bahwa penghargaan bersifat kondisional. Dari setiap tahap perkembangan,
ketika individu seringkali melihat keluar diri untuk arahan dan panduan maka
individu tersebut akan cenderung menjadi tidak kongruen atau tidak seimbang.
Sebagai contoh, ketika orang tua mendidik anak dengan pendekatan
penghargaan bersyarat, berarti orang tua telah memaksa anak untuk
menginternalisasi norma orangtuanya, dan apabila anak dapat menyesuaikan
diri dengan norma tersebut dia akan merasa berharga. Anak terpaksa
menghambat perkembangan berbagai potensinya (yang tidak sesuai dengan
norma orangtuanya), mereka menjadi tidak bebas dan terhambat dalam
mengembangkan aktualisasi dirinya.
b. Inkongruensi
Organisme dan self merupakan dua entitas yang dapat kongruen satu sama lain
ataupun tidak. Ketidakseimbangan psikologis dapat dimulai saat seseorang
gagal mengenali pengalaman organismiknya sebagai pengalaman diri, yaitu
ketika orang tersebut tidak secara akurat membuat simbolisasi dan pengalaman
organismiknya ke dalam kesadaran, karena pengalaman tersebut terlihat tidak
konsisten dengan konsep diri yang sedang muncul. Inkongruensi antara konsep
diri dan pengalaman organismik adalah sumber gangguan psikologis. Keadaan
individu yang kongruensi dan tidak kongruensi dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

Gambar A = keadaan
individu yang
kongruen (ideal self
an real self )
Gambar B individu
yang tidak kongruen
(Sumber: Pietrofesa,
Picture B. Picture A. D., Leonard, G dan
Hoose WV.,1978).

Gambar 2. Individu yang kongruen inkongruen


Penghargaan bersyarat yang diterima pada awal masa kanak-kanak dapat
mengakibatkan konsep diri yang salah. Terkadang individu berperilaku dalam
bentuk yang memelihara dan meningkatkan kecenderungan aktualisasinya,
tapi di saat yang lain individu tersebut dapat bertindak dalam bentuk yang
dirancang untuk memelihara dan meningkatkan konsep diri yang berasal dari
ekspektasi dan evaluasi orang lain atas dirinya. Ada beberapa kondisi akibat
inkongruensi yaitu:
1) Kerentanan; manusia menjadi rentan saat tidak menyadari perbedaan
antara diri organimiknya dengan pengalaman diri yang signifikan.
Semakin besar inkongruensi antara konsep diri dengan pengalaman
organismiknya maka akan semakin rentan individu tersebut. Kurangnya
kesadaran atas inkongruensi membuat orang rentan berperilaku dalam
cara-cara yang tidak dapat dimengerti tidak hanya oleh orang lain tetapi
juga dirinya sendiri.
2) Kecemasan; diartikan sebagai kondisi yang tidak menyenangkan atau
tekanan dari sumber yang tidak diketahui. Saat seseorang mulai secara
samar menyadari bahwa ada perbedaan antara pengalaman organismik
dan konsep dirinya mulai masuk dalam ranah kesadaran maka orang
tersebut akan merasa cemas.
3) Ancaman; merupakan kesadaran bahwa diri seseorang tidak lagi utuh
(kongruen). Kondisi saat seseorang mulai menyadari inkongruensi atas
pengalaman organismik dengan persepsi terhadap diri menunjukkan
bahwa kecemasan mulai berubah menjadi ancaman. Kecemasan dan
ancaman dapat merepresentasikan cara menuju kesehatan psikologis
karena pertanda bahwa pengalaman organismik tidak konsisten dengan
konsep dirinya.
c. Sikap defensif
Reaksi yang umumnya dilakukan untuk menghindari ketidakkonsistenan
antara pengalaman organismik dan diri yang dirasakan dengan cara defensif.
Sikap defensif adalah perlindungan terhadap konsep diri dari kecemasan dan
ancaman dengan penyangkalan atau distorsi dari pengalaman yang tidak
konsisten dengan konsep diri. Konsep diri terdiri dari banyak kalimat
pendeskripsian diri, sehingga konsep diri memiliki banyak sisi. Pada
umumnya, cara defensif untuk melindungi konsep diri adala distorsi dan
penyangkalan. Dengan distorsi, seseorang melakukan kesalahpahaman dari
sebuah pengalaman agar sesuai dengan salah satu aspek konsep dirinya.
Sementara, dengan penyangkalan seseorang menolak menghayati pengalaman
dalam kesadaran atau menahan beberapa aspek dari pengalaman tersebut agar
tidak mencapai simbolisasi. Distorsi dan penyangkalan membuat individu
mengacuhkan atau menutup pengalaman baru yang mungkin saja menjadi
penyebab kecemasan yang tidak menyenangkan atau ancaman.
d. Disorganisasi
Disorganisasi dapat terjadi secara tiba-tiba atau dapat terjadi secara bertahap
selama rentang waktu yang panjang. Dalam kondisi disorganisasi, manusia
kadang berperilaku secara konsisten dengan pengalaman organismiknya dan
kadang sesuai dengan konsep diri yang hancur. Sebagai contoh, seorang
wanita yang sopan dan santun, tiba-tiba mulai menggunakan bahasa yang
kasar dan vulgar. Perilaku dapat menjadi tidak terorganisasi atau bahkan
menjadi psikotik apabila pertahanan seseorang tidak bekerja dengan benar.

3. Tujuan Konseling
Konseling berpusat pribadi bertujuan agar individu (konseli) dapat mencapai
karakteristik pribadi yang beraktualisasi diri (self actualizing) atau berfungsi penuh
(fully functioning person). Rogers menekankan bahwa orang perlu bantuan untuk
belajar bagaimana menghadapi berbagai situasi, salah satu caranya dengan
“membantu konseli menjadi orang yang berfungsi penuh (fully functioning person)
yang tidak perlu menerapkan mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi
pengalaman sehari-hari” (Rogers, 1977; Gladding, 2012).

Manusia yang berfungsi secara penuh (fully functioning person) cirinya :


1. Memiliki keterbukaan terhadap pengalaman (opennes to
experience)
2. Kepercayaan pada diri sendiri (self-trust)
3. Sumber internal evaluasi (internal source evaluation)
4. Keinginan berkelanjutan untuk berkembang (willingness to
continue growing)
5.
Karakteristik individu yang dapat mengaktualisasikan diri dan berfungsi
sepenuhnya (fully functioning person) adalah sebagai berikut:
a. Memiliki keterbukaan terhadap pengalaman (opennes to experience)
Keterbukaan terhadap pengalaman meliputi kemampuan untuk melihat realitas
tanpa terganggu untuk menyesuaikan pada self structure yang telah terbentuk
sebelumnya. Individu menjadi lebih terbuka yang berarti individu tersebut lebih
menyadari realitas yang ada di dalam diri dan luar dirinya, memiliki keyakinan
yang tidak kaku, terbuka terhadap pengetahuan baru, dapat berkembang dan
toleran terhadap ambiguitas. Adanya keterbukaan dan kesadaran terhadap
pengalaman akan membantu pertumbuhan dalam menoleransi keberagaman
makna dirinya. Terbuka terhadap pengalaman memungkinkan tingkah laku lebih
efisien sebab mendorong lebih meluasnya medan persepsi, sehingga cenderung
berperilaku atas dasar pilihan daripada keharusan. Keterbukaan juga
mengembangkan sikap spontan dan kreatif, karena individu tidak dihalangi oleh
kondisi yang menghambat.

b. Kepercayaan pada diri sendiri (self-trust)


Pada awal proses konseling, kepercayaan diri konseli biasanya sangat rendah
sehingga tidak dapat mengambil keputusan secara mandiri. Ketika konseli lebih
terbuka, maka akan dapat mengembangkan kepercayaan kepada diri secara
perlahan. Orang yang berfungsi sepenuhnya tidak akan bergantung pada orang
lain untuk mengarahkan mereka, karena menyadari bahwa kriteria terbaik dalam
mengambil keputusan adalah mempercayai perasaan internal yang dirasa benar
daripada ajaran orang tua atau peraturan masyarakat. Namun, ketika mengambil
keputusan juga perlu mempertimbangkan secara jelas hak dan perasaan orang
lain.
c. Sumber internal evaluasi (internal source evaluation)
Sumber internal evaluasi berarti bahwa individu mencari pada diri sendiri
tentang jawaban atas masalah eksistensi diri (introspeksi diri). Individu dibantu
untuk memahami diri dan mengambil keputusan secara mandiri tentang hidupnya.
d. Keinginan berkelanjutan untuk berkembang (willingness to continue growing)
Pembentukan self dalam proses on becoming merupakan inti dari tujuan
pendekatan berpusat pribadi. Self bukan dipandang sebagai produk dari proses
konseling. Meskipun tujuan konseling adalah self yang berhasil, yang paling
penting adalah proses berkelanjutan di mana konseli mendapatkan pengalaman
baru dan mendapatkan kesadaran diri. Konseli bisa jadi menjalani proses
konseling untuk mencari formula penyelesaian masalahnya guna membangun
keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka sadar bahwa pertumbuhan adalah
suatu proses yang berkesinambungan. Para konseli selama proses konseling
berada dalam proses pengujian persepsi dan kepercayaan serta membuka diri bagi
pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi untuk menemukan cara
yang tepat.
Karakterisktik fully functioning person tersebut memberikan frame kerja untuk
memahami arah proses konseling. Konselor tidak memilih tujuan konselingnya bagi
konseli, melainkan memfasilitasi konselinya melalui penciptaan hubungan terapeutik.
Konseling pada dasarnya bertujuan mereorganisasi konsep diri konseli melalui
fasilitasi sikap genuineness, emphaty, dan unconditional positive regard. Tujuan
konseling tercapai yang ditandai dengan kondisi hubungan konseling yang fasilitatif
yaitu konselor dan konseli berada dalam kontak psikologis, konseli berada dalam
ketidakserasian, konselor berada dalam keadaan keserasian, konselor memberikan
penghargaan positif tanpa syarat, konselor memahami dunia internal konseli dan
mengkomunikasikannnya kepada konseli, dan konseli menyadari kongruensi,
penerimaan positif tidak bersyarat, dan empati konselor (Corey, 2013). Adapun
penjelasan lebih rincinya sebagai berikut.
a. Kongruen (congruence) atau keaslian (genuineness)
Kongruen berarti bahwa konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli,
terintegrasi dan otentik. Kongruensi konselor meliputi perasaan dan pikiran yang
ada dalam dirinya (inner) dengan perasaan, pandangan, dan tingkah laku yang
diekspresikan (outer). Ciri konselor yang kongruen meliputi: (1) menjadi pribadi
konselor yang utuh, genuine dengan dirinya sendiri dalam proses terapeutik,
tanggap terhadap perubahan pikiran, perasaan dan persepsi yang terjadi selama
proses terapeutik serta (2) mampu memunculkan pribadi aslinya secara tepat
kepada konseli (Palmer, 2000).

Contoh respon genuine konselor:


Konseli : “Saya tersesat, benar-benar tersesat. Saya tidak tahu
arah tujuan.
Konselor : Kamu merasa tersesat dan tidak yakin kemana arah
tujuan yang akan kamu capai. Saya merasa bahwa
kamu sedang putus asa dan saya di sini utukmu
dalam masa sulitmu.

Berdasarkan pernyataan di atas, konselor mengekspresikan


dirinya dengan terbuka, secara genuine mampu berempati
kepada konseli, sadar terhadap apa yang dirasakan konseli, dan
bisa mengekpresikan keinginan konselor untuk membantu
konseli. Keaslian konselor tidak berarti bahwa konselor
mengungkapkan semua perasaannya kepada konseli, tetapi
konselor mampu mengatur dan menggunakan perasaannya
sesuai dengan konteksnya dalam hubungan terapeutik.

Konselor yang otentik menampilkan diri yang spontan dan terbuka baik
perasaan dan sikap yang ada dalam dirinya serta dapat berkomunikasi secara jujur
dengan konseli. Konselor dapat menampilkan sikap impulsif dan berbagai
perasaan maupun pikirannya kepada konseli. Konselor diharapkan mampu
melakukan self disclosure (keterbukaan diri) sesuai dengan kondisi konseli dan
substansi topik yang dibahasa dalam proses konseling. Kondisi ini sangat
mungkin dilakukan apabila konselor mendengarkan konseli secara sungguh-
sungguh dan memahami perasalahannya. Keaslian konselor terlihat melalui
respon konseli yang muncul secara alamiah, asli, tidak dibuat-buat.
b. Penerimaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance)
Uncoditional positif regard berarti bahwa konselor tidak melakukan penilaian
dan penghakiman terhadap perasaan, pikiran dan perilaku konseli berdasarkan
standar norma tertentu. Acceptance menunjukkan penghargaan yang spontan
terhadap konseli dan menerimanya sebagai individu yang unik. Penerimaan ini
bertujuan untuk membangun hubungan terapeutik menjadi lebih konstruktif. Bagi
konselor, kemampuan acceptance dan unconditional positive regard tidak
mungkin muncul sepanjang waktu, namun harusnya lebih sering ditampilkan
dalam hubungan konseling yang konstruktif.

Contoh respon unconditional positive regard konselor:


Konseli : “Saya sudah merasa putus asa terhadap situasi ini”.
Konselor : “Baiklah, saya masih ingin membuat janji bertemu denganmu
lagi. Saya ingin menyampaikan kepadamu jika masalah ini
terlalu berat untukmu, jangan ragu untuk menghubungi saya.
Dan jika kamu harus memutuskan untuk menyerah, saya akan
mengapresiasi jika Anda juga memberitahuku, sehingga saya
bisa mengetahuinya lebih awal. Saya tidak akan mencoba
melarangmu, saya hanya ingin bertemu.”
Konseli : “Saya mungkin menyerah saat ini. Di mana, saya tidak tahu tapi
saya juga tidak peduli”.
Konselor: “Saya merasa bahwa Anda sudah membuat keputusan. Dan
keputusan yang Anda buat adalah menyerah tanpa
menyelesaikan masalah. Anda hanya akan menyerah? Hmm...”
Konseli : “(bergumam dengan nada putus asa) Itulah sebabnya saya ingin
menyerah, karena saya tidak peduli apa yang akan terjadi.”

Contoh respon unconditional positive regard konselor:


Konselor : Hmm.. Jadi Anda ingin menyerah karena sudah tidak
peduli dengan dirimu sendiri. Anda hanya tidak peduli
dengan apa yang terjadi. Hal yang ingin saya katakan
bahwa saya peduli dengan dirimu dan saya peduli dengan
apa yang akan terjadi. Bagaimanapun juga hal ini dapat
membuat perasaanmu tercurahkan. Anda hanya menangis
dan menangis dan menangis dan merasa sangat buruk.
(Konseli terus menangis, nafasnya terengah-engah)”.
Konselor : “Saya bisa merasa kan betapa buruknya apa yang Anda
rasakan. Anda hanya terisak dan tersedu.” (Konseli
menangis sambil terisak-isak).

Berdasarkan pernyataan di atas, konselor mampu memunculkan


kepedulian dan kehangatan untuk konseli. Nada suara dan kata-kata
konselor harus kongruen karena dianggap sebagai bentuk
mengekspresikan penerimaan dan kepedulian.

c. Pemahaman yang empatik dan akurat (accurate empathic understanding)


Empathy atau deep understanding adalah kemampuan konselor untuk
memahami permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang konseli, peka
terhadap perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli
merasakan perasaannya. Konselor diharapkan memahami permasalahan tidak
hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli.
Empati efektif dalam perubahan psikologis konseli karena membuat konseli dapat
mendengarkan diri mereka sendiri dan akhirnya menjadi terapis bagi dirinya.
Bagi Rogers, empati adalah proses karena tidak hanya sekedar merefleksikan
perasaan konseli atau mengulangi kata-kata konseli (Sharf, 2012).

Contoh respon empathic understanding konselor:


Konseli : “Saya merasa tidak pernah baik bagi orang lain, tidak pernah dan
tidak akan pernah bisa.”
Konselor: “Itu yang Anda rasakan saat ini? Anda merasa tidak baik terhadap
diri Anda sendiri dan tidak untuk siapapun. Hanya karena itu
Anda merasa tidak berharga? Perasaan itu benar-benar buruk.
Hanya karena itu Anda merasa tidak baik sama sekali?”
Konseli : “Ya (bergumam dengan suara rendah dan putus asa) itu yang
dikatakan oleh temanku beberapa hari yang lalu”.
Konselor : “Apakah teman Anda itu benar-benar mengatakan jika Anda
tidak baik? Apakah itu yang kamu katakan? Benarkah demikian?”
Contoh respon empathic understanding konselor:
Konseli : “M-hm..”
Konselor:“Saya menangkap bahwa seseorang telah mengungkapkan sesuatu hal
padamu mengenai apa yang dia pikirkan tentangmu? Mengapa dia
mengatakan padamu jika kamu tidak baik sama sekali. Dan itu telah
menghancurkan keyakinan yang telah kamu pahami saat ini (konseli
menangis dengan tenang). Itulah yang membuatmu menangis.”
Konseli : “M-hm..”
Konseli : “(agak menantang) saya tidak peduli.”
Konselor : “Anda mengatakan pada diri sendiri bahwa Anda tidak peduli sama
sekali, tetapi entah bagaimana saya mengira sebagian dari diri Anda
peduli karena sebagian dari Anda menangis karenanya. Saya mengira
sebagian dari dirimu merasakan, „saat ini Anda dipukul, seolah-olah
Anda tidak pernah mendapatkan pukulan selama hidup Anda sampai
Anda merasa ada seseorang yang tidak menyukai Anda. Orang yang
Anda maksud saat ini mulai dekat dengan Anda dan dia tidak
menyukai Anda. Saya mengatakan saya tidak peduli. Saya tidak akan
membiarkan hal itu membuat perbedaan bagiku, tetapi air mata
mengalir di pipi. ”

Berdasarkan pernyataan di atas, konselor menunjukkan empatinya dengan


memahami aspek kognitif konseli, gesture konseli, emosional dan respon
intuisi.
4. Prosedur Konseling
Pendekatan person centered adalah proses konseling yang fleksibel dan
tergantung dari proses komunikasi antara konselor dan konseli. Suasana konseling
dalam pendekatan person centered perlu adanya suatu hubungan interpersonal yang
efektif, sehingga dapat terjalin hubungan baik dari awal dan hal ini akan memberikan
dampak positif dalam keberlangsungan proses konseling. Tahapan dalam konseling
berpusat pribadi dijelaskan dalam beberapa tahap sebagai berikut:
a. Pembinaan Hubungan Baik
Tahap pertama dalam konseling berpusat pribadi biasanya konseli “enggan
berkomunikasi dengan dirinya sendiri apalagi orang lain”. Komunikasi dianggap
sebagai kegiatan yang (semata-mata) bersifat eksternal. Perasaan dan pemahaman
individu tidak dihayati layaknya bagian dari hidup seseorang. Kedekatan dan
relasi komunikatif dianggap berbahaya. Konseli merasa bahwa dirinya baik-baik
saja atau jauh dari masalah, sehingga tidak ada hal yang perlu dirubah atau
diperbaiki. Dalam mengikuti terapi, individu tidak berangkat dari kesadarannya
sendiri. Oleh karena itu, untuk memberikan kesadaran kepada konseli, maka
konselor perlu melakukan beberapa hal yaitu:
1) Membina hubungan baik dengan konseli dengan menerapkan sikap dasar
guna memfasilitasi perubahan terapeutik pada konseli.
2) Mendengarkan bahasa verbal dan non verbal konseli
3) Memahami kerangka acuan sudut pandang dalam diri konseli (internal frame
of reference)
b. Mendorong penerimaan diri konseli dengan menyediakan kondisi fasilitatif
hingga konseli mengungkapkan ekspresi-ekspresi tertentu meski belum terbuka
apa adanya.
Setelah terjalin hubungan baik, konselor perlu menyediakan kondisi fasilitatif
untuk mendorong penerimaan diri konseli agar lebih terbuka. Konseli perlahan
mulai berani mengungkapkan ekspresi-ekspresi tertentu, meskipun tidak terkait
dengan topik diri sendiri secara langsung. Masalah tetap dianggap sebagai objek
eksternal dan konseli merasa bahwa itu bukan bagian dari tanggung jawab
pribadinya. Perasaan mungkin saja nampak, tapi tidak atau belum dihayati
konseli. Konseli mungkin mengikuti proses konseling dengan kesadaran diri,
namun seringkali mereka tidak menunjukkan perkembangan atau kemajuan yang
berarti.
c. Membebaskan individu untuk mengekspresikan apapun yang terkait dengan diri
sendiri
Ketika konseli dapat menerima dirinya, maka akan lebih mudah bagi mereka
untuk bebas berekspresi. Konseli relatif lebih bebas dalam berekspresi, terutama
terkait dengan dirinya sendiri. Perasaan di masa lalu dan pemahaman terhadap
diri sendiri biasanya bersifat negatif mampu diungkapkan, meski hanya disertai
sedikit penerimaan. Konseli akan benar-benar siap melakukan konseling pada
langkah ini.
d. Mendorong konseli mampu menafsirkan makna akan pengalaman yang telah
dilaluinya, menjabarkan perasaan-perasaan yang muncul, komitmen untuk
bertanggungjawab terhadap masalahnya
Penerimaan, pemahaman, dan empati yang muncul dalam diri konseli di tahap
sebelumnya dibutuhkan untuk bergerak ke tahap berikutnya. Perasaan konseli
yang muncul jauh lebih mendalam, meskipun tidak berlangsung terus-menerus.
Pada tahap ini rasa takut, enggan, dan ketidakpercayaan masih menyertai konseli
dalam berinteraksi dengan konselor. Pada tahap ini, konseli mampu menafsirkan
makna akan pengalaman yang telah dilaluinya, menjabarkan perasaan-perasaan
yang muncul, komitmen untuk bertanggung jawab terhadap masalahnya.
e. Membebaskan konseli untuk jauh lebih menyelami pengalamannya dan bebas
berekspresi, kendati masih ada sedikit rasa takut dan tidak percaya
Dalam tahap ini, konseli jauh lebih menyelami pengalamannya dan bebas
berekspresi, kendati masih ada sedikit rasa takut dan tidak percaya. Mereka juga
semakin tegas mengungkapkan rasa dan makna, serta tanggung jawab yang
diterima. Konseli bergerak menuju kehidupannya sebagai organisme, mengikuti
perasaan yang muncul.
f. Membantu konseli menerima keadaan dirinya apa adanya sebagaimana yang dia
persepsikan tanpa rasa takut, penolakan atau pengabaian
Pada tahap ini, konseli menjadi lebih cepat menyadari perasaan yang muncul.
Pengalaman dan perasaan yang menyertai diterima apa adanya, tanpa rasa takut,
penolakan, atau pengabaian. Sebuah pengalaman menjadi hidup, tidak semata
(sekedar) dirasakan. Individu sebagai objek mulai tidak tampak. Inkongruensi
menjadi kongruen. “Diferensiasi pengalaman semakin tajam dan mendasar.
Dalam fase ini, tidak ada lagi „masalah‟, ruang eksternal dan internal. Konseli
menjadi menghayati hidupnya, subyektif, dan menyelami realitas yang dihadapi.
Keseluruhan hal tersebut bukan lagi objek”. Secara fisiologis, rasa lega yang
muncul dalam diri konseli membuatnya merasa nyaman dan rileks.
g. Mendorong konseli untuk memiliki kesadaran untuk merefleksikan pengalaman,
terbuka terhadap pengalaman dan semakin percaya diri untuk mengalami proses
hidup walau sesulit apapun
Tahap ini, konseli tampak lebih „menikmati‟ proses. Mereka dapat menyerap
pengalaman dan perasaan-perasaan baru yang melimpah dengan cepat serta
menggunakannya sebagai pedoman untuk mengenal diri sendiri, apa yang
diinginkan, dan bagaimana sikapnya selama ini. Pengalaman akan perasaan yang
berubah benar-benar dihayati misalnya kepercayaan muncul sebagai bagian dari
hidup menjadi makhluk organis. Individu menjadi lebih subjektif dan memiliki
kesadaran untuk merefleksikan pengalaman, semakin percaya diri untuk
mengalami proses dibanding hanya sekedar mempersepsikan objek. Pengalaman
yang mampu disadari akan mengarahkan individu untuk menentukan pilihan
efektif. Tahap ini, meski tidak banyak konseli yang melaluinya, ditandai dengan
karakteristik berupa keterbukaan akan pengalaman yang menuntun hidup menjadi
bergerak dan berkualitas. Sebagai simpulan, proses tersebut melibatkan: (1)
perasaan yang lega; (2) perubahan pada sikap terhadap pengalaman; (3)
perubahan dari inkongruensi menjadi kongruen; (4) muncul keinginan dalam diri
individu untuk mengkomunikasikan dirinya sendiri dalam suasana tersbuka; (5)
peta kognitif konseli menjadi lebih luas; (6) adanya perubahan hubungan antara
individu dengan masalah yang dihadapi; serta (7) perubahan sikap individu dalam
berelasi dengan lingkungannya.

5. Teknik Konseling
Sebagian besar pendekatan konseling memiliki teknik konselingnya masing-
masing. Pada pendekatan berpusat pribadi ini, orientasinya menekankan pada
hubungan konseli-konselor dengan teknik keterampilan komunikasi konseling. Teknik
sifatnya sekunder dibandingkan sikap konselor selama proses konseling. Pendekatan
berpusat pribadi meminimalkan teknik-teknik direktif, penafsiran, tanya jawab,
penyelidikan, diagnosis, dan pengumpulan sejarah. Proses konseling berpusast pribadi
lebih memaksimalkan pada aspek mendengarkan dan mendengar aktif, pemantulan
perasaan, dan klarifikasi. Keterlibatan penuh dari konselor sebagai pribadi dalam
hubungan konseling lebih ditekankan.
Dalam konseling person centered, penekanan teknik konseling yang digunakan
lebih kepada kepribadian, keyakinan dan sikap konselor. Teknik dasar komunikasi
konseling berpusat pribadi (Eliason & Smith, dalam Erford, 2004) antara lain: (1)
active listening; (2) reflection of thoughts and feelings; (3) clarification; (4)
summarization; (5) confrontation; (6) open-ended statements.
Konselor dengan pendekatan berpusat pribadi memiliki peran penting dalam
memberikan bantuannya melalui keterampilan komunikasi konseling. Pada dasarnya,
keterampilan dasar konseling yang diaplikasikan dalam konseling berpusat pribadi
yaitu:
a. Acceptance (penerimaan), adalah bentuk perilaku konselor yang ditunjukkan pada
konseli sebagai penerapan sikap dasarnya yang ditunjukkan konselor dengan: 1)
menerima apa adanya konseli sebagai pribadi yang unik, 2) tidak menolak (alih-
alih menyalahkan apa yang dikatakan konseli), dan 3) tidak menyetujui apa yang
dikatakan konseli. Teknik acceptance mencakup non verbal (mimik wajah,
kontak mata, gestur tubuh) dan verbal. Modalita verbal meliputi respon verbal
minimal (seperti “ya...ehm..oh...”) dan respon verbal lengkap yang terdiri dari: (a)
kata subjek, (b) penerimaan; (c) kata situasi (contoh: “Saya mengerti (b) apa yang
Andi (a) katakan ketika orang tua tidak setuju dengan keputusanmu (c)”).
b. Lead/ Open Question (teknik bertanya), meruapakan tindakan konselor dengan
mengajukan pertanyaan kepada konselo agar konselor memperoleh informasi
yang spesifik. Bertanya merupakan salah satu bentuk teknik pengarahan (lead)
yang dibedakan menjadi lead umum dan lead khusus. Modalita yang biasanya
digunakan untuk teknik bertanya misalnya: “Apa..?”, “Bagaimana...?”,
“Kapan..?”, “Siapa..?”, “Mengapa…?”, “Di mana...?” dan berbagai kata tanya
lainnya. Komponen teknik bertanya meliputi 1) kata tanya (sebagai pembuka),
dan (2) kalimat informasi yang berkaitan dengan arah atau tujuan dari
pembicaraan. Contoh lead umum: “Bagaimana (1) Anda memandang dirimu saat
ini setelah orangtuamu tidak menyetujui pilihanmu (2)?”
c. Restatement dan Paraphrasing (Pengulangan penyataan dan Parafrase), tujuannya
untuk menunjukkan kepada konseli bahwa konselor senantiasa memperhatikan
informasi yang disampaikan konseli. Restatement adalah keterampilan untuk
mengulang/ menyatakan kembali sebagian pernyataan konseli yang dianggap
penting. Restatement biasanya terdiri dari dua atau tiga kata yang dianggap
mewakili ide pokok dari pernyataan konseli. Parafrase adalah mengulang kalimat/
pernyataan singkat konseli secara utuh, apa adanya, tanpa merubah maknanya.
Perubahan kata bisa dilakukan untuk rasionalnya kalimat namun perubahan itu
tidak menggeser arti kata atau kalimat konseli. Parafrase memiliki dua komponen,
yaitu 1) kata-kata inti atau kata-kata yang mendapat penekanan, dan 2) kata
pelengkap. Parafrase seringkali diawali dengan modalita yang merupakan kata
pembuka, seperti: “Anda katakan...”, “Keterangan Anda menunjukkan...”,
“Menurut Anda...”, “Menurut tangkapan saya ...” Kata-kata pembuka selanjutnya
diikuti dengan komponen dalam parafrase. Berikut ini contoh penggunaan teknik
parafrase:
Konseli : “Orang tua saya tidak menyetujui keinginan saya di jurusan Teknik
Mesin.”
Respon Restatement Konselor
Konselor : “Orang tua tidak setuju..” (pernyataan fokus pada aksen)
Respon Parafrase Konselor
Konselor : “Menurut Anda, orangtua Anda tidak setuju (1) kalau Anda masuk
Jurusan Teknik Mesin (2).”
d. Reflection of thoughts and feelings (pemantulan pikiran dan perasaan), yaitu
keterampilan yang digunakan konselor untuk memantulkan perasaan (terdapat
pesan emosi) yang berisi tafsiran pikiran perasaan yang dinyatakan dalam bentuk
pernyataan/ sikap baik positif maupun negatif yang terkandung di balik
pernyataan konseli. Komponen dari keterampilan pemantulan perasaan adalah (1)
kata dugaan merupakan kata pendahuluan yang modalitanya contohnya rupa-
rupanya.., tampaknya.., kelihatannya.., rasa-rasanya.., kedengarannya.., nada-
nadanya.., agaknya.., mungkin.., barangkali..; (2) kata perasaan atau pikiran
contohnya positif (seperti bahagia, gembira, senang), negatif (marah, malu,
benci), dan ambivalensi atau perpaduan antara afeksi positif dengan negatif
(seperti bingung, bimbang, ragu); (3) kata situasi (keterangan). Contoh
penggunaan teknik pemantulan perasaan:
Konseli: “Pak, saya sudah belajar dengan giat sebelum menghadapi UAS, tetapi
nilai yang saya terima jauh di bawah yang saya harapkan”.
Konselor: “Sepertinya Anda merasa kecewa terhadap nilai UAS yang Anda
terima saat ini”.
e. Clarification (klarifikasi), keterampilan yang digunakan untuk mengungkapkan
kembali isi pernyataan konseli dengan menggunakan kata-kata baru dan segar
atau suatu keterampilan yang merumuskan inti-inti kalimat dan gagasan konseli
dalam bentuk lain dengan makna sama. Tujuan klarifikasi mengungkap isi pesan
utama konseli dan memperjelas isi pesan yang diungkap konseli. Komponen
teknik klarifikasi antara lain: (1) kata kunci penegas modalitanya antara lain
“Pada dasarnya..”, “Pada pokoknya…”, “Pada intinya…”, “Singkat kata…”,
“Dengan kata lain…”, “Maksudnya…”, “Pendek kata …”, “Artinya…”, “Pada
prinsipnya...”, “Jelasnya…” dan sebagainya.; (2) kata subjek; (3) predikat. Ada
dua jenis klarifikasi yaitu: (1) klarifikasi tak langsung dan (2) klarifikasi tak
langsung. Contoh bentuk penerapan teknik klarifikasi antara lain:
Klarifikasi tak langsung:
Konselor: “Apa (1) yang Anda (2) maksud dengan ungkapan bahwa anda sayang
orang tua tapi tidak bisa memenuhi harapannya (3)?”
Klarifikasi langsung:
Konseli: “Begini Pak, saya sekarang ini dalam keadaan sulit. Setelah lulus nanti
saya ingin berwiraswasta dengan membuka usaha kecil-kecilan di rumah,
tetapi ibu menginginkan saya jadi pegawai negeri. Katanya, jadi pegawai
negeri itu lebih tenang dibandingkan dengan jadi seorang wirausahawan.”
Konselor: “Pada dasarnya (1) Anda (2) memiliki perbedaan keinginan dengan ibu
Anda dalam hal pilihan pekerjaan.”
f. Confrontation (Konfrontasi), adalah teknik untuk menunjukkan adanya
kesenjangan, diskrepansi atau inkronguensi dalam diri konseli lalu konselor
mengumpanbalikkan kepada konseli. Komponen teknik konfrontasi meliputi (1)
kata pembuka/penggugah contoh modalitanya harap anda cermati…”, “sadari hal
menarik bahwa…”, “perlu diperhatikan...”, “sangat mengesankan bahwa...”; (2)
pesan yang “dipertentangkan” contoh modalitanya “…dari antara...ada yang...”;
“..sementara...juga…”; “…anda katakan di awal tadi bahwa...dan terakhir…;
“tadi anda mengatakan….terakhir terdengar...”, dan (3) kata atau kalimat tanya
contoh modalitanya “...apakah ini berarti ...?”, “...ada penjelasan apa?”, “...apa
yang Anda maksudkan...?”. Contoh penggunaan berbagai bentuk teknik
konfrontasi sebagai berikut.
1) Antara dua pernyataan verbal
Konseli: “Bu, dalam pesta ulang tahun kemarin malam, Adi duduk dengan Ani
sahabat saya. Saya sih tidak apa-apa dan gak cemburu, cuma saya pikir
mestinya ia menghargai perasaan saya sebagai pacarnya”
Konselor: “Harap anda cermati, tadi anda mengatakan tidak cemburu kalau
pacar anda duduk dengan sahabat Anda, sementara Anda juga
mengatakan bahwa mestinya pacar Anda menghargai perasaan
Anda...bagaimana maksudnya ini, apa ini bukan suatu kontradiksi?”
2) Antara pernyataan verbal dengan tindakan
Konseli: “Udah 2 hari ini saya marah banget dengan Adi gara-gara dia
menghilangkan buku catatan saya, dan saya janji nggak ingin melihat
mukanya apalagi menghubunginya apapun itu…menyebalkan !!!... tadi
malam saya berusaha menelpon ia berkali-kali untuk membuat
perhitungan dengan dia”
Konselor: “Anda tadi mengatakan marah dan sebal dengan Adi karena ia
menghilangkan buku catatan Anda dan Anda tidak ingin lagi
menghubunginya sementara tadi malam Anda berusaha menelepon Adi
berkali kali. Bagaimana Anda menjelaskan tentang hal ini?”
3) Antara pernyataan dan tingkah laku non verbal
Konseli: “Pak saya ikut senang sekali Feri menikah dengan gadis pilihannya
(berbicara dengan suara yang rendah, muram sambil mengeluarkan air
mata dan menundukan kepala) ”
Konselor: “Saudara tadi mengatakan ikut senang dengan pernikahan Feri,
sementara Anda menangis, muram dan berbicara dengan suara rendah
yang ini menurut saya mencerminkan rasa sedih. Bagaimanakah
kiranya ini?”
4) Antara dua tingkah laku non verbal
Konseli: (mengeluarkan air mata dengan mata memerah) (pesan non verbal 1)
dan (mulut terrtawa terbahak-bahak) (pesan non verbal 2)
Konselor: “Cukup terkesan saya, Anda menangis sambil tertawa; bisakah Anda
menjelaskannya?”
g. Reassurance (penguatan/dukungan), adalah keterampilan/teknik konselor untuk
memberikan dukungan/penguatan terhadap pernyataan positif konseli agar
menjadi lebih yakin dan percaya diri. Reassurance terdiri atas prediction
reassurance, postdiction reassurance, dan factual reassurance. Contoh
aplikasinya:
1) Prediction Reassurance (Penguatan prediksi), dilakukan konselor terhadap
pernyataan/rencana positif yang akan dilaksanakan konseli. Contoh:
Konseli : “Pak nilai semester ini bagi saya adalah nilai yang sangat
mengecewakan, hal ini terjadi karena saya memang malas belajar,
namun mulai semester depan saya akan belajar dengan giat dan selalu
belajar walaupun tidak ada ulangan.
Konselor : “Bagus sekali, jika anda mulai semester dapan akan belajar lebih
giat dan selalu belajar walaupun tidak ada ulangan tidak mustahil
nilaimu akan lebih baik dari semester ini”.
2) Posdiction Reassurance (Penguatan postdiksi), adalah penguatan/dukungan
konselor terhadap tingkah laku positif yang telah dilakukan konseli dan
tampak hasil yang diperoleh dari apa yang dilakukan oleh konseli tersebut.
Contoh:
Konseli : “Pak dua hari yang lalu saya bertengkar dengan adik saya gara-gara
saya secara tidak sengaja menumpahkan air di kertas pekerjaan
rumahnya dan semenjak itu dia tidak mau menyapa ataupun
tersenyum pada saya meskipun kami satu rumah, tetapi saya berusaha
menjelaskan kepada adik dan meminta maaf atas kesalahan saya itu.
Ya...Alhamdulillah Pak sekarang adik saya mulai menyapa saya dan
tidak marah lagi kepada saya.
Konselor : “Bagus sekali, setelah anda berusaha menjelaskan dan meminta
maaf atas kesalahan yang anda perbuat ternyata adik anda sekarang
dapat memaafkan dan bersikap baik kepada anda”.
3) Factual Reassurance (Penguatan factual), merupakan penguatan konselor
untuk mengurangi beban penderitaan secara psikis konseli dengan cara
mengumpulkan bukti/fakta bahwa kejadian yang tidak diharapkan yang
menimpa konseli bila dialami oleh orang lain akan memberi dampak yang
sama atau relatif sama dengan apa yang dialami oleh konseli. Contoh:
Konseli : “Bu, selama ini saya dan adik selalu dekat dan saya sangat
menyayanginya, tetapi Bu saya tidak mengira kemarin saya dapat
telpon dari ayah kalau adik saya meninggal karena jatuh dari sepeda
motor. Kejadian ini sangat memukul dan membuat saya sedih”.
Konselor : “Setiap kakak yang menyayangi adiknya sudah barang tentu merasa
terpukul dan sedih ketika mendengar kabar adik yang sangat
disayanginya meninggal”.
h. Summary (merangkum), adalah teknik konselor/konseli untuk membuat simpulan
mengenai apa yang telah dibicarakan dalam sesi konseling. Beberapa bentuk
teknik perangkuman yaitu: (1) perangkuman bagian langsung dan tak langsung;
2) perangkuman keseluruhan/perangkuman akhir: langsung dan tak langsung.
Komponen teknik merangkum meliputi: (1) kata penggugah perhatian
modalitanya “sampai pada pembicaraan kita sekarang ini...”; “sejak awal
pembicaraan kita sampai menit-menit ini…”; “di tengah-tengah pertemuan
ini…”; “dari apa yang Anda bicarakan…”; (2) kata isyarat dan kata kunci
perangkuman modalitanya “…hal penting…”; “…inti perbincangan kita…”;
“…pokok-pokok pembicaraan…”; “…ada dua (atau tiga, empat dan seterusnya)
hal yang penting yaitu…”; (3) paduan isi, topik atau rangkuman. Contoh
penggunaan summary:
Konselor: “Di tengah-tengah pertemuan ini (1) hal penting dari pembicaraan kita
(2) yaitu pertama cara belajar Anda, kedua perilaku bergaul dengan
teman, dan ketiga hubungan dengan pacar (3)”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik dalam konseling person
centered adalah acceptance, reassurance, reflection of feeling, lead/ open question,
active listening, restatement, paraprashing, clarification, summary, interpretation,
konfrontation. Teknik ini dilakukan karena konseling person centered lebih
menekankan pada bagaimana seorang konseli menyelesaikan masalahnya dengan
mengandalkan potensi yang ada pada dirinya.

6. Keunggulan dan Keterbatasan


Pendekatan ini mengandung banyak unsur positif seperti tekanannya pada
peranan konseli sendiri sebagai pihak yang akhirnya menentukan keberhasilan atau
kegagalan proses konseling, kebebasan yang diberikan kepada konseli untuk
menentukan apa yang akan diubahnya pada diri sendiri, pentingnya hubungan
antarpribadi dalam proses konseling, pentingnya konsep diri dan keharusan konselor
untuk menunjukkan sikap penuh pemahaman dan penerimaan. Kekuatan dan
kontribusi pendekatan konseling berpusat pribadi antara lain:
a. Konseli akan dapat mengekspresikan secara penuh apa yang dirasakannya karena
tidak mendapat penilaian negative dari konselor.
b. Individu akan lebih berkembang secara optimal jika mendapat unconditional
positive regard.
c. Dapat diterapkan di berbagai setting dan perspektif multikultural.
d. Konseli mendapatkan pengalaman positif dari proses konseling karena
memusatkan pada dirinya sendiri.
e. Konseli lebih mampu mengenal diri konseli sendiri.
Sebagai kelemahan sejumlah ahli psikologi konseling menunjukkan tekanan
terlalu besar yang diberikan pada perasaan sehingga komponen berpikir rasional tidak
mendapat tempat yang sewajarnya, tujuan konseling pengembangan diri yang
maksimal dianggap terlalu umum, sehingga diragukan apakah suatu proses konseling
akan menghasilkan perubahan konkret yang tampak jelas dalam perilaku konseli pada
saat-saat perubahan semacam itu dibutuhkan apalagi tanpa pengarahan dan sugesti/
saran dari pihak konselor tidak semua konseli akan menangkap makna dari
pendekatan yang diterapkan konselor sehingga mereka merasa seolah-olah dibiarkan
berputar-putar dalam dirinya sendiri tanpa ada tujuan dan arah yang jelas.
Keterbatasan pendekatan konseling berpusat pada pribadi yaitu:
a. Optimisme yang tidak realistis.
b. Sangat sulit bagi konseli menemukan jalannya sendiri.
c. Tanpa menggunakan teknik yang detail, konseling tidak bisa berjalan secara
optimal, hanya konselor sebagai instrument.
d. Dengan terapis hanya menunjukkan dukungan, mendengarkan, peduli, dan
penerimaan yang hangat saja tidak cukup untuk berubah.
e. Tidak relevan digunakan bagi konseli yang tidak memilik motivasi untuk
berubah.
f. Tidak bisa digunakan bagi konseli yang memiliki kasus patologis/berat, untuk
orang-orang normal saja

Anda mungkin juga menyukai